Oleh Gede H. Cahyana
Bandung bisa disebut sebagai kota pionir, minimal di bidang
lingkungan, khususnya pengolahan air minum dan air limbah. Bisa dimaklumi,
sebab di Bandung ada perguruan tinggi yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda
pada tahun 1920, yaitu THS (Technische Hoogeschool te Bandoeng) yang menjadi ITB pada 1959. Belanda juga berkontribusi dalam pengolahan air limbah domestik berupa UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket) pada akhir 1980-an di Jalan Suling, dekat SESKO TNI, Bandung. Bioreaktor ini diperkenalkan oleh Gatze Lettinga, pakar proses anaerob dari Universitas Pertanian Wageningen, Belanda pada 1970-an.
Mulai saat itu, proses ini banyak
diterapkan untuk mengolah air limbah karena mampu membentuk sludge yang berat dan aktif hingga
konsentrasi 100 g/L di zone bawah reaktor dengan mekanisme retensi dan
separasi. Retensi terjadi di bawah reaktor akibat formasi biobutir dan separasi
di bagian atas reaktor (alat separator). Juga karena mampu mengolah polutan
aromatik seperti benzoat dan fenol. Artinya, diharapkan teknologi anaerob akan
mampu mengolah segala jenis limbah industri kimia.
Konsep dasar
Sesuai namanya, air limbah dialirkan
dari bawah ke atas (upflow) melalui
stratifikasi selimut lumpur yang pekat di dasar reaktor menuju ke bagian encer
di atasnya. Kecepatan tipikal aliran ke atas yang disarankan oleh Lettinga dan
Hulshoff Pol (1991) adalah 1-1,25 m/jam meskipun sebaiknya kurang dari 1 m/jam.
Bahkan Henze et.al., (1995) mencatat
kisaran yang jauh lebih rendah yakni antara 0,01 - 0,15 m/jam. Sebagai pemisah
fase padat/cair/gas, di bagian atas reaktor dipasang separator. Selain itu,
juga diberi pengendap (internal settler)
dengan regim aliran tenang dan laminer agar flok yang terbawa ke atas bisa
kembali ke reaktor.
Secara konsep, UASB serupa dengan
reaktor high rate yang lain yakni
menahan biomassa secara swahenti (self immobilization) dengan cara
membentuk agregat atau konglomerat atau aglomerat yang tersusun oleh sejumlah
bakteri dengan fisiologi berbeda (konsorsium). Menurut Calleja et.al, 1984 (dikutip dari Grotenhuis,
1992) agregat mikroba adalah sekumpulan mikroba yang berhubungan karib (intimate contact) seperti flok, granule dan biofilm meskipun biofilm
perlu media lekat. Jenis agregat pun dapat dibagi menjadi tiga (Dolfing, 1987
dikutip dari Palns et.al., 1990)
yaitu flok (konglomerat berstruktur lemah), pellet
(konglomerat berstruktur kuat dan berat) dan granule (pellet berupa butiran).
Dampak penahanan atau retensi dari
swahenti, selain menambah aktivitas metanogeniknya juga memperbesar kecepatan
endapnya sehingga waktu tinggal sel jauh melebihi waktu tinggal hidrolisnya.
Atau dengan kata lain, terjadi pemisahan antara SRT dengan HRT sehingga dimensi
unit pengolah dapat diperkecil dengan efisiensi relatif konstan.
Lettinga dan Hulshoff Pol (1991)
menyusun konsep dasar UASB yaitu :
a. Sludge dapat mengendap dengan baik
karena tidak ada pengadukan mekanis. Kalaupun ada, biasanya diaduk secara
perlahan dan sesaat.
b. Sludge terdispersi akibat aliran biogas
khususnya reaktor yang tinggi dengan beban organik besar namun dapat ditahan
oleh separator di bagian atas UASB. Di sinilah biogas dilepaskan.
c. Sludge yang mengendap di settler difasilitasi agar dapat
tergelincir ke ruang digester dan mengendap lagi meskipun melawan upflow dan turbulensi akibat produksi
gas. Untuk pengembangan ke depan, UASB sebaiknya dilengkapi dengan unit clarifier terpisah (external clarifier) agar biomassa yang hanyut dapat diresirkulasi
ke reaktor.
d. Agar
scum layer pada permukaan air di ruang pengendap tidak hanyut maka perlu
dipasang sekat (baffle) di depan
pelimpah efluen.
Dengan ilustrasi di atas, nyatalah
manfaat separator padat/cair/gas pada reaktor UASB.
Granulasi Bakteri
Telah dipaparkan, bakteri mengalami swahenti (self immobilization) pada reaktor karena mampu membentuk agregat
(biobutir). Menurut de Zeew (1988), biobutir diidentifikasi pertama kali pada
reaktor UASB bervolume 6 m3 antara tahun 1974 - 1976. Ia mengelompokkan biobutir menjadi tiga tipe, yaitu tipe A, biobutir sferis yang
terutama dihuni oleh Methanothrix
soehngenii; tipe B, biobutir tidak sferis yang berisi bakteri berfilamen dan biasanya
melekat pada media, dan tipe C, biobutir sferis yang dihuni
oleh Methanosarcina sp.
Formasi biobutir tersebut seperti
dijelaskan oleh Sayed S.K.I (1987), sangat mudah terbentuk di air limbah yang
kaya karbohidrat namun sulit pada air limbah rumah pemotongan hewan /pejagalan (slaughterhouse)
sehingga UASB banyak digunakan untuk mengolah air limbah pabrik gula. Pendapat
senada datang dari Palns et.al.,
(1987) ketika berhasil memperoleh biobutir berkecepatan endap tinggi dengan KPO
yang juga tinggi. Air limbah yang diolahnya adalah apple juice yang dominan mengandung karbohidrat dan sedikit
nitrogen (TKN/COD = 0,06).
Selain jenis air limbah, pembentukan dan
stabilitas biobutir dipengaruhi juga oleh hidrolika aliran. Sedangkan ukurannya
bergantung pada faktor suplai dan jenis nutrien, laju tumbuh,
konsentrasi substrat, gaya gesekan (shear
force) dan presipitat inorganik seperti besi sulfida dan kalsium fosfat
atau adesi antar bakteri. Kehilangan kalsium dapat melemahkan biobutir atau
bahkan menghancurkannya (disintegrasi). Telah dibuktikan, ukuran biobutir makin
besar pada beban substrat yang tinggi dan mengecil bahkan mudah pecah pada
beban rendah. Dengan demikian, terjadi sinergisme antara beban organik dengan
ukuran biobutir.
Sedangkan keterendapannya (settleability) bergantung pada ukuran dan densitasnya. Pada UASB yang digunakan oleh Palns
et.al., (1987), masa jenisnya
(densitas) mencapai 30 - 80 kg/m3. Densitas ini pun
ditentukan oleh gas dan kandungan mineral atau presipitat inorganik di dalamnya
(Hulshoff Pol, 1986) seperti CaCO3, MgNH4PO4
dan sulfida. Dengan kata lain, tergantung pada komposisi air limbah, kehadiran
zat inorganik dan umur lumpur. Jadi trace
mineral berpengaruh kuat terhadap pembentukan biobutir. Akibatnya, kadar
abu (mineral) biobutir sangat bervariasi. Jika banyak mengandung mineral Fe, Ni
dan Co-sulfida maka warna sludge-nya
menjadi hitam.
Zonasi lumpur
Karena pengaruh gaya gravitasi maka
secara alami akan terjadi pelapisan (stratifikasi) konsentrasi lumpur di dalam
reaktor. Logikanya, konsentrasi terpekat ada di bagian bawah dan terendah di
bagian atas. Inilah kenyataannya. Adalah Palns et. al., (1987, 1990) yang membagi lapisan lumpur UASB, didasarkan
pada kinerjanya saat mengolah air limbah apple
juice, dengan karbohidrat (gula) sebagai senyawa dominan. Selain mendukung
pola alirannya berupa plug flow
karena tidak ada pengadukan (intermixing),
grup dari Universitas Cape Town,
Afrika Selatan ini pun merincinya menjadi tiga zone diferensiasi yang mengacu
pada ada tidaknya konversi propionat menjadi asetat.
Definisi batas atas zone aktif bawah menurut Grup
Cape Town ini adalah ketinggian lumpur (bed)
di mana konsentrasi propionat mencapai nilai maksimum. Sedangkan batas atas zone aktif atas adalah ketinggian lumpur
di mana propionat, COD dan organik nitrogen mencapai angka relatif stabil.
Selebihnya, disebut zone lamban.
Meskipun demikian, sludge bed di zone
lamban tetap berfungsi sebagai cadangan atau penyangga (buffer) jika ada peningkatan beban (loading rate). Sejumlah karakteristik zonasi tersebut telah
diidentifikasi seperti di bawah ini.
a. Zone aktif bawah / ZAB (lower active zone) dengan karakteristik :
·
konsentrasi asam propionat mencapai nilai maksimum
· konsentrasi asam asetat juga maksimum namun lajunya lebih rendah daripada
asam propionat.
·
terjadi reduksi COD terlarut hingga 50 % dari nilai COD umpan
·
konsentrasi amonia turun ke nilai minimum
·
konsentrasi organik nitrogen naik hingga maksimum
·
metanogen hidrogenotrofik menghasilkan CH4 dari H2/CO2
·
konversi asetat oleh metanogen asetoklastik menjadi CH4 dan CO2
· alkalinitas total turun hingga harga minimum sehingga harus ada suplai
bikarbonat agar pH tidak rendah
·
terjadi penurunan pH
· tekanan parsial H2 tinggi namun produksi netto (yield) gram VSS
per gram COD tersisihkan juga tinggi (karbohidrat mencapai 36 %)
Pada zone aktif bawah tersebut, kenaikan
konsentrasi asam propionat menandakan tekanan parsial H2 relatif
tinggi. Sedangkan penurunan angka COD yang tinggi bahkan mencapai 50% atau
lebih mengindika-sikan ada produksi CH4 di ZAB. Agar prosesnya berlangsung dengan baik maka dibutuhkan alkalinitas yang
cukup untuk antisipasi CO2 dan asam-asam volatil. Di zone inilah
kebutuhan alkalinitasnya tertinggi dibandingkan dengan zone yang lain.
b. Zone aktif atas / ZAA (upper active zone) dengan karakteristik :
·
konsentrasi asam propionat dan asetat turun ke harga minimum
·
COD terlarut relatif stabil pada konsentrasi minimumnya
·
konsentrasi amonia bebas relatif konstan
·
terjadi kenaikan pH ke angka yang stabil
· tekanan parsial H2 turun sehingga asam propionat dapat
dikonversi menjadi asetat kemudian menjadi CH4 oleh asetogen.
·
bakteri asetoklastik mengkonversi asetat menjadi CH4 dan CO2
Pada ZAA, konsentrasi asetat dan propionat
cenderung turun. Penurunan konsentrasi propionat menandakan tekanan parsial H2
sudah turun sehingga propionat dapat diubah menjadi asetat oleh asetogenesis
yang selanjutnya diubah menjadi CH4 dan CO2 oleh
metanogenesis.
Agar tidak ada akumulasi asam propionat
maka reduksi tekanan parsial H2 harus dimulai di ZAB khususnya pada
titik di mana konsentrasi propionat maksimum. Tujuannya, agar di ZAA terbentuk
asetat yang kemudian diubah menjadi CH4. Dengan cara ini konsentrasi
asam propionat dan asetat akan turun di ZAA sehingga mereduksi asiditas,
menambah alkalinitas dan pH pun ikut naik.
c. Zone lamban / ZL (upper inactive zone) dengan karakteristik :
·
konsentrasi biomassa lebih encer dibandingkan dengan zone lainnya.
·
tidak ada konversi substrat atau COD yang signifikan
·
tidak ada reaksi biokinetika yang signifikan
Kinerja UASB
Sejak ditemukan, reaktor UASB telah diterapkan dan diteliti di seluruh dunia.
Penyebabnya adalah fleksibilitas aplikasinya terhadap variasi jenis air limbah,
variasi beban COD dan kecepatan pembebanan organik termasuk variasi temperatur
mulai kisaran psikrofilik, mesofilik hingga termofilik.
Kinerjanya telah teruji dalam mengolah
air limbah mulai beban 5 g/L hingga 20 g/L COD dengan kecepatan pembebanan
organik antara 0,5 hingga 150 kg/m3.hari. Efisiensi yang
dicapai antara 70 - 95% dengan waktu tinggal hidrolis mulai ½ hingga 24 jam
(van Lier, 1995 dan Lettinga dan Hulshoff Pol, 1991). Karena itulah maka selama
dua puluh tahun pertama setelah ditemukan, telah dibuat 300 instalasi UASB di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia untuk mengolah bermacam air limbah
khususnya air limbah makanan dan minuman (Lettinga dan Hulshoff Pol, 1991).
Sebagai contoh, untuk mengolah air
limbah karbohidrat, UASB tak tertandingi meskipun ada dua masalah utama dalam
operasinya yaitu COD influennya tinggi tetapi alkalinitasnya rendah sehingga
menyebabkan pH-nya berkisar antara 6,2 - 6,6. Kekhususan lain limbah
karbohidrat adalah kebutuhan waktu start
up-nya relatif singkat seperti UASB pengolah limbah pabrik bir (brewery) di Durban Afrika Selatan yang
hanya butuh waktu tiga bulan. Efisiensi penyisihan COD-nya mencapai 80% dengan
kecepatan pembebanan organik 5,4 kg/m3.hari dan VSS di ZAB mencapai 90 g/L sedangkan di ZAA 10
g/L.
Menurut Lettinga (1983), kisaran reduksi
COD pada UASB flokulen adalah 50 - 60% pada temperatur 15 – 19 oC dan
HRT 8 jam. Sedangkan pada UASB granular kisarannya 45 - 75% pada T > 12 oC
dan HRT 8 jam. Jika kadar substrat cukup rendah (200 - 700 mg/L) maka reduksi COD hampir
sempurna, 95% yang terjadi pada 30 oC dan HRT 10 jam. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar