• L3
  • Email :
  • Search :

23 Juni 2019

Batal Privatisasi Air di PAM Jakarta

Jawaban atas pertanyaan redaktur MAM Perpamsi perihal penswastaan air Jakarta. Ulasan dimuat ringkas di MAM edisi Maret 2019. 

Pertanyaan:
1. Dari kacamata Anda, bisa dijelaskan apa yang melatarbelakangi terjadinya swastanisasi air di Jakarta, dikaitkan dengan fenomena cengkramanan para investor air dunia yang masuk ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia? Sebegitu seksinya bisnis air, padahal di satu sisi air disebut-sebut sebagai salah satu bagian dari HAM, dimana negara bertanggung jawab atas pemenuhan hak rakyat atas air (termasuk hak untuk memperoleh tarif yang pantas).


Yang paling tahu alasan penswastaan atau privatisasi PAM Jaya lebih dari 20 tahun lalu itu tentu para pejabat di PAM Jaya dan pemerintah provinsi pada masa itu. Namun demikian, ada dua kepentingan yang bisa dibahas, yaitu kepentingan PAM Jaya dan kepentingan korporasi asing. Kepentingan PAM Jaya (yang juga menjadi kepentingan pemerintah provinsi DKI Jakarta) pada masa itu adalah ingin meluaskan area servisnya (layanan) kepada masyarakat. Area servis adalah ujung tombak layanan sektor air. Makin luas layanan, makin besar pendapatan dan makin banyak warga yang percaya kepada PAM Jaya. Apalagi air sangat dibutuhkan oleh dunia perdagangan, mulai dari warung nasi, makanan – minuman produk rumah tangga, sampai ke bisnis besar berorientasi ekspor, Semua butuh air bersih. Ini semua otomatis memutar roda ekonomi masyarakat dan pemerintah provinsi memperoleh pendapatan dari aktivitas komersial ini. Belum lagi kebutuhan air bersih di setiap kantor pemerintah, swasta, dan pusat bisnis berupa mall, hotel, lokasi wisata seperti Ancol, ribuan sekolah dan kampus. Ini pasar yang besar dan menggiurkan jika dibuatkan analisis bisnisnya.

Pada saat yang sama, finansial yang dimiliki PAM Jaya dan pemerintah DKI Jakarta, seperti umumnya PDAM pada waktu itu, terbatas untuk peningkatan penyediaan air baku, pengolahan, dan distribusinya. Itu sebabnya, PAM Jaya melirik swasta (terutama asing yang dianggap berpengalaman pada waktu itu) untuk membantu dengan pola kerjasama bisnis. Apalagi ada bantuan utang dari Bank Dunia dan bank lainnya dan dengan kalkulasi yang mungkin dianggap menguntungkan PAM Jaya dan pemerintah provinsi. Tidak mudah memperoleh dana pinjaman (apalagi tanpa agunan) di dunia perbankan. Ini disodori pinjaman tentu diambil dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dan ditulis di dalam MoU dan perjanjian kerja resmi lainnya.

Akhirnya sejarah mencatat, masuklah saat itu Palyja - PAM Lyonnaise Jaya, perusahaan Prancis yang mengurusi daerah servis sisi Barat Ciliwung. Juga Thames, perusahaan dari Inggris yang mengelola sisi Timur Ciliwung. Adapun korporasi asing tersebut sudah pula mengelola perusahaan air di berbagai negara lain dengan skema bisnis murni. Lantaran perusahaan swasta inilah maka tarif air menjadi naik dan cenderung mahal. Padahal air adalah senyawa yang menentukan sehat – sakit seseorang. Air adalah hak asasi manusia. Itu sebabnya, the founding fathers kita sudah menetapkan pasal sosioekologis (pasal 33 UUD 1945) yang menjadi landasan konstitusional dalam pengelolaan sumber daya air, khususnya air minum.

2. Mengapa swastanisasi air di Jakarta harus dilakukan pemerintah saat itu? Apa yang salah dari operator eksisting, yakni PAM Jaya?

Seperti uraian di poin satu di atas, pemerintah provinsi DKI Jakarta (atau PAM Jaya) ingin meluaskan area servisnya, sebagai kewajiban utama bidang pelayanan air minum, tetapi ada kendala finansial. Sebab-sebab kendala ini bisa terjadi karena kurang efisien dalam setiap tahap pengolahan air, kualitas pipa transmisi – distribusi, manajemen keuangan, biaya operasional, perawatan, dan efektivitas penarikan tarif ke setiap pelanggan. Isu terbesar waktu itu adalah kebocoran air, baik alasan teknis maupun administratif, termasuk kesulitan penagihan tunggakan dan pemutusan sambungan rumah (kantor). Masalah yang jamak di PDAM umumnya adalah efisiensi produksi, efisiensi pengelolaan aset, tarif air yang dianggap rendah, dan area servisnya belum luas, profesionalitas pegawai PAM Jaya. Pendek kata, masalahnya berkisar pada P (pegawai). D (desain instalasi), A (area servis), dan M (manajemen). Harapan yang digantungkan adalah perbaikan kualitas keempat unsur itu: unsur P, unsur D, unsur A, unsur M.

3. Kabar terbaru, Pemprov DKI Jakarta berencana mengambilalih pengelolaan air dari pihak swasta (PT Aetra Air Jakarta dan PT Palyja) demi memperluas cakupan akses air. Demikian disampaikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam konferensi pers di Balai Kota Jakarta, Senin, 11 Februari 2019. Selaku akademisi, penulis dan pengamat mengenai air, menurut Anda sudah tepatkah langkah yang hendak diambil Pemrov DKI Jakarta. Mengapa?

Keputusan yang diambil tentu sudah dengan pertimbangan. Parameternya dikaji oleh tim pemerintah provinsi dan mereka tentu bisa membuat keputusan yang diasumsikan tepat untuk saat ini. Sebagai akademisi, hak saya tentu hanya evaluasi dengan data yang tersedia di media masa. Dengan data yang dirilis oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta bahwa capaian layanan jauh di bawah target yang disepakati, maka wajarlah pemerintah DKI meninjau ulang kontrak kerjasamanya. Dasarnya adalah kewajiban pemerintah untuk memudahkan warganya dalam memperoleh air bersih dan air minum dengan harga yang terjangkau oleh mayoritas warganya. Poin ini menjadi alasan kuat dalam pemutusan kerja sama atau apapun istilahnya.

Sementara itu, pemerintah hendaklah mengkaji kembali kualitas sumber daya manusia yang akan mengelola PAM Jaya. Tersediakah? Minimal sudah memiliki ilmu, teknologi, dan keterampilan dalam pekerjaan yang ada di PDAM, mulai dari sumber air, transmisi, distribusi, mekanikal elektrikal, manajemen, dan pendekatan sosial kepada warga yang mungkin saja protes sewaktu-waktu. Apabila kualitas layanan dirasakan lebih buruk daripada sebelumnya maka protes akan berdampak luas pada kinerja PAM Jaya. Jauh lebih buruk daripada sebelum ada privatisasi. Namun apabila positif hasilnya, warga menerima dengan senang, dengan indikator kualitas air, kuantitas air, kontinu 24 jam maka masyarakat akan berkesimpulan bahwa pemerintah DKI berhasil dalam ambil alih perusahaan asing tersebut.

4. Dalam satu tulisan di blog pribadi,  Anda menulis privatisasi lebih banyak menyengsarakan PDAM dan rakyat. Bisa dijelaskan?

Privatisasi yang dimaksud di blog itu adalah seperti pola kerjasama bisnis yang sedang berlangsung di PAM Jaya. Bukan peran swasta dalam proyek-proyek di PDAM. Pelibatan swasta dalam pekerjaan di PDAM sudah lama terjadi dan sedang berlangsung sampai sekarang. Jasa konsultan, kontraktor, supplier zat kimia dan mekanikal elektrikal, termasuk tenaga ahli sudah biasa di PDAM. Privatisasi yang dimaksud adalah seperti dikelola oleh Aetra dan Palyja.

Faktanya, PDAM lebih banyak menjadi objek penderita daripada pelaksana. Sedangkan rakyat menjadi subjek yang dirugikan akibat tarif airnya yang terus naik. Padahal untuk hidup sehat higienis maka air harus cukup, misalnya 150 liter per orang sehari. Kualitasnya juga memenuhi baku mutu air minum.  

5. Menurut Gub DKI Jakarta Anies Baswedan, tahun 1998 saat swastanisasi dimulai, cakupan awal pelayanan air minum di DKI Jakarta sebesar 44,5 %. Sudah 20 tahun berjalan dari 25 tahun yang ditargetkan hanya meningkat menjadi 59,4 % di 2017. Jadi selama 20 tahun hanya meningkat 14,9 %, sementara target akhir 2023 sebesar 82 %. Apakah alasan ini cukup logis untuk sesegera mungkin dilakukan takeover pengelolaan air di Jakarta dari swasta?

Mari dihitung saja pertumbuhan layanan pertahun, kita anggap saja sebaran pertumbuhan itu merata per tahun meskipun faktanya tentu tidak demikian. Saya belum punya data pertumbuhan layanan dari tahu ke tahun. Anggap saja mengikuti pola aritmetika, maka reratanya adalah 0,745%. Kurang dari satu persen. Artinya, dengan asumsi ini betul maka dalam empat tahun ke depan, hingga tahun 2023 cakupan layanan hanya bertambah 0,745% x 4 = 2,98%, menjadi 17,88%. Ada selisih 64.12%. Ini angka yang sangat besar.

6. Kerugian/dampak seperti apa yang akan diterima jika Pemvrop DKI tidak segera mengambilalih pengelolaan air oleh swasta?

Jawaban ini masih berkaitan dengan pertanyaan nomor 5 di atas. Persentase layanan kepada masyarakat tidak akan bisa tumbuh dengan laju yang lebih besar apabila tetap dikelola oleh swasta. Dua puluh tahun adalah waktu yang relatif cukup untuk meluaskan area servis (layanan). Kerugian yang pertama akan menimpa masyarakat. Sulit memperoleh air dan harganya mahal. Yang kedua adalah kerugian pada pemerintah DKI Jakarta secara ekonomi karena terkendalam dalam memperbarui rencana capaian (target) baru dalam sisa masa pemerintahannya. Ini dampaknya juga ke politis, yaitu menurunkan apresiasi warga Jakarta terhadap kinerja bidang air minum pemerintah DKI Jakarta.

7. Pelajaran apa yang bisa dipetik dari privatisasi air Jakarta, terutama bagi Pemda selaku pemilik BUMD air, dan PDAM selaku operator?

Ada hikmahnya. Banyak pelajaran dari privatisasi air minum di DKI Jakarta. Pemerintah daerah dan PDAM hendaklah mengacu terus pada fungsinya selaku pelaksana pasal sosioekologis, pasal 33 UUD 1945. Tafsiran pasal ini adalah memberikan amanat kepada pemerintah dan perusahaan yang dibentuknya untuk memanfaatkan bumi dan air dan SDA lainnya untuk masyarakat. Khusus air, PDAM menjadi perusahaan yang tepat bagi pemerintah daerah. Apalagi sekarang, setelah UU  dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka PDAM tidak perlu lagi lirik kanan-kiri ke perusahaan asing untuk mengelola airnya. Kelola mandiri tentu bisa, walaupun butuh proses, perlu pelatihan SDM, strata pendidikan yang sesuai dengan bidang tugas di PDAM dan bertukar pengalaman dengan PDAM lainnya di Indonesia. Sudah ditulis di atas, PDAM hendaklah menguatkan kualitas pegawainya (P), memperbarui desain (D) terutama instalasi yang mengolah air permukaan yang tercemar limbah industri dan pertanian, terus meluaskan area (A) servisnya, dan meningkatkan mutu manajemennya (M).

Pada saat yang sama tentu kinerja PDAM bergantung pada dinas dan instansi lainnya. Sumber air permukaan, misalnya, perlu kesepakatan bersama dan kepala daerah memberikan akomodasi dan keadilan kepada semua dinas dan PDAM bahwa air yang mereka kelola adalah milik masyarakat setempat. Pemerintah membantu PDAM agar masyarakat yang bukan pelanggan PDAM ikut peduli pada PDAM. Minimal melaporkan kalau ada kebocoran pipa atau pencurian air. Membangun rasa peduli ini tidka mudah, karena berkaitan dengan kognitif masyarakat tentang air minum dan lingkungan dan sisi afektif yang mau bergerak membantu dan psikomotoriknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar