• L3
  • Email :
  • Search :

24 Maret 2020

Disrupsi Siklus Air

Disrupsi Siklus Air
Oleh Gede H Cahyana
Associate Professor Teknik Lingkungan Universitas Kebangsaan

Dimuat di Majalah Air Minum, Edisi 294, Maret 2020.

Siapakah pemilik air? Apakah air mutlak hak kita? Apakah air selalu tersedia di tempat ia dibutuhkan? Apakah air selalu tersedia ketika ia dibutuhkan? Adakah potensi perang karena air?

Tema peringatan Hari Air Dunia (World Water Day) berbeda dari tahun ke tahun. Tahun 2020 ini bertema Water and Climate Change. Air dan Perubahan Iklim. Sudah banyak fakta bahwa perubahan iklim berpengaruh pada air, baik kuantitas, kualitas, maupun kontinyuitas alirannya. Banjir awal tahun 2020 di Jakarta, Bekasi, Lebak, Tangerang, dan daerah di luar Pulau Jawa adalah dampak dari curah hujan yang melebihi curah hujan rata-rata. Hujan adalah fenomena cuaca (weather) seperti halnya salju, perubahan temperatur udara, angin, awan yang bersifat jangka pendek (short-term). Sedangkan iklim adalah perubahan rerata cuaca dalam jangka panjang (long-term). Iklim dan cuaca mempengaruhi kejadian hujan: di mana, kapan, dan bagaimana terjadinya.  



Rusakkah Siklus Air?
Betulkah kuantitas atau volume air berkurang? Secara teoretis, jumlah air yang terlibat di dalam siklus air (hydrologic atau hydrological cycle) di dunia ini tidak berubah. Tidak bertambah, tidak juga berkurang. Yang terjadi adalah perubahan kuantitas tiga wujud air. Wujud padat, yaitu es, wujud cair, yaitu air, dan wujud gas, yaitu uap. Ketiga wujud ini terbentuk oleh dua proses penting di dalam siklus air, yaitu penguapan (evaporation) dan pengembunan (condensation).  Menurut Enger dan Smith (2016) keduanya dikendalikan oleh transfer energi dari matahari dan temperatur planet Bumi yang dipengaruhi oleh jebakan panas oleh gas-gas rumah kaca (greenhouse gases).

Pada proses penguapan air, energi ini menyebabkan jarak antar-molekul air makin jauh sehingga berubah menjadi gas. Pada proses kondensasi, molekul air melepaskan energinya sehingga jarak antar-molekul makin dekat yang akhirnya menjadi cair. Fenomena jatuhnya zat cair ini disebut hujan. Air hujan yang menyentuh tanah ada yang melimpas di permukaan tanah, sawah, kolam, rawa, lalu masuk ke selokan, sungai, danau, waduk, dan berakhir di laut. Ada juga yang masuk ke dalam tanah menjadi air tanah dangkal dan air tanah dalam. Sisanya tersebar di pohon, daun, bunga, hewan, bebatuan, dan material lainnya yang mampu menampung air. Begitu kejadiannya sepanjang masa.

Jika betul demikian yang terjadi, mengapa banyak daerah yang kesulitan air pada musim kemarau? Karena hanya sedikit air yang masuk ke dalam reservoir alami bernama ruang antarbutir atau parasitas (perviousness) dan ruang di dalam butir tanah atau porositas (porosity). Hanya sedikit yang menjadi air tanah. Mayoritas air pada musim hujan langsung ke sungai menuju laut. Sedikit yang menjadi air tanah dangkal dan makin sedikit lagi yang masuk ke dalam akifer air tanah dalam. Akibatnya terjadi krisis air pada musim kemarau, terutama saat kemarau panjang. Terjadi disrupsi siklus air. Siklusnya tetap, komponen yang menyebabkan terjadinya siklus juga tetap ada, tetapi perubahan iklim menyebabkan kapan, di mana, bagaimana terjadinya hujan mengalami perubahan. Ada daerah yang sering hujan pada lima puluh tahun yang lalu tetapi sekarang kejadian hujannya berkurang. Ada daerah yang sedikit hujan pada masa lalu tetapi sekarang sering kebanjiran.  

Air Baku dari Air Limbah
Meskipun belum ada yang mengukur volume air di laut tetapi bisa diduga berdasarkan disrupsi siklus air tersebut bahwa air laut pasti bertambah. Ada indikasi kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan atmosfer Bumi (global warming).  Sebaliknya air tawar makin sedikit. Jumlah orang makin banyak, kebutuhan air tawar yang layak diminum atau digunakan untuk keperluan lainnya juga makin banyak. Kira-kira 1,1 miliar orang di dunia ini tidak punya akses air bersih. Di zone American West, air sudah menimbulkan perang (Water Wars). Whiskey is for drinking, water is for fighting. Ini ungkapan bergaya cowboy di Wild Wild West. Perang ini pun bisa terjadi antar-negara atau antara dua atau lebih kabupaten, kota, provinsi. Selanjutnya adalah air limbah yang terus bertambah. Begitu juga air asin akibat intrusi air laut yang meluas di kota dekat pantai seperti pantura Jawa. Di kota-kota yang banyak kawasan industri terjadi “tambang air tanah” (groundwater mining).  Inilah disrupsi sumber daya air.

Sejak dulu hingga saat ini sumber air diberdayakan untuk empat kelompok kebutuhan. Yang pertama adalah kebutuhan domestik, dimanfaatkan untuk aktivitas mandi, cuci, kakus, dan dapur. Termasuk untuk makan dan minum dan kebutuhan ibadah. Yang kedua adalah kebutuhan pertanian. Sebelum ada perusahaan air minum, masyarakat memperoleh air dari upaya sendiri dengan membuat sumur gali atau memanfaatkan mata air dan sungai, pada saat itu pertanian sudah memanfaatkan air. Tidak terjadi sengketa air karena kebutuhan air untuk domestik relatif sedikit dibandingkan dengan kebutuhan air untuk pertanian. Ini terjadi karena penduduk setempat masih sedikit. Yang ketiga adalah kebutuhan untuk industri. Makin banyak industri, terutama industri makanan dan minuman, makin banyak dibutuhkan air. Ada juga penggunaan air industri untuk pengisi ketel uap dan pencuci atau pembilas bahan baku.  Penggunaan air yang keempat disebut In-Stream, yaitu air yang digunakan sebagai sarana seperti pembangkit listrik tenaga air, untuk navigasi atau pelayaran sungai, danau, dan laut dan sebagai objek wisata (Enger dan Smith, 2016).

Semua penggunaan air tersebut berujung pada air limbah atau air bekas. Timbullah air limbah domestik, air limbah pertanian, air limbah industri, dan air limbah akibat minyak dan oli dari kapal atau perahu motor. Bisa terjadi juga polusi air tanah dangkal. Sedangkan air tanah dalam hampir tidak terpengaruh oleh semua kegiatan tersebut. Dengan catatan, tidak terjadi retak (fracture) pada lapisan batuan akifernya. Air tercemar inilah yang makin banyak jumlahnya dan menjadi masalah bagi sumber air PDAM. Kalau bukan karena air limbah industri, maka masalahnya adalah cemaran dari air pertanian. Semua pestisida dan pupuk yang digunakan berpotensi ada di dalam air baku PDAM. Sudah saatnya IPAM di PDAM dilengkapi dengan unit operasi dan proses yang mampu menghilangkan pestisida dalam berbagai jenis zat kimia dan menghilangkan nutrien dari pupuk yang digunakan. Siapkah PDAM mengantisipasi air baku yang sudah berkualitas seperti air limbah?

Paradigma Baru
Perubahan iklim adalah keniscayaan. Banyak indikasinya. Sementara itu PDAM harus terus hidup sebagai penyedia air layak guna dan layak minum untuk masyarakat di daerah masing-masing. Tetapi sumber air baku yang bersahabat sudah langka. Banyak air baku yang tidak bersahabat. Tidak mudah diolah. Bahkan kualitasnya sudah setara dengan air limbah. Akankah berhenti berproduksi hanya karena air baku sudah berubah menjadi seperti air limbah? Tentu tidak. Spirit filsafat PDAM adalah P = Pegawai, D = Desain, A = Area servis, M = Manajemen dan aspek AIR: A (aman secara kualitas), I (Isi atau volume air yang dibutuhkan per orang per hari), dan R (Rutin, kontinyu 24 jam sehari) (Cahyana, 2004). Masyarakat tetap setia menunggu inovasi teknologi yang diterapkan di PDAM untuk air minum yang aman, tarif yang bersahabat dan tersedia sepanjang hari dan malam.

Hingga saat ini pelanggan masih percaya kepada PDAM dan ini harus dijadikan pemicu untuk mengolah air limbah menjadi air layak minum. Menggeser paradigma lama bahwa air baku adalah air yang kualitasnya seperti air sungai di hulu di kaki gunung. Masih bersih. Ini betul dan bisa dilakukan dengan uang. Maka ada istilah “water flows uphill toward money”. Air bisa mengalir ke hulu, maksudnya menjadi bersih kembali, dengan uang. Artinya dengan teknologi. Saatnya mengolah air baku berkualitas air limbah dengan smart system. Begitu pula PDAM yang berlokasi di dekat pantai sudah saatnya menggunakan air payau atau air laut sebagai sumber air dengan smart system juga. Tentu ada pertimbangan, apakah mengolah air payau lebih murah daripada mengolah air limbah. Sebagai contoh, Singapura sudah lama mengolah air limbah menjadi air minum. NEWater bahkan menetapkan pada tahun 2060 setengah dari kebutuhan air di Singapura berasal dari air limbah (Cunningham dan Cunningham, 2017).

Apabila PDAM mengadopsi teknologi NEWater tersebut, bagaimana dengan tarif airnya? Bagaimana dengan kelayakan air sebagai sarana ibadah seperti wudhu bagi masyarakat yang beragama Islam? Bukankah sekarang ini air bekas wudhu, bekas cuci yang sudah diresirkulasi tetap menimbulkan “diskusi tanpa akhir”? Biarlah ini menjadi bahasan ulama. Hanya saja perlu diingat bahwa fungsi dan tujuan IPAM di PDAM sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan “IPAM” yang bernama siklus air itu. Apalagi dengan teknologi yang digunakan di NEWater. Kalau air hujan hasil olahan “IPAM” siklus air sah untuk wudhu, bisakah air limbah kamar mandi, WC dan urinal yang diolah dengan teknologi seperti di NEWater itu disetarakan dengan air hujan sehingga suci dan mensucikan juga?

Itulah sejumlah masalah, sederet pertanyaan yang muncul akibat disrupsi siklus air lantaran perubahan iklim. Selamat memperingati Hari Air Dunia, 22 Maret 2020. Senantiasa jayalah PDAM. *

Daftar Pustaka
1. Cahyana, G. H. (2004), PDAM Bangkrut, Awas Perang Air, Sahara Golden Press, Bandung, ISBN. 979-98596-0-3.
2. Cunningham, W. dan M. A. Cunningham  (2017), Principles of Environmental Science: Inquiry and Application, McGraw-Hill Education, New York, ISBN. 978-0-07-803607.
3. Enger E. D. dan B. F. Smith (2016), Environmental Science: a Study of Interrelationships, McGraw-Hill Education, New York, ISBN. 978-1-259-25309-9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar