• L3
  • Email :
  • Search :

26 Maret 2020

Corona dan Pekerja Informal Sanitasi

Corona dan Pekerja Informal Sanitasi

Pasien Covid-19 terus bertambah. Tidak ada lagi pengumuman pasien nomor sekian sembuh, pasien nomor sekian meninggal, dan yang di Solo adalah pasien nomor sekian. Mengawali kasus ini dengan senda gurau, canda tawa, dan senyum sumringah para menteri ketika ditanya wartawan, kini tidak ada lagi. Yang muncul adalah wajah-wajah kaku para juru bicara (jubir) yang nyaris always ingin menang sendiri, menggunakan diksi represif, baik di TV maupun medsos mereka.

“Ini seperti puncak gunung es. Yang terdeteksi hanya 10%,” begitulah ujaran yang beredar. Yang sudah sakit tetapi tidak tercatat jauh lebih banyak. Orang sakit yang kelihatan sehat inilah yang bahaya. Mereka bisa menjadi pengedar (bukan narkoba). Pengedar virus Corona. Siapakah mereka? Komunitas studi sosial menyebutnya orang-orang marjinal. Hampir tanpa hak asasi manusia. Mereka bekerja harian dan malaman. Siang dan malam. Ketika orang lain belajar, bekerja, beribadah di rumah sembari tetap dapat gaji, mereka tetap bekerja di luar. Ketika orang beli-rusuh (panic buying), mereka tidak beli apa-apa. Bukan karena tidak ingin, tapi tak ada uang. Ketika orang memborong sanitangan (hand sanitizer), sepotong sabun pun mereka tak punya.


Mereka adalah pekerja sanitasi. Pekerja di tingkat bawah. Mereka pembersih selokan (sewer atau sewerage). Penyedot tinja (septic tank). Pengais sampah. Mereka bekerja tanpa sarung tangan. Tanpa masker. Tanpa sabun. Tanpa APD. Tak pernah tahu sanitangan. Sampah masker, sarung tangan, sisa makanan yang bertumpuk di bak sampah menjadi “harta-karun” untuk hari itu. Kompilasi penelitian yang ditulis ringkas di The New England Journal of Medicine menyatakan bahwa virus Corona bisa bertahan beberapa hari di benda-benda berbahan tertentu. Benda itu banyak ada di bak sampah. Di TPS dan TPA. Adakah uji-cepat (rapid test) diadakan di TPA sampah? 

Kalau hanya fokus pada “orang-orang kota”, lupa atau melupakan test pada orang-orang marjinal (pinggiran) ini, bukankah Corona tidak akan bisa lenyap, tidak akan bisa “diputus” sebarannya? Artinya, virus Corona akan sulit dibasmi apabila sampah-sampah masker, sarung tangan, dll terus berserakan di mana-mana dan menularkannya ke pekerja informal sanitasi tersebut. Ini luput dari perhatian pemerintah pusat dan daerah. Apabila pemerintah alergi atas aksi “lock down”, mbok ya jangan menatap mereka “look down” terhadap pekerja informal sanitasi itu. Jangan melihat dengan sebelah mata, jangan meremehkan. Mereka manusia Indonesia juga. Negeri indah dengan nyiur melambai.

Masihkah indah negeri ini? Adakah exploitation de l'homme par l'homme di negeri ini? Kisruh pendapat perihal prioritas rapid test dan beli-rusuh, penolakan warga sekitar terhadap perawat pasien Covid-19 adalah ciri-cirinya. Masih adakah asas kekeluargaan, gotong-royong? Janganlah bertanya kepada rumput yang bergoyang. Tidak akan mendapatkan jawaban. Tanyakan kepada hati masing-masing, khususnya hati para pemimpin di pemerintahan pusat dan daerah. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar