Patut diakui, PDAM-lah satu-satunya perusahaan air yang menyediakan air minum komunal di Indonesia, terlepas dari adanya privatisasi di sejumlah PDAM. PDAM memonopoli air di Indonesia. Inilah kenyataannya. Logikanya, pemonopoli pasti untung besar. Namun sayang, faktanya ternyata tidak demikian.
Kinerja PDAM banyak yang belum optimal. Tak sampai 10% yang sehat. Di antara sekian banyak sebabnya, satu di antaranya adalah tunggakan pelanggan. Di PDAM Kota Bandung saja tunggakan itu mencapai Rp 40 milyar. Penunggak rekening dan sambungan gelap itu sudah diputus sehingga dari 143.000-an pelanggannya, tahun 2007 ini menjadi 139.000-an unit. Ada 4.000-an yang diputus. PDAM pun sudah memecat pegawainya yang terlibat sambungan gelap, salah satu komponen dari kehilangan air itu.
Kehilangan air (unaccounted for water) tak hanya terjadi di PDAM Kota Bandung tapi juga di semua PDAM. Kisaran angkanya antara 20% dan 70%, dengan rerata 45%. Angka ini setara dengan 82% air yang terjual, tetapi tidak selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterima PDAM akibat berbagai manipulasi yang terjadi. Ujud kehilangan air itu, yaitu beda antara volume air di meter induk dan volume total di meter pelanggan, bisa karena bocor fisik seperti pipa pecah, rembesan di reservoir, dan kerusakan peralatan di jaringan distribusi, bisa juga karena bocor nonfisik seperti ketidakakuratan meter airnya atau karena salah baca dan salah administrasi.
Demi mengendalikan kehilangan air tersebut, termasuk mempertahankan kualitas air olahannya, sejumlah tindakan bisa dilakukan PDAM. Di antaranya ialah mengelola daerah distribusinya dengan cara menyeimbangkan tekanan di sekujur sistemnya, baik yang terdekat dengan instalasi maupun yang terjauh, lewat zoning system. Tanggap darurat dalam perbaikan pipa dan responsif atas laporan masyarakat, juga menjadwalkan secara rutin perawatan dan kendali pipa.
Begitulah idealnya. Antara fakta dan kondisi ideal ternyata berbeda. Lalu bagaimana cara menilai kinerjanya? Kenapa kita perlu menilainya? Sebab, jika tak ada yang menilainya berarti tak ada yang peduli pada nasib pelanggan. Bagaimana kalau kita bukan pelanggan? Tetap saja terancam bahaya. Waktu makan atau minum di warung, restoran, hotel, kantor boleh jadi airnya berasal dari PDAM yang buruk kualitasnya. Meskipun air di rumah sudah bersih tetap saja kita makan dan minum air PDAM di warung bakso misalnya. Ini berisiko, bukan?
Oleh karena itu, mari belajar menilai PDAM. Berikut ini ada tolokukurnya. Agar mudah diingat, ada resep ringkas berupa Piramid PDAM. PDAM adalah singkatan dari Pegawai (P), Desain (D), Area servis (A), dan Manajemen (M).
Piramid PDAM
The man behind the gun. The right people on the right place. Ungkapan ini sering kita dengar ketika berbicara soal sumber daya manusia. Ini berkaitan dengan P (Pegawai, Pekerja), khususnya keterampilan, keterlatihan, dan keterdidikannya. Pelanggan bisa menilai P yang dihubungkan dengan sarjana teknik lingkungan. Adakah sarjana ini di sana? Bagaimana kualitasnya? Mampukah menangani sisi teknis sumber air, transmisi, instalasi, distribusi, evaluasi, rehabilitasi, perluasan jaringan, supervisor dan evaluator jasa konsultan?
Bagaimana faktanya? Dari 318 PDAM di Indonesia yang menjadi anggota Perpamsi belum semuanya memiliki sarjana yang keahliannya di bidang air. Kalaupun ada, belum memenuhi kualifikasi di atas. Silakan pelanggan menyelidiki apakah PDAM-nya sudah berkualifikasi demikian. Setelah itu ceklah sarjana pendukung lainnya seperti ekonomi, sipil, manajemen dan ahli madya. Selanjutnya lulusan SMA atau SMK di bidangnya. Pegawai di bagian cleaning service (klinser) pun suatu saat nanti mungkin saja lulusan SMA/SMK. Meskipun demikian, pegawai terbawah itu tetap harus diizinkan berkembang apabila mereka sekolah lagi dan lulus. Jadi, kejelasan jenjang karir pegawainya juga menjadi tolokukur kinerja PDAM.
Indikator kedua adalah D, Desain. Baik buruknya layanan bergantung pada desain instalasi, transmisi dan distribusi. Dalam setiap desain baru maupun pengembangan, juga pada evaluasi kepuasan pelanggan lewat kuesioner, peran sarjana teknik lingkungan demikian besar. Bagaimanapun, penilaian atas desain ini langsung menukik pada kualitas air yang mempengaruhi opini pelanggan terhadap PDAM. Mayoritas protes pelanggan berkaitan dengan kesalahan, keteledoran, dan ketidakakuratan desain instalasi, posisi reservoir, dan distribusi. Desain yang tepat akan menurunkan pencemar ke tingkat yang diizinkan oleh peraturan Menteri Kesehatan nomor 907/Menkes/SK/VII/2002.
Tepat tidaknya desain bergantung pada evaluasi kualitas sumber air bakunya. Bisa saja pelanggan mewajibkan PDAM untuk merilis laporan kualitas air bakunya di media massa secara berkala lalu dinilai oleh tim pemantau yang dipilih pelanggan. Ini untuk mengetahui kualitas air bakunya apakah makin buruk lantaran tercemar pestisida, limbah domestik dan pabrik. Yang juga penting dalam desain ialah kapasitas olahnya apakah sesuai dengan dimensi unit pengolahnya. Mampukah unit itu menangani kualitas air terburuk yang mungkin timbul, misalnya ketika banjir besar atau tercemar berat?
Yang tak kalah penting ialah indikator kualitas air olahan di reservoir dan rumah-rumah pelanggan. Idealnya, di kedua tempat ini kualitas airnya sama bersih. Hanya saja, kebanyakan PDAM belum memenuhi kriteria tersebut lantaran kondisi jaringan distribusinya buruk sehingga air tanah dan air selokan masuk ke dalam pipa lalu ke perut pelanggan. Inilah salah satu sumber ancaman tifus, disentri, diare khususnya pada anak-anak yang menyikat gigi menggunakan air tersebut.
Pilar ketiga: A, Area servis. Makin luas area servisnya makin bagus nilainya jika dikaitkan dengan Millenium Development Goals (MDGs). Tak satu pun PDAM mampu melayani 100% area servisnya. Jangankan untuk meluaskannya, melayani dengan baik palanggannya saja belum mampu. Akibatnya terjadilah ketimpangan servis. Ada pelanggan yang 24 jam penuh dipasok airnya dan tekanan airnya sesuai dengan standar, tapi ada juga yang digilir dan hanya mendapatkan air ketika malam hari. Malah ada yang sejak awal berlangganan tak pernah sekalipun air PDAM mengucur dari krannya. Meter airnya sekadar menjadi hiasan di depan rumahnya.
Yang terpenting di area servis dan menjadi tugas besar PDAM ialah desain jaringan distribusinya. Semua pelanggan, baik di daerah tinggi maupun rendah, di dekat instalasi maupun jauh, harus mendapatkan air sesuai dengan kebutuhan standarnya. Di sinilah kemampuan desain sarjana keairan itu diuji. Semasih terjadi masalah klasik di daerah distribusi, belumlah layak mereka diberi label mumpuni. Pelanggan berhak menggugatnya, termasuk menggugat jajaran direksinya apalagi jika dikaitkan dengan tarifnya yang terus naik.
Manajemen adalah indikator keempat. Tak hanya masalah kepegawaian, kejelasan karir, dan proses pengolahan yang dianggap penting tapi juga manajemen krisis. Di mana-mana di Indonesia posisi PDAM berada di ujung tanduk, sewaktu-waktu bisa krisis air. Bahkan banyak yang sumber airnya berasal dari luar wilayahnya, dengan cara membeli. Jika terjadi pengambilalihan oleh pemerintah daerah setempat atas desakan warganya maka PDAM tersebut langsung krisis. Itu sebabnya PDAM ini tidak bisa tenang dan berupaya melakukan manajemen sumber daya air secara optimal. Namun belum banyak yang berhasil.
Manajemen distribusi pun berkategori kritis lantaran tak ada PDAM yang bebas dari kebocoran air, baik dalam arti harfiah maupun konotasi. Banyak penyalahgunaan aset dan keuangan terjadi di PDAM yang melibatkan orang dalam dan konsultan, kontraktor dan suppliernya. Demikian pula dengan manajemen sambungan baru, tes aliran dan kontrol meter airnya. Kalibrasi meter air harus dikelola rutin dan tercatat. Ini penting agar tak ada meter air yang terlewatkan dalam kalibrasi dan sebaliknya ada yang baru saja dikalibrasi tapi dikalibrasi lagi.
Yang terakhir ialah manajemen tanggap, yakni mampu menangani setiap masalah dan laporan pelanggan, kapan pun dan di mana pun. Malam hari oke, lokasinya jauh pun tetap wajib diladeni. Manajemen harus mampu memotivasi pegawainya agar tidak ogah-ogahan bekerja demi melayani pelanggan. Begitu pun soal pencatatan rekening, tanggal berapa petugas datang ke pelanggan agar jelas demi efisiensi kerja. Jangan terjadi petugas datang tapi pelanggannya tidak di rumah atau ketika pelanggan di rumah tapi petugasnya tidak datang. Sebaiknya dicarikan jadwal yang tepat bagi kedua belah pihak.
Apabila mayoritas indikator di atas sudah mampu dilaksanakan oleh PDAM, bisalah pelanggan menilainya sebagai PDAM berkinerja tinggi. Begitu pun sebaliknya. Maka, marilah kita menilai PDAM di tempat tinggal masing-masing. Bagaimana hasilnya?*
Gede H. Cahyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar