Corona dan Pekerja Informal Sanitasi
Pasien Covid-19 terus bertambah. Tidak
ada lagi pengumuman pasien nomor sekian sembuh, pasien nomor sekian meninggal,
dan yang di Solo adalah pasien nomor sekian. Mengawali kasus ini dengan senda
gurau, canda tawa, dan senyum sumringah para menteri ketika ditanya wartawan, kini
tidak ada lagi. Yang muncul adalah wajah-wajah kaku para juru bicara (jubir)
yang nyaris always ingin menang sendiri, menggunakan diksi represif, baik di TV
maupun medsos mereka.
“Ini seperti puncak gunung es. Yang
terdeteksi hanya 10%,” begitulah ujaran yang beredar. Yang sudah sakit tetapi
tidak tercatat jauh lebih banyak. Orang sakit yang kelihatan sehat inilah yang
bahaya. Mereka bisa menjadi pengedar (bukan narkoba). Pengedar virus Corona. Siapakah
mereka? Komunitas studi sosial menyebutnya orang-orang marjinal. Hampir tanpa
hak asasi manusia. Mereka bekerja harian dan malaman. Siang dan malam. Ketika
orang lain belajar, bekerja, beribadah di rumah sembari tetap dapat gaji, mereka
tetap bekerja di luar. Ketika orang beli-rusuh (panic buying), mereka tidak
beli apa-apa. Bukan karena tidak ingin, tapi tak ada uang. Ketika orang
memborong sanitangan (hand sanitizer), sepotong sabun pun mereka tak punya.
Mereka adalah pekerja sanitasi. Pekerja
di tingkat bawah. Mereka pembersih selokan (sewer atau sewerage). Penyedot
tinja (septic tank). Pengais sampah. Mereka bekerja tanpa sarung tangan. Tanpa
masker. Tanpa sabun. Tanpa APD. Tak pernah tahu sanitangan. Sampah masker,
sarung tangan, sisa makanan yang bertumpuk di bak sampah menjadi “harta-karun”
untuk hari itu. Kompilasi penelitian yang ditulis ringkas di The New England
Journal of Medicine menyatakan bahwa virus Corona bisa bertahan beberapa hari
di benda-benda berbahan tertentu. Benda itu banyak ada di bak sampah. Di TPS
dan TPA. Adakah uji-cepat (rapid test)
diadakan di TPA sampah?
Kalau hanya fokus pada “orang-orang kota”, lupa atau
melupakan test pada orang-orang marjinal (pinggiran) ini, bukankah Corona tidak
akan bisa lenyap, tidak akan bisa “diputus” sebarannya? Artinya, virus Corona akan sulit dibasmi
apabila sampah-sampah masker, sarung tangan, dll terus berserakan di mana-mana dan
menularkannya ke pekerja informal sanitasi tersebut. Ini luput dari perhatian
pemerintah pusat dan daerah. Apabila pemerintah alergi atas aksi “lock down”,
mbok ya jangan menatap mereka “look down” terhadap pekerja informal sanitasi itu.
Jangan melihat dengan sebelah mata, jangan meremehkan. Mereka manusia Indonesia
juga. Negeri indah dengan nyiur melambai.
Masihkah indah negeri ini? Adakah exploitation de l'homme par l'homme di negeri ini? Kisruh pendapat perihal prioritas rapid test dan beli-rusuh, penolakan warga sekitar terhadap perawat pasien Covid-19 adalah ciri-cirinya. Masih adakah asas kekeluargaan, gotong-royong? Janganlah bertanya kepada rumput yang bergoyang. Tidak akan mendapatkan jawaban. Tanyakan kepada hati masing-masing, khususnya hati para pemimpin di pemerintahan pusat dan daerah. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar