• L3
  • Email :
  • Search :

22 September 2013

Serba-Serbi Bioreaktor UASB

Serba-SerbiBioreaktor UASB
Oleh Gede H. Cahyana

Bandung bisa disebut sebagai kota pionir, minimal di bidang lingkungan, khususnya pengolahan air minum dan air limbah. Bisa dimaklumi, sebab di Bandung ada perguruan tinggi yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1920, yaitu THS (Technische Hoogeschool te Bandoeng) yang menjadi ITB pada 1959. Belanda juga berkontribusi dalam pengolahan air limbah domestik berupa UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket) pada akhir 1980-an di Jalan Suling, dekat SESKO TNI, Bandung. Bioreaktor ini diperkenalkan oleh Gatze Lettinga, pakar proses anaerob dari Universitas Pertanian Wageningen, Belanda pada 1970-an.

Mulai saat itu, proses ini banyak diterapkan untuk mengolah air limbah karena mampu membentuk sludge yang berat dan aktif hingga konsentrasi 100 g/L di zone bawah reaktor dengan mekanisme retensi dan separasi. Retensi terjadi di bawah reaktor akibat formasi biobutir dan separasi di bagian atas reaktor (alat separator). Juga karena mampu mengolah polutan aromatik seperti benzoat dan fenol. Artinya, diharapkan teknologi anaerob akan mampu mengolah segala jenis limbah industri kimia.

Konsep dasar
Sesuai namanya, air limbah dialirkan dari bawah ke atas (upflow) melalui stratifikasi selimut lumpur yang pekat di dasar reaktor menuju ke bagian encer di atasnya. Kecepatan tipikal aliran ke atas yang disarankan oleh Lettinga dan Hulshoff Pol (1991) adalah 1-1,25 m/jam meskipun sebaiknya kurang dari 1 m/jam. Bahkan Henze et.al., (1995) mencatat kisaran yang jauh lebih rendah yakni antara 0,01 - 0,15 m/jam. Sebagai pemisah fase padat/cair/gas, di bagian atas reaktor dipasang separator. Selain itu, juga diberi pengendap (internal settler) dengan regim aliran tenang dan laminer agar flok yang terbawa ke atas bisa kembali ke reaktor.

Secara konsep, UASB serupa dengan reaktor high rate yang lain yakni menahan biomassa secara swahenti (self immobilization) dengan cara membentuk agregat atau konglomerat atau aglomerat yang tersusun oleh sejumlah bakteri dengan fisiologi berbeda (konsorsium). Menurut Calleja et.al, 1984 (dikutip dari Grotenhuis, 1992) agregat mikroba adalah sekumpulan mikroba yang berhubungan karib (intimate contact) seperti flok, granule dan biofilm meskipun biofilm perlu media lekat. Jenis agregat pun dapat dibagi menjadi tiga (Dolfing, 1987 dikutip dari Palns et.al., 1990) yaitu flok (konglomerat berstruktur lemah), pellet (konglomerat berstruktur kuat dan berat) dan granule (pellet berupa butiran).

Dampak penahanan atau retensi dari swahenti, selain menambah aktivitas metanogeniknya juga memperbesar kecepatan endapnya sehingga waktu tinggal sel jauh melebihi waktu tinggal hidrolisnya. Atau dengan kata lain, terjadi pemisahan antara SRT dengan HRT sehingga dimensi unit pengolah dapat diperkecil dengan efisiensi relatif konstan.

Lettinga dan Hulshoff Pol (1991) menyusun konsep dasar UASB yaitu :
a. Sludge dapat mengendap dengan baik karena tidak ada pengadukan mekanis. Kalaupun ada, biasanya diaduk secara perlahan dan sesaat.
b. Sludge terdispersi akibat aliran biogas khususnya reaktor yang tinggi dengan beban organik besar namun dapat ditahan oleh separator di bagian atas UASB. Di sinilah biogas dilepaskan.
c. Sludge yang mengendap di settler difasilitasi agar dapat tergelincir ke ruang digester dan mengendap lagi meskipun melawan upflow dan turbulensi akibat produksi gas. Untuk pengembangan ke depan, UASB sebaiknya dilengkapi dengan unit clarifier terpisah (external clarifier) agar biomassa yang hanyut dapat diresirkulasi ke reaktor.
d. Agar scum layer pada permukaan air di ruang pengendap tidak hanyut maka perlu dipasang sekat (baffle) di depan pelimpah efluen.

Dengan ilustrasi di atas, nyatalah manfaat separator padat/cair/gas pada reaktor UASB.

Granulasi Bakteri
Telah dipaparkan, bakteri mengalami swahenti (self immobilization) pada reaktor karena mampu membentuk agregat (biobutir). Menurut de Zeew (1988), biobutir diidentifikasi pertama kali pada reaktor UASB bervolume 6 m3 antara tahun 1974 - 1976. Ia mengelompokkan biobutir menjadi tiga tipe, yaitu tipe A, biobutir sferis yang terutama dihuni oleh Methanothrix soehngenii; tipe B, biobutir tidak sferis yang berisi bakteri berfilamen dan biasanya melekat pada media, dan tipe C, biobutir sferis yang dihuni oleh Methanosarcina sp.

Formasi biobutir tersebut seperti dijelaskan oleh Sayed S.K.I (1987), sangat mudah terbentuk di air limbah yang kaya karbohidrat namun sulit pada air limbah rumah pemotongan hewan /pejagalan (slaughterhouse) sehingga UASB banyak digunakan untuk mengolah air limbah pabrik gula. Pendapat senada datang dari Palns et.al., (1987) ketika berhasil memperoleh biobutir berkecepatan endap tinggi dengan KPO yang juga tinggi. Air limbah yang diolahnya adalah apple juice yang dominan mengandung karbohidrat dan sedikit nitrogen (TKN/COD = 0,06).

Selain jenis air limbah, pembentukan dan stabilitas biobutir dipengaruhi juga oleh hidrolika aliran. Sedangkan ukurannya bergantung pada faktor suplai dan jenis nutrien, laju tumbuh, konsentrasi substrat, gaya gesekan (shear force) dan presipitat inorganik seperti besi sulfida dan kalsium fosfat atau adesi antar bakteri. Kehilangan kalsium dapat melemahkan biobutir atau bahkan menghancurkannya (disintegrasi). Telah dibuktikan, ukuran biobutir makin besar pada beban substrat yang tinggi dan mengecil bahkan mudah pecah pada beban rendah. Dengan demikian, terjadi sinergisme antara beban organik dengan ukuran biobutir.

Sedangkan keterendapannya (settleability) bergantung pada ukuran dan densitasnya. Pada UASB yang digunakan oleh Palns et.al., (1987), masa jenisnya (densitas) mencapai 30 - 80 kg/m3. Densitas ini pun ditentukan oleh gas dan kandungan mineral atau presipitat inorganik di dalamnya (Hulshoff Pol, 1986) seperti CaCO3, MgNH4PO4 dan sulfida. Dengan kata lain, tergantung pada komposisi air limbah, kehadiran zat inorganik dan umur lumpur. Jadi trace mineral berpengaruh kuat terhadap pembentukan biobutir. Akibatnya, kadar abu (mineral) biobutir sangat bervariasi. Jika banyak mengandung mineral Fe, Ni dan Co-sulfida maka warna sludge-nya menjadi hitam.

 Zonasi lumpur
Karena pengaruh gaya gravitasi maka secara alami akan terjadi pelapisan (stratifikasi) konsentrasi lumpur di dalam reaktor. Logikanya, konsentrasi terpekat ada di bagian bawah dan terendah di bagian atas. Inilah kenyataannya. Adalah Palns et. al., (1987, 1990) yang membagi lapisan lumpur UASB, didasarkan pada kinerjanya saat mengolah air limbah apple juice, dengan karbohidrat (gula) sebagai senyawa dominan. Selain mendukung pola alirannya berupa plug flow karena tidak ada pengadukan (intermixing), grup dari Universitas Cape Town, Afrika Selatan ini pun merincinya menjadi tiga zone diferensiasi yang mengacu pada ada tidaknya konversi propionat menjadi asetat.

Definisi batas atas zone aktif bawah menurut Grup Cape Town ini adalah ketinggian lumpur (bed) di mana konsentrasi propionat mencapai nilai maksimum. Sedangkan batas atas zone aktif atas adalah ketinggian lumpur di mana propionat, COD dan organik nitrogen mencapai angka relatif stabil. Selebihnya, disebut zone lamban. Meskipun demikian, sludge bed di zone lamban tetap berfungsi sebagai cadangan atau penyangga (buffer) jika ada peningkatan beban (loading rate). Sejumlah karakteristik zonasi tersebut telah diidentifikasi seperti di bawah ini.

a.       Zone aktif bawah / ZAB (lower active zone) dengan karakteristik :
·         konsentrasi asam propionat mencapai nilai maksimum
·   konsentrasi asam asetat juga maksimum namun lajunya lebih rendah daripada asam propionat.
·         terjadi reduksi COD terlarut hingga 50 % dari nilai COD umpan
·         konsentrasi amonia turun ke nilai minimum
·         konsentrasi organik nitrogen naik hingga maksimum
·         metanogen hidrogenotrofik menghasilkan CH4 dari H2/CO2
·         konversi asetat oleh metanogen asetoklastik menjadi CH4 dan CO2
·      alkalinitas total turun hingga harga minimum sehingga harus ada suplai bikarbonat agar pH tidak rendah
·         terjadi penurunan pH
·   tekanan parsial H2 tinggi namun produksi netto (yield) gram VSS per gram COD tersisihkan juga tinggi (karbohidrat mencapai 36 %)

Pada zone aktif bawah tersebut, kenaikan konsentrasi asam propionat menandakan tekanan parsial H2 relatif tinggi. Sedangkan penurunan angka COD yang tinggi bahkan mencapai 50% atau lebih mengindika-sikan ada produksi CH4 di ZAB. Agar prosesnya berlangsung dengan baik maka dibutuhkan alkalinitas yang cukup untuk antisipasi CO2 dan asam-asam volatil. Di zone inilah kebutuhan alkalinitasnya tertinggi dibandingkan dengan zone yang lain.

b.       Zone aktif atas / ZAA (upper active zone) dengan karakteristik :
·         konsentrasi asam propionat dan asetat turun ke harga minimum
·         COD terlarut relatif stabil pada konsentrasi minimumnya
·         konsentrasi amonia bebas relatif konstan
·         terjadi kenaikan pH ke angka yang stabil
·   tekanan parsial H2 turun sehingga asam propionat dapat dikonversi menjadi asetat kemudian menjadi CH4 oleh asetogen.
·         bakteri asetoklastik mengkonversi asetat menjadi CH4 dan CO2

Pada ZAA, konsentrasi asetat dan propionat cenderung turun. Penurunan konsentrasi propionat menandakan tekanan parsial H2 sudah turun sehingga propionat dapat diubah menjadi asetat oleh asetogenesis yang selanjutnya diubah menjadi CH4 dan CO2 oleh metanogenesis.

Agar tidak ada akumulasi asam propionat maka reduksi tekanan parsial H2 harus dimulai di ZAB khususnya pada titik di mana konsentrasi propionat maksimum. Tujuannya, agar di ZAA terbentuk asetat yang kemudian diubah menjadi CH4. Dengan cara ini konsentrasi asam propionat dan asetat akan turun di ZAA sehingga mereduksi asiditas, menambah alkalinitas dan pH pun ikut naik.

c.       Zone lamban / ZL (upper inactive zone) dengan karakteristik :
·         konsentrasi biomassa lebih encer dibandingkan dengan zone lainnya.
·         tidak ada konversi substrat atau COD yang signifikan
·         tidak ada reaksi biokinetika yang signifikan

Kinerja UASB
Sejak ditemukan, reaktor UASB telah diterapkan dan diteliti di seluruh dunia. Penyebabnya adalah fleksibilitas aplikasinya terhadap variasi jenis air limbah, variasi beban COD dan kecepatan pembebanan organik termasuk variasi temperatur mulai kisaran psikrofilik, mesofilik hingga termofilik.

Kinerjanya telah teruji dalam mengolah air limbah mulai beban 5 g/L hingga 20 g/L COD dengan kecepatan pembebanan organik antara 0,5 hingga 150 kg/m3.hari. Efisiensi yang dicapai antara 70 - 95% dengan waktu tinggal hidrolis mulai ½ hingga 24 jam (van Lier, 1995 dan Lettinga dan Hulshoff Pol, 1991). Karena itulah maka selama dua puluh tahun pertama setelah ditemukan, telah dibuat 300 instalasi UASB di seluruh dunia, termasuk di Indonesia untuk mengolah bermacam air limbah khususnya air limbah makanan dan minuman (Lettinga dan Hulshoff Pol, 1991).

Sebagai contoh, untuk mengolah air limbah karbohidrat, UASB tak tertandingi meskipun ada dua masalah utama dalam operasinya yaitu COD influennya tinggi tetapi alkalinitasnya rendah sehingga menyebabkan pH-nya berkisar antara 6,2 - 6,6. Kekhususan lain limbah karbohidrat adalah kebutuhan waktu start up-nya relatif singkat seperti UASB pengolah limbah pabrik bir (brewery) di Durban Afrika Selatan yang hanya butuh waktu tiga bulan. Efisiensi penyisihan COD-nya mencapai 80% dengan kecepatan pembebanan organik 5,4 kg/m3.hari dan VSS di ZAB mencapai 90 g/L sedangkan di ZAA 10 g/L.

Menurut Lettinga (1983), kisaran reduksi COD pada UASB flokulen adalah 50 - 60% pada temperatur 15 – 19 oC dan HRT 8 jam. Sedangkan pada UASB granular kisarannya 45 - 75% pada T > 12 oC dan HRT 8 jam. Jika kadar substrat cukup rendah (200 - 700 mg/L) maka reduksi COD hampir sempurna, 95% yang terjadi pada 30 oC dan HRT 10 jam. *


Tidak ada komentar:

Posting Komentar