• L3
  • Email :
  • Search :

18 November 2008

Silabus Buku Kelautan



Ada 407 buku elektronik (bukel) atau e-book yang boleh digandakan secara bebas. Namun sayang, angin segar ini tidak segera direspons positif oleh guru dan muridnya. Ini juga berkaitan dengan masa-laku bukel tersebut. Buku yang biasanya berganti-ganti tiap semester, kini akan diganti per lima tahun. Memang, ide ini disambut gembira oleh orang tua murid yang selama ini merasa diperas sekolah (dan penerbit).

Namun demikian, ada yang perlu digarismerahi. Lamanya rentang waktu masa-laku buku paket (apapun wujudnya) itu akan berpengaruh pada isi dan mutu buku. Artinya, ilmu yang dikupas di buku itu bisa jadi sudah out of date alias lewat zaman. Jangankan lima tahun, dalam tempo semesteran saja tak terjadi perubahan isi yang signifikan. Yang berubah hanya sampulnya. Substansinya tak jauh beda dengan edisi sebelumnya.

Mari ambil sampel buku tentang laut dan kelautan. Bayangkan saja, kita negara bahari tetapi silabus yang berkaitan dengan laut sedikit sekali. Silakan lihat buku-buku paket SD s.d SMA dan taksirlah berapa persen muatannya yang berkait dengan laut dan kelautan. Kemudian, ajaklah anak-anak ke warung tepi jalan yang menjual "makanan-laut" atau sea-food lalu suruh mereka menyebutkan nama-nama hewan itu. Mampukah mereka?

Padahal, jualan di warung sea-food itu baru sebagian kecil dari dunia laut. Masih banyak lagi tumbuhan dan hewan lainnya. Kalau anak-anak kota saja tak mampu memPerikan (bukan memBerikan) nama-nama itu, apatah lagi murid sekolah desa. Lebih muskil lagi yang tak pernah ke laut lantaran sekolahnya di gunung atau pelosok. Sedih sekali ketika mayoritas anak sekolah, bahkan orang tuanya tak mampu memperikan barang sepuluh-dua puluh flora fauna laut. Ini ironis. Sebab, dua pertiga atau 5,8 juta km2 negara kita diselimuti laut dan 65% warganya tinggal di pesisir.

Lantas, bagaimana menyiasatinya? Buku, kurikulum, dan silabus adalah jawabnya. Anak-anak sekolah yang jauh dari laut dan tak pernah langsung melihat laut akan dapat mengetahuinya lewat buku paket. Kalau ada dana, siswa sebaiknya diajak ke laut sambil belajar atau semacam study-tour. Jangan sampai ada anekdot bahwa laut dan isinya hanya untuk kaum kaya. Betapa tidak, harga sea food dan ikan karang Napoleon atau kerapu misalnya, begitu tinggi. Scuba diving, snorkling, kapal pesiar atau kapal selam wisata tak terbilang lagi harganya. Bahkan untuk datang ke Sea World di Ancol saja, bagi rakyat kecil, mesti menabung dulu sekian lama.

Pembelajaran Kelautan
Bukel boleh ada, malah, menurutku, ini langkah jitu di rimba internet (sekaligus tantangan bagi penerbit buku pelajaran). Buku boleh terus diganti tetapi isinya harus diperbarui. Kalau ada temuan baru dan penting bagi siswa maka buku harus diganti, tanpa tunggu masa-laku. Atau, minimal ada tambahan (addendum) bagi guru dan siswanya. Ini untuk mencegah buta-laut. Selain itu, pembelajaran pun hendaklah ditekankan pada aspek kebaharian atau industri maritim seperti industri perikanan, pelayaran, pariwisata, pertambangan dan energi laut.

Sejauh ini, pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) alias Sains di SD atau Biologi di SMP dan SMA belum sarat akan informasi laut, termasuk kuliah Pengetahuan Lingkungan di perguruan tinggi. Tak kurang, studium general dan seminar lingkungan pun sering diadakan. Bahkan ada UU No. 9/1985 tentang perikanan yang eksplisit menegaskan potensi laut seperti ikan, algae, crustacea, coelenterata, echinodermata, mammalia, mollusca dll. Termasuk peraturan turunan dari undang-undang itu sampai ke tingkat peraturan daerah. Tapi kenapa ketunalautan tak jua surut? Adakah mata rantai yang putus antara otoritas kelautan dan pelaku pendidikan?

Terlihat betapa pendidikan formal belum optimal dimanfaatkan. Kita punya struktur dan instrumen seperti pengajar, kurikulum dan silabus serta evaluasi berkala sebagai alat ukur penguasaan ilmu. Tak mengherankan jika banyak pihak menginginkan perubahan paradigma pendidikan nasional yang lebih jauh juga berarti mengubah kurikulum, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Ini dilaksanakan di semua jenis jurusan, baik eksakta maupun noneksakta. Muatan lokal kelautan disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan boleh berbeda antarsatu daerah dan daerah lainnya. Spirit otonomi daerah boleh ikut mewarnai silabus kelautan sehingga potensi khas lokal dapat disebarkan dan yang lebih penting lagi adalah dikonservasi. Sekecil apapun lingkupnya, tetap harus ada aksentuasi, kekhasan utama dari potensi laut Indonesia.

Adakah gunanya langkah "kembali ke laut" ini? Apa yang akan kita panen nanti? Aku yakin, banyak gunanya. Minimal, ada pembukaan peluang usaha di bidang ini. Kutatap dengan mata kepala sendiri di Yeh Gangga, sembilan kilometer dari rumah ortuku di Bali. Nelayan di sini begitu semangat menjala ikan lalu menjualnya ke Tabanan, tempat kelahiranku. Kemudian, bisnis kapal pesiar atau kapal selam wisata sekalipun terbuka peluangnya. Tentu dengan perencanaan matang, tidak boleh merusak pantai apalagi hutan bakau. Termasuk penguatan jajaran angkatan laut dan polisi air yang mengamankan sudut laut dan pantai yang merupakan kedaulatan negara.

Silabus kelautan pun hendaklah mengarah pada pengembangan bioteknologi laut seperti pemanfaatan biotanya untuk listrik dan obat kanker, karang untuk obat tulang, dll. Hal ini akan dapat memberdayakan nelayan di 67.500-an desa pantai di Indonesia. Termasuk pengajaran potensi polusinya yang memang tak terlepaskan dari fungsinya sebagai bak sampah superraksasa yang menampung semua pencemar dari daratan.*

2 komentar:

  1. Pokok dari topik ini apa Pak ?

    BalasHapus
  2. Pembelajaran kelautan. Materi boleh ditambah dari sumber lain dan ditulis tangan, jangan ditik.

    BalasHapus