Disinfection of Novel Coronavirus in PDAM’s Drinking Water and Wastewater for New Normal Phase
Gede H. Cahyana
ABSTRACT
The
first COVID-19 outbreak was occurred in Wuhan, December 2019. WHO has assigned
the outbreak as pandemic on March 11, 2020. This article aims to review the
effectiveness of chlorination in eradicating viruses (and bacteria) in drinking
water and wastewater so that people have scientific information in eradication
practice. Articles were obtained from scholar.google.com, National Library,
textbooks. During pandemic doctors, paramedics have carried out curative
efforts. People have carried out preventive efforts. A third attempt is needed,
mechanical action using chlorine. Chlorine was able to inactivate viruses in
objects affected by droplets. At a dose 0.2–40 mg/l and free chlorine residual
0.2–0.5 mg/l, chlorination was effective in eradicating viruses (and bacteria)
in drinking water. Bacteria can be used as a host by viruses. If the bacteria
die, viruses are inactive. The novel Coronavirus envelope can be destroyed by
chlorine. Researchers have found genetic material of novel Coronavirus in
wastewater. The SARS virus has also been found in raw wastewater and treated
wastewater with disinfectant. This states, chlorination is not effective in
eradicating viruses (and bacteria) in wastewater because of its abundant of
faeces. Chlorination is also not effective for killing viruses (and bacteria)
in the oxidation pond. Effluents always contain significant amounts of viruses
(and bacteria). The genetic material of novel Coronavirus found in wastewater
will be a latent danger after pandemic (new normal). Water treated by PDAM will
become more important in new normal and must be provided in public and social
facilities.
Keywords: COVID-19, chlorination , disinfection, drinking water, wastewater
PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa novel Coronavirus pertama kali muncul di
Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China pada Desember 2019. Virus Corona baru ini
termasuk subfamili Coronavirinae
dalam famili Coronaviridae dan ordo Nidovirales (Schoeman and Fielding,
2019). Virus baru yang disebut SARS-CoV-2 ini masih satu famili dengan Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus (SARS-CoV atau SARS) dan Middle
East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV atau MERS). SARS-CoV-2
tersebut diduga berasal dari anjing yang biasa dimakan oleh penduduk Wuhan.
Kejadian tersebut sama dengan epidemi SARS tahun 2003 dengan lebih dari 8.000
kasus di seluruh dunia dan mortality rate
10% (Manocha et al, 2003). Pada kasus SARS 2003 tersebut dinyatakan bahwa
musang dan kelelawar sebagai sumber dan reservoir virus (Guan et al, 2003; Lau
et al, 2005; Wang et al, 2006).
Ketiga jenis virus tersebut memiliki sifat fisika dan
biokimia yang sama. Semuanya virus berselimut (enveloped) dengan genom RNA
utas-tunggal (single-stranded).
Belshe (1984) menyatakan bahwa bentuk fisik virus tersebut juga sama, yaitu
memiliki mahkota (Latin: corona,
Inggris: crown) dengan bentuk bola
berdiameter 60–220 nm. Virus tersebut sering menginfeksi burung, mamalia, dan
manusia dengan transmisi lewat aerosol atau jalur fekal-oral. Sebarannya
semakin cepat dan luas lewat muncratan liur (droplets) pasien. Namun bukti muncratan liur ini dulu diragukan
oleh Belshe, “there is no direct evidence
to support this” (Belshe, 1984). Sebaliknya WHO berpendapat lain sejak
epidemi SARS (2003), MERS (2012) hingga pandemi COVID-19 (CO: Corona, VI:
virus, D: disease, 19 adalah tahun mulai wabah 2019. WHO menyatakan bahwa
muncratan liur (droplets) pasien makin meluaskan sebaran virus Corona. Kontak
fisik antara dokter, paramedis, dan pasien juga interaksi fisik (social - physical distancing) masyarakat
dan pasien mengakibatkan jumlah orang sakit tumbuh secara eksponensial
(Worldometer, 2020).
Di Indonesia kejadian wabah ini
secara resmi diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020. Waktu itu
Presiden menyatakan bahwa ada dua orang WNI terinfeksi virus Corona baru.
Setelah pengumuman itu penduduk di Jakarta, Bandung dan Surabaya menjadi panik
dan memborong kebutuhan pokok harian. Sembilan kebutuhan pokok, masker, dan
sanitangan (hand sanitizer) menjadi
langka dan mahal harganya akibat panic
buying atau rush buying
(beli-rusuh). Kemudian pada 11 Maret 2020 WHO menetapkan wabah ini sebagai
pandemi, yaitu berjangkit serempak di mana-mana, meliputi geografi yang luas di
seluruh dunia. Sampai 7 Juli 2020 sudah terjadi di 216 negara. Jumlah yang
sakit hingga 7 Juli 2020 lebih dari 11.764.000 orang, yang meninggal lebih dari
541.000 orang, dan sembuh 6.753.000 orang. Di Indonesia terjadi di semua
provinsi, pasien berjumlah lebih dari 66.266 orang, meninggal 3.309 orang,
sembuh lebih dari 30.785 orang (Worldometer, 2020).
METODOLOGI
Artikel
ini membahas kemampuan disinfektan senyawa klor seperti chlorine, kaporit,
sodium hipoklorit dalam membasmi bakteri dan virus. Pembahasan difokuskan pada
pemanfaatan senyawa klor untuk disinfeksi di dalam air minum yang diolah oleh
PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), sebuah perusahaan daerah yang ada di hampir
semua kabupaten-kota di Indonesia. Artikel ini juga mengulas disinfeksi di
dalam pengolahan air limbah, yaitu IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) yang
dikelola oleh PDAM. IPAL yang dianalisis adalah IPAL Bojongsoang yang dikelola
oleh PDAM Kota Bandung.
Semua
artikel yang dijadikan rujukan diperoleh dari internet dengan fokus pada wabah
yang disebabkan oleh virus Corona seperti wabah SARS dan MERS, termasuk wabah
Covid-19 yang dirilis di portal berita internasional dan website WHO antara
bulan Maret dan Juni 2020. Artikel diperoleh dengan memanfaatkan
Scholar.Google.com, fasilitas di website Perpustakaan Nasional, dan website
berita dan rubrik sainstek portal berita internasional. Adapun sumber ilmiah
lainnya adalah buku-buku teks di bidang Teknik Penyehatan (Sanitary Engineering) dan Teknik Lingkungan (Environmental Engineering).
Buku teks tersebut menjadi rujukan utama dalam perkuliahan dan penulisan
artikel ilmiah.
Artikel
dan buku teks dikelompokkan ke dalam materi yang membahas pemanfaatan klor
sebagai disinfektan untuk membasmi bakteri dan virus Corona SARS dan MERS dan
hipotesis untuk novel Coronavirus penyebab COVID-19. Uraian ditulis dalam bentuk narasi deskriptif
yang dipisahkan menjadi beberapa subbab sehingga dapat memberikan alur
penjelasan yang runtut, mulai dari
pengenalan zat kimia disinfektan, proses klorinasi di dalam air minum,
klorinasi di dalam air limbah, persistensi virus Corona di dalam air limbah dan
kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Upaya
Preventif dan Kuratif.
Karakteristik virus Corona baru sedang diteliti di sejumlah
negara. Virus baru ini juga dikaji dalam aspek virologi lingkungan (environmental virology), yaitu kajian
yang fokus pada transmisi virus ke dalam air minum, air limbah, tanah, dan
udara. Kajian virologi lingkungan ini berawal dari kasus infeksi virus yang
menimbulkan wabah penyakit hepatitis di New Delhi, India pada Desember 1955
hingga Januari 1956 (Bosch et al, 2006). Virus hepatitis tersebut menginfeksi
30.000 orang karena air Sungai Jumna (Yamuna) sebagai sumber air minum penduduk
terkontaminasi oleh air limbah domestik. Air limbah domestik ini mengandung
lebih dari 100 spesies virus, baik yang berbahaya maupun yang tidak berbahaya
(Bosch, 1998). Bagaimana dengan potensi bahaya virus Corona baru?
Potensi
bahaya virus Corona baru terjadi dalam kontak sosial dan fisik di masyarakat.
Percikan atau muncratan (droplets)
liur seseorang ketika batuk atau bersin, juga cairan hidung, telinga, ludah
yang menempel di benda-benda di fasilitas umum seperti tombol lift, pagar tangga dan eskalator, lavatory, faucet, urinal, water closet bisa
menjadi sumber virus. Semua permukaan alat plambing (plumbing fixtures) di ruang toilet bandara, stasiun kereta api,
terminal bis juga bisa menjadi sumber virus. Bahkan bagian dalam pipa air yang
berupa endapan kimia dan biofilm juga mengandung virus (Treado et al, 2006).
Karena virus Corona baru mudah menyebar maka pemerintah setiap negara berupaya
membasmi dengan berbagai cara. Pemerintah pusat dan daerah di Indonesia
mengeluarkan peraturan dan mengajak ulama, tokoh agama untuk menghimbau
masyarakat agar bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.
Satu
himbauan yang disampaikan pemerintah untuk mengurangi risiko penularan COVID-19
adalah dengan memperkuat daya tahan tubuh, kekebalan atau imunitas. Upaya
pertama ini adalah upaya preventif atau pencegahan. Makin sehat seseorang akan
makin sulit diinfeksi oleh virus. Agar sehat maka seseorang harus makan makanan
bergizi cukup, berisi karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air
bersih. Selain makanan pokok, beberapa makanan yang disarankan adalah madu,
sayur, dan buah-buahan bervitamin C seperti tomat, jambu biji, jeruk lemon atau
nipis. Juga mengonsumsi rempah, rimpang seperti jahe, kunyit, dan kencur.
Ditambah dengan olah raga rutin seperti jalan kaki, senam atau gerak badan
lainnya.
Upaya
kedua adalah tindakan kuratif untuk orang yang positif Corona, yaitu pengobatan
dan isolasi. Upaya kuratif ini dilaksanakan oleh dokter, paramedis di rumah
sakit, khususnya rumah sakit yang memiliki ruang isolasi. Pasien COVID-19
diisolasi dan dirawat di ruang khusus sehingga virus tidak bisa ke luar ruang.
Virus Corona diupayakan mati di dalam ruang perawatan pasien sehingga sebaran
virus bisa dihentikan. Sementara itu imunitas pasien terus diperkuat dengan
obat, asupan suplemen vitamin, makanan bergizi sehingga pasien bisa bertahan
dan melewati masa kritisnya sampai sehat kembali. Dalam proses pengobatan ini
hanya dokter dan perawat yang boleh kontak dengan pasien dan harus mengikuti
standar protokol penyakit menular, yaitu mengenakan alat pelindung diri (APD) seperti
hazmat, sarung tangan, dan masker N95 (WHO, 2019).
Namun
demikian, sebaran COVID-19 ke seluruh dunia menandakan bahwa tidak mudah
menghentikan virus ini. Faktor ekonomi dan hubungan sosial satu orang dengan
orang lain menjadi salah satu sebab. Satu bulan pertama setelah diumumkan oleh
pemerintah Republik Indonesia nyaris tidak ada social-physical distancing
yang ditaati oleh masyarakat. Penduduk tidak menjaga jarak dalam komunikasi
langsung dan berperilaku seolah-olah tidak ada wabah. Sebaran virus ini makin
luas lantaran ada orang yang tampak sehat tetapi di dalam tubuhnya berisi
virus. Mereka terinfeksi tetapi kelihatan sehat. Orang yang harus diwaspadai
adalah yang positif COVID-19 dengan cara menghindar dari muncratan liur dan
cairan hidung yang melekat di benda-benda sekitar. The New England Journal of Medicine edisi 17 Maret 2020 merilis
surat (letter) dari van Doremalen,
Bushmaker, dan Morris. Surat tersebut menyatakan bahwa Corona bisa bertahan
tiga jam di dalam aerosol, empat jam di permukaan tembaga, 24 jam di permukaan
karton, dan bertahan tiga hari di permukaan plastik dan logam stainless (NEM,
2020).
Tersebut
adalah upaya preventif dan kuratif yang ternyata belum cukup untuk melawan
Corona. Penguatan kekebalan tubuh seseorang perlu ditambah dengan upaya ketiga,
yaitu tindakan mekanis. Tindakan mekanis ini dilakukan dengan cara memanfaatkan
biosida zat kimia. Zat kimia yang bisa digunakan ialah fenol, logam berat,
hidrogen peroksida, asam, alkali (basa), dyes,
sabun, deterjen sintetis (Tchobanoglous, Metcalf & Eddy, 2003). Sabun dan
deterjen mudah diperoleh dan sudah banyak digunakan oleh masyarakat untuk
membasmi bakteri dan virus. Sabun padat yang dibuat dari alkali natrium
hidroksida dan sabun cair yang dibuat dari alkali kalium hidroksida efektif
untuk membunuh bakteri dan virus. Kedua wujud sabun tersebut ada yang
dilengkapi dengan antiseptik seperti senyawa triclosan atau triclocarban
meskipun kedua senyawa ini masih diperdebatkan bahaya atau risikonya terhadap
manusia. Bisa juga menggunakan senyawa lain, yaitu alkohol 70% atau produk
komersial yang berisi alkohol seperti sanitangan (hand sanitizer). Ada satu lagi yang bisa digunakan, yaitu air
olahan PDAM yang mengandung klor.
Instalasi
Pengolahan Air Minum
Pengolahan air minum untuk melayani penduduk kota, kabupaten
atau provinsi di Indonesia dilaksanakan oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air
Minum). PDAM mengolah air baku dari sungai, waduk, danau, atau muara (air
payau) menggunakan Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM) yang terdiri atas unit
proses dan unit operasi prasedimentasi, aerasi, kogulasi, flokulasi,
sedimentasi, filtrasi, dan disinfeksi (Reynold, 1996). Tentu masih ada lagi
unit proses dan unit operasi lainnya, bergantung pada kualitas air baku yang diolah
dan kualitas air minum yang diinginkan. Adapun unit untuk membasmi bakteri dan
virus disebut unit proses disinfeksi atau lebih khusus lagi disebut klorinasi
apabila zat kimia yang digunakan adalah klor.
Menurut sejarahnya, proses klorinasi menggunakan gas klor
pertama kali dilaksanakan pada tahun 1887 di Amerika Serikat sedangkan klor
cair digunakan sejak 1914. Di Jersey City, New Jersey, USA senyawa klor ini
digunakan sebagai disinfektan di dalam penyediaan air minum pada tahun 1908
oleh George Johnson dan John Leal (Fair et al, 1968). Adapun di London pertama
kali digunakan pada tahun 1854 tetapi berupa kaporit atau chlorinated lime
(Developments in Water Science, 1985). Senyawa klor ditemukan oleh ahli kimia
dari Swedia bernama Scheele (1742-1786). Dalam sistem periodik, klor termasuk
golongan halogen (VIIA) yang memiliki 7 elektron di kulit terluar. Senyawa
halogen lain yang bisa digunakan untuk disinfeksi adalah bromine dan iodine
(Tchobanoglous, Metcalf & Eddy, 2003). Tujuh elektron di kulit terluar
sangat stabil sehingga cenderung sebagai oksidator pada setiap reaksi kimia.
Maka klor yang dilarutkan di dalam air PDAM akan mengoksidasi atau membunuh
mikroba yang ada di dalam air tersebut.
Semua PDAM di Indonesia menggunakan klor dalam proses disinfeksi
airnya. Bisa dikatakan, sejarah disinfeksi identik dengan sejarah klorinasi.
Jenis senyawa klor yang biasa digunakan untuk disinfeksi di PDAM adalah kaporit
(kalsium hipoklorit, Ca(OCl)2). Sebutan lain kaporit adalah bleaching powder atau chlorinated lime. Disinfektan lainnya
yang juga biasa digunakan adalah natrium hipoklorit (NaOCl), klor (chlorine,
Cl2), chloramines (Snoeyink and Jenkins, 1980). Klor diinjeksikan ke dalam air
bersih di reservoir dengan kisaran waktu kontak (t, time) antara 15–30 menit. Dosis klor yang biasa digunakan adalah
0,2–40 mg/l. Keuntungan menggunakan klor untuk disinfeksi adalah adanya sisa
klor bebas antara 0,2–0,5 mg/l (Droste, 1997). Sisa klor bebas ini dibutuhkan
apabila di pipa distribusi yang ditanam di dalam tanah terjadi rekontaminasi
bakteri dan virus akibat kebocoran pipa. Sisa klor inilah yang diharapkan
membasmi bakteri dan virus di dalam air.
Klor bisa dijadikan disinfektan karena memenuhi
karakteristik sebagai biosida yaitu: (1) toksik bagi mikroba pada konsentrasi
yang tidak berbahaya bagi manusia dan hewan; (2) cepat bereaksi membunuh virus
dan bakteri dengan waktu kontak yang singkat; (3) tahan lama sehingga mampu
menanggulangi infeksi akibat rekontaminasi di zone distribusi; (4) murah dan
mudah diperoleh; (5) mudah dianalisis di laboratorium; dan (6) mudah menentukan
dosisnya. (Cahyana, 2004, hlm. 242). Adapun WHO memberikan rekomendasi
klorinasi yang mengacu pada hasil kali antara konsentrasi C dan waktu kontak t
sebesar 15 mg.menit/liter. Rumusan hasil kali konsentrasi klor dan waktu kontak
ini diberikan oleh hukum Watson (Clark et al, 1989). Angka ini dapat dilihat
pada Gambar 1, yaitu 0,5 mg/l sisa klor bebas dengan waktu kontak 30 menit. C
adalah konsentrasi klor dan t adalah waktu kontak (USEPA, 2011). Keefektifan (effectiveness) klorinasi juga bergantung
pada bentuk ruang reservoir. Bentuk berkelok dengan sekat (baffle) adalah bentuk terbaik karena dapat menghasilkan jenis
aliran plug flow (Lawler dan Singer,
1993). Oleh sebab itu, reservoir air bersih PDAM hendaklah didesain
berkelak-kelok mulai dari zone inlet (bagian air masuk) hingga di zone outlet
(bagian air keluar).
Rekomendasi USEPA (2011) tersebut dikutip lagi oleh EHS
Water pada 5 Maret 2020 dalam sebuah catatan (note) untuk pembasmian virus Corona baru. Isi catatan tersebut
tentang kemampuan klor sebagai oksidator yang mampu merusak DNA bakteri dan RNA
virus. Bakteri biasanya dijadikan inang oleh virus sehingga virus bisa hidup
dan bertahan. Apabila bakterinya mati maka virusnya juga mati. Mengutip USEPA
(2011), rilis EHS Water tersebut menyatakan bahwa Coxsackievirus, Poliovirus
dan Rotavirus adalah virus tidak berselimut (non-enveloped virus) yang bisa dibasmi pada nilai Ct kurang dari 15
mg.menit/liter (Gambar 1). Karena Corona adalah virus berselimut (enveloped virus) maka bisa dibasmi
dengan nilai Ct yang lebih rendah. Prosedur untuk memperoleh parameter Ct ini
sangat kompleks atau rumit karena bergantung pada sistem pengolahan air, tipe
dan jumlah titik aplikasinya, dan konsentrasi sisa disinfektan (Pontius, 1993).
Agar klorinasi makin efektif, WHO juga menetapkan nilai pH air antara 6,5–8,5
dan yang paling efektif adalah pH 8,0 (WHO, 2011). Keefektifan klorinasi juga
dipengaruhi oleh waktu kontak teoretis (theoretical
contact time) dan waktu kontak ini bergantung pada volume tangki dan debit
air yang diolah (Lin, 2001).
Volume atau debit air yang diolah oleh PDAM sangat besar
karena untuk melayani ratusan ribu penduduk kota. Sebagai contoh, kapasitas
pengolahan PDAM Kota Bandung di satu IPAM saja, yaitu di IPAM Badaksinga
sekitar 1.800 liter per detik. Apabila kebutuhan air setiap orang perhari
adalah 150 liter dan asumsi kehilangan air 20% maka air yang diolah di IPAM
Badaksinga tersebut bisa untuk melayani 829.440 orang. Untuk kapasitas sebesar
itu maka yang paling layak digunakan adalah gas klor (chlorine). PDAM juga disarankan menambah dosis klor selama wabah
COVID-19 dan masa normal baru (new normal)
agar air masih memiliki sisa klor di lokasi terjauh dari instalasi. Sisa klor
inilah yang akan membasmi bakteri dan virus pada waktu seseorang mencuci
tangan.
Dalam upaya melawan virus Corona baru, PDAM Kota Bandung
sudah memanfaatkan air produksinya untuk membersihkan fasilitas umum. Senyawa
yang digunakan sebagai disinfektan adalah natrium atau sodium hipoklorit 0,5%
(NaOCl). Enam truk tangki dengan volume total 30.000 liter menyemprotkan air
berkonsentrasi 10 mg/l klor ke fasilitas umum seperti halte bis, terminal bis,
stasiun kereta api. Penyemprotan dilaksanakan setiap malam selama tujuh malam
pada pekan keempat Maret 2020 (Pikiran Rakyat, 25 Maret 2020). Adapun untuk kapasitas
kecil, misalnya untuk kebutuhan rumah tangga, masjid, gereja, vihara, pura,
kantor bisa dengan memanfaatkan kaporit tablet. Kaporit tablet dijual bebas di
toko kimia. Satu kaporit tablet bisa untuk 500–1.000 liter air. Apabila tablet
habis maka masukkan lagi satu butir. Dilarang menarik napas dalam-dalam di atas
tangki air karena klor bersifat korosif, bisa menimbulkan iritasi pada
paru-paru. Sebaiknya gunakan masker kalau ingin melihat apakah kaporit tablet
masih ada atau sudah habis.
Dapat disimpulkan bahwa selain upaya preventif dan kuratif,
tindakan mekanis untuk pencegahan sebaran virus Corona baru bisa dilaksanakan
dengan air yang mengandung senyawa klor yang diproduksi PDAM di seluruh
Indonesia. Untuk skala kecil bisa dengan air sumur yang diolah dengan kaporit
tablet sehingga memiliki sisa klor bebas (free
chlorine residual) (Sawyer dan McCarty, 1989).
Instalasi Pengolahan Air limbah
Jejak
genetis novel Coronavirus sudah ditemukan di dalam air limbah. Pernyataan ini
dirilis oleh peneliti di RIVM National
Institute for Public Health and the Environment di laman situsnya pada 19
Maret 2020. Jejak di dalam air limbah domestik (sewage) tersebut diperoleh dari sampel yang diambil di instalasi
pengolahan air limbah (IPAL) di pelabuhan udara Schiphol, Amsterdam dan di IPAL
Kaatsheuvel, Netherland. Peneliti RIVM memberikan indikasi bahwa jejak itu
adalah novel Coronavirus. Memang
tidak semua sampel yang dianalisis menghasilkan data positif jejak genetis
virus Corona baru. Tetapi beberapa sampel yang positif itu memberikan
kesimpulan sementara bahwa air limbah berpotensi menjadi sumber biakan virus
Corona. Jejak genetis virus tersebut berasal dari tinja (feses) pasien atau
orang yang sehat tetapi di dalam tubuhnya ada virus Corona baru. Kondisi ini akan
berpotensi menjadi bahaya laten wabah COVID-19.
Temuan
jejak genetis novel Coronavirus di IPAL bandara Schiphol dan
di IPAL Kaatsheuvel adalah pengulangan temuan jejak genetis virus SARS (severe acute respiratory syndrome) di
dalam air limbah beberapa tahun lalu. Dengan uji PCR (polymerase-chain reaction) asam nukleat dari SARS-CoV tersebut
ditemukan di dalam air limbah sebelum proses disinfeksi di 309th Hospital of
Chinese People's Liberation Army dan di Xiao Tang Shan Hospital di Beijing.
Setelah proses disinfeksi ternyata RNA SARS-CoV masih dapat dideteksi dari
beberapa sampel air limbah rumah sakit 309th Chinese People's Liberation Army
tetapi tidak ditemukan di dalam sampel air limbah dari Xiao Tang San Hospital.
Penelitian itu menyatakan bahwa virus mampu bertahan selama 14 hari di dalam
air limbah pada temperatur 4 derajat Celcius, 2 hari pada 20 derajat Celcius,
dan RNA virus dapat dideteksi selama 8 hari meskipun virus sudah dinonaktifkan.
Penelitian ini sekali lagi menunjukkan bahwa RNA SARS-CoV dapat dideteksi
kehadirannya di dalam air limbah rumah sakit sebelum dan sesudah proses
disinfeksi (Wang et al, 2005).
Selama
epidemi SARS tahun 2003 tersebut, merujuk pada laporan WHO tanggal 5 Juli 2003,
terjadi 8.439 kasus di 32 negara dan 812 orang di antaranya meninggal. Pada
waktu itu mekanisme transmisi SARS-CoV terbatas pada interaksi sosial antara
orang-orang yang dekat dengan pasien. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa
ada jejak genetis RNA Coronavirus di dalam tinja (feses) yang air limbahnya
berasal dari pasien di Amoy Gardens Housing Estate di Hong Kong (Wang et al,
2005). Kasus tersebut terjadi karena ada pipa plumbing air limbahnya yang rusak, yaitu pipa berbentuk U atau di
Indonesia disebut pipa “leher angsa” yang fungsinya sebagai trap (perangkap) yang berisi air (water seal). Kerusakan pipa tersebut
menyebabkan virus dari percikan atau muncratan liur pasien dapat masuk ke
sistem plumbing yang kemudian menginfeksi orang lain di kamar mandi yang lain.
Akibatnya di kompleks gedung Amoy Gardens tersebut terjadi 300 kasus dan 42
orang meninggal (Murphy dan Soule, 2020).
Epidemi
SARS pada 2003 tersebut juga memiliki kaitan kuat dengan sistem air limbah yang
buruk di apartemen di Hong Kong dengan populasi 300 orang seperti dinyatakan
oleh Peiris et al (2003). Air limbah domestik dengan feses dari pasien menjadi
sumber sebaran virus SARS-CoV. Virus ini mampu replikasi di saluran pencernaan
pasien sehingga terdeteksi dalam kasus diare sebesar 8 sampai 73% (Leung et al,
2003). Leung et al (2003) juga menyatakan bahwa masih ada virus di saluran
pencernaan pasien SARS yang sudah sembuh. Virus ini terdeteksi di feses pasien
SARS yang diambil sampelnya hingga tiga pekan setelah terinfeksi (Chan et al,
2004; Liu et al, 2004). Begitu pula Chan et al (2004) meneliti perihal
ketahanan virus Corona di dalam air bersih dan air limbah domestik.
Bagaimana
dengan air limbah domestik di Indonesia? Setiap kota besar di Indonesia
memiliki fasilitas pengolahan air limbah. Jenis unit operasi dan unit proses
yang digunakan bisa berbeda-beda. Ada activated
sludge dan modifikasinya, ada trickling
filter, ada oxidation pond. Semuanya adalah pengolahan sekunder (secondary treatment) secara bioproses.
Ada juga unit pengolahan yang khusus menerima air limbah dari septic tank yang disebut IPLT (Instalasi
Pengolahan Lumpur Tinja) dan diolah secara aerob dengan menggunakan aerator
mekanis (mechanical surface aerator).
Semua bioproses tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Instalasi
pengolahan air limbah yang akan dianalisis adalah instalasi milik PDAM Kota
Bandung, yaitu oxidation pond.
Oxidation
Pond.
Bojongsoang adalah nama desa di tepi Sungai Citarum,
Kabupaten Bandung. Di desa ini ada IPAL domestik jenis oxidation pond terluas (85 hektar) di ASEAN. Merujuk pada
nomenklatur, ada dua nama lain kolam oksidasi (oxidation pond), yaitu kolam stabilisasi (stabilization pond) dan lagoon.
Klasifikasi kolam oksidasi berdasarkan metabolisme terdiri atas kolam
anaerobik, kolam fakultatif, kolam aerobik (maturasi), dan laguna aerasi atau aerated lagoon (Horan, 1990). Jenis
metabolisme yang terjadi di dalam kolam-kolam tersebut bergantung pada
aktivitas biologi yang dominan dan reaksi biokimianya. Juga dipengaruhi oleh
kecepatan pembebanan organik atau organic
loading rate yang diterapkan di dalam kolam (Droste, 1997).
Kolam
pertama yang menerima air limbah adalah kolam anaerobik. Di kolam ini terjadi
proses pengolahan air limbah tanpa oksigen. Ada dua fenomena di kolam
anaerobik, yaitu (1) fenomena fisika berupa sedimentasi zat padat di dalam air
limbah menjadi lumpur (sludge); (2)
fenomena biokimia, yaitu degradasi zat organik oleh bakteri anaerob (Droste,
1997). Proses biokimia di kolam dengan kedalaman 2,5–5 m ini berlangsung dua
tahap. Pada tahap pertama zat organik kompleks (makro-molekul) diubah menjadi
mikromolekul dengan proses hidrolisis, asidogenesis dan asetogenesis. Pada
tahap ini belum terjadi reduksi BOD dan COD secara signifikan. Setelah archae metanogenik mengubah asam asetat
dan asam-asam rantai pendek lainnya menjadi gas metana dan karbondioksida maka
reduksi BOD dan COD menjadi besar. Perubahan polutan organik yang mayoritas
adalah feses menjadi gas CH4 dan CO2 adalah indikator
efisiensi pengolahan anaerobik (Speece, 1996).
Ilustrasi
dan penjelasan tentang transportasi feses dan virus di dalam air limbah dapat
dilihat pada Gambar 2. Titik awal feses pasien COVID-19 yang berisi virus
Corona bermula dari water closet (WC). Feses bersama air kemudian
mengalir di dalam pipa riul (riool, sewer)
menuju kolam anaerobik. Seperti namanya, air limbah di dalam kolam anaerobik
hanya diolah oleh bakteri strict
anaerobes seperti Clostridium butyricum, Clostridium pasteurianum,
Butyrivibrio fibrisolvens (Gottschalk, 1986). Archae, istilah ini lebih tepat
daripada bakteri, yang ikut mengolah air limbah adalah metanothrix atau methanosaeta dan metanosarcina (Speece,
1996, Brock, 1997). Merujuk Hurst (1987), mikroba anaerob ini tidak mampu
mereduksi persistensi virus dibandingkan dengan mikroba aerob yang ada di
tanah. Hurst et al (1980) juga menyatakan bahwa mikroba mampu mereduksi
persistensi virus pada temperatur tinggi tetapi kurang mampu pada temperatur
rendah. Pada temperatur satu derajat Celcius dinyatakan bahwa poliovirus,
sebagai salah satu jenis virus, mampu stabil selama 70 hari. Apabila mikroba
anaerob tersebut tidak mampu dinonaktifkan oleh virus maka virus akan menjadikan
mikroba sebagai inang untuk replikasi.
Proses
di kolam anaerobik tersebut berlangsung selama 24 jam sehari, yaitu selama air
limbah dari penduduk mengalir ke dalam IPAL. Pada Gambar 2 juga dijelaskan
tentang air limbah mentah yang langsung masuk ke sungai tanpa diolah. Ada
penduduk yang langsung membuang air limbah WC-nya ke selokan atau sungai. Bisa
disebut sebagai Buang Air Besar Sembarang tetapi tidak di ruang terbuka.
Artinya, pada faktanya di masyarakat, virus yang ada di dalam feses akan masuk
ke lingkungan melalui air limbah yang diolah dan air limbah yang tidak diolah.
Dengan demikian maka tidak mungkin ada efluen air limbah yang bebas virus (unable to provide virus-free wastewater
effluent). Konsentrasi virus di dalam air limbah mentah antara 5,000–100,000
pfu/L (Rao and Melnick, 1986). Virus tersebut mampu direduksi oleh unit
pengolahan. Persentase reduksinya bergantung pada unit bioproses yang
diterapkan. Tetapi tidak ada unit bioproses yang memiliki efisiensi 100%. Oleh
karena itu, konsentrasi virus antara 50–100 pfu/L ditemukan di effluent IPAL
yang menuju ke sungai (Rao and Melnick, 1986). Ada juga sejumlah peneliti yang
menyatakan bahwa konsentrasi virus di dalam feses manusia adalah rendah dan
bisa cepat dinonaktifkan di dalam air. Tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa
asumsi ini tidak selalu benar (Yinyin et al, 2016).
Dengan mendahulukan precautionary principle (prinsip kehati-hatian) maka dapat dikatakan bahwa ada sejumlah konsentrasi virus yang mampu hidup dan bertahan di kolam anaerobik. Juga mampu replikasi di dalam sel mikroba anaerob, termasuk archae metanogenik. Sudah disebut di atas bahwa kolam oksidasi adalah kolam yang berlimpah dengan mikroba strict anaerob dan aerotolerants anaerob sehingga makin banyak virus yang bisa replikasi. Kolam ini harus mendapat perhatian khusus dari operator IPAL karena air limbah dan lumpurnya (sludge) kaya dengan virus yang berpotensi menginfeksi pekerja. Apabila sejumlah konsentrasi virus di kolam anaerobik ini mampu bertahan maka selanjutnya virus tersebut mengalir dan masuk ke kolam fakultatif. Kolam fakultatif adalah kolam yang menerima air limbah dengan tingkat polusi medium dan kecepatan pembebanan organiknya lebih kecil daripada kolam anaerobik. Kolam fakultatif juga biasa disebut wastewater lagoon (sebuah misnomer atau salah kaprah) dengan kedalaman air antara 1,2–2,5 m. Secara alamiah kolam ini terbagi menjadi dua lapisan, yaitu lapisan anaerobik di bawah dan lapisan aerobik di atas. Di antara kedua lapisan tersebut ada lapisan fakultatif. Waktu yang dibutuhkan untuk pengolahan air limbah di kolam fakultatif ini antara 5–30 hari. Adapun endapan zat organik di kolam ini diolah oleh bakteri anaerob yang menghasilkan gas metana, karbondioksida, hidrogen sulfida, ammonia (Horan, 1990).
Dengan mendahulukan precautionary principle (prinsip kehati-hatian) maka dapat dikatakan bahwa ada sejumlah konsentrasi virus yang mampu hidup dan bertahan di kolam anaerobik. Juga mampu replikasi di dalam sel mikroba anaerob, termasuk archae metanogenik. Sudah disebut di atas bahwa kolam oksidasi adalah kolam yang berlimpah dengan mikroba strict anaerob dan aerotolerants anaerob sehingga makin banyak virus yang bisa replikasi. Kolam ini harus mendapat perhatian khusus dari operator IPAL karena air limbah dan lumpurnya (sludge) kaya dengan virus yang berpotensi menginfeksi pekerja. Apabila sejumlah konsentrasi virus di kolam anaerobik ini mampu bertahan maka selanjutnya virus tersebut mengalir dan masuk ke kolam fakultatif. Kolam fakultatif adalah kolam yang menerima air limbah dengan tingkat polusi medium dan kecepatan pembebanan organiknya lebih kecil daripada kolam anaerobik. Kolam fakultatif juga biasa disebut wastewater lagoon (sebuah misnomer atau salah kaprah) dengan kedalaman air antara 1,2–2,5 m. Secara alamiah kolam ini terbagi menjadi dua lapisan, yaitu lapisan anaerobik di bawah dan lapisan aerobik di atas. Di antara kedua lapisan tersebut ada lapisan fakultatif. Waktu yang dibutuhkan untuk pengolahan air limbah di kolam fakultatif ini antara 5–30 hari. Adapun endapan zat organik di kolam ini diolah oleh bakteri anaerob yang menghasilkan gas metana, karbondioksida, hidrogen sulfida, ammonia (Horan, 1990).
Droste
(1997) menjelaskan bahwa di dalam kolam fakultatif terjadi proses utama dalam
reduksi zat organik dengan kehadiran simbiosis mutualisme antara bakteri
heterotrof dan algae. Bakteri heterotrof ini serupa dengan bakteri di unit activated sludge atau trickling filter yang bertugas mengolah
pencemar organik di dalam zone aerobik menjadi produk akhir oksidasi. Di bagian
atas kolam fakultatif terjadi proses aerobik sehingga kaya oksigen. Oksigen di
lapisan aerobik ini berasal dari dua proses alamiah, yaitu reaerasi dari atmosfer
dan hasil fotosintesis algae dengan bantuan sinar matahari. Algae menggunakan
nutrisi dan karbondioksida yang dihasilkan oleh bakteri aerob dan archae anerob untuk proses fotosintesis.
Dengan simbiosis mutualisme inilah air limbah diolah di kolam fakultatif.
Merujuk
pada karakteristik kolam fakultatif tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
kondisinya mendukung untuk pertumbuhan virus Corona baru. Proses yang terjadi
tidak jauh berbeda dengan proses di kolam anaerobik, yaitu di bagian bawah
kolam fakultatif yang kondisinya anaerob. Sedangkan bagian atas kolam bersifat
aerob sehingga persistensi virus Corona baru bisa lebih mudah direduksi dan
lebih mudah dinonaktifkan. Kondisi aerobik yang banyak mengandung oksigen hasil
fotosintesis algae ikut memberikan peluang hidup bagi bakteri aerob sehingga
berpeluang menonaktifkan virus (Hurst, 1987). Operator IPAL juga harus waspada
karena aliran air limbah yang masuk ke dalam kolam bisa saja teraduk (mixing) secara alamiah sehingga bagian
atas yang aerob bisa pindah ke bawah dan bagian bawah yang anaerob bisa pindah
ke atas. Perbedaan densitas air karena perubahan temperatur atmosfer dan cuaca
bisa menjadi penyebabnya.
Seperti
dinyatakan oleh Rao and Melnick (1986), ada potensi efluen kolam fakultatif ini
mengandung banyak bakteri dan virus. Efluen ini kemudian masuk ke kolam
maturasi. Sesuai dengan namanya, di kolam ini terjadi proses pematangan (maturation) zat padat tersuspensi dan
zat organik terlarut dan terjadi reduksi bakteri dan virus. Kolam maturasi ini
memiliki kedalaman antara 30–45 cm sehingga sinar matahari dapat menembus ke
semua lapisan kedalaman air. Sinar ultraviolet mampu membasmi bakteri dan virus
seperti dinyatakan pada Gambar 1. Sinar ultraviolet mampu mendestruksi virus
tetapi kemampuan destruksinya berkurang apabila virus berada makin dalam dari
permukaan air (Bitton, 1980). Temperatur air di kolam maturasi juga lebih
tinggi daripada di kolam fakultatif dan kolam anaerobik karena air di kolam
maturasi lebih jernih, sedikit mengandung zat padat tersuspensi yang dapat
menghalangi sinar matahari masuk lebih dalam. Kenaikan temperatur dapat
mengurangi daya tahan virus karena terjadi denaturasi protein dan kenaikan
aktivitas enzim extraselular (Hurst et al, 1980; John and Rose, 2005). Begitu pula
kolam maturasi banyak mengandung oksigen sehingga bakteri aerob berkembang
pesat yang diharapkan mampu mereduksi persistensi virus (Hurst, 1987).
Dapatkah
dikatakan bahwa efluen kolam maturasi sudah bebas dari bakteri dan virus?
Jawabannya, belum bisa bebas bakteri dan virus karena efluen IPAL masih
mengandung virus 50–100 pfu/L (Rao and Melnick, 1986). Sedikit saja bakteri dan
virus yang ada di kolam maturasi ke luar menuju sungai maka dapat menyebarkan
virus ke masyarakat. Potensi kontak virus dengan manusia menjadi mudah karena
air sungai digunakan untuk mandi, sikat gigi, mencuci beras dan sayur dan
aktivitas lainnya. Apalagi air limbah yang masuk ke IPAL Bojongsoang adalah air
limbah mentah tanpa klorinasi. Proses pengolahan di IPAL milik PDAM Kota
Bandung ini hanya mengandalkan peran archae
anaerob, bakteri fakultatif, bakteri aerob dan cahaya matahari. Tidak ada
preklorinasi dan postklorinasi. Apabila dilengkapi dengan preklorinasi apakah
pembasmian mikroba dan virus akan maksimum? Tidak juga. Pembasmian tidak bisa
optimal karena air limbah mentah berlimpah dengan zat padat serpihan feses.
Serpihan dalam ukuran satu milimeter akan dijadikan tempat berlindung bagi
bakteri dan virus sehingga sulit disentuh oleh disinfektan klor. Klor akan
sulit mencapai bakteri dan virus yang berada di bagian dalam serpihan feses
tersebut. Bakteri, virus, dan kista protozoa terlindungi oleh zat padat yang
ada di dalam air limbah (Chen et al, 1985). Daya tahan virus juga dipengaruhi
oleh temperatur, zat organik (seperti feses), dan adanya mikroba aerob (John
and Rose, 2005; Melnick and Gerba,1980; Sobsey and Meschke, 2003).
Selain
air limbah, apakah lumpur (sludge) di
IPAL juga berbahaya? Tentu berbahaya. Sludge
adalah endapan bioflok yang terdiri atas banyak jenis mikroba dan virus. Operator IPAL sebisa mungkin tidak
kontak langsung dengan sludge tanpa
APD. Sludge atau biosludge di tiga jenis kolam tersebut berpotensi menyebarkan
patogen ke dalam air sungai, air tanah, dan tanah yang dapat meningkatkan
risiko terhadap kesehatan manusia (Zhao and Liu, 2019). Semua endapan sludge di dasar kolam anerobik,
fakultatif dan maturasi berisiko karena cahaya matahari hanya mampu mencapai
bagian permukaan air. Sinar matahari tidak mampu menembus zat padat serpihan
feses yang mengadsorbsi virus apalagi kalau berada di bagian bawah permukaan
air. Begitu juga pada waktu malam ketika tidak ada sinar matahari yang mengenai
air limbah. Padahal air limbah yang berisi virus mengalir ke sungai siang dan
malam selama 24 jam sehari.
Di
negara-negara yang sistem riulnya memenuhi syarat teknis dan operasional karena
diawali oleh perencanaan dan perancangan yang memenuhi kaidah hidrolika dan
biokimia maka strategi pemantauan bisa menjadi mudah dan tepat. IPAL-nya juga
menggunakan proses aerob seperti activated
sludge dan modifikasinya sehingga lebih mampu membasmi virus. Penggunaan activated sludge memang lebih mahal
dibandingkan dengan kolam oksidasi. Masih ada masalah sanitasi lainnya di Kota
Bandung, yaitu Buang Air Besar Sembarang (BABS) atau buang air besar di water closet (WC) di dalam rumah tetapi
disalurkan langsung ke selokan atau sungai. Perilaku seperti ini pernah
menimbulkan wabah penyakit hepatitis di India di sekitar Sungai Jumna (Yamuna).
Jangan sampai pada masa yang akan datang terjadi wabah yang berawal dari air
limbah oleh virus baru yang lebih persisten dan resisten terhadap zat kimia
klor.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa IPAL Bojongsoang milik PDAM Kota Bandung belum
mampu mencegah sebaran virus. Apabila ada virus Corona baru yang masuk ke
sistem riul kota dari feses pasien COVID-19 maka belum ada mekanisme pengolahan
yang optimal untuk menonaktifkan virus Corona baru. Namun demikian masih ada
upaya yang bisa ditempuh, yaitu dengan melengkapi kolam oksidasi dengan proses
klorinasi, terutama setelah kolam maturasi. Meskipun tidak maksimum dalam
membasmi virus tetapi masih bisa bermanfaat daripada tidak ada sama sekali
proses klorinasi. Ditambah dengan fasilitas APD untuk operator dan kedisiplinan
operator dalam memakai APD. Upaya tersebut perlu dilaksanakan untuk mencegah
virus-virus baru lainnya pada masa depan yang dapat menginfeksi penduduk yang
memanfaatkan air sungai.
New Normal
Pada
masa new normal diperlukan sikap dan
perilaku baru yang berbeda dengan masa normal dulu. Secara mikrobiologi, new normal adalah kondisi setelah wabah
(pascapandemi) yang sudah melewati fase decline(decrease).
Di dalam jurnal Annu. Rev. Microbiology, 1949: 3: 371-394 Jacques Monod
menjelaskan tentang pola pertumbuhan bakteri. Kurva pertumbuhan mikroba ini
bisa dijadikan analogi untuk persebaran wabah Covid-19. Sekali lagi, kurva ini
adalah analogi pertumbuhan dan pengurangan jumlah penderita Covid-19.
Kurva dimulai dari fase lag, yaitu fase adaptasi dengan laju pertumbuhan nol. Kemudian fase akselerasi, yaitu laju pertumbuhan mulai meningkat. Berikutnya adalah fase eksponensial, yaitu laju pertumbuhan tinggi dan lajunya konstan tinggi selama beberapa waktu sampai memasuki fase perlambatan (retardation) ketika laju pertumbuhan mulai menurun. Selanjutnya adalah fase stationary, yaitu fase pertumbuhan nol sehingga jumlah penderita relatif konstan. Terakhir adalah fase decline atau decrease, yaitu laju pertumbuhan negatif yang artinya jumlah penderita berkurang seiring dengan pergantian hari. Pengurangan ini membutuhkan waktu relatif lama sampai tercapai kondisi seperti semula pada waktu yang baru. Pada titik inilah bisa disebut fase awal yang berada di depan gerbang new normal. Masuk ke fase new normal secara makna harfiah adalah setelah ditemukan vaksin yang bisa digunakan di seluruh dunia, diproduksi masal, dan murah harganya bagi mayoritas penduduk dunia.
Kurva dimulai dari fase lag, yaitu fase adaptasi dengan laju pertumbuhan nol. Kemudian fase akselerasi, yaitu laju pertumbuhan mulai meningkat. Berikutnya adalah fase eksponensial, yaitu laju pertumbuhan tinggi dan lajunya konstan tinggi selama beberapa waktu sampai memasuki fase perlambatan (retardation) ketika laju pertumbuhan mulai menurun. Selanjutnya adalah fase stationary, yaitu fase pertumbuhan nol sehingga jumlah penderita relatif konstan. Terakhir adalah fase decline atau decrease, yaitu laju pertumbuhan negatif yang artinya jumlah penderita berkurang seiring dengan pergantian hari. Pengurangan ini membutuhkan waktu relatif lama sampai tercapai kondisi seperti semula pada waktu yang baru. Pada titik inilah bisa disebut fase awal yang berada di depan gerbang new normal. Masuk ke fase new normal secara makna harfiah adalah setelah ditemukan vaksin yang bisa digunakan di seluruh dunia, diproduksi masal, dan murah harganya bagi mayoritas penduduk dunia.
New normal
adalah keadaan atau kondisi yang diharapkan normal dalam kehidupan sosial
masyarakat tetapi konsisten melaksanakan protokol kesehatan dalam beberapa
tahun ke depan. Bisa disebut sebagai tatanan dunia baru karena terjadi di
seluruh dunia. Pada masa new normal
ini maka peran PDAM menjadi signifikan dalam menyediakan air bersih untuk cuci
tangan tanpa sabun karena sudah berisi klor, untuk membersihkan lantai, meja,
kursi tempat ibadah dan semua benda lainnya. PDAM juga hendaklah berupaya
mengelola IPAL yang mampu membasmi bakteri dan virus Corona baru serta
senantiasa menerapkan protokol kesehatan untuk operator IPAL.
KESIMPULAN
Semua
artikel yang membahas virus Corona penyebab SARS dan MERS menegaskan bahwa
virus Corona bisa menyebar lewat percikan atau muncratan liur (droplets) yang mengenai orang lain dan
bertahan aktif di benda-benda termasuk air minum. Karakteristik demikian juga
berlaku untuk novel Coronavirus penyebab COVID-19. Semua virus bisa
dinonaktifkan dengan zat kimia seperti sabun, deterjen, dan senyawa klor. Air
PDAM diolah dengan proses klorinasi dan memiliki sisa klor bebas sehingga
efektif membasmi bakteri dan virus. Klorinasi efektif menonaktifkan virus
Corona baru dan jenis virus lainnya sehingga air PDAM layak digunakan untuk
mencuci benda-benda di fasilitas umum yang diduga berisi virus. Dosis klor yang
bisa diterapkan adalah 0,2–40 mg/l dengan sisa klor bebas 0,2–0,5 mg/l. Air
sumur yang digunakan untuk fasilitas umum sebaiknya diolah dengan kaporit
tablet pada masa wabah COVID-19 dan pada masa normal baru.
Jejak
genetis virus Corona baru ditemukan di dalam sampel air limbah di Netherland
(Belanda). Virus Corona baru masih satu famili dengan virus penyebab SARS dan
MERS. Virus SARS sudah menyebar di dalam air limbah yang mengalir di dalam
pipa-pipa plumbing gedung dan sudah
menginfeksi banyak orang yang menggunakan fasilitas alat plumbing tersebut.
Jejak genetis virus SARS juga ditemukan di dalam air limbah mentah dan di dalam
air limbah yang sudah diolah dengan disinfektan. Instalasi pengolahan air
limbah kolam oksidasi tidak optimal dalam membasmi bakteri dan virus. Kemampuan
archae anaerob lemah dalam mereduksi
persistensi virus apabila dibandingkan dengan kemampuan bakteri aerob sehingga
kolam yang optimal dalam membasmi bakteri dan virus adalah kolam maturasi.
Sinar ultraviolet dari matahari juga mampu masuk lebih dalam ke dasar kolam
maturasi. Tetapi pada waktu malam ketika tidak ada sinar matahari maka
kemampuannya berkurang. Kolam oksidasi di IPAL Bojongsoang milik PDAM Kota
Bandung tidak dilengkapi dengan proses klorinasi sehingga harus diwaspadai oleh
masyarakat pengguna air Sungai Citarum sebagai badan air yang menerima efluen
IPAL Bojongsoang. Prinsip kehati-hatian (precautionary
principle) diperlukan agar terhindar dari bahaya laten virus baru pada masa
new normal atau tatanan baru
kehidupan pascapandemi. Peran PDAM sebagai penyedia air bersih yang berisi
disinfektan klor menjadi makin penting pada masa normal baru. *
Serambi Engineering Journal
Serambi Engineering Journal
DAFTAR
PUSTAKA
Belshe, R. B. 1984.
Textbook of
human virology. Littleton:
PSG Publishing Co, Inc.
Bitton, G, 1980, Introduction to Environmental Virology,
John Wiley & Sons, New York.
Bosch, A., Rosa M. Pintó, and F. Xavier Abad. 2006. Survival and Transport of Enteric Viruses in
the Environment. (www.ub.edu).
Bosch , A., 1998. Human
enteric viruses in the water environment: a minireview International
Microbiology, Vol. 1: 191–196, © Springer-Verlag Ibérica 1998
Brock, T. D. 1997. Biology
of Microorganisms. 8th.ed. Prentice Hall, New Jersey, USA.
Cahyana, G. H. 2004. PDAM Bangkrut, Awas Perang Air, Sahara
Golden Press Indonesia
Chan, K. H., Poon, L. M., Cheng, V. C. C., Guan, Y., Hung,
I. F. N., Kong, J., et al.
2004. Detection of
SARS coronavirus in patients
with suspected SARS.
Emerging Infectious
Diseases, 10, 294–299.
Chen Y. S. R., O. J. Sproul, A. J. Rubin. 1985. Inactivation of Naegleria gruberi cysts by
chlorine dioxide. Water Research, 19 (6): 783-789.
Clark, R. M., E. J. Read, J. C. Hoff. 1989. Analysis
of Inactivation of Giardia Lamblia by Chlorine. Journal of Environmental Engineering, ASCE, 115: 80-90
Davies-Colley, R. J., Donnison, A. M., Speed, D. J., Ross,
C. M., Nagels, J. W., 1999. Inactivation
of Faecal Indicator Microorganisms in
Waste Stabilization Ponds: Interaction of Environmental Factors with Sunlight,
Water Research. Vol. 33, No. 5, pp. 1220-1230
Developments in Water
Science. 1985. Waste Water Disinfection.
Wastewater and Sludge Chlorination for Various Purposes, Chapter 11, Vol. 23,
pp. 438-456.
Doremalen, N. V., Bushmaker, Morris. 2020. The New England Journal of Medicine
edisi 17 Maret 2020, a letter to the Editors of NEJM.org.
EHS Water O.U. 2020. Advice note to EHS on COVID-19 in
chlorinated drinking water supplies and chlorinated swimming pools, Version
3.
Fair G. M., J. C. Geyer, D. A. Okun. 1968. Water and Wastewater Engineering. Wiley,
Vol.2.
Gottschalk, G. 1986. Bacterial Metabolism, Springer-Verlag, 2nd.
Ed., New York.
Guan, Y., Zheng, B. J., He, Y. Q., Liu, X. L., Zhuang, Z.
X., Cheung, C. L., et al.
2003. Isolation and characterization of
viruses related to the SARS Coronavirus from animals in
Southern China. Science,
302, 276–279.
Horan, N. J. 1990. Biological
Wastewater Treatment Systems, John Wiley & Sons.
Hurst, C. J. 1987. Influence
of aerobic micro organisms upon virus survival in soil. Can. J. Microbiol. 34: 696–699.
Hurst, C. J., Gerba, C. P., and Cech, I.1980. Effects of environmental variables and soil
characteristics on virus survival in soil. Appl. Environ. Microbiol. 40: 1067–1079.
John, D. E., Rose, J. B. 2005. Review of factors affecting microbial survival in groundwater. Environmental Science & Technology,
39 (19), 7345–7356.
Lau, S. K. P., Woo, P. C. Y., Li, K. S. M., Huang, Y., Tsoi,
H. W., Wong, B. H. L., et al (2005). Severe
acute respiratory syndrome coronavirus-like virus in Chinese horseshoe bats.
Proceedings of the National
Academy of Sciences of the
United States of America, 102(39), 14040–14045.
Lawler D. F. dan P. C. Singer. 1993. Analyzing
Disinfection Kinetics and Reactor Design: a Conceptual Approach versus the SWTR,
J. American Water Works Association,
85, 11, pp. 67-76.
Leung, W. K., To, K. F., Chan, P. K. S., Chan, H. L. Y., Wu,
A. K. L., Lee, N., et al. (2003). Enteric involvement
of severe acute respiratory syndrome-associated coronavirus
infection. Gastro-enterology, 125, 1011–1017.
Lin, D. S. 2001. Water
and Wastewater Calculation Manual, McGraw-Hill, USA. pp. 447-450.
Manocha, S., Walley, K.R., Russell, J.A. 2003. Severe acute respiratory distress syndrome
(SARS): A critical care perspective. Critical
Care Medicine, 31, 2684–2692.
Max Roser, Hannah Ritchie and Esteban Ortiz-Ospina. 2020. Coronavirus Disease (COVID-19), Statistics
and Research. OurWorldInData.org.
(https://ourworldindata.org/coronavirus)
Melnick, J. L., & Gerba, C. P. (1980). The ecology of enteric viruses in natural
waters. Critical Reviews in
Environmental Control, 10, 65–93.
Murphy, H dan B. Soule. 2020. Water Quality & Health Council. (Akses 20 April 2020).
National
Institute for Public Health and the Environment. 2020. Amsterdam, Netherland, diakses
19 Maret 2020 https://www.rivm.nl/en/news/novel-coronavirus-found-in-wastewater
Monod, J, 1949, Annu. Rev. Microbiol., 3: 371-394, Pasteur
Institute, Paris, France, diunduh dari www.annualreviews.org.
Ohgaki, S., Ketratanakul, A., Prasertsom, U, 1986, Effect of Sunlight on Coliphages in an
Oxidation Pond, Wat. Sci. Tech.
Vol. 18, No. 10,
pp. 37-46.
Patricia M. Gundy, Charles P. Gerba, Ian L. Pepper. 2009. Survival of Coronaviruses in Water and
Wastewater. Food Environ Virol,
1:10–14
Peiris, J. S. M., Chu, C. M., Cheng, V. C. C., Chan, K. S.,
Hung, I. F. N., Poon, L. L. M., et al. 2003. Clinical progression and viral load in a community outbreak of
coronavirus-associated SARS pneumonia: A prospective study. The
Lancet, 361, 1767–1772.
Pontius, F. W. 1993. Configuration, opera-tions of system affect
C x T value, Opflow 19(8): 7-8.
Rao, V. C., Melnick, J. L. 1986. Environmental
virology, in: Aspects of Microbiology 13 (J.A. Cole, C. J. Knowles, and D.
Schlessinger, eds.), American Society for
Microbiology, Washington, DC
Reynold, T., Richard, P, A. 1996. Unit Operation and Processes in Environment Engineering Second
Edition. PWS Publishing Company.
Sawyer, C. N., McCarty P. L. 1989. Chemistry
for Environmental Engineering,
McGraw-Hill Book, Singapore.
Schoeman dan Fielding. 2019.
Coronavirus envelope protein:
current Knowledge, Virology Journal, (2019) 16:69.
Snoeyink, V dan Jenkins, D. 1980. Water Chemistry, John Wiley & Sons, New York.
Sobsey, M. D., & Meschke, J. S. 2003. Virus survival in the environment with
special attention to survival in sewage droplets and other environmental media
of fecal or respiratory origin. Report
for the World Health Organization, Geneva, Switzerland, p. 70.
Speece. R. E., 1996 . “Anaerobic
Biotechnology for Industrial Wastewaters”. Archae Press.
Tchobanoglous, G., Metcalf
& Eddy. 2003. Wastewater Engineering:
Treatment, Disposal, Reuse, McGraw-Hill
Treado, S., M. Kedzierski, S. Watson, K. Cole. 2006. Contamination and Decontamination of
Building Plumbing Systems. National
Institute of Standards and Technology Gaithersburg, AIChE Annual Conference.
USEPA. 2011. Water
Treatment Manual Disinfection.
Wang, L. F., Shi, Z., Zhang, S., Field, H., Daszak, P.,
& Eaton, B. T. 2006. Review of
bats and SARS. Emerging
Infectious Diseases, 12(12), 1834–1840.
Wang
XW, Li J, Guo T, Zhen B, Kong Q, Yi B, Li Z, Song N, Jin M, Xiao W, Zhu X, Gu C, Yin J, Wei W, Yao W, Liu C, Li J, Ou G, Wang M, Fang T, Wang G, Qiu Y, Wu H, Chao F, Li J.
2005. Concentration and detection of SARS
coronavirus in sewage from Xiao Tang Shan Hospital and the 309th Hospital of
the Chinese People's Liberation Army.
Water Sci Technol. 52(8):213-21.
WHO. 2011. Guidelines
for drinking water quality, 4th ed. World
Health Org. Geneva, pp 1–541
Wigginton K. R, Y. Ye and R. M. Ellenberg. 2015. Emerging investigators series: the source
and fate of pandemic viruses in the urban water cycle, Environ. Sci.: Water Res. Technol, 1, 735
Yinyin, Y, Ellenberg, R. M., Graham, K. E., Krista R. 2016. Survivability, Partitioning, and Recovery of
Enveloped Viruses in Untreated Municipal Wastewater, Environ. Sci. Technol., 50, 5077−5085
Zhao, Q., Y. Liu. 2019.
Is
anaerobic digestion a reliable barrier for deactivation of pathogens in
biosludge? Sci. Total Environ. 893–902
Sumber Online:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar