• L3
  • Email :
  • Search :

23 Maret 2007

Diffuse Pebble Flocculator

Tulisan ini sudah dimuat di Majalah Air Minum edisi Januari 2007.

Baffled channel flocculator atau flokulator bersekat (Flokat) adalah jenis yang populer di PDAM. Meskipun ada yang aliran vertikal naik-turun (over-under flocculator), tapi yang paling akrab ialah flokulator berkelok (around-the end flocculator). Dua windu terakhir ini, sejak 1990, seringlah PDAM membangun flokulator naik-turun berbentuk bak segienam (heksagonal). Hanya saja, secara hidrolis, jika dikaitkan dengan nilai gradien kecepatan (G) riil yang dihasilkannya, signifikankah efek segienam itu terhadap pertumbuhan flok?

Satu pertanyaan lagi, kenapa yang dibangun kebanyakan bermodus hidrolis dan bukan mekanis? Salah satu alasannya ialah biaya operasi-rawatnya lebih murah sekaligus mudah lantaran tanpa mesin (mechanical device). Tanpa mesin berarti tanpa energi yang harus dibayar, tak perlu mesin cadangan dan tak perlu suku cadang (sparepart). Tak perlu alokasi dana untuk perawatan kecuali pembersihan secara manual oleh karyawan yang pendidikannya SMP pun sudah cukup. Bahkan bisa lebih rendah daripada itu.

Namun demikian, ada kelemahannya. Modus hidrolis itu selalu kalah dari sisi pengaturan G. Seteliti apapun desainnya, semasih melibatkan rumus teoretis-empiris belaka, belumlah mampu menghasilkan G yang sesuai dengan desain. Sebab, urusan G ini tidak semata-mata soal kalkulasi di atas kertas tapi juga soal kondisi airnya, termasuk jar test-nya atas air yang bakal diolah dan/atau studi pilot yang dilaksanakan. Terlebih lagi kalau sering terjadi fluktuasi kualitas air baku, terutama pH dan kekeruhan, otomatis kualitas floknya ikut terganggu. Kerapkali terjadi, nilai G-nya sudah tepat atau sesuai dengan kriteria desain tetapi ketika sudah dibangun dan dioperasikan ternyata G-nya terlalu kecil atau terlampau besar. Akibatnya, floknya kecil terus atau pecah lagi dan pecah lagi.

Diffuse Pebble Flocculator
Demikianlah kinerja alami atau dampak negatif flokulator hidrolis. Terlepas dari kinerja buruknya itu, tetap saja ada sisi positifnya sehingga teknologinya tidak dianggap usang (obsolete). Tak mengherankan di sejumlah negara dunia ketiga, di Indonesia juga, unit Flokat masih terus digunakan. Selain Flokat ada lagi jenis flokulator lain tetapi belum dilirik untuk diterapkan, yaitu flokulator pipa, flokulator helikoidal atau spiral, dan diffuse pebble flocculator. Di bawah ini yang dibahas ialah yang disebut terakhir.

Flokulasi, sebuah unit yang memberikan lebih banyak lagi peluang kontak kepada partikel lewat pengadukan yang terus menurun intensitasnya sehingga terjadi pertumbuhan flok, selalu diterapkan dalam complete treatment. Sebagai unit yang letaknya sebelum sedimentasi, dalam desainnya selalu dipertimbangkan dimensi dan ukuran unit sedimentasi agar murah biaya konstruksinya dan mudah dalam perawatannya serta tinggi kinerjanya. Yang juga penting ialah indah konfigurasinya dan tinggi cita-rasa estetika tata-letaknya (layout).
Diffuse pebble flocculator atau Flokulator Koral (Floral) Difus, seperti halnya Flokat, lebih banyak diterapkan di instalasi kecil, dengan besaran sistem kurang dari 200 l/d. Bagaimana kalau debitnya lebih besar daripada itu? Tentu saja bisa disiasati, misalnya debit 600 l/d diakali dengan membuat tiga deret unit tipikal sehingga masing-masing mengolah 200 l/d. Jika lahannya menjadi kendala, mau tak mau mesti menerapkan flokulator mekanis agar G dan Gtd-nya tercapai. Jika tidak, kualitas floknya akan buruk, sulit mengendap sehingga kerja filter menjadi berat. Cuci-baliknya (backwash) makin sering, air bersih banyak terbuang, ongkos operasi meningkat, perlengkapan dan peralatan cepat aus yang ujung-ujungnya menaikkan ongkos produksinya.

Prinsip dasar Floral Difus ialah penambahan ruang atau kompartemen flokulasi seiring dengan reduksi kecepatannya agar terjadi peningkatan efisiensi dalam waktu detensi tetap. Ukuran koral yang relatif besar akan menyediakan rongga yang lebih besar untuk pengadukan dan mengurangi potensi sumbatan. Seperti umumnya flokulator, parameter Gtd berpengaruh pada probabilitas jumlah tubrukan yang menghasilkan flok. Biasanya ini disiasati dengan mengatur tinggi flokulator koral bervariasi antara 1,5 - 3 m dengan modus aliran ke atas (upflow, upward). Sama dengan flokulator lain, yang berperan di sini ialah G dan besarnya dapat diperkirakan dengan rumus yang sudah familiar diketahui oleh kalangan TL. Adapun head loss pada Floral Difus ini didekati dengan formula Carman-Kozeny.

Selain mudah operasinya, Floral Difus pun tak terlalu sensitif pada variasi debit karena terjadi sebaran debit yang, sudah disebut di atas, kecepatan ke atasnya terus mengecil. Hanya saja kekurangannya terletak pada ancaman sumbatannya, baik karena flok maupun karena biakan mikroba berupa lanyau (slime) yang menempel di permukaan koral. Ini Sebetulnya bisa dihindari jika pasirnya sudah optimal disisihkan di unit praolah [prased, filter kasar (roughing filter), bak tampung] dan kadar zat organiknya juga rendah dengan injeksi klor atau kaporit (praklorinasi) atau dengan oksidator lainnya. Butuh biaya memang, tapi efeknya positif pada operasinya dan lebih murah jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan ketika tersumbat.

Selain faktor G, yang juga penting ialah waktu tinggal atau waktu detensinya (detention time, td) yang didasarkan pada volume rongga media, dengan formula td = V/Q (volume rongga dibagi debit. Volume rongga = porositas kali volume flokulator). Khusus Floral Difus, nilai G-nya bergantung pada diameter koral, kecepatan air, luas permukaan flokulator, dan kehilangan tekanan (head loss) yang terjadi selama melalui media koral.

Bagaimana alirannya? Menurut arah alirannya, Floral Difus bisa dibagi dua, yaitu aliran ke atas dan aliran ke bawah. Yang aliran ke bawah malah bisa dilengkapi ruang tadah (sludge hopper) di bawahnya, sebelum masuk ke unit sedimentasi. Fasilitas kurasnya bisa dipasang secara mekanis menggunakan pompa sedot, bisa juga secara hidrolis seperti yang diterapkan pada returned sludge dari secondary settling tank pada sistem activated sludge pengolah air limbah. Unit mana yang dipilih tentu saja disesuaikan dengan desain dan hidrolika aliran pada unit operasi di hilirnya agar hemat ongkos konstruksinya tetapi tetap memenuhi kaidah hidrolis dan teknis.

Sebagai gambaran, berikut ini disajikan sketsa Floral Difus berbentuk kerucut-pancung terbalik. Karena keterbatasan halaman artikel, yang disajikan hanyalah potongannya saja. Pada modus aliran ke atas, influennya masuk dari bawah, yaitu dari pipa distributor. Pipa ini terkoneksi dengan unit koagulator tempat pendispersian koagulan, baik secara hidrolis maupun mekanis. Jumlah pipa inletnya bervariasi, boleh lebih dari empat, bergantung pada diameter dasarnya. Air lantas mengalir melewati celah dan saluran semu bentukan porositas koral. Agar tak tersumbat, koral dipasang sedemikian rupa sehingga tidak menutupi lubang inletnya. Bisa juga diterapkan sistem underdrain yang biasa dipasang pada filter pasir cepat (Fipat).

Koral lapis pertamanya berdiameter antara 0,5-1,0 cm setebal 50 cm. Di atasnya diisi koral berdiameter 1 - 2 cm setebal 60 cm dan yang teratas, yaitu kompartemen ketiga diberi koral ukuran 2 - 3 cm setinggi 70 cm. Porositasnya antara 0,4 - 0,5. Bisa juga dilengkapi satu kompartemen tambahan dengan diameter 3,5 - 4 cm dengan tinggi variatif. Tambahan tinggi ini untuk memberikan peluang lebih banyak lagi kontak antarpartikel. Pada saat yang sama kompartemen “semu”-nya itu, yaitu rongga antar-partikelnya berfungsi sebagai ruang pengadukan sehingga nilai G-nya menurun.

Lepas dari lapisan media teratas, air lantas mengalir menuju outlet ke unit sedimentasi. Agar terhindar dari luapan air atau untuk berjaga-jaga, disediakan ambang setinggi 20 cm. Karena bebannya berat, dindingnya hendaklah dari beton bertulang atau pelat tebal berlapis media tahan karat (coating). Diameter dasarnya antara 1 - 1,5 m dan tingginya bervariasi, bisa mencapai 3 m dengan sudut lereng (inklinasi) antara 50 - 60 derajat.

Apa saja keuntungan Floral Difus? Selain sedikit perawatannya, hanya perlu dicuci saja, unit ini tak perlu operator yang tinggi pendidikannya. Sekali saja dilatih (training), operator pasti bisa melaksanakan tugasnya dengan baik asalkan disiplin dan mengikuti standar operasi - prosedurnya. Mau coba? Siapa takut, gitu loch!*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar