• L3
  • Email :
  • Search :

22 Januari 2015

Bukan Rumah Kaca Abraham Samad

Bukan Rumah Kaca Abraham Samad
Oleh Gede H. Cahyana


Tulisan berjudul Rumah Kaca Abraham Samad di Kompasiana dibetulkan oleh elite PDIP, Hasto Kristiyanto, seorang Plt Sekjen PDIP di Metrotvnews.com. Ini sungguh mengejutkan banyak kalangan, baik di komunitas KIH maupun di KMP. Namun demikian, meniru acara Empat Mata dan Bukan Empat Mata, maka tulisan kali ini dijuduli Bukan Rumah Kaca Abraham Samad yang cenderung ekologi sentris, bukan ekopolitik. Ini tentang Efek Rumah Kaca yang dikaitkan dengan potensi banjir sejagat. Apa penyebabnya dan bagaimana banjir itu bisa terjadi? Ini berawal dari gas-gas rumah kaca dan satu di antaranya adalah karbondioksida.

Karbon dioksida adalah gas yang secara alamiah ada di alam dan tidak berbahaya. Gas ini digunakan  untuk fotosintesis tanaman berklorofil. Kejadiannya menjadi lain apabila konsentrasi gas ini sangat tinggi di atmosfer yang membentuk selimut CO2 sehingga pantulan cahaya matahari dari bumi berbalik lagi menuju bumi. Kejadian ini berulang sehingga temperatur atmosfer meningkat. Diperkirakan pada pertengahan abad ke-21 nanti temperatur bumi meningkat rata-rata  3o C atau 1o C di katulistiwa dan 7o C di kutub. Akibatnya, gunung es di kedua kutub bumi mencair sehingga banyak pulau-pulau kecil lenyap dari permukaan laut dan kota-kota pantai (water front city) bisa  tenggelam. Pantai Utara Jakarta diperkirakan tenggelam 7 meter di bawah muka air. Selain itu, daratan menjadi kering sehingga hasil perkebunan,  pertanian, perikanan, peternakan  berkurang.

Betulkah pulau-pulau bisa tenggelam karena efek rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global? Akankah Dunia Air itu bisa betul-betul terjadi? Ada kajian ilmiah yang disebut Teori Lebur atau Melting Theory. Intinya adalah kontradiksi yang dapat terjadi jika global warming makin parah. Ada dua hal penting yang bisa terjadi, yaitu perubahan tinggi muka air laut karena daratan bergerak relatif terhadap lautan (isostatik) dan perubahan yang terjadi karena volume air laut bertambah akibat pencairan es dan salju (eustatik).

Jika demikian, mencairkah es di kedua kutub Bumi itu? Para pakar terbelah pendapatnya pada soal ini. Sekelompok ahli yakin bahwa es di kedua kutub itu akan mencair jika pemanasan global tak berkurang. Es yang terus berubah menjadi air lalu masuk ke laut sehingga muka air laut meninggi yang lantas “memakan” pantai, mengurangi garis pantai dan menenggelamkan nusa-nusa. Namun ada pendapat lain. Kelompok ini justru yakin bahwa ada beda karakter atas kedua kutub Bumi. Katanya, kutub Selatan (Antartika) adalah dataran yang ditutupi es. Sebaliknya kutub Utara (Artik) adalah air laut yang membeku membentuk pulau es dan gunung-gunung es. Dengan kata lain, kutub Utara, kecuali Greenland, adalah es yang terapung.

Andaikata temperatur global betul-betul naik ekstrem, apa yang akan terjadi pada es di kedua kutub itu? Jika pulau apung di Artik mencair, maka takkan banyak berpengaruh pada tinggi muka air laut. Ini mirip dengan gelas yang berisi air dan ada sepotong es yang menyembul di permukaannya. Meskipun es itu habis mencair, sesuai dengan hukum Archimedes, maka airnya takkan tumpah. Jadi, peleburan es di Artik hanya akan mengubah wujudnya dari padat mencari cair sehingga tak berpengaruh pada kenaikan muka air laut global.

Hal berseberangan bisa terjadi di Antartika. Gunung es di kutub dapat mempengaruhi muka air laut karena volumenya cukup besar untuk menambah volume air laut global. Hanya saja, karakter lingkungan di Antartika sangat-sangat dingin. Temperaturnya jauh di bawah titik nol sehingga esnya tak mudah mencair. Pemanasan global tak mampu mencairkan esnya. Andaikata pemanasan global dapat mencairkan es di sana maka diduga semua manusia sudah mati. Semuanya tewas akibat heat stroke, fenomena yang sering menimpa jamaah haji dan negara di Eropa ketika musim panas, sebelum berdampak pada kenaikan muka air laut.

Lebih jauh lagi, hal muskil pun dapat saja terjadi dan kontradiktif. Pemanasan global justru menyebabkan air laut di kutub Selatan menguap dan terus menguap. Hembusan angin lantas membawanya ke daratan kutub dan akhirnya jatuh membeku di sana. Jika kejadian ini berlangsung menerus maka air laut pindah ke darat lalu menjadi es. Maka, yang terjadi justru penurunan muka air laut, bukan kenaikan! Artinya, pantai kita meluas dan muncul nusa-nusa baru.

Tampaklah bahwa pemanasan global, karamnya pulau dan banjir sejagat tak mudah dijelaskan karena belum pernah terjadi, belum ada pengalaman. Yang ada hanyalah film-nya Kevin Kostner yang juga banyak menuai kontroversi dan dianggap tak ilmiah. Tapi itulah yang terjadi, dunia teoretis berbakuhantam dengan kreativitas sineas.

Namun demikian, apapun teorinya dan bagaimanapun cara orang menjelaskannya, yang pasti pemanasan global akibat efek rumah kaca akan mempengaruhi aktivitas kita. Polusi CO2 yang kian parah, andaipun kecil dampaknya pada kenaikan muka air laut, tetapi besar pengaruhnya pada paru-paru kita, pada kenyamanan kerja kita, pada produktivitas kita.*
----------------------------------------------------------

Apabila tertarik membaca tulisan Rumah Kaca Abraham Samad versi politik di Kompasiana, silakan klik di sini, sebelum di delete, suatu saat kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar