• L3
  • Email :
  • Search :

25 September 2013

Braga Festival 2013, Bandung

Oleh Gede H. Cahyana


Jangan mengaku orang Bandung kalau belum berjalan-jalan di Braga. Braga zaman dulu, 131 tahun yang lalu, yaitu tahun 1882 atau setahun sebelum Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus, ia sudah ada. Namun asal-usul namanya tidak jelas sampai sekarang. Ada yang berkata, nama Braga berasal dari Perkumpulan Tonil Braga yang didirikan oleh Pieter Sijthoff pada 18 Juni 1882.

Ada juga yang meyakini bahwa nama itu sudah ada jauh-jauh tahun sebelum tahun tersebut. Waktu itu, Braga menghubungkan lokasi gudang kopi (Koffie Parkhuis) milik Andries de Wilde dengan Jalan Raya Pos (Groote Postweg), sekarang Jln. Asia-Afrika. Pendapat lain, menurut Haryoto Kunto alm, karena letaknya di tepi Sungai Cikapundung, maka jalan itu disebut “baraga” sedangkan berjalan menyusuri sungai disebut “ngabaraga” dalam bahasa Sunda. Ada juga yang menyatakan bahwa Braga berkaitan dengan ngabar raga atau pamer tubuh alias peragawan-peragawati berlenggang-lenggok di Parijs van Java, memamerkan baju mode Paris a la Bandoeng.

Terlepas dari simpang siur asal-usul namanya itu, yang penting, bagi kita yang mengaku warga Bandung, harus pernah JJS (jalan-jalan sore), JJP (jalan-jalan pagi), JJM (jalan-jalan malam) di sana. Jalan-jalan saja, tidak berbuat yang “aneh-aneh”, terutama pada malam hari, setelah pukul 23.00 Wib. Kini kesempatan itu muncul lagi, dihidupkan oleh pemerintah Kota Bandung sejak 2008 dengan menggelar Braga Festival. Tahun ini digelar pada 28 s.d 30 September 2013, mulai pukul 09.00 s.d 24.00 Wib. Tidak seperti hari-hari biasa, pada saat festival ini berbagai jenis seni dihadirkan, suvenir kerajinan rakyat, seni pertunjukan, dan kuliner rakyat Sunda buhun.  Seratus tahun yang lalu, segala kebutuhan orang Bandung bisa dibeli di Braga, mulai dari kebutuhan dapur sampai dengan busana bergaya Paris.

Hingga sekarang, para “toen” dan “nyonyah” Belanda, juga keturunannya, sering datang ke Braga untuk menapak jejak masa lalunya, menelusuri riwayat oma-opa mereka yang ditulis dalam buku hariannya. Kalau mereka saja begitu antusias pada seutas jalan bernama Braga, bagaimana dengan orang Bandung?

Berikut adalah foto yang menunjukkan perkembangan dan perubahan wajah daerah Braga. 





Hayu urang ngabaraga, beberes runtah di Cikapundung, ulah pundung ku babaturan. *

1 komentar: