Robin Williams, Fenomena Depresi
Selebritis
Oleh Gede H. Cahyana
Robin
Williams, aktor terkenal Hollywood dinyatakan meninggal
karena bunuh diri. Beritanya luas tersebar dan menimbulkan kesedihan bagi
penggemarnya. Sekian tahun silam, hal serupa terjadi juga pada penggemar
Michael Jackson, Whitney Houston dan sejumlah lagi artis yang lain. Temuan forensik
menyatakan, mereka mengonsumsi narkoba (misalnya
kokain, ganja, dll), selain kecanduan minuman keras (alkohol). Pada saat yang
sama, mereka pun memiliki masalah sosial di lingkungan rumah dan
komunitasnya, seperti perkumpulan artis, arisan, olah raga (golf, layar, kapal pesiar, dll).
Menurut Stewart Wolf dan John G. Bruhn,
kehidupan sosial sangat besar pengaruhnya pada kasus stres dan depresi di kalangan masyarakat umum, apalagi selebritis. Dalam laporan risetnya, Bruhn menyatakan, “… family and community support is
disappearing. Most of the men who have hearth attacks here were living under stress
and really had nowhere to relieve that pressure …. These people have given up
something and it’s killing them.”
Sebelum itu, yaitu tahun 1961, Bruhn justru memperoleh hasil yang oposif
dan menyatakan bahwa masyarakat Roseto terbaik kehidupan sosialnya sehingga
disebut kota ajaib (miracle city).
Kemampuan merilis stres dan relaksasi dalam komunitas sosial, baik di kantor maupun di rumah, juga di perkumpulan sosial - ekonomi - budaya lainnya, menjadi kunci dalam pengendalian diri. Sikap egois, seperti kata aktor Todd Bridges, teman Robin Williams, dapat menjadi salah satu pemantik bunuh diri (racun diri). "Itu tindakan yang sangat egoistis," cetus Todd Bridges. "Mintalah kepada Tuhan untuk membantu Anda. Percayalah pada kekuatan doa." Seorang Todd pun, percaya pada kekuatan doa, menurut agamanya. Doa, dalam kehidupan ini, adalah representasi kegiatan sosial (jamaah) pada saat di gereja misalnya, atau di masjid. Kekerapan ibadah di gereja atau di masjid bagi muslim, bisa menjadi senjata ampuh menangkis depresi. Ibadah adalah manifestasi kehidupan sosial atau jamaah, saling membutuhkan antarsesama, antarumat dalam satu agama.
Variasi
kehidupan sosial begitu tampak nyata di kalangan
selebritis. Selebritis kerapkali bertingkah aneh agar makin terkenal atau
minimal tetap terkenal, misalnya gonta-ganti pacar, kawin-cerai, selingkuh, membuat kericuhan di mall, café, atau media sosial
dengan berbagai pose foto yang vulgar “menantang”. Inilah awal depresi.
Sehat fisiknya, tetapi sakit psikisnya. Definisi
sehat menurut organisasi kesehatan dunia, WHO (World Health Organization), sehat adalah state of complete physical, mental, and social
well-being, not merely the absence of disease or infirmity. Sehat
ialah keadaan sejahtera sempurna jasmani, rohani, dan sosial, tak hanya tanpa
adanya penyakit atau kelemahan saja. Agar bisa disebut orang sehat harus
dipenuhi tiga syarat: jasmani, rohani, dan sosial.
Sejumlah
gangguan jiwa yang bisa mengawali depresi antara lain:
1. Cemas.
Rasa ini muncul karena kehilangan makna hidup. Secara fitri kita punya
kebutuhan akan makna hidup yang hanya bisa dimiliki oleh pejuang yang
menyumbangkan sesuatu untuk orang lain. Orang-orang cemas biasanya mengikuti trend dan tuntutan sosial yang belum
tentu benar. Sesekali saja dia merasakan kenikmatan sekejap yang palsu.
Akibatnya terjadilah gangguan jiwa.
2. Sepi.
Ini muncul karena hubungan silaturahmi sudah tak tulus lagi tapi memakai
topeng-topeng sosial yang palsu sehingga hubungan menjadi gersang, mengidap
rasa sepi yang kronis padahal berada di keramaian. Tak bisa menikmati senyum
orang lain sebab dianggap topeng belaka seperti ketika dia tersenyum kepada
orang lain. Pujian dipandangnya sebagai basa-basi belaka.
3. Bosan.
Inilah akibat rasa cemas dan sepi yang berkepanjangan. Hidupnya tak bergairah.
Jiwanya kosong, mirip orang yang bermobil mewah tapi jiwanya becak; berponsel tapi
memakai bahasa isyarat tangan. Makan makanan merek luar negeri tapi wawasan
gizinya masih oncom (tak berarti oncom tak bergizi, ini sekadar misal). Harta,
tahta, dan jabatannya tinggi tapi jiwanya hampa. Semua atribut, simbol, gelar,
baju, sepatu, dasi, mobil, cincin, arloji, rumah, dan banyak lagi yang lain
tampak modern namun pikirannya tidak menguasai ilmu-teknologi. Di pentas nikmat
sekejap, sampai di rumah dia cemas dan sepi kembali.
4. Perilaku
menyimpang. Kalau rasa cemas, sepi dan bosannya terus menggayut, maka dia
mudah melakukan perilaku buruk tanpa sadar seperti merampok padahal dia tak
butuh uang, memperkosa tanpa tahu siapa yang diperkosa, membunuh tanpa ada
sebab kenapa harus membunuh sehingga hidupnya menjadi semrawut.
5. Psikosomatik.
Empat hal di atas jika terus terjadi dapat menyebabkan sakit fisik, sakit
lantaran faktor jiwa dan sosial. Menjadi psikosomatik. Yang
sakit jiwanya, tapi dalam ujud sakit fisik. Makanya tak heran dia selalu
mengeluh jantungnya berdeba-debar tanpa sebab, merasa lemah, tak enak badan
atau tidak bisa konsentrasi dan sakit maag
(tukak lambung). Akhir dari akumulasi tersebut adalah
depresi yang tidak bisa lagi berbalik pulih (irreversible) dan berakhir dengan bunuh diri, racun diri, over dosis
narkoba.
Semoga
kejadian serupa tidak terjadi di Indonesia. *