Kali pertama saya mengenal mesin tik ketika kelas tiga SD. Waktu itu saya sering main ke rumah teman dan di sana ada mesin tik. Karena ingin tahu, mulailah saya tak-tik tak-tik. Bapaknya melihat apa yang saya lakukan dan beliau memberikan selembar kertas putih tipis. Setelah dipasangkan di bantalan tik, saya lantas disuruh mengetik. Satu demi satu tuts mesin tik saya tekan dan mulai mengeja huruf per huruf. Yang saya tulis adalah nama lengkap saya.
Ketika SMP saya baru tahu tentang kursus mengetik. Yang ikut kursus dijamin dapat mengetik dengan sepuluh jari dan tanpa melihat papan tik (keyboard). Tetapi waktu itu saya berkesimpulan, orang yang sekolah mengetik adalah yang ingin masuk ke jurusan IPS, bukan IPA. Itulah yang saya lihat pada saudara saya yang sekolah di SMA jurusan IPS dan SMEA. Yang jurusan IPS pasti memperoleh pelajaran mengetik. Sedangkan saya berkeinginan masuk ke jurusan IPA. Oleh sebab itu, saya tak hendak belajar mengetik. Terlebih lagi waktu itu ada kesan, yang perlu mengetik adalah yang ingin menjadi sekretaris dan bekerja di perdagangan.
Betullah adanya. Ketika SMA saya tidak belajar mengetik. Nyaris sepuluh tahun saya tidak mengetik. Puisi dan cerpen yang saya tulis hanyalah ditulis tangan. Kemudian tibalah periode perguruan tinggi. Pada semester satu saya kelabakan. Rupanya pelajaran mengetik sangat dibutuhkan ketika menjadi mahasiswa. Praktikum yang wajib diikuti begitu banyak, belum lagi tugas-tugas dari dosen. Praktikum fisika dan kimia misalnya, selalu saja kami disuruh membuat risalah. Itu semua harus ditik agar nilainya bagus, minimal 70. Kalau ditulis tangan, apalagi bak cakar ayam, jangan berharap nilainya lebih dari 60. Itulah “kekejaman” mentor atau asisten dosen praktikum pada masa itu.
Apa akibatnya? Saya berupaya kasak-kusuk meminjam mesin tik ke teman. Tak banyak yang punya mesin tik. Di Lebak Siliwangi, tempat kos saya, hanya dua orang yang punya mesin tik. Karena banyak yang akan mengetik maka setelah pemiliknya selesai mengetik barulah saya dan yang lainnya mengetik. Itu pun harus bergantian. Tapi ada untungnya, yaitu saling bantu dalam pengetikan kalau yang lain harus kuliah dulu atau ada keperluan lain yang mendesak. Kawan-kawan yang punya cukup uang biasanya pergi ke Jl. Dipati Ukur dekat Universitas Padjadjaran dan minta ditikkan di sana. Bagi yang pas-pasan terpaksa harus begadang menunggu giliran untuk memperoleh kesempatan mengetik.
Adakah komputer pada masa itu? Rental komputer tidak banyak, untuk tidak menyebut tidak ada. Setahu saya, di asrama ITB Bumi Ganesha di Cisitu ada rental komputer. Waktu itu, medio 1980-an adalah era komputer desktop dengan kecepatan rendah kalau dibandingkan dengan desktop sekarang, apalagi jika dibandingkan dengan laptop rilis terakhir. Ketika save pun lama sekali. Kalau tak cepat-cepat di-save khawatir listriknya mati lalu hilanglah semua hasil kerja dan harus ditik ulang. Ini berbeda dengan laptop yang berisi baterei sehingga ketika listrik mati pun data masih bisa diselamatkan. Memakai laptop memang membuat tenang, nyaman dan memudahkan bekerja.
Menggunakan desktop pun sangat menyamankan. Salah satu keuntungannya, jari kita tidak perlu menekan keras-keras tutsnya. Ini berbeda dengan mesin tik yang harus ditekan kuat-kuat dan ujung jari bisa kapalan (menebal dan keras). Tetapi untungnya, orang yang terbiasa mengetik dengan mesin tik akan lebih ringan ketika mengetik dengan komputer. Apalagi kalau terbiasa sepuluh jari ketika mengetik dengan mesin tik, tentu akan kian mudah ketika menggunakan komputer. Hanya saja, saya tak bisa sepuluh jari. Saya terbiasa "14" jari alias jari telunjuk kanan dan kiri saja.
Saya kali pertama memakai komputer desktop pada awal kuliah di ITB lantaran ada praktikum komputer. Waktu itu yang diajarkan adalah cara mengetik dengan komputer dan berbagai fasilitas yang membuat tampilan tulisan menjadi lebih indah daripada hasil mesin tik. Yang dipelajari ialah Wordstar. Inilah program pengolah kata yang wajib diikuti mahasiswa tahun pertama di ITB ketika itu. Waktu itu terasa komputer begitu luar biasa. Program pengolah data seperti Lotus dan dBase pun diberikan. Tetapi saya hanya sebatas membaca dan praktik di lab saja. Di kos-kosan tidak ada satu teman pun yang punya komputer. Sesekali kami datang ke rental dan itu pun kalau uang masih ada dan diperkirakan tidak mengganggu uang makan sebagai anggaran rutin harian.
Satu catatan, komputer itu saya gunakan hanya untuk menulis dan itu pun hanya dengan "14" jari. Tentu saja kebiasaan ini akhirnya berubah seiring dengan latihan menulis setiap hari. Sekarang saya sudah menggunakan enam jari, kanan dan kiri dan kadang-kadang tujuh jari. Lumayanlah daripada “14” jari seperti masa lalu. Hanya saja, saya tidak bisa mengetik tanpa melihat keyboard. Saya selalu mengetik dengan melihat papan tuts. Yang dihafal posisinya hanyalah huruf A, S, D, F, spacebar, enter, koma, dan titik. Lain dari itu sering salah kalau tidak memandang papan tuts.
Bagaimana dengan laptop. Seorang teman yang menjadi penulis dan public speaker sering berkata bahwa dia sangat bergantung pada laptop. Tetapi jujur dikatakannya, laptopnya itu hanya digunakan untuk mengetik artikel dan rencana presentasi saja. Jadi yang digunakannya hanya pengolah kata (MS Word) dan PowerPoint. Dia tak butuh spesifikasi laptop yang canggih dan mahal. Asal bisa mengetik saja dia sudah senang. Ada juga kawan lainnya yang bergerak di bidang penulisan fiksi. Komputernya pun masih desktop, bukan laptop. Jadi, kalau ingin mengarang dia harus ke rumah. Ketika idenya menjalar-jalar itulah dia menulis. Kalau sedang di luar rumah dia menuliskan idenya di buku yang dibawanya.
Bagimana dengan anggota DPR? Tak semua angota DPR terbiasa menulis. Kebanyakan mereka tak bisa menulis. Mereka hanya bisa bicara, bahkan asal bicara. Segelintir saja yang terbiasa menulis di koran-koran dan majalah. Fasilitas yang digunakannya pun hanya pengolah kata, semacam MS Word. Mereka tak butuh program lainnya. Artinya, tanpa laptop yang canggih pun mereka tetap bisa menulis. Lalu yang tak bisa menulis dan hanya berslogan datang, duduk, dengar, diam dan duit, untuk apa memiliki laptop mahal? Dirinya saja tak pernah menulis dan tak pernah memunculkan ide-idenya di koran agar dapat dibaca oleh pemilihnya. Berapa banyak anggota dewan yang mampu menulis? Padahal laptop itu digunakan untuk menulis, bukan?
Untuk apa laptop itu? Untuk anaknya? Mudah-mudahan tidak demikian. Sebab, anggaran itu seharusnya bisa untuk keperluan sekolah anak yang belum sekolah. Anak-anak seumur anak SD banyak yang ngamen karena tak punya uang untuk biaya sekolah. Membantu mereka tentu lebih aspiratif ketimbang memberikan laptop itu kepada anaknya. Dengan gajinya saja anggota DPR pasti bisa membeli tiga laptop tiap bulan. Lalu untuk apa laptop itu? Untuk gayakah? Demi disebut intelekkah? Lifestyle-kah? Cobalah rasa intelektualitas itu ditunjukkan lewat hasil kerja optimal, minimal mampu menulis sesuatu di bidangnya dan dibaca oleh konstituennya. Bukankah ini lebih baik?
Yang pasti, heboh hibah laptop tak hanya di DPR, tetapi sudah banyak terjadi di berbagai DPRD, tingkat satu dan dua. Yang pasti juga, laptop itu akan kadaluwarsa setelah jabatan mereka sebagai anggota dewan selesai. Anggota dewan berikutnya pasti ingin dibelikan laptop yang baru lagi, tak mau yang bekas. Lantas, apakah esensi pemberian laptop itu?*
Gede H. Cahyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar