Prosedur Desain Pengolahan Air Minum
Oleh Gede H. Cahyana
Air minum sudah
dikenal sejak manusia ada di Bumi.
Tentu
saja, tak hanya untuk minum, tapi juga untuk kebutuhan lain seperti mandi, cuci, kakus. Khusus untuk minum,
dikembangkan teknologi yang bervariasi cara dan kinerjanya. Desainnya
berkembang dari yang sederhana, yaitu hanya memanfaatkan pasir di tepi sungai,
sampai dengan teknologi membran. Yang
disebut terakhir ini belum diterapkan oleh PDAM, kecuali di zone khusus seperti
Zone Air Minum Prima (ZAMP). Tetapi faktanya, tidak semua ZAMP itu menerapkan
teknologi membran. Ia hanya diterapkan oleh perusahaan air minum kemasan (amik)
dan sekarang diterapkan juga oleh sebagian depot air minum kemasan ulang atau
populer disebut air minum isi ulang.
Dalam tulisan ini, yang
dibahas adalah teknologi pengolahan air minum untuk komunitas besar, misalnya permukiman, kawasan industri, dan kota.
Dengan demikian, yang dibahas ialah teknologi konvensional yang lumrah
diterapkan di PDAM, kawasan industri, dan pabrik. Agar tercapai tujuan
pengolahannya, maka tahap awal dalam sistem pengolahan air minum tak lain
daripada mendesain secara efektif dan efisien setiap unit operasi dan
prosesnya. Begitu pula, desain yang dibuat harus fleksibel, mampu menangani
keadaan air baku pada musim kemarau dan musim hujan. Desain juga wajib mampu
menangani kondisi perubahan kualitas air jangka panjang, misalnya 20 tahun dan
mampu mencapai tahap baku mutu yang dibuat pemerintah pada masa akan datang
terutama berkaitan dengan perubahan baku mutu yang menjadi lebih ketat.
Minimal ada lima
tahap dalam merencanakan (planning)
dan mendesain (designing) IPAM
(Instalasi Pengolahan Air Minum).
- Karakterisasi
sumber air dan kualitas air olahan.
- Pradesain,
yaitu membuat alternatif proses dan memilih proses yang final.
- Detail
desain pilihan tahap 3 di atas.
- Konstruksi,
pembangunan.
- Operasi-rawat
instalasi.
Untuk mencapai
tujuan utama IPAM, yaitu menghasilkan air yang sesuai dengan standar kualitas
air minum (drinking water quality
standard) dengan harga murah dan mudah, maka perlu dipelajar unit operasi
dan unit proses yang mendukungnya. Unit operasi ialah unit yang didominasi oleh
fenomena atau gejala fisika (physical
forces); unit proses lebih didominasi oleh fenomena kimia dan biologi (chemical, biological reaction). Istilah
UO dan UP tersebut dapat dipertukarkan atau interchangeably
dan merupakan kombinasi yang tak terpisahkan dalam suatu unit pengolahan.
Sebagai contoh, pengurangan kekeruhan (turbidity)
dengan koagulasi. Agar tercapai kualitas yang diinginkan, yaitu airnya jernih,
maka selalu ditambahkan zat kimia (koagulan), lalu diaduk dan disebar (dispersi),
dikuatkan floknya denga flokulasi dan terakhir diendapkan (sedimentasi).
Dalam desain,
pada tahap tertentu akan dibuat sebuah deretan unit operasi dan proses atau
urutan unit pengolah. Ini disebut process
train, flow sheet, process or flow diagram, flow schematic, atau flow
scheme. Ini pun bisa dilihat dalam gambar profil hidrolis yang biasanya
dibuat setelah tahap rancangan setiap UO dan UP selesai. Di bawah ini diberi
skema posisi air baku (raw water), IPAM, dan air olahan (air minum
yang sesuai denga standar kualitas air minum menurut peraturan pemerintah.
Perlu diingat juga, dalam setiap IPAM akan selalu dihasilkan air limbah dan sludge (lumpur). Keduanya harus diolah
lagi atau disiapkan unit pengolahnya (penampungnya) dan jangan dibuang ke badan
air (sungai, danau, waduk). Tetapi masih bisa dibuang di tanah yang cekung
dengan tujuan mengurugnya (urugan).
Ada sejumlah
komponen penting, meskipun
tidak harus selalu tersedia, dalam sistem pengolahan air minum. Komponen ini
menjadi bagian penting dalam setiap deretan proses pengolahan air. Yang pertama
adalah intake (raw water intake). Ini merupakan bangunan untuk mengambil air dari
sungai, danau, waduk, dll. Bentuknya ada yang sederhana seperti submerged intake pipe. Ada juga yang floating dan yang berbentuk tower-like structure yang bisa berisi intake gates, screens, control valves, pompa,
dan chemical feeders. Submerged dan floating intake digunakan untuk debit kecil sedangkan tower-like intakes diterapkan untuk
debit besar dan bisa menjadi bagian integral dari sebuah dam atau merupakan
bangunan yang dibuat khusus.
Komponen kedua
ialah pompa. Unit ini biasanya dipasang di bangunan sadap atau intake.
Gunanya untuk menaikkan air dari sungai atau danau ke ketinggian tertentu lalu
dialirkan secara gravitasi. Head
pompanya sama dengan jumlah head statis,
friction losses dan minor losses. Pompa yang digunakan adalah sentrifugal, baik yang suspended, submerged, atau yang dry-well centrifugal pumps.
Yang ketiga, raw water conveyance atau transmisi,
transportasi. Gunanya untuk mengalirkan air dari sumber ke IPAM. Biasanya IPAM
berada di dalam atau di dekat kota sehingga perlu pipa atau saluran yang
panjang. Kota Bandung misalnya, memperoleh air baku dari air Sungai Citarum
sejauh 38 km dari IPAM-nya di Jln. Badak Singa. Salurannya berupa pipa. Contoh
yang lain adalah PAM Jakarta yang memperoleh air baku dari kanal Tarum Barat di
sepanjang Kali Malang, Bekasi. Hal yang penting dalam menentukan saluran dan
jalurnya adalah topografi, available head, material konstruksi, ekonomi, dan
kualitas airnya. Bentuk-bentuk salurannya: kanal, flume, grade aquiduct, grade
tunnel, pipa atau kombinasinya.
Yang keempat, flow measurement. Pengukuran debit air
baku dan air olahan sangat penting untuk operasi instalasi, kendali proses, billing (tarif air), dan record keeping. Alat ini bisa dipasang
di dalam pipa air baku, pipa insuk distribusi setelah pompa servis, atau di
sejumlah lokasi di dalam instalasi. Jumlahnya pun bisa lebih dari satu, sesuai
dengan keperluan instalasi. Secara umum, debit dapat diukur di dalam pipa
bertekanan dan di dalam saluran terbuka. Debit yang melewati pipa bertekanan
diukur dengan mechanical or differential head meters seperti venturi meter, flow nozzles, atau orifice
meter. Adapun yang lewat saluran terbuka menggunakan weir atau venturi-type flume
seperti Parshal flume.
Sistem IPAM
Pada masa
sekarang ini, terutama di kota-kota besar dan kota yang sarat dengan kawasan industri,
kualitas air baku sudah sangat tercemar. Pencemar organik dan anorganik ini
menjadi masalah utama dalam pengolahan air minum. Setelah pengolahan pun, yaitu
sebagai efek sampingnya, selalu muncul sludge
(lumpur) yang mesti dibuang dengan aman. Bisa juga di-recovery lagi untuk memperoleh, misalnya, alum, besi, kalsium,
magnesium, dll.
IPAM, terutama
pengolahan lengkap (complete treatment)
selalu disusun atas beberapa UO dan UP. Karena demikian banyaknya unit-unit
pengolah itu, maka seleksi yang tepat merupakan kunci sukses pengolahannya.
Selain itu, seleksi yang tepat akan menghemat biaya investasi, juga ongkos
operasi dan rawatnya. Atau, kalaupun mahal, tetapi sepadan dengan kualitas air
olahannya yang juga sangat bergantung pada kualitas air bakunya. Begitu pun
sebaliknya, salah dalam proses seleksi dapat mengubah proses pengolahan secara
besar-besaran dan memboroskan uang.
Apa saja yang
berpengaruh dalam proses seleksi UO dan UP dalam desain IPAM? Memang, memilih
unit pengolah yang tepat bukanlah tugas yang mudah. Banyak faktor yang harus
dipertimbangkan sehingga tidak sesimpel yang diperkirakan. Yang berpengaruh
dalam seleksi tersebut adalah:
- Kualitas
air minum. Ini bergantung pada kondisi dan potensi perubahan air baku
dalam jangka panjang dan juga perubahan menurut musim (kemarau, hujan).
- Yang
juga diperhatikan adalah topografi dan kondisi lokasi, tata guna lahan,
dan syarat-syarat hidrolis.
- Evaluasi
sistem keseluruhan.
- Fleksibilitas
dan kemudahan operasinya.
- Kemudahan
dalam upgrade kalau air bakunya berubah dan standar kualitas air minum pun
berubah pada masa datang.
- Ketersediaan
personal untuk operasi-rawat instalasi, mesin-mesin, dan zat kimia.
- Mampu
menangani ketika terjadi beban puncak hidrolis.
- Mudah
dalam pembangunannya.
- Murah
biaya pembangunannya dan murah pula operasi-rawatnya.
Oleh sebab itulah,
perlu laboratorium dan studi-studi instalasi untuk mendapatkan parameter desain
yang cocok untuk jenis air tertentu. Studi itu meliputi: bench-scale di lab., pilot
plant testing, dan plant-scale
simulation testing.
Apakah inti
sistem pengolahan air minum? Kalau dijawab secara singkat, bisa dikatakan bahwa
pengolahan air minum ialah reduksi (eliminasi) zat yang tak diperlukan.
Kejadian atau fenomena dalam unit pengolahnya bisa berupa gejala fisika, reaksi
kimia, atau biologi atau kombinasi ketiganya. Zat yang dieliminasi atau
direduksi dapat berupa ion, molekul, atau padatan (solid), baik dari golongan
zat organik maupun anorganik. Hanya saja, pada saat ini, seperti diungkap di
atas, kondisi air baku (sungai, danau, waduk) sudah sangat tercemar sehingga seolah-olah
air baku untuk air minum kita sudah berasal dari air limbah. Lihat saja
Citarum, warnanya hitam pekat di beberapa ruasnya. Padahal air sungai ini
menjadi sumber air minum untuk beberapa daerah di hilirnya.
Residu Pengolahan
Residu
pengolahan adalah semua material yang disisihkan selama proses pengolahan dan
sebanding dengan air yang diolah. Yang termasuk kelompok ini adalah material
penyebab kekeruhan (turbidity) dan
warna air, padatan organik dan anorganik, algae, bakteri, virus, dan presipitat
kimia. Semua residu itu berasal dari koagulasi, presipitasi besi dan mangan,
cuci filter (backwashing), softening (pelunakan air sadah), regeneration brines, dan air pencuci
mikrostrainer. Volume air yang ikut terbuang dalam proses residu dan
pemberihannya antara 3 – 10 persen dari air baku yang diolah. Konsentrasi
padatan berkisar 0,1 – 4 persen, dan bergantung pada proses dan kualitas air
bakunya. Patut diingat, residu ini TIDAK boleh dibuang ke sungai, danau, atau
waduk. Malah residu ini sudah dimasukkan ke dalam limbah industri dan harus
ditangani hati-hati, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Apa saja proses
dan manajemen residu di atas? Ada beberapa yang dapat diterapkan seperti settling, thickening, conditioning,
dewatering, drying, recovery, dan disposal. Memang, ada kalanya residu
tertentu boleh dibuang ke sanitary sewer.
Hanya saja, di Bandung ini, cara ini tidak diperbolehkan. Atau, bagaimana
faktanya, apakah PDAM membuang sebagian atau seluruh residunya ke saluran air
limbah domestiknya? Logikanya, kalau PDAM berbuat demikian, maka
IPAL Bojongsoang yang berada di area seluas 85 hektar itu akan cepat dangkal.
Bagaimana cara
memilih proses pengolahan residu itu? Ini dipengaruhi oleh kondisi lokasi,
misalnya luas lahan, jenis dan kualitas sludge,
kondisi cuaca, biaya zat kimia, dan tipe disposal
atau pembuangan akhir yang tersedia atau diadakan. Seleksi ini pun bergantung pada dimensi unit (size of plant), biaya konstruksi, harga
peralatan (equipment), termasuk
faktor operasional seperti zat kimia, listrik, pekerja, dan kelayakan. Opsi
yang dipilih dari alternatif deretan proses pengolahan residu itu harus
didasarkan pada keuntungan, manfaat dan pertimbangan keburukan setiap proses
dan biaya proses secara keseluruhan.
Untuk memilih
prosesnya, berikut ini wajib dipertimbangkan: (1) persyaratan lahan, (2)
operasi di bawah kodisi cuaca yang buruk, (3) variasi debit olahan, (4) mudah
dalam operasi-rawat, (5) kualitas lumpur dan supernatan.
Studi Keterolahan
Kualitas air
pasti berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh sebab itu, perlu
studi awal yang menyangkut keterolahannya. Ini untuk mendukung desain yang
tepat dan menetukan parameter operasi setiap unit proses dan deretan proses
keseluruhan. Studi awal ini sangat dibutuhkan apabila akan dibuat instalasi
baru, berbeda dengan yang sudah ada. Maka, seorang desainer harus memahami
metodologi: (1) percobaan laboratorium untuk menilai keterolahan air baku
sampai tingkat yang diinginkan, (2) prosedur lab. dan studi pilot-plant, (3) menerjemahkan data lab.
ke dalam parameter desain dan operasi. Studi lab. bisa secara batch (curah) dan/atau reaktor aliran
kontinyu. Cara jar test masih menjadi
andalan. Cara klasik ini dapat menentukan dosis zat kimia yang tepat dan dapat
menentukan kondisi terbaik koagulasi.
Pilot plant
dapat lebih bagus lagi, mampu menentukan keterolahan untuk membuat parameter
desain yang tepat, menguji zat kimia baru, optimasi dosis, mengevaluasi proses
untuk meningkatkan kinerja instalasi dan hemat biaya. Secara umum, studi pilot plant digunakan untuk kondisi
berikut ini: (1) menguji proses baru, (2) stimulasi proses, (3) prediksi
kinerja proses, (4) mendata kinerja proses, (5) optimasi desain, (6) optimasi
operasi untuk dosis kimia, periode reaksi, dll.
Yang harus
diingat, studi pilot pasti bermanfaat dalam mendesain IPAM karena dapat
meningkatkan kinerja instalasi, baik yang lama (eksisting) maupun yang
baru (akan dibangun). Manfaat
lainnya, dapat menghemat biaya operasi dan rawat instalasi.
PAM swasta dan PDAM perlu mulai
membiasakan diri melakukan pilot studi kalau ingin memperoleh untung dan laba
yang signifikan. Demikian, semoga bermanfaat. *