Menanggulangi Kelangkaan Air. Inilah tema peringatan Hari Air Sedunia pada 22 Maret 2007. Apakah Bumi sedang kesulitan air? Bumi memang sedang krisis air dan disinyalir akan memantik Perang Dunia III. Hilangkah uap air yang lepas ke angkasa? Tidak! Dalam daur air (siklus hidrologi), jumlah airnya tetap tetapi wujudnya berubah: ada yang cair, padat (es) dan gas (uap). Planet ini malah disebut “planet air” karena 70% luasnya diliputi air. Sayangnya, hanya 0,6191% berupa air tawar yang tersebar di sungai, danau, waduk, rawa, dan air tanah. Yang berwujud es, salju, gletser 2,14% dan sisanya 97,308% berupa laut. Oleh sebab itu, planet biru ini bisa juga disebut Waterworld, seperti judul film yang dilakoni Kevin Kostner.
Film yang berkisah tantang “perang air” itu sebetulnya sudah terjadi dalam skala lokal-regional. Lihatlah konflik yang terjadi di DAS Mekong, sebuah sungai yang berhulu di Cina dan melewati sejumlah negara di Asia Tenggara. Sungai Nil di Afrika dan Sungai Jordan juga memicu konflik serupa. Konflik Israel dan Palestina pun berkaitan dengan air selain problem “tanah yang dijanjikan”. Singapura pun berang atas Malaysia lantaran pasokan air bakunya yang dari Johor diubah menjadi air bersih dengan harga lebih mahal. Rio Grande di Mexico pun nyaris serupa itu. Akar masalahnya bersumber pada fenomena hulu-hilir yang berkaitan dengan persepsi, kebijakan, dan manajemen air. Masyarakat hulu merasa tak dipedulikan oleh hilir dan yang di hilir merasa dikotori oleh penghuni hulu.
Dalam skala regional Jawa, DAS (Bengawan) Solo yang dimanfaatkan oleh 14 kabupaten di Jawa Tengah dan Timur juga kritis, mulai dari waduk Gajah Mungkur di Wonogiri. Malah waduk yang awalnya dijadikan daerah tujuan wisata ini terus mendangkal dan tak lama lagi bakal “mati” lantaran tinggi erosinya, balak liar, dan buruknya koordinasi antarinstansi. Manfaatnya memang masih dirasakan terutama oleh orang yang tinggal di bawah Gunung Gandul, dekat pasar kota Wonogiri. Daerah ini menjadi lebih sejuk karena uap airnya mengalir dari waduk itu. Waduk lainnya seperti Sempor, Wadas Lintang, dan Mrica juga berkurang volumenya. Hal serupa juga terjadi di DAS Citarum yang sebetulnya merupakan tanggung jawab pemkab/pemkot Sumedang, Bandung, Cimahi, Cianjur, Karawang, Purwakarta, dan bahkan Jakarta. Cobalah semua pemkab-kota itu berdiskusi agar ketegangan di antara mereka bisa diminimalkan.
Bagaimana di tatar Bandung? Titik polemiknya berada di kawasan Bandung Utara. Sudah terbukti, sebagai penangkap-resap (tangsap) air hujan, 70% kawasannya rusak padahal potensi airnya 60% dari sumber pasokan air tanah Kota Bandung. Pada musim kemarau, potensi airnya yang bisa dimanfaatkan hanya 10% per tahun padahal kebutuhannya 182,5 juta m3. Menurut prediksi National Geographic, tahun 2015 Bandung akan berpenduduk 5,3 juta jiwa dengan kebutuhan air 386,9 juta m3/tahun (Mubiar, orasi ilmiah di Univ. Kebangsaan). Itu semua disebabkan oleh pembangunan rumah dan villa yang dimiliki oleh orang-orang berduit. Kekerasan atas lingkungan sudah terbukti pada kepunahan Situ Garunggang, Cibitung, Aksan, Saeur, Gunting, dan Aras. Yang terakhir, yang bakal musnah ialah Situ Lembang.
Simpulnya, Bandung bukan lagi di ambang krisis air, tetapi sudah krisis air. Padahal air adalah zat esensial bagi perkembangan sosial, ekonomi, dan keberlangsungan ekosistem. Terlebih lagi populasi Bandung terus meningkat sehingga meningkat pula kebutuhan airnya lantas menekan kemampuan sumber daya airnya. Aneka konflik akhirnya muncul di antara dua orang atau kelompok, baik vertikal maupun horisontal. Dua kecamatan bisa bentrok gara-gara mata air. Dua kabupaten-kota, juga dua provinsi yang berdampingan potensial memanas gara-gara sumber air, baik air tanah (groundwater) maupun sungai dan waduk (surface water). Jebol-menjebol saluran air lumrah terjadi. Bahkan pipa PDAM pun dijebol oleh warga yang ingin memperoleh air.
Kelangkaan (scarcity) tak hanya secara kuantitas, tetapi juga kualitas lantaran polutan domestik dan pabrik. Air limbah domestik (tinja) di Jakarta malah menyebabkan 68% air tanahnya tercemari bakteri E. coli. Begitu pun banyak pabrik tidak memiliki IPAL (Instalasi Pengolah Air Limbah). Yang ber-IPAL pun tidak semuanya mengoperasikan IPAL-nya secara optimal karena persoalan biaya. Tak murah memang mengoperasikan dan merawat IPAL, apalagi airnya dibuang. “Tampak” di benak pemilik pabrik bahwa IPAL hanyalah pemborosan. Konsep the end of pipe dianggap merugikan dan menambah mahal harga barang sehingga tidak kompetitif. Padahal hakikatnya tidak demikian. IPAL menguntungkan dalam jangka panjang, terkait dengan image dan sertifikasinya apalagi ditambah dengan aplikasi clean technology.
Tetapi itulah, jarak antara das sein dan das sollen terlalu jauh. Air terus tercemar dari hari ke hari. Selain akibat ulah manusia, juga akibat kondisi iklim global. Namun perubahan iklim ini pun sebetulnya berhulu pada perilaku dan aktivitas manusia. Aktivitas yang paling besar adalah industri dan transportasi. Secara langsung dan tak langsung kedua kegiatan itu mengotori sumber air dan mereduksi potensinya. Akibatnya, kata WHO minimal 2,5 juta orang meninggal per tahun akibat krisis air bersih. Di Indonesia, 283 orang meninggal akibat diare per 100.000 orang per tahun. Kalau penduduk Indonesia 234 juta orang, berapa yang meninggal dalam setahun?
Data lain pun memiriskan hati. Menurut Bank Dunia, 2 miliar orang tak punya akses air bersih dan 3,1 miliar orang tak punya fasilitas sanitasi sehat serta 900 juta orang di 100 negara menghadapi masalah desertifikasi (penggurunan hutan). Ini berdampak pada air bersih dan sanitasi untuk mencapai MDGs, Millenium Development Goals 2015. Menurut rilis terakhir dari UN-Water, bakal ada 1,8 milyar manusia pada 2025 yang sangat sulit air dan dua pertiga penduduk dunia mengalami tekanan kekurangan air. Padahal kebutuhan tubuh akan air tak terlalu banyak. Setiap orang maksimum minum hanya 2,5 liter per hari. Kebutuhan domestik tidaklah besar. Yang banyak adalah kebutuhan pertanian, mencapai 70% dan bahkan di sejumlah negara berkembang mencapai 95%. Nyatalah betapa langkanya air justru di planet air ini.
Vietnam-Kamboja
Air bersih terus menguras perhatian pemerintah di berbagai negara. Upaya banyak dilakukan untuk menyediakan air layak minum. Dasawarsa air bersih tahap dua, yaitu periode 2005 – 2015, telah dirilis dan setiap negara diminta mengurangi sampai 50% penduduk miskinnya yang sulit air. Tetapi kekhawatiran tetap muncul karena diduga 500 juta orang di Afrika dan Asia akan kesulitan dalam sanitasi, termasuk di Indonesia.
Lantas bagaimana caranya agar tema HAS kali ini membumi di Indonesia? Satu hal yang menguntungkan kita (kalau bisa disebut menguntungkan dalam ranah berpikir positif) adalah “company” PDAM. Betapa tidak, PDAM tetap saja “diakui” sebagai perusahaan yang melayani air minum di kota-kota besar. Kondisinya beragam, ada yang sehat, ada yang sakit, ada juga yang mati suri. Dari 318 PDAM yang menjadi anggota Perpamsi, sekitar 10% saja yang sehat dalam arti sudah memperoleh laba dan mampu memberikan gaji ke-13 kepada karyawannya.
Namun demikian, tak semua PDAM mampu meluaskan layanannya. Jika demikian, mampukah pemerintah melawan water scarcity ini? Kalau hanya bertumpu pada PDAM, sampai setengah abad ke depan pun belum tentu mampu. Sebab, populasi tumbuh secara eksponensial sedangkan jaringan distribusi tumbuhnya linier aritmetika. Opsi solusinya ialah pelibatan masyarakat dengan bimbingan dari Dinas Kesehatan, Lingkungan, atau Pekerjaan Umum dengan syarat personalnya profesional. Perlu diingatkan, pemerintah tak perlu terlalu berorientasi pada layanan konvensional dalam mendistribusikan airnya. Cara-cara tradisional pun masih layak ditempuh. Yang penting air olahannya memenuhi syarat baku mutu air minum.
Pemerintah dapat melibatkan masyarakat dalam memanfaatkan teknologi tepat guna. Dengan teknologi inilah emdijis (MDGs) memperoleh dukungan komunitas. Berbagai-bagai teknologi air minum telah banyak dibuat, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Hal seperti ini ditempuh oleh negara-negara di Asia Tenggara. Misalnya, cakupan air PAM pada medio 1990-an di ibukota Kamboja, Phnom Penh hanya 15%. Hal demikian terjadi karena hancur akibat perang sehingga tak sempat membangun. Sisanya 85% memperoleh air dari pedagang air keliling dengan harga sangat mahal, mencapai 30 kali harga air ledeng di Phnom Penh. Akhirnya, setelah dievaluasi dan diadakan perluasan dengan tarif relatif murah, maka yang terjadi sebaliknya, yaitu 85% disuplai air bersih dari ledeng dan teknologi lainnya terus dikembangkan.
Juga bisa belajar dari negara bekas perang lainnya, yaitu Vietnam. Untuk memenuhi kebutuhan air skala kecil di pedesaan justru digunakan teknologi tepat guna. Mereka tidak silau menerapkan teknologi canggih yang sarat modal dan sulit dalam operasi rawatnya. Secara individual, masyarakat di sana memanfaatkan air sungai yang keruh lalu ditampung di gentong tembikar yang sudah diberi media filter. Filtratnya lantas dibubuhi kaporit sehingga siap digunakan untuk mencuci beras, sayur, dan diminum.
Bagaimana di Bandung? Sudah banyak filter yang mampu mengolah air seperti di Vietnam. Salah satunya adalah Filter ala H. Ali Dinar (FAHAD). Filter temuan H. Ali Dinar ini, seorang warga Cipamokolan Bandung, dapat menanggulangi kelangkaan air bersih di berbagai daerah, dalam berbagai kondisi. Air gambut di Kalimantan dan Sumatera pun bisa diolahnya. Air banjir Jakarta pun sudah pula diolah menjadi air bersih. Tak hanya ketika banjir atau bencana alam lainnya, ketika normal pun FAHAD bisa dimanfaatkan di permukiman kumuh untuk keperluan MCK. Juga bisa diterapkan di sepanjang bantaran sungai yang justru sering krisis air.
Menilik banyak sekali orang Indonesia yang kesulitan air bersih, maka untuk memenuhi tema HAS tahun ini yaitu, Menanggulangi Kelangkaan Air, selayaknyalah pemerintah, dalam hal ini PDAM, Dinas Kesehatan, Lingkungan, dan Pekerjaan Umum membantu perluasan distribusi air bersih, baik dengan sistem pemipaan maupun tradisional seperti filter air berbagai jenis itu. Piculah masyarakat untuk memanfaatkan aneka ragam filter yang murah dan mudah dalam perawatannya.
Selamat Hari Air Sedunia. Mari tanggulangi kelangkaan air bersama-sama. Jika demikian, perlukah waduk Jatigede, perlukah waduk Jadebotabek? Bagaimana dengan Hari Antidam pada 14 Maret lalu? Cobalah bertanya pada gemericik air di selokan. ***
Gede H. Cahyana