Jawaban atas pertanyaan redaktur MAM Perpamsi perihal penswastaan air Jakarta. Ulasan dimuat ringkas di MAM edisi Maret 2019.
Pertanyaan:
1. Dari
kacamata Anda, bisa dijelaskan apa yang melatarbelakangi terjadinya
swastanisasi air di Jakarta, dikaitkan dengan fenomena cengkramanan para
investor air dunia yang masuk ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia?
Sebegitu seksinya bisnis air, padahal di satu sisi air disebut-sebut sebagai
salah satu bagian dari HAM, dimana negara bertanggung jawab atas pemenuhan hak
rakyat atas air (termasuk hak untuk memperoleh tarif yang pantas).
Yang paling tahu alasan
penswastaan atau privatisasi PAM Jaya lebih dari 20 tahun lalu itu tentu para pejabat
di PAM Jaya dan pemerintah provinsi pada masa itu. Namun demikian, ada dua
kepentingan yang bisa dibahas, yaitu kepentingan PAM Jaya dan kepentingan
korporasi asing. Kepentingan PAM Jaya (yang juga menjadi kepentingan pemerintah
provinsi DKI Jakarta) pada masa itu adalah ingin meluaskan area servisnya
(layanan) kepada masyarakat. Area servis adalah ujung tombak layanan sektor
air. Makin luas layanan, makin besar pendapatan dan makin banyak warga yang
percaya kepada PAM Jaya. Apalagi air sangat dibutuhkan oleh dunia perdagangan,
mulai dari warung nasi, makanan – minuman produk rumah tangga, sampai ke bisnis
besar berorientasi ekspor, Semua butuh air bersih. Ini semua otomatis memutar
roda ekonomi masyarakat dan pemerintah provinsi memperoleh pendapatan dari
aktivitas komersial ini. Belum lagi kebutuhan air bersih di setiap kantor
pemerintah, swasta, dan pusat bisnis berupa mall, hotel, lokasi wisata seperti
Ancol, ribuan sekolah dan kampus. Ini pasar yang besar dan menggiurkan jika
dibuatkan analisis bisnisnya.
Pada saat yang sama, finansial
yang dimiliki PAM Jaya dan pemerintah DKI Jakarta, seperti umumnya PDAM pada
waktu itu, terbatas untuk peningkatan penyediaan air baku, pengolahan, dan
distribusinya. Itu sebabnya, PAM Jaya melirik swasta (terutama asing yang
dianggap berpengalaman pada waktu itu) untuk membantu dengan pola kerjasama
bisnis. Apalagi ada bantuan utang dari Bank Dunia dan bank lainnya dan dengan
kalkulasi yang mungkin dianggap menguntungkan PAM Jaya dan pemerintah provinsi.
Tidak mudah memperoleh dana pinjaman (apalagi tanpa agunan) di dunia perbankan.
Ini disodori pinjaman tentu diambil dengan syarat dan ketentuan yang berlaku
dan ditulis di dalam MoU dan perjanjian kerja resmi lainnya.
Akhirnya sejarah
mencatat, masuklah saat itu Palyja - PAM Lyonnaise Jaya, perusahaan Prancis yang mengurusi daerah servis
sisi Barat Ciliwung. Juga Thames, perusahaan dari Inggris yang mengelola
sisi Timur Ciliwung. Adapun korporasi asing tersebut sudah pula mengelola
perusahaan air di berbagai negara lain dengan skema bisnis murni. Lantaran
perusahaan swasta inilah maka tarif air menjadi naik dan cenderung mahal.
Padahal air adalah senyawa yang menentukan sehat – sakit seseorang. Air adalah hak
asasi manusia. Itu sebabnya, the founding fathers kita sudah menetapkan
pasal sosioekologis (pasal 33 UUD 1945) yang menjadi landasan konstitusional
dalam pengelolaan sumber daya air, khususnya air minum.
2. Mengapa
swastanisasi air di Jakarta harus dilakukan pemerintah saat itu? Apa yang salah
dari operator eksisting, yakni PAM Jaya?
Seperti uraian di poin
satu di atas, pemerintah provinsi DKI Jakarta (atau PAM Jaya) ingin meluaskan
area servisnya, sebagai kewajiban utama bidang pelayanan air minum, tetapi ada
kendala finansial. Sebab-sebab kendala ini bisa terjadi karena kurang efisien
dalam setiap tahap pengolahan air, kualitas pipa transmisi – distribusi,
manajemen keuangan, biaya operasional, perawatan, dan efektivitas penarikan
tarif ke setiap pelanggan. Isu terbesar waktu itu adalah kebocoran air, baik
alasan teknis maupun administratif, termasuk kesulitan penagihan tunggakan dan
pemutusan sambungan rumah (kantor). Masalah yang jamak di PDAM umumnya adalah efisiensi
produksi, efisiensi pengelolaan aset, tarif air yang dianggap rendah, dan area
servisnya belum luas, profesionalitas pegawai PAM Jaya. Pendek kata, masalahnya
berkisar pada P (pegawai). D (desain instalasi), A (area servis), dan M
(manajemen). Harapan yang digantungkan adalah perbaikan kualitas keempat unsur
itu: unsur P, unsur D, unsur A, unsur M.
3. Kabar
terbaru, Pemprov DKI Jakarta berencana mengambilalih pengelolaan air dari pihak
swasta (PT Aetra Air Jakarta dan PT Palyja) demi memperluas cakupan akses air.
Demikian disampaikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam konferensi pers
di Balai Kota Jakarta, Senin, 11 Februari 2019. Selaku akademisi, penulis dan
pengamat mengenai air, menurut Anda sudah
tepatkah langkah yang hendak diambil Pemrov DKI Jakarta. Mengapa?
Keputusan yang diambil
tentu sudah dengan pertimbangan. Parameternya dikaji oleh tim pemerintah
provinsi dan mereka tentu bisa membuat keputusan yang diasumsikan tepat untuk
saat ini. Sebagai akademisi, hak saya tentu hanya evaluasi dengan data yang
tersedia di media masa. Dengan data yang dirilis oleh pemerintah provinsi DKI
Jakarta bahwa capaian layanan jauh di bawah target yang disepakati, maka
wajarlah pemerintah DKI meninjau ulang kontrak kerjasamanya. Dasarnya adalah
kewajiban pemerintah untuk memudahkan warganya dalam memperoleh air bersih dan
air minum dengan harga yang terjangkau oleh mayoritas warganya. Poin ini
menjadi alasan kuat dalam pemutusan kerja sama atau apapun istilahnya.
Sementara itu,
pemerintah hendaklah mengkaji kembali kualitas sumber daya manusia yang akan
mengelola PAM Jaya. Tersediakah? Minimal sudah memiliki ilmu, teknologi, dan
keterampilan dalam pekerjaan yang ada di PDAM, mulai dari sumber air,
transmisi, distribusi, mekanikal elektrikal, manajemen, dan pendekatan sosial
kepada warga yang mungkin saja protes sewaktu-waktu. Apabila kualitas layanan
dirasakan lebih buruk daripada sebelumnya maka protes akan berdampak luas pada
kinerja PAM Jaya. Jauh lebih buruk daripada sebelum ada privatisasi. Namun
apabila positif hasilnya, warga menerima dengan senang, dengan indikator kualitas
air, kuantitas air, kontinu 24 jam maka masyarakat akan berkesimpulan bahwa
pemerintah DKI berhasil dalam ambil alih perusahaan asing tersebut.
4. Dalam
satu tulisan di blog pribadi, Anda menulis privatisasi lebih banyak
menyengsarakan PDAM dan rakyat. Bisa dijelaskan?
Privatisasi yang
dimaksud di blog itu adalah seperti pola kerjasama bisnis yang sedang
berlangsung di PAM Jaya. Bukan peran swasta dalam proyek-proyek di PDAM. Pelibatan
swasta dalam pekerjaan di PDAM sudah lama terjadi dan sedang berlangsung sampai
sekarang. Jasa konsultan, kontraktor, supplier zat kimia dan mekanikal
elektrikal, termasuk tenaga ahli sudah biasa di PDAM. Privatisasi yang dimaksud
adalah seperti dikelola oleh Aetra dan Palyja.
Faktanya, PDAM lebih
banyak menjadi objek penderita daripada pelaksana. Sedangkan rakyat menjadi
subjek yang dirugikan akibat tarif airnya yang terus naik. Padahal untuk hidup
sehat higienis maka air harus cukup, misalnya 150 liter per orang sehari.
Kualitasnya juga memenuhi baku mutu air minum.
5. Menurut
Gub DKI Jakarta Anies Baswedan, tahun 1998 saat swastanisasi dimulai, cakupan
awal pelayanan air minum di DKI Jakarta sebesar 44,5 %. Sudah 20 tahun berjalan
dari 25 tahun yang ditargetkan hanya meningkat menjadi 59,4 % di 2017. Jadi
selama 20 tahun hanya meningkat 14,9 %, sementara target akhir 2023 sebesar 82
%. Apakah alasan ini cukup logis untuk sesegera mungkin dilakukan takeover
pengelolaan air di Jakarta dari swasta?
Mari dihitung saja
pertumbuhan layanan pertahun, kita anggap saja sebaran pertumbuhan itu merata
per tahun meskipun faktanya tentu tidak demikian. Saya belum punya data
pertumbuhan layanan dari tahu ke tahun. Anggap saja mengikuti pola aritmetika,
maka reratanya adalah 0,745%. Kurang dari satu persen. Artinya, dengan asumsi
ini betul maka dalam empat tahun ke depan, hingga tahun 2023 cakupan layanan
hanya bertambah 0,745% x 4 = 2,98%, menjadi 17,88%. Ada selisih 64.12%. Ini
angka yang sangat besar.
6. Kerugian/dampak
seperti apa yang akan diterima jika Pemvrop DKI tidak segera mengambilalih
pengelolaan air oleh swasta?
Jawaban ini masih
berkaitan dengan pertanyaan nomor 5 di atas. Persentase layanan kepada
masyarakat tidak akan bisa tumbuh dengan laju yang lebih besar apabila tetap
dikelola oleh swasta. Dua puluh tahun adalah waktu yang relatif cukup untuk
meluaskan area servis (layanan). Kerugian yang pertama akan menimpa masyarakat.
Sulit memperoleh air dan harganya mahal. Yang kedua adalah kerugian pada
pemerintah DKI Jakarta secara ekonomi karena terkendalam dalam memperbarui
rencana capaian (target) baru dalam sisa masa pemerintahannya. Ini dampaknya
juga ke politis, yaitu menurunkan apresiasi warga Jakarta terhadap kinerja
bidang air minum pemerintah DKI Jakarta.
7. Pelajaran
apa yang bisa dipetik dari privatisasi air Jakarta, terutama bagi Pemda selaku
pemilik BUMD air, dan PDAM selaku operator?
Ada hikmahnya. Banyak
pelajaran dari privatisasi air minum di DKI Jakarta. Pemerintah daerah dan PDAM
hendaklah mengacu terus pada fungsinya selaku pelaksana pasal sosioekologis,
pasal 33 UUD 1945. Tafsiran pasal ini adalah memberikan amanat kepada
pemerintah dan perusahaan yang dibentuknya untuk memanfaatkan bumi dan air dan
SDA lainnya untuk masyarakat. Khusus air, PDAM menjadi perusahaan yang tepat
bagi pemerintah daerah. Apalagi sekarang, setelah UU dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi, maka PDAM tidak perlu lagi lirik kanan-kiri ke perusahaan
asing untuk mengelola airnya. Kelola mandiri tentu bisa, walaupun butuh proses,
perlu pelatihan SDM, strata pendidikan yang sesuai dengan bidang tugas di PDAM
dan bertukar pengalaman dengan PDAM lainnya di Indonesia. Sudah ditulis di
atas, PDAM hendaklah menguatkan kualitas pegawainya (P), memperbarui desain (D)
terutama instalasi yang mengolah air permukaan yang tercemar limbah industri
dan pertanian, terus meluaskan area (A) servisnya, dan meningkatkan mutu
manajemennya (M).
Pada
saat yang sama tentu kinerja PDAM bergantung pada dinas dan instansi lainnya.
Sumber air permukaan, misalnya, perlu kesepakatan bersama dan kepala daerah
memberikan akomodasi dan keadilan kepada semua dinas dan PDAM bahwa air yang
mereka kelola adalah milik masyarakat setempat. Pemerintah membantu PDAM agar
masyarakat yang bukan pelanggan PDAM ikut peduli pada PDAM. Minimal melaporkan
kalau ada kebocoran pipa atau pencurian air. Membangun rasa peduli ini tidka
mudah, karena berkaitan dengan kognitif masyarakat tentang air minum dan
lingkungan dan sisi afektif yang mau bergerak membantu dan psikomotoriknya.