Zonasi Zaman Dulu
Sekolah saya dimulai dari TK. TK Bhayangkari waktu itu. Dua tahun belajar, barulah dinyatakan lulus. Tanpa zonasi. Seingat saya, hanya ada dua atau tiga TK waktu itu. Di tempat tinggal, di kota kecil bernama Tabanan. Kota ini sejak tahun 1960-an adalah lumbung murid teladan di Bali, selain sebagai lumbung padi untuk provinsi Bali.
Masuk ke SD, bebas. Di mana saja boleh sekolah. Mau SD negeri yang mana saja boleh. Waktu itu ada SD 1, SD, 5, SD 10, SD 13 dalam satu kompleks halaman sekolah. Entah kenapa, saya masuk ke SD 10. SD ini lantas berubah menjadi SD 6. Mau SD swasta, waktu itu ada SD Saraswati, juga boleh.
Selepas SD lalu masuk SLTP, ini istilahnya waktu itu. Saya ikut tes masuk SMPN 1, SMP Harapan, dan SLUB Saraswati. Semuanya lulus. Saya pilih SMPN 1 Tabanan. Waktu itu ada zonasi. Domisili saya dekat ke SMPN 1 Tabanan. Saudara sepupu saya lebih dekat ke SMPN 2. Bagaimana pastinya peraturan zonasi waktu itu, tidak jelas bagi saya. Saya hanya ikut arus, ikut banyaknya teman, bagaimana saran orangtua dan pendapat orang-orang.
Setelah belajar tiga tahun, luluslah dari SMP dan lanjut ke SMA. Waktu itu rangking saya nomor 1. Sebutannya juara umum 1 seangkatan. Ada enam kelas. Kelas A s.d kelas F. Sekitar 240 – an murid. Dengan rangking ini, saya sudah langsung diterima di SMAN 1 Tabanan. Tapi karena ingin merasakan ujian masuk SMA, maka saya tetap ikut ujian. Waktu itu saya dan teman-teman SMPN 1 test ke SMAN 1. Yang lulus dari SMPN 2 maka jatahnya di SMAN 2 Tabanan. Zonasinya berdasarkan sekolah asal. Seingat saya begitu. Tapi ini tidak berlaku ketat, karena banyak juga teman dari daerah jauh yang masuk ke SMAN 1 Tabanan. Ada dari Pupuan, Baturiti, Penebel, Kerambitan, dll. Bahkan ada yang pindahan dari Kabupaten Jembrana. Waktu itu cukup longgar zonasinya dan hanya berlaku lokal. Mungkin juga karena di kecamatan tersebut belum ada sekolah setingkat SLTA atau SMA.
Zonasi selanjutnya adalah waktu masuk ke perguruan tinggi. Waktu itu ada istilah Proyek Perintis 1, 2, dan 3. Juga ada istilah PMDK dan Sipenmaru. Zaman itu, Bali masuk ke wilayah atau rayon tiga. Calon mahasiswa hanya boleh memilih satu jurusan di luar rayonnya. Kalau lulus PMDK maka harus diambil. Kalau tidak, maka dipastikan tidak akan bisa ikut ujian karena jadwal ujian masuk PT bersamaan waktunya dengan pendaftaran masuk bagi yang lulus PMDK.
Karena hanya ada satu pilihan untuk di luar rayon, maka hanya dipilih satu jurusan di ITB. Jurusan Teknik Penyehatan (Teknik Lingkungan). Lantaran kuat cita-cita kuliah di ITB, maka pilihan kedua tidak diisi. Jadi hanya isi pilihan yang di luar rayon, yaitu di rayon 1 (ITB). Rayon Bali kosong. Apabila gagal, maka saya akan ikut ujian Sipenmaru. Waktu itu bertekad akan bimbel ke Bandung dan mendaftar juga di Bandung agar bisa memilih dua jurusan di ITB. Ternyata lulus PMDK dan menuntaskannya hingga menjadi sarjana.
Zonasi masa lalu seperti itu. Masa kini, penuh liku. Lika liku yang timbulkan luka antar tetangga. Antarteman. Antarsaudara. Lantas, haruskah zonasi ini terus dilaksanakan? *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar