Tulisan ini dimuat di Majalah Air Minum, edisi 137, Februari 2007.
Tidak semua PDAM seberuntung PDAM Kota Bandung dari sisi sumber air bakunya. Walaupun debitnya cenderung turun namun PDAM ini tetap beruntung mengolah air sungai yang relatif jernih. Kekeruhannya rendah apalagi pada musim kemarau sehingga unit prased yang ada di dekat intake-nya di Sungai Cisangkuy bisa dikatakan tak perlu difungsikan. Boleh jadi dulu ketika unit itu didesain diasumsikan kadar partikel kasarnya (coarse solid) begitu tinggi untuk antisipasi duapuluh tahun kemudian. Tapi ternyata sampai sekarang air bakunya relatif jernih.
Lain di Bandung, lain juga kondisi PDAM di sejumlah kabupaten. Ada yang mudah mendapatkan air baku, ada juga yang sulit. Yang mudah memperoleh air baku, apalagi didukung oleh kualitasnya yang bagus, tentu tak banyak bermasalah. Akan menjadi masalah besar bagi PDAM yang sumber airnya sedikit sehingga tidak punya opsi lain. Misalnya, airnya berasal dari kanal yang relatif keruh, mengalir di pinggir atau bahkan di antara permukiman. Sejumlah PDAM mau tak mau harus memanfaatkan air dari kanal irigasi atau dari kanal utamanya.
Andaikata terpaksa memanfaatkan air kanal tersebut, ada cara sederhana yang digolongkan sebagai unit praolah (pretreatment) dan dapat langsung diterapkan di kanal tersebut (on-site treatment). Namanya Canal Dike Filter (CDF). Terdiri atas tiga unit modifikasi, yaitu Roughing Filter, Slow Sand Filter, dan Storage Tank, CDF ini dapat diterapkan untuk memperoleh air jernih yang siap diolah lebih lanjut. Secara sinergis unit tersebut meringankan beban unit pengolah di hilirnya (complete treatment system), terutama yang berkaitan dengan penyisihan kekeruhan.
Apa saja yang diuntungkan? Yang pertama, beban hidrolis (hydraulic loading) dan beban partikel (solid loading) di pipa transmisinya menjadi rendah. Pengurasan pipa tak perlu lagi atau tak terlalu sering. Taruhlah waktu desainnya 20 tahun, maka selama itu pula boleh jadi tidak ada pengurasan pipa transmisi. Andaipun ditransmisikan dengan saluran terbuka, sedimentasinya pun tak terlalu banyak asalkan bisa dikendalikan sumber sedimennya yang berasal dari limpasan air hujan. Oleh sebab itu, sebaiknya jangan menggunakan saluran terbuka tetapi gunakanlah pipa. Pipa jauh lebih mudah diawasi, keamanannya lebih terjamin dan investasinya pun tak jauh beda.
Yang kedua ialah proses-operasinya. Prasedimentasi tak dibutuhkan lagi. Beban unit koagulasi dan flokulasi makin ringan, kebutuhan koagulannya ikut turun sehingga makin murah ongkos produksinya. Beban sedimentasi pun turun. Operasi-rawatnya makin berkurang, terutama yang berkaitan dengan lumpur yang ditimbulkannya. Biaya listrik dan pembuangannya (disposal) otomatis berkurang. Begitu pun filter. Filtratnya bisa dihemat karena tidak perlu terlampau sering dicuci-balik (backwash) sehingga airnya bisa diubah menjadi air terjual yang berujung pada kenaikan pendapatan PDAM. Potensial dan menjanjikan bagi PDAM yang ingin menghemat biaya produksinya.
Kriteria Desain
CDF terdiri atas koral medium di bagian hulu, diikuti oleh yang berukuran lebih kecil, lalu diikuti oleh pasir (sand filter) dan media penyangga. Filtrat yang dihasilkannya lalu dikoleksi di Tangki Tampung (Storage Tank) yang sekaligus berfungsi sebagai sumpwell sebelum dipompa atau dialirkan secara gravitasi lewat pipa transmisi. Demi mencegah sampah, di bagian hulunya dipasang skrin jeruji (barscreen) dan pintu air (sluice gate) sebagai pengatur aliran.
Letak dasar CDF diupayakan minimal 1 m dari dasar kanal untuk menghindari sedimen lumpur. Makin tinggi beda jarak dasar kanal dan dasar filter akan makin baik, tetapi ini bergantung pada kedalaman kanalnya. Pada musim kemarau jangan sampai kekeringan dan ketika hujan jangan sampai air kanal meluap lalu masuk langsung dari atas filter. Untuk mencegahnya bisa dilengkapi dengan tanggul di sekelilingnya. Tutuplah filter dengan pelat agar terhindar dari blooming algae. Di bagian hulu CDF, yaitu di luar skrin jerujinya bisa dipasang tanggul pelindung agar tidak tergerus arus, terutama saat hujan.
Bagaimana medianya? Tebal media koral antara 1,0 - 1,4 m dengan lebar 4 - 6 m dan panjang 8 - 12 m. Berilah ambang bebas 30 cm. Ukuran koral pertama 0,7 - 1,0 cm setebal 1 - 2 m lalu diikuti oleh media 0,4 - 0,7 cm setebal 2 m. Keduanya berfungsi sebagai preliminary filtration (prafilter). Segmen selanjutnya ialah 0,2 - 0,4 cm dan 0,08 - 0,1 cm, masing-masing setebal 2 m. Pasir dipasang dengan ukuran efektif 0,25 - 0,3 mm setebal 1 - 2 m. Kemudian disusul oleh diameter 1 mm. Di ujung media terakhir ini dipasang kawat ram kuat dengan bukaan 1 mm. Agar tidak jatuh dan masuk ke Storage Tank, ujung dasarnya dibengkokkan ke atas setinggi 10 cm dan medianya diturunkan dengan sudut 30 - 45 derajat. Siasat ini untuk mencegah pasir dan kerikil agar tidak hanyut ke Tangki Tampung. Andaipun ada yang hanyut, semuanya akan terkumpul di ruang tadah lumpur (sludge hopper) dan bisa disedot secara hidrolis ataupun mekanis.
Setelah proses tersebut, filtratnya dikumpulkan di Tangki Tampung (Storage Tank). Jika filtrasinya berlangsung dengan baik, maka di dasar tangkinya tiada endapan. Bebas dari endapan. Airnya agak jernih. Andaipun ada endapan, volumenya tidak banyak atau hanya perlu pembersihan setahun dua kali atau setahun sekali. Tentu saja ini bergantung pada kualitas air kanalnya dan kinerja unit CDF-nya. Air jernih di tangki inilah yang lantas dialirkan ke pipa transmisi, baik lewat pompa maupun secara gravitasi. Namun demikian, apapun caranya, upayakan tidak menggunakan saluran terbuka (open channel) agar pengolahan di CDF tidak mubazir.
Adakah kendalanya? Dari sisi operasi, masalah yang biasa muncul ialah biofilm atau lanyau (slime, lendir) penyebab biofouling (sumbatan). Jasad renik ini pertumbuhannya bergantung pada hidrodinamika aliran dan kadar oksigen terlarutnya. Turbulensi aliran dapat menambah reaerasi oksigen terlarut ke dalam air sehingga pertumbuhan mikroba semakin banyak. Namun aliran yang terlalu turbulen justru bisa mematikan sel-selnya dan melepas ikatannya dari permukaan koral. Fenomena tumbuh-luruh ini (growth - sloughing off) bisa terjadi terus-menerus selama operasi filter. Inilah fakta yang bisa diamati dalam saluran (pipa) air, baik air bersih maupun air limbah.
Hanya saja, tidak semua lanyau itu merugikan. Dari sisi positifnya, lanyau justru ikut mengolah polutan organik (organik carbon: BOD, COD) dalam air sehingga airnya justru menjadi lebih bersih. Hanya saja, pertumbuhan mikroba ini tidak boleh terlalu banyak. Apalagi kalau yang tumbuh adalah algae, airnya bisa berasa dan berbau tidak enak. Kalau ingin dicegah, bubuhkanlah kaporit di Tangki Tampungnya. Preklorinasi ini diharapkan dapat membasmi algae, bakteri dan sekaligus bau-rasa air. Juga dapat mengoksidasi besi dan mangan sehingga unit aeratornya ikut terbantu (jika ada aerator) dan presipitasinya menjadi lebih cepat. Klorinasi itu pun dapat melindungi pipa transmisi dari keganasan mikroba penyebab korosi (microbially influenced corrosion, MIC).
Akhir kata, lanyau, lendir atau biofilm bisa berefek positif, bisa juga negatif. Yang dianggap negatif atau unwanted biofilm biasanya terjadi karena in the wrong place, at the wrong time, with the wrong results. Di CDF ini lanyaunya seperti pisau bermata dua. Tinggal pegawai atau operatornya yang harus mampu mengendalikannya. Patut diingat, no treatment unit is any better than its operator! Unit pengolah hanyalah benda mati, tetapi operator adalah makhluk hidup. Hidup operator. You can do the best operation-maintenance! *
Gede H. Cahyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar