Bukan Rumah Kaca Abraham Samad
Oleh
Gede H. Cahyana
Tulisan
berjudul Rumah Kaca Abraham Samad di Kompasiana dibetulkan oleh elite
PDIP, Hasto Kristiyanto, seorang Plt Sekjen PDIP di Metrotvnews.com. Ini
sungguh mengejutkan banyak kalangan, baik di komunitas KIH maupun di KMP. Namun
demikian, meniru acara Empat Mata dan Bukan Empat Mata, maka tulisan kali ini
dijuduli Bukan Rumah Kaca Abraham Samad yang cenderung ekologi sentris, bukan
ekopolitik. Ini tentang Efek Rumah Kaca yang dikaitkan dengan potensi banjir sejagat. Apa penyebabnya
dan bagaimana banjir itu bisa terjadi? Ini berawal dari gas-gas rumah kaca dan
satu di antaranya adalah karbondioksida.
Karbon
dioksida adalah gas yang secara alamiah ada di alam dan tidak berbahaya. Gas
ini digunakan untuk fotosintesis tanaman
berklorofil. Kejadiannya menjadi lain apabila konsentrasi gas ini sangat tinggi
di atmosfer yang membentuk selimut CO2 sehingga pantulan cahaya
matahari dari bumi berbalik lagi menuju bumi. Kejadian ini berulang sehingga
temperatur atmosfer meningkat. Diperkirakan pada pertengahan abad ke-21 nanti
temperatur bumi meningkat rata-rata 3o
C atau 1o C di katulistiwa dan 7o C di kutub.
Akibatnya, gunung es di kedua kutub bumi mencair sehingga banyak pulau-pulau
kecil lenyap dari permukaan laut dan kota-kota pantai (water front city) bisa tenggelam. Pantai Utara Jakarta diperkirakan
tenggelam 7 meter di bawah muka air. Selain itu, daratan menjadi kering
sehingga hasil perkebunan, pertanian,
perikanan, peternakan berkurang.
Betulkah pulau-pulau bisa tenggelam karena efek
rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan
global? Akankah Dunia Air itu bisa betul-betul terjadi? Ada kajian
ilmiah yang disebut Teori Lebur atau Melting
Theory. Intinya adalah kontradiksi yang dapat terjadi jika global warming makin parah. Ada dua hal
penting yang bisa terjadi, yaitu perubahan tinggi muka air laut karena daratan
bergerak relatif terhadap lautan (isostatik) dan perubahan yang terjadi karena
volume air laut bertambah akibat pencairan es dan salju (eustatik).
Jika demikian, mencairkah es di kedua kutub Bumi itu? Para
pakar terbelah pendapatnya pada soal ini. Sekelompok ahli yakin bahwa es di
kedua kutub itu akan mencair jika pemanasan global tak berkurang. Es yang terus
berubah menjadi air lalu masuk ke laut sehingga muka air laut meninggi yang
lantas “memakan” pantai, mengurangi garis pantai dan menenggelamkan nusa-nusa. Namun
ada pendapat lain. Kelompok ini justru yakin bahwa ada beda karakter atas kedua
kutub Bumi. Katanya, kutub Selatan (Antartika) adalah dataran yang ditutupi es.
Sebaliknya kutub Utara (Artik) adalah air laut yang membeku membentuk pulau es
dan gunung-gunung es. Dengan kata lain, kutub Utara, kecuali Greenland, adalah es yang terapung.
Andaikata temperatur global betul-betul naik ekstrem, apa
yang akan terjadi pada es di kedua kutub itu? Jika pulau apung di Artik
mencair, maka takkan banyak berpengaruh pada tinggi muka air laut. Ini mirip
dengan gelas yang berisi air dan ada sepotong es yang menyembul di
permukaannya. Meskipun es itu habis mencair, sesuai dengan hukum Archimedes,
maka airnya takkan tumpah. Jadi, peleburan es di Artik hanya akan mengubah
wujudnya dari padat mencari cair sehingga tak berpengaruh pada kenaikan muka
air laut global.
Hal berseberangan bisa terjadi di Antartika. Gunung es di
kutub dapat mempengaruhi muka air laut karena volumenya cukup besar untuk
menambah volume air laut global. Hanya saja, karakter lingkungan di Antartika
sangat-sangat dingin. Temperaturnya jauh di bawah titik nol sehingga esnya tak
mudah mencair. Pemanasan global tak mampu mencairkan esnya. Andaikata pemanasan
global dapat mencairkan es di sana maka diduga semua manusia sudah mati.
Semuanya tewas akibat heat stroke,
fenomena yang sering menimpa jamaah haji dan negara di Eropa ketika musim
panas, sebelum berdampak pada kenaikan muka air laut.
Lebih jauh lagi, hal muskil pun dapat saja terjadi dan
kontradiktif. Pemanasan global justru menyebabkan air laut di kutub Selatan
menguap dan terus menguap. Hembusan angin lantas membawanya ke daratan kutub
dan akhirnya jatuh membeku di sana. Jika kejadian ini berlangsung menerus maka
air laut pindah ke darat lalu menjadi es. Maka, yang terjadi justru penurunan
muka air laut, bukan kenaikan! Artinya, pantai kita meluas dan muncul nusa-nusa
baru.
Tampaklah bahwa pemanasan global, karamnya pulau dan banjir
sejagat tak mudah dijelaskan karena belum pernah terjadi, belum ada pengalaman.
Yang ada hanyalah film-nya Kevin Kostner yang juga banyak menuai kontroversi
dan dianggap tak ilmiah. Tapi itulah yang terjadi, dunia teoretis berbakuhantam
dengan kreativitas sineas.
Namun demikian, apapun teorinya dan bagaimanapun cara
orang menjelaskannya, yang pasti pemanasan global akibat
efek rumah kaca akan mempengaruhi aktivitas
kita. Polusi CO2 yang kian parah, andaipun kecil dampaknya pada kenaikan muka
air laut, tetapi besar pengaruhnya pada paru-paru kita, pada kenyamanan kerja
kita, pada produktivitas kita.*
----------------------------------------------------------
Apabila tertarik membaca tulisan Rumah Kaca Abraham Samad versi politik di Kompasiana, silakan klik di sini, sebelum di delete, suatu saat kelak.
Apabila tertarik membaca tulisan Rumah Kaca Abraham Samad versi politik di Kompasiana, silakan klik di sini, sebelum di delete, suatu saat kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar