Orang-orang Pos 327
Begitu cekatan perempuan tua itu memasang bilahan-bilahan bambu untuk memperbaiki kandang. Bilahan-bilahan itu dipaku sedemikian rupa membentuk jalinan yang kuat, sehingga kambing-kambing piaraannya, dia berharap, akan betah tinggal di kandang.
Sambil beristirahat sejenak, ia mengamati cucu perempuan satu-satunya yang sedang memberi minum kambing-kambing itu. Gadis kecil itu menimba air dari sumur, lalu menuangkannya ke kaleng bekas minyak tanah, dan sebentar saja air telah dihabiskan oleh kambing mereka. Musim kemarau membuat hewan-hewan itu gerah oleh matahari yang menyala. Sebentar-sebentar mengembik ke sumur meminta air.
Ketika dirasakan tubuhnya telah kembali fit untuk bekerja, perempuan tua itu kembali mengambil palu, paku, dan bilahan-bilahan bambu untuk dipasangnya. Tepat ketika itu telinganya menangkap derap beberapa pasang langkah mendekat ke arahnya. Tetapi ia tak terlalu peduli. Tangannya masih saja asyik menekuni pekerjaan, sampai kemudian pemilik langkah-langkah itu telah berdiri dekat dan mengamati pekerjaannya.
Seolah ada yang aneh, orang-orang tersebut mengamati perempuan tua itu beberapa lama. Tak ada yang bicara. Tempat itu sepi di ujung kampung di tepi hutan. Hanya ada satu rumah milik perempuan tua itu, dan sebuah rangkang milik peladang di dekat rumpun bambu sebelah timur. Suasana lengang. Tak ada apa-apa yang terdengar, kecuali lengking palu memukul-mukul paku dan kambing yang sesekali mengembik.
Mereka berjumlah lima orang. Masing-masing berseragam tentara, lengkap dengan topi baja dan menyandang senapan. Seorang yang berkulit putih dan tampak lebih tua mengambil rokok dari kantong bajunya lantas menyulutnya dengan zippo loreng pudar. Dia menghirup asapnya beberapa kali lalu menghembuskannya membentuk lingkaran-lingkaran kecil. "Hei, perempuan tua!" sapanya tiba-tiba. Perempuan tua itu melambatkan pekerjaannya. Ia memandang tenang ke arah orang-orang berseragam itu. "Bisakah kau hentikan pekerjaan itu sebentar?"
Tanpa mengangguk atau menjawab 'ya' perempuan tua itu serta-merta menghentikan gerak palunya. Bambu terakhir yang hendak dipakunya dibiarkannya terlepas kembali dan terjatuh ke tanah. "Mendekatlah kemari!"
Perempuan tua itu berjalan perlahan dengan sedikit membungkuk. Pandangannya menekur tanah, sampai yang terlihat olehnya hanya rumput-rumput yang meranggas kering dan sepatu-sepatu lars milik mereka. Ia melihat sepatu kanan orang yang menyapanya tadi talinya hampir lepas. Ia ingin memberi tahu orang itu, tapi....
"Kau lihat seseorang melewati jalan ini?" tanya orang itu mendahuluinya. "Hana. Saya tak melihat seseorang melewati jalan ini," jawabnya pelan dengan wajah tetap merunduk.
"Kau tadi sedang mengerjakan apa?"
"Memperbaiki kandang kambing."
"Itu semua kambing milikmu?"
"Itu semua kambing milik saya."
"Kau lihat seseorang melewati jalan ini?"
"Saya tak melihat seseorang melewati jalan ini."
Mereka diam sebentar. Dua dari mereka lalu bergerak ke belakang perempuan tua itu. Mereka mengamati sekujur tubuhnya dengan cermat.
"Sekarang berjongkoklah! Dan, buka kain yang meliliti kepalamu!" pinta seseorang yang berada di belakangnya.
Perempuan itu menurut. Ia duduk berjongkok lalu membuka kain kumal penutup kepalanya.
"Jangan merunduk. Ayo angkat wajahmu!" pinta orang yang pertama menyapa. Perempuan tua itu mengangkat pandangannya pelan-pelan dari tanah melewati sepatu yang talinya terlepas. Sekali lagi ia hendak memberi tahu keadaan tali sepatu tersebut, tapi....
"Telah berapa lama kau tinggal di sini?" orang itu bertanya sambil menatap matanya yang mendongak ke atas.
"Saya tinggal di sini telah peut ploh sa tahun." Orang itu berjalan lebih dekat ke arahnya. Kini ia berdiri persis di muka hidung perempuan tua itu sehingga aroma keringat dari celah-celah celananya bisa tercium. Sambil sedikit jongkok ia memandang ke kedalaman mata perempuan tua itu.
"Kau telah tinggal di sini empat puluh satu tahun?" ulang orang itu.
"Ya, saya telah tinggal di sini peut ploh sa tahun."
"Kau lihat seseorang melewati jalan ini?"
"Saya tak melihat seseorang melewati jalan ini."
Orang itu jongkok lebih dalam, hampir sejajar dengan perempuan tua itu.
Lututnya tepat untuk menyangga di atas dagu perempuan tua. Sebentar ia memain-mainkan senapannya, membersihkan ujung larasnya yang tak berdebu, yang hanya berjarak lima centi dari mata perempuan tua itu.
"Kau tahu ini benda apa?"
"Karabin."
"Apa kau bilang? Karabin?"
"Suami saya dulu bilang begitu."
"Suamimu punya benda ini?"
"Dia dulu ikut serdadu di zaman DI/TII."
"Bagus, ini karabin. Apa yang terjadi jika pelatuknya ditekan?"
"Jika pelatuknya ditekan, ujungnya akan meluncurkan peluru."
"Bagus! Kau lihat seseorang melewati jalan ini?"
"Saya tak melihat seseorang melewati jalan ini."
Sekali lagi orang itu menatap mata perempuan tua itu dalam-dalam dan cermat. Kemudian ia melepas dagu perempuan itu dari sanggaan lututnya. Sambil menghela napas ia berdiri. "Kau boleh melanjutkan pekerjaanmu," katanya.
Perempuan tua itu kembali memasang kain kumal meliliti kepalanya. Ia berdiri dan berjalan tenang ke arah kandang. Sesaat kemudian hentakan palu dan jeritan paku kembali mengisi tempat tersebut.
Sementara orang-orang itu masih mengamatinya, sebelum kemudian beralih ke gadis kecil yang sedang mengurus kambing-kambing di dekat sumur. "Hei..., perempuan tua! Gadis itu cucumu?" seru seorang di antara mereka. "Ya, gadis itu cucu saya," sahut si perempuan tua di antara lengking suara palu.
Tiga dari mereka beranjak ke dekat sumur. Berdiri dalam jarak selangkah dari gadis itu, yang sepertinya tidak merasa terganggu oleh kehadiran mereka.
"Gadis kecil yang cantik, kau bisa hentikan pekerjaan itu sebentar?" tegur si kurus yang bermata agak sipit.
Gadis itu berhenti menimba.
"Berdirilah menghadap ke sini!"
Ia memutar badannya menghadap orang itu.
"Apakah perempuan tua itu nenekmu?"
"Benar. Perempuan tua itu masyik saya," jawab si gadis mantap.
"Kau tadi lihat seseorang melewati jalan ini?" lanjut si kurus.
"Saya tadi tidak melihat seseorang melewati jalan ini."
"Kau menimba air untuk kambing-kambing?"
"Saya menimba air untuk kambing-kambing."
"Berapa usiamu?"
"Tujuh tahun."
"Kau bersekolah?"
"Saya bersekolah."
"Kau bisa baca angka-angka ini?" Si kurus mencondongkan badannya untuk memperlihatkan lencana kain di pundak bajunya. Si gadis memperhatikan dengan seksama angka-angka itu.
"Ayo, bacalah!"
"Ti-ga...du-a...tu-juh...," si gadis mengejanya perlahan.
"Kau tadi lihat seseorang melewati jalan ini?"
"Saya tadi tidak melihat seseorang melewati jalan ini."
Si kurus agaknya kehabisan pertanyaan. Ia bergerak menjauhi gadis kecil itu. Si kulit putih, yang tampak lebih tua, menggantikan posisinya. Ia mendekat dan berdiri di samping kiri si gadis.
"Sekarang menghadaplah ke barat," perintahnya, "Duduklah!"
Si gadis membalikkan badannya ke barat dan duduk di tanah setelah sedikit menyingkap roknya yang kusam. Orang itu ikut duduk dengan berjongkok, lantas memeluknya dari samping serta mengusap-usap dahi dan rambut si gadis.
"Kau lihat, apa itu bola yang memancarkan sinarnya dari langit?" tanya orang itu seraya mengarahkan telunjuknya ke matahari. Gadis kecil itu menatapnya silau sehingga matanya berkedip-kedip beberapa kali.
"Itu matahari...," gumamnya kemudian.
"Kubilang itu bulan, kau dengar!"
Gadis itu tak menyahut. Ia tetap saja menatap matahari dengan mata berkedip-kedip silau.
"Kau lihat, apa itu bola yang memancarkan sinarnya dari langit?" ulang orang itu.
Lama gadis itu tak menjawab. Bibirnya bergetar dan matanya terpejam. "Anak manis, kau dengar pertanyaan saya?"
"Itu bulan...," ujar gadis itu setelah membuka matanya dan kembali menatap matahari.
"Sinar bulan itu dingin atau panas?"
"Sinar bulan itu panas," jawab si gadis cepat.
"Bagus! Kau tadi lihat seseorang melewati jalan ini?"
"Saya tadi tidak melihat seseorang melewati jalan ini."
Buat kali terakhir orang itu mengusap-usap kepala si gadis, kemudian ia melepas pelukannya dan berdiri. Mengambil rokok dari kantong bajunya, lalu menyulutnya dengan zippo loreng pudar. Menghirup asapnya beberapa kali dan menghembuskannya kembali membentuk lingkaran-lingkaran kecil. Ia melirik teman-temannya satu per satu, memperhatikan si perempuan tua yang tetap asyik dengan pekerjaannya, dan terakhir menatap si gadis yang masih duduk di tanah. "Sekarang kau boleh bangun untuk melanjutkan pekerjaanmu," ujarnya.
Gadis kecil itu bangkit sambil menyapu-nyapu debu pada belakang roknya dengan telapak tangannya.
Sementara si kulit putih memberi isyarat pada teman-temannya untuk meninggalkan tempat itu. Mereka mengambil jalan ke timur, melewati simpang di tikungan meunasah, lantas lenyap dari pandangan. Beberapa saat selanjutnya di tepi hutan itu yang terdengar hanya lengkingan palu dan gemercik air sumur yang ditimba oleh si gadis.*
Cerpen Oleh Muhammad Nasir Age
Cerpen ini memenangkan juara kedua Sayembara Menulis Cerpen Tingkat Nasional 2005 yang diselenggarakan oleh Creative Writing Institute (CWI) bekerja sama dengan Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. Terpilih sebagai juara pertama La Runduma karya Wa Ode Wulan Ratna, dan juara ketiga Abu Nipah karya Herman R. Terpilih sebagai juara harapan pertama cerpen Pulang karya Galang Lutfiyanto, juara harapan kedua Bersampan ke Seberang karya Satmoko Budi Santoso, dan juara harapan ketiga Perempuan itu Terlahir dari Doa karya Kukuh Yudha Kananta. Dewan Juri juga memilih 24 cerpen nomine untuk dibukukan bersama karya para juara.