• L3
  • Email :
  • Search :

14 Desember 2009

KTT Perubahan Iklim, Denmark

Di tengah gempuran kasus Bank Century, Presiden SBY muhibah ke Eropa, melawat sepekan, 13 - 20 Desember 2009, dan ikut dalam KTT Perubahan Iklim. Jika buntu, RI berharap menjadi bagian solusi.

Apa yang terjadi di sekitar gedung parlemen Denmark? Panas…, sepanas temperatur politik di Indonesia. Seratusan ribu orang, termasuk aktivis lingkungan, menggelar aksi "Global Day of Climate Action" dengan tujuan mendesak para pemimpin KTT ke-15 Perubahan Iklim agar segera membuat keputusan dalam menangani perubahan iklim. Ini terjadi dua hari lalu di Kopenhagen. Mereka berduyun-duyun dari semua penjuru dunia untuk menyelamatkan Bumi, kalau masih ada waktu, demi tujuh milyar manusia.

Dahsyat. Inilah kata yang pas untuk menilai pertambahan jumlah manusia. Betapa pesatnya perkembangan penduduk Bumi ini bisa dilihat pada jumlah penduduk tahun 1950 yang berjumlah 2,5 miliar. Dalam tempo 55 tahun, yaitu tahun 2005 jumlahnya sudah 6,2 miliar. Dan sekarang, akhir 2009 ini, mendekati kira-kira 7 milyar orang. Kemudian, pada saat yang sama, greenhouse gases seperti karbondioksida (CO2) dan gas-gas lainnya terus meningkat lantaran peningkatan penggunaan BBM, zat kimia dan penebangan hutan. Dampaknya adalah kenaikan temperatur rerata Bumi. Ini terbukti. Dekade terpanas di Bumi terjadi pada akhir abad ke-20, yaitu tahun 1990-an. Dan tahun terpanas satu dekade terakhir ini adalah tahun 1998, 2001, dan 2005. Kondisi panas ini akan ajek naik jika tren sekarang terus bertahan atau malah kian parah. Inilah yang akan menimbulkan Global Warming, pemanasan global.

Apa dampak Global Warming itu? Yang sudah diyakini adalah kenaikan muka laut sehingga pulau-pulau kecil terendam bahkan tenggelam, pantai menyempit, intrusi air laut sehingga mengurangi suplai air bersih. Terjadi reduksi luas pulau yang dapat memunculkan masalah kependudukan dan gangguan kesehatan masyarakat karena memicu gelombang panas yang kian parah dan lama paparannya. Pola hujan dan salju pun ikut berubah yang otomatis mengganggu pola suplai air bersih, terutama di daerah yang krisis air. Global Warming dan ledakan jumlah penduduk juga mengancam kekurangan pangan sehingga terjadi eksploitasi lahan baru di gunung, bukit, dan hutan, di dataran banjir, dan di lahan basah. Semuanya terpaksa dieksploitasi demi penyediaan kebutuhan pangan.

Siapa yang bertanggung jawab? Semua orang di Bumilah yang bertanggung jawab. Sebab, setiap orang pasti mengeluarkan CO2 selama hidupnya. Tetapi secara khusus, orang-orang yang hidup di negara-negara industrilah yang sangat banyak menggunakan bahan bakar fosil. Sebetulnya emisi CO2 dari manusia relatif konstan selama 30 tahun terakhir ini. Namun demikian, ada data bahwa emisi orang Amerika Serikat lima kali lebih besar daripada orang Meksiko dan bahkan 19 kali lebih besar daripada orang India. Malah ada data lain yang mengatakan bahwa 20% manusia Bumi yang berada di negara maju justru kontribusinya mencapai 63% dari total emisi. Jika dihitung berdasarkan negara maka Cina memang pengemisi terbesar lantaran jumlah penduduknya terbanyak, walaupun faktanya emisi tujuh orang Cina itu setara dengan satu orang Amerika Serikat. Tujuh orang setara dengan satu orang!

Itulah faktanya sekarang. Barangkali kita tak pernah peduli akan hal itu. Kita acuh tak acuh dan bersikap bahwa itu bukan urusanku. Urusanku sudah banyak dan sudah memumetkan kepalaku. Boleh-boleh saja dan mungkin sangat-sangat banyak yang berpikir demikian. Bumi tenggelam atau tidak, itu bukan urusanku! Urusanku cuma satu, yaitu hidup senang dan gembira selamanya. Andai Bumi ini tenggelam, aku mungkin sudah lama mati dan mungkin cucu-cicitku pun sudah lama pula mati. Buat apa aku stres sekarang? Itu kan masih lama. Demikianlah ungkapan orang-orang yang pernah berdiskusi perihal Global Warming yang saya dengar.

Water World
Bumi tenggelam? Kapan Bumi ini tenggelam? Mari kita kilas balik sebentar ke sinema layar lebar masa lalu, yaitu Water World. Pemeran utamanya adalah Kevin Kostner. Dalam film itu dia dan teman-temannya kehilangan rumah, tanah dan air. Mereka hidup di atas kapal seperti Nabi Nuh. Mereka bertarung melawan kelompok lain untuk mendapatkan sejengkal tanah dan air tawar. Ini terjadi lantaran es di kutub mencair akibat pemanasan global dan air lautnya meluap. Hanya air asin yang ada di mana-mana sehingga sang “Dances With Wolves” itu harus mendaur ulang air kencingnya untuk sekadar minum. Dulu, film buatan tahun 1995 ini mencatat box office, termasuk di Indonesia.

Dari data ilmiah didapat bahwa telah terjadi peningkatan temperatur troposfer (atmosfer lapisan terbawah) sejak awal abad lalu. Lantas hadir sejumlah teori tentang kenaikan muka air laut seperti Teori Lebur (Melting Theory), yakni pencairan “pulau” es di kutub. Data pasang surut di sejumlah negara memberikan gambaran bahwa fenomena itu betul-betul terjadi. Tapi data tersebut hanya memberikan gambaran kondisi setempat yang cenderung bersifat lokal. Ini perlu dicermati karena ada dua perubahan penting yang mungkin terjadi, yaitu perubahan ketinggian muka air laut karena daratan bergerak relatif terhadap lautan (perubahan isostatik) dan perubahan karena penambahan volume air laut dari pencairan es dan salju (perubahan eustatik) yang ada di daratan atau kontinental (benua).

Kalau demikian, akan mencairkah es di Kutub Utara dan Kutub Selatan? Sementara kalangan meyakini bahwa es di kedua kutub itu akan mencair jika temperatur global atmosfer terus naik. Es yang berubah menjadi air lalu masuk ke laut sehingga permukaannya naik dan membanjiri daratan, bahkan menelan pulau-pulau kecil seperti disebut di atas. Tapi ada pendapat lain, yaitu ada beda karakter antara Kutub Utara (Artik) dan Kutub Selatan (Antartika). Kutub Selatan adalah daratan yang dilapisi es. Jadi berupa landas kontinen/benua yang tertutup es. Sebaliknya Kutub Utara adalah air laut yang membeku membentuk “pulau” dan gunung-gunung es. Dengan demikian disimpulkan bahwa Kutub Utara, selain Greenland, adalah bongkahan es yang terapung-apung di laut.

Jika temperatur global betul-betul naik ekstrim, apa yang akan dialami oleh lempeng atau bukit-bukit es di kedua kutub tersebut? Jika “pulau-pulau terapung” di Artik mencair maka tak akan banyak mempengaruhi ketinggian muka air laut! Kenapa? Analoginya adalah gelas yang penuh air berisi sepotong es yang menyembul di permukaannya. Walaupun es itu habis mencair tetapi air di gelas tidak akan tumpah. Ini mengikuti prinsip hukum Archimedes. Pencairan es di Artik hanya mengubah wujudnya saja menjadi cair tetapi tidak punya efek yang cukup untuk menaikkan permukaan air laut! Jadi... kita bisa sedikit lega.

Namun hal sebaliknya bisa terjadi di Antartika. Gunung es dapat mempengaruhi ketinggian muka air laut. Volume total esnya cukup besar untuk menambah volume air laut. Tapi perlu dicatat bahwa karakter sistem lingkungan Antartika sangat, sangat dingin. Temperaturnya jauh di bawah titik nol sehingga esnya tidak akan mencair! Jadi pemanasan global takkan mampu mencairkan es di Antartika karena temperaturnya akan tetap berada di bawah nol. Jika panas global mengakibatkan temperatur di kutub dapat mendekati nol sehingga es mulai mencair maka dipastikan semua manusia di Bumi sudah mati akibat heat stroke sebelum berdampak pada kenaikan muka air laut. Dan ini tak kalah mengerikan jika dibandingkan dengan banjir sejagat itu.

Akan tetapi, kontradiksi saja dapat terjadi. Kenaikan temperatur di Kutub Selatan menyebabkan air laut di sekitarnya menguap. Hembusan angin membawa uap itu ke Kutub Selatan yang akhirnya jatuh dan membeku di daratan Antartika. Jika proses ini berlangsung terus maka sejumlah air pindah dari laut ke darat yang berarti justru terjadi penurunan muka air laut! Sekali lagi saya tulis, justru terjadi penurunan muka air laut! Artinya, pantai kita meluas sehingga meluas pula tempat untuk rekreasi dan membangun Water Front City. Namun, mungkinkah hal ini terjadi?

Salju abadi
Bagaimana dengan salju abadi? Jika pemanasan global mempunyai efek pada pencairan es di Artik dan penguapan air laut di sekitar Antartika sehingga permukaannya turun, apakah secara global air laut akan tetap naik? Sulit sekali menjawabnya dengan pasti, karena bergantung pada jumlah volume es yang mencair di Artik dan jumlah volume air laut yang menguap dan membeku di daratan Antartika. Terlihat bahwa kasus ini tidak sesederhana yang diduga sebagian kalangan bahwa jika Bumi memanas maka terjadi pencairan es yang akibatnya muka air laut ikut naik!

Di Bumi ini banyak ada es dan salju abadi seperti di Pegunungan Jaya Wijaya Papua, di Pegunungan Himalaya India dan beberapa pegunungan tinggi di Eropa. Pada akhir abad 20 lalu ada indikasi salju/es tersebut mencair. Jika pemanasan global berlanjut, boleh jadi semuanya akan cair. Bongkahan es di Greenland pun dapat menaikkan muka air laut jika mencair. Meier, peneliti gletser, menduga terjadi kenaikan 2,8 cm muka air laut selama periode 1900-1961. IPCC (Inter-governmental Panel for Climate Change) memperkirakan akan terjadi kenaikan muka air laut sampai 29 cm pada tahun 2030 dan pada tahun 2070 menjadi 71 cm atau hampir 1 meter pada akhir abad 21.

Betulkah demikian?
Pemanasan global, secara teori dan ada sejumlah fakta, dapat mencairkan salju dan es yang mengakibatkan muka air laut naik. Tetapi mungkinkah temperatur atmosfer bawah Bumi naik sekian puluh derajat sehingga semua es di Bumi mencair?

Mungkinkah pada saat itu manusia masih hidup dan hidupnya pun di atas kapal seperti Kevin Kostner dalam film Water World-nya atau seperti Nabi Nuh a.s?***
ReadMore »

10 Desember 2009

Ibnu Sina, Mutiara Kedokteran Modern

Ibnu Sina, Avicenna
Oleh Gede H. Cahyana


Semua penyakit ada obatnya dan bisa sembuh atas izin Allah! Makna teologis hadis di atas menurut Fazlur Rahman, pionir neomodernisme Islam, adalah obat akan efektif jika ada “izin Allah”. Juga berarti, Allah mewajibkan manusia berobat ke dokter bukan ke paranormal atau ke orang “pinter”. Teori dan praktik pengobatan dalam Islam berdimensi ibadah yang menuntun hubungan manusia dengan Allah. Jadi, kaum muslimin harus meletakkan profesionalisme di atas segalanya. Hal itu dicakup oleh ungkapan the right people or man on the right place.

Abad pertengahan adalah zaman zamrud dunia Islam dan zaman kegelapan bangsa Eropa. Sejarah Islam mencatat sangat banyak pakar medis, filosof dan saintis masa itu. Seorang eksponennya adalah Abu ‘Ali al-Hussain ibn Sina atau Avicenna (980-1037 M). Dia jenius dalam menyatukan teori dan praktik pengobatan menjadi sintesis yang sangat luas dan dalam. “Dokter” pertama pengguna kloroform dan sterilisasi dalam pembedahan ini menulis banyak buku dalam bidang metafisika, sains dan medis. M. S. Khan di dalam Hamdard Medicus Vol. XLI No. 4 menyatakan bahwa karya medis pemilik magnum opus untuk buku al-Qanun fit Tibb atau Canon of Medicine ini, ada sekitar 48 buah dalam bentuk buku dan risalah. Sumber lain menyatakan, karyanya mencapai ratusan judul.

Banyak buku dan risalahnya diterjemahkan oleh “orang-orang barat” seperti risalah penyakit jantung pada Kitab al-Adwiyat diterjemahkan oleh Arnold of Villanova dengan judul De Viribus Cordis di Spanyol. Sebuah manual medis, Urjuzah fit Tibb, dialihbahasakan oleh Armengaud Blasius (meninggal tahun 1312) ke Bahasa Latin dengan judul Cantica di Montpellier, Prancis. Pakar anatomi kelahiran Bukhara, Turkistan ini juga membuat risalah (artikel) dengan topik nadi, colic, diare, urine, pendarahan, pembalsaman, racun sekaligus penawarnya. Kitabnya, Qanun dalam Bahasa Arab diterbitkan di Roma, Italia tahun 1593 dengan editor Carame. Tahun 1877 diterbitkan di Kairo, Mesir, dan di Teheran tahun 1878. Publikasi selanjutnya banyak dilakukan di Beirut dan Baghdad.

Kesehatan dan Higiene
Sebagai apoteker, Ibnu Sina sangat mengerti bahwa aspek preventif lebih baik daripada kuratif. Menurutnya, faktor yang berhubungan dengan kesehatan adalah temperatur, makanan dan minuman, limbah, udara bersih, keseimbangan antara gerak dan pikiran, tidur dan kerja. Sebagai pakar lingkungan dia menjelaskan bahwa udara kotor karena terkontaminasi uap rawa, danau, saluran, dan drainase atau gas dari pabrik kimia, asap atau jelaga membahayakan kesehatan. Sekarang diketahui uap itu adalah gas seperti CH4 (metana), H2S dan NH3 hasil dari proses anaerob. Dan CH4 atau metana adalah salah satu penyebab Bumi memanas, Global Warming.

The Prince of Medicine ini menjelaskan teori kesehatan yang berhubungan dengan kondisi geografi, musim dan iklim. Sangat spektakuler pada zamannya, al-shaykh al-ra’is (the sheikh and prince of learned) ini pun membuat catatan rinci tentang penyakit pada empat musim (iklim subtropis). Musim semi (spring) disebutnya sebagai musim paling menyehatkan. Namun ada juga penyakit radang tenggorokan, radang kulit, bisul, kejang dan abses (abscesses). Penyakit demam timbul saat musim panas (summer) terutama pada orang-orang lansia (lanjut usia). Musim gugur (autumn) biasanya muncul penyakit rematik sedangkan gangguan pencernaan sering terjadi pada musim dingin (winter). Rincian penyakit tersebut masih panjang, namun hanya satu dua buah yang dituliskannya.

Ibnu Sina juga membuat dua teori segitiga dalam pengobatan Islam, yaitu Triangular Theory of Islamic Medicine yang menyatakan hubungan antara Allah, manusia dan pengobatan dan yang kedua adalah hubungan antara badan, pikiran dan semangat. Pengobatan terbaik menurutnya adalah menguatkan spiritual dan fisik pasien secara bersamaan. Pada abad kesebelas itu, dia telah menjelaskan akibat fatal dari penyakit jantung. Kitabnya yang khusus membahas ini adalah Kitab Adwiyat al-Qalbiyah (Risalah obat untuk sakit jantung). Lebih dari sembilan abad kemudian, risalah pengobatan Ibnu Sina di bidang malaria diambil oleh Prof. Wagner Von Jauregg di Vienna. Untuk “duplikatnya” ini, sang profesor itu meraih hadiah Nobel bidang fisiologi tahun 1927.

Sangat banyak sumbangan Ibnu Sina terhadap dunia kedokteran dan farmasi. Masih banyak yang belum terungkap dan masih dicari di banyak belahan dunia. Namun satu hal yang patut dicontoh dari pakar yang dimakamkan di Hamadan ini adalah keuletannya dalam menekuni ilmu. Pengaruhnya diakui pada pengembangan sains medis internasional. Akibat kejeniusannya itu, menurut Dr. R. H. Su’dan, kewarga-negaraannya diklaim oleh empat negara, yaitu Iran, Irak, Turki dan Rusia.

Itulah seorang maestro yang makamnya dikelilingi oleh puluhan makam para dokter yang meminta jasadnya dikubur di dekat Sang Father of Doctors.***

ReadMore »

2 Desember 2009

Digester Aerob

Artikel Sainstek yang berjudul Pengolahan Lumpur dalam Majalah Air Minum edisi sebelumnya merupakan bagian umum dari teknologi yang dikembangkan dalam pengolahan lumpur, baik di bidang lumpur IPAM maupun IPAL. Sejumlah unit dapat digunakan untuk kedua bidang tersebut tetapi beberapa unit yang lainnya seperti digester aerob dan anaerob difokuskan pada satu jenis sisa pengolahan (byproduct), misalnya timbulan lumpur dalam pengolahan air limbah.




Digester aerob (aerobic digester) adalah unit proses yang difokuskan pada pengolahan lumpur biologis (bioflok) yang berasal dari IPAL dan berlangsung secara aerob. Selain itu, digester (baik aerob maupun anerob) ini pun dikelompokkan ke dalam satu paket pengolah lumpur dengan Imhoff tank (MAM, edisi 114, Februari 2005). Perlu pula disampaikan, ada perbedaan pendapat dalam mengelompokan jenis-jenis digester, misalnya ada yang menyatakan bahwa digester pastilah (hanya) anaerob.

Telah berlaku umum, pengolahan zat organik terlarut di dalam air limbah secara aerob selalu menghasilkan mikroba, biomassa atau lumpur (sludge) yang sering disebut lumpur sekunder (secondary sludge). Seperti disebut dalam artikel sebelumnya, sludge yang dihasilkan harus diolah di fasilitas pengolah lumpur seperti sludge drying bed, filter press atau diolah dengan menggunakan digester aerob.

Karakteristik
Satu karakteristik utama yang membedakan lumpur dari IPAM PDAM dan lumpur dari IPAL PDAK (Perusahaan Daerah Air Kotor) adalah jenisnya. Lumpur hasil olahan prasedimentasi dan sedimentasi dari IPAM lebih banyak berupa komponen anorganik. Adapun lumpur primer (primary sludge) di IPAL selain mengandung zat organik terlarut juga mengandung atau bahkan mayoritas terdiri atas zat organik tak terlarut (insoluble) yang besar berat molekulnya.

Tujuan pengolahan dengan digester aerob adalah meniadakan zat organik tak terlarut dalam kondisi aerob yang bisa dilaksanakan di dalam tiga kondisi reaktor, yaitu reaktor teraduk sempurna (CSTR, completely stirred tank reactor) tanpa dan dengan resirkulasi dan reaktor batch. Sistem batch jarang diterapkan di lapangan tetapi sering digunakan untuk menentukan data desain di laboratorium. Kinerja CSTR tanpa resirkulasi relatif sama dengan kinerja CSTR dengan resirkulasi sehingga yang lebih banyak diterapkan adalah CSTR tanpa resirkulasi karena lebih ekonomis.

Digester aerob ini tampak atasnya berbentuk lingkaran dengan kedalaman maksimum 5 m. Pengadukan di dalam reaktor diasumsikan sempurna yang transfer oksigennya berasal dari aerator. Udara bebas juga dapat dijadikan sumber oksigen dengan cara membuka bagian atas reaktornya. Bisa juga oksigennya berupa oksigen murni sehingga bagian atas reaktornya ditutup. Pengoperasian instalasi kecil biasanya dilakukan dengan sistem batch, sedangkan di instalasi besar dilakukan dengan sistem kontinu sehingga diperlukan unit sedimentasi untuk mengendapkan sludge yang diolah.

Keunggulan
Digester aerob digunakan untuk mengolah lumpur sekunder yang dihasilkan dari proses lumpur aktif atau trickling filter yang banyak mengandung biosolid dengan reaksi dekomposisi mikrobiologi. Proses ini dapat digunakan untuk mengolah lumpur primer dengan syarat kandungan organiknya di atas 60% tetapi sebetulnya lebih ekonomis jika diolah dengan digester anaerob. Ini dilakukan karena kehadiran sejumlah besar zat organik non-mikrobial yang akan diubah menjadi biomassa sehingga membutuhkan banyak oksigen pada proses aerob dan membentuk lebih banyak sisa lumpur dibandingkan dengan digester anaerob.

Di bawah ini adalah sejumlah keutamaan digester aerob:
1. Produk akhir olahannya relatif stabil, seperti humus, tidak bau, mudah dibuang.
2. Kadar zat organik terlarut biodegradable sangat sedikit di dalam supernatan.
3. Karakteristik pengeringan lumpurnya cukup baik.
4. Biaya konstruksinya lebih murah dibandingkan dengan proses anaerob.
5. Jika yang diolah lumpur sekunder, maka efisiensi reduksi zat organik hampir sama dengan proses digester anaerob.
6. Lebih subur (pupuknya) jika dibandingkan dengan digester anaerob.
7. Konsentrasi limbahnya lebih kecil sehingga tidak perlu sludge thickening.
8. Reaktornya sederhana sehingga relatif lebih murah daripada digester anaerob.
9. Kesulitan operasinya sedikit daripada digester anaerob sehingga tenaga kerjanya boleh yang kurang terlatih.

Selain keunggulannya tersebut, ada beberapa kelemahan digester aerob:
1. Perlu energi untuk memasok oksigen sehingga biaya operasi-rawatnya lebih mahal daripada digester anaerob.
2. Reaktor tidak menghasilkan energi biogas karena tidak terbentuk metana.
3. Sludge hasil olahan tidak selalu terklarifikasi dengan baik sehingga supernatannya mungkin masih mengandung padatan tersuspensi (SS, suspended solid).
4. Jika digunakan untuk mengolah lumpur primer maka lebih banyak dihasilkan sisa sludge daripada digester anaerob.
5. Efisiensi bervariasi karena bergantung pada temperatur sehingga perlu ada kendali temperatur.

Kinerja Operasi
Hakikat digester aerob untuk lumpur sekunder adalah CSTR yang hanya menerima sel mikroba (bioflok). Karena zat organik biodegradable terlarut (soluble) di influennya sangat sedikit maka reaksi yang terjadi hanyalah celluler death dan decay (kematian dan kerusakan sel mikroba). Kerusakan sel dapat dinyatakan dengan reaksi orde pertama sehingga konsentrasi sel di dalam reaktor akan berkurang jika waktu detensi hidrolisnya bertambah.

Kinerja digester ini bergantung pada (minimal) tiga hal dan ketiganya perlu ditetapkan lebih dulu dalam mendesain digester, yaitu volume reaktor, kebutuhan oksigen, dan power input. Ketiga hal tersebut ialah:

1. Model matematis
Model ini digunakan untuk menghitung kebutuhan volume reaktor yang juga berkorelasi dengan luas lahan yang diperlukan. Pada mulanya volume reaktor dihitung dengan cara volumetric loading (massa VSS per volume harian; VSS: volatile suspended solid) tetapi dengan perkembangan kinetika proses digunakanlah rekayasa reaktor, yaitu kombinasi antara persamaan laju reaksi dan neraca massa.

2. Nilai parameter
Persamaan-persamaan desain dapat digunakan jika nilai-nilai parameter atau konstanta laju reaksi dan kebutuhan oksigennya sudah diketahui. Semua parameternya ditentukan dengan uji di laboratorium dan diharapkan sama dengan kondisinya pada skala pilot maupun skala penuh (lapangan).

3. Pengaruh kondisi lingkungan.
a. Mixing
Jika pengadukannya tidak cukup maka akan terjadi pengendapan di dalam reaktor sehingga mengurangi volume efektifnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya kondisi anaerob. Pengurangan volume dan kondisi anaerob tersebut dapat mengurangi efisiensi proses pengolahan.

b. Temperatur
Seperti pada teknologi pengolahan air limbah, pengolahan lumpur secara bioproses pun sangat bergantung pada temperatur karena melibatkan mikroba dalam pengolahannya.

c. pH
Sejumlah konstanta laju reaksi bergantung pada pH. Ada studi yang menyatakan bahwa hasil optimal pengolahan terjadi pada pH 6,5 - 8,0. Perubahan pH dapat terjadi selama proses digesi akibat nitrifikasi yang besarnya bergantung pada konsentrasi nitrogen organik dan alkalinitas di dalam sludge.

Ketiga poin yang diperlukan dalam mendesain digester aerob tersebut tidak serta merta mudah dalam penerapannya. Digester aerob masih jarang diterapkan. Sebagian besar literatur tentang digester aerob hanya menguraikan studi laboratorium dan skala pilot. Hanya sedikit yang datanya berasal dari instalasi yang fullscale. Sekadar contoh, ada instalasi digester aerob di Canada, terdiri atas tujuh unit dan bersifat CSTR dengan modus operasi fill-and-draw atau SBR (SBR: Sequencing Batch Reactor, MAM edisi 134, Oktober 2006). Waktu detensi hidrolisnya cukup panjang, yaitu 14 s.d 360 hari dengan kecepatan injeksi udara antara 8,4 s.d 30 cfm/1000 ft3 dan konsentrasi lumpur 20.000 mg/l. Masalahnya, terjadi pengendapan lumpur sehingga volume efektifnya berkurang dan menurunkan efisiensinya.

Terlepas dari kekurangan itu, ada yang menyatakan bahwa digester aerob dapat mengolah lumpur sekunder hingga konsentrasi 60.000 mg/l. Betul ataukah tidak, sebagai hasil perkembangan teknologi di bidang pengolahan lumpur, digester aerob dapat diapresiasi sebagai alternatif untuk stabilisasi lumpur biologi yang menjadi konsekuensi logis dalam pengoperasian IPAL. *
ReadMore »

26 November 2009

Hari Guru Nasional: Dari UKA Hingga PLPG

Terpujilah wahai engkau, Ibu Bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sbagai prasasti, trimakasihku ntuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa.

(Sartono)

Hari Guru Nasional
Oleh Gede H. Cahyana


Hari ini, 25 November, guru melaksanakan upacara peringatan Hari Guru Nasional. Peringatan HGN memang terasa sepi, hanya diperingati oleh kalangan guru dan Depdiknas atau Dinas Pendidikan di daerah. Apalagi peringatan ini ditimpa oleh berita tentang KPK, Polri, dan jaksa, juga Bank Century dan demo buruh dan mahasiswa di beberapa daerah.

Menjadi guru profesional dan efektif tidaklah mudah. Sangat sulit dan berliku jalannya. Tak hanya peningkatan jenjang pendidikan, tetapi juga kemauan, kemampuan, semangat dan kesempatan untuk memperoleh tambahan ilmu dan keterampilan. Bisa dikatakan, yang mengajar di kota besar berpeluang lebih banyak untuk menggali ilmu daripada yang di daerah, apalagi di pelosok. Jaringan internet lebih banyak dan mudah di kota ketimbang di desa. Kesempatan kuliah di jurusan yang serasi dengan ilmunya selama ini juga lebih besar bagi guru yang tinggal di kota besar.

Lepas dari kekurangan tersebut, guru tetaplah berperan mencerdaskan anak-anak. Dalam makna yang lebih luas guru pun meliputi guru di rumah, yaitu orang tua, guru dalam pemerintahan, yaitu aparat negara, dan guru di sekolah, madrasah, pesantren. Ada satu lagi, yaitu guru imajiner, yakni orang-orang yang ”digurukan” oleh seseorang meskipun belum pernah bertemu, belum pernah ada proses belajar-mengajar. Guru imajiner ini dapat melintasi dimensi ruang dan waktu dan ”tanya-jawabnya” lewat buku, manuskrip, prasasti, papirus, lontar, dll.

Bagaimana dengan sertifikasi? Dimulai dari zaman isi portofolio, lantas Uji Kompetensi Awal, UKG, dan PLPG sembilan hari. Pada saatnya kelak, dilaksanakan PPG, kuliah selama satu tahun. Menurut dosen yang menjadi instruktur workshop pada kegiatan PLPG, kualitas peserta sangat bervariasi, mulai dari yang sangat tidak paham instruksi, bahkan ada yang sulit menulis (mengeja) namanya, sampai yang cerdas-bernas. Apapun itu, semoga semua guru menuju ke arah perbaikan kualitas. Sebab, ujian pun adalah belajar.

Rawe-rawe rantas, malang-malang putung, ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.*


Sekolah Abad ke-21

Berikut adalah ringkasan dari “What’s So Special About Tahatai Coast?, New Zealand.
1. Jadikan sekolah sebagai pusat penelitian dan penemuan.
2. Pilihlah kepala sekolah yang inspirasional
3. Kepala sekolah yang inspiratif ini lantas memilih staf dan karyawannya yang bermutu tinggi dan berkomitmen kuat pada filosofi sekolah.
4. Sediakan sarana computer, multimedia untuk mendukung pembelajaran.
5. Sediakan computer atau laptop untuk semua guru dan jaringan internet.
6. Jadikan murid sebagai guru dan begitu sebaliknya.
7. Jalinlah kerjasama bisnis.
8. Bergabunglah dengan sekolah-sekolah lain dalam jaringan.
9. Bangunlah jaringan informasi sekolah – rumah – multimedia.

Sumber: The Learning Revolution, Revolusi Belajar, Gordon Dryden & Jeannette Vos.


ReadMore »

Hari Guru Nasional

Puisi di bawah ini khusus dinisbatkan kepada guru atas semua dedikasinya. Memang sudah menjadi rahasia umum, beragam-ragam kejelekan, hal negatif, predikat buruk disandangkan di pundak guru. Walau demikian, aku maklum, aku mafhum. Apapun, bagaimanapun, mereka tetaplah guruku yang mengajariku baca-tulis, mengarang-menulis, berhitung, ilmu alam, ilmu sosial, agama, PMP, bahkan PSPB sekalipun. Semoga dengan proses sertifikasi, peningkatan jenjang pendidikan, mampu menambah profesionalisme guru dalam belajar-mengajar. Semoga balasan atas jasanya (baik dari pemerintah maupun masyarakat) membaik, melayak, dan ”dengan tanda jasa”, Hymne (Baru) Guru.


Karena Guru

Eksekutif:
Semua presiden, wakil presiden, menteri, dirjen, sekjen
Semua gubernur, bupati, walikota, camat, bendesa, lurah
Semua direktur perusahaan, komisaris bisnis, pemilik agribisnis
Semua pegawai negeri sipil, pusat – daerah, di semua bagian

Legislatif:
Semua anggota DPR, DPRD I, DPRD II
Semua anggota DPD, anggota MPR

Yudikatif:
Semua hakim, jaksa, polisi, KPK, MK, MA
Semua lawyer, advokat, penasihat hukum, notaris

Armiyatif:
Semua jenderal, kolonel, kapten, bintara, tamtama
Semua pasukan khusus
Semua milisi

Tarbiyatif:
Semua guru, dosen, pendidik luar sekolah
Semua ustadz/dzah,
Semua kyai, da’i

Semua insan dalam profesi tersebut
Semua karena guru
Baca-tulisnya karena guru
Berhitungnya karena guru

Kini, menggeliat sudah semua guru
Berduyun-duyun kuliah lagi
Rela bersusah-payah ikut pelatihan
Mengisi portofolio, ‘tuk meraih sertifikat pendidik
Menggapai kompetensi pedagojik
Menjadi profesional
Juga humanis
Aamin

Bapak dan ibu guru
Rayakanlah Hari Guru Nasional, 25 November 2009
Dengan optimis

Salam hormat,
Atas nama mantan murid yang kini
menjadi murid di SK: Sekolah Kehidupan
Gede H. Cahyana
ReadMore »

16 November 2009

Siklus Hidrologi (Hydrologic Cycle)

Siklus Hidrologi (Hydrologic Cycle)





Faktanya, hampir tiga perempat (3/4) permukaan Bumi diselimuti oleh air. Namun demikian, berbagai faktor menyebabkan mayoritas air tersebut susah dimanfaatkan oleh manusia. Tak kurang dari 97,3% berupa air laut yang asin rasanya. Sisanya 2,7% berupa lapisan es dan glaciers, uap air di atmosfer dan tanah. Yang berupa es dan glaciers mencapai 2,14%. Sisanya yang hanya 0,62% dimanfaatkan oleh manusia sedunia ini untuk kegiatan sehari-hari, tersebar di danau, sungai, air tanah, sawah, kolam, waduk, rawa, dll.

Menurut pakar hidrologi, di Bumi terdapat kira-kira 1,3 - 1,4 milyar km3 air. Teoretisnya, volume air tersebut tetap jumlahnya, hanya wujudnya yang berubah-ubah, menjadi padat, cair, dan uap (gas). Air atmosfer mengalami kondensasi dan jatuh berupa hujan, salju, atau bentuk lain presipitasi. Sampai di permukaan tanah, air tersebut melimpas ke selokan, sungai, danau, waduk, dll dan berujung ke laut. Ada juga yang masuk ke dalam tanah, yaitu infiltrasi kemudian masuk ke lapisan yang lebih dalam, disebut perkolasi. Air tanah ini selain menguap, ada juga yang ke luar menuju sungai-sungai, disebut aliran intra (interflow). Tetapi sebagian besar air ini tersimpan di dalam tanah, disebut air tanah (groundwater) yang ke luar sedikit demi sedikit dalam waktu yang lama ke permukaan tanah di lokasi yang rendah (limpasan air tanah = groundwater run off).

Bisa dikatakan, sungai menerima tiga jenis limpasan, yaitu limpasan permukaan (surface run off), aliran intra (interflow), dan limpasan air tanah (groundwater run off) yang akhirnya berakhir di laut. Sirkulasi air laut dan air di darat terus terjadi, uapnya membentuk awan, lalu hujan. Hanya saja, sirkulasi air ini tidak merata karena ada perbedaan presipitasi dari tahun ke tahun, dari musim ke musim di berbagai daerah. Sirkulasi air ini dipengaruhi oleh kondisi meteorologi (suhu, tekanan atmosfer, angin) dan kondisi topografi. Pada suatu masa, ada daerah yang banjir, tetapi pada waktu yang lain, justru kekeringan (kurang air). Ilmu yang mempelajari seluk-beluk sirkulasi air ini disebut hidrologi dengan materi bahasan seperti presipitasi (precipitation), evaporasi dan transpirasi (evaporation), aliran permukaan (surface stream flow), air tanah (groundwater).

Beberapa ayat Al Qur’an yang berisi kata air dan kaitannya dengan makhluk hidup dan abiotik, serta fenomena siklus hidrologi.

Surat Qaaf (50) ayat 7-11: Dan Kami hamparkan Bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali mengingat Allah.

Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rizki bagi hamba-hamba Kami, Dan Kami hidupkan dengan ai, tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.

Allah menurunkan air dari langit, lalu mengalir di lembah-lembah menurut ukurannya,… (Surat Ar Ra`du: 17).

Dan Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran, lalu Kami menempatkannya di Bumi. Dan sesungguhnya Kami berkuasa untuk menghilangkannya.
(Surat Al Mu`minuun: 18).





ReadMore »

29 Oktober 2009

Pemuda Go Blog

Tulang punggung negara, pembela bangsa, penerus generasi. Itulah jargon yang ditempelkan pada pemuda. Lewat Sumpah Pemuda, Jong Java, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond, dll berjanji bersatu untuk kemerdekaan Indonesia yang tercapai kira-kira 17 tahun kemudian. Perjuangan pemuda saat itu dikendalikan oleh kalangan terdidik, yaitu pemuda “sekolahan”. Selain vokal berpidato di dalam negeri lewat gerakan demonstrasinya, pemuda juga vokal lewat tulisannya. Pentolan pemuda yang dikenal sebagai aktivis pergerakan kebangsaan ini rajin menulis dalam bentuk selebaran, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, maupun Belanda. Gaung gemanya bahkan sampai ke Belanda, negara penjajah Indonesia, disuarakan dan “dituliskan” oleh mahasiswa Indonesia yang kuliah di negeri kincir angin itu.

Yang patut digarisbawahi adalah kata “dituliskan”. Tanpa tulisan, mustahil ide dan gerakan pemuda pada masa itu dapat diketahui banyak orang dan menyebar ke seluruh dunia. Itu sebabnya, pentolan pemuda masa itu selalu bergelimang dengan buku, majalah, koran, dan selebaran. Lewat material tulisan itulah mereka lantang berteriak dan terdengar hingga ke pelosok, meskipun memakan waktu berhari-hari. Bahkan bulanan. Boleh jadi juga tahunan untuk daerah dusun pelosok sehingga ada kasus “lucu yang tak lucu” yaitu ketika tahun 1950-an banyak orang yang belum tahu bahwa Indonesia sudah merdeka, sudah belasan tahun merdeka. Ini terjadi karena mereka tidak mendapat kabar sama sekali.

Kejadian “lucu yang menyedihkan” itu tentu dapat dimaklumi pada masa itu karena komunikasi sangat sulit, alat telefon nyaris barang asing. Radio pun tak banyak dan televisi belum ada. Namun...., pada masa sekarang, semuanya berbalik 180 derajat. Teknologi komunikasi sudah canggih. Negara menjadi tak berbatas, dunia seolah-olah selebar daun kelor karena semua kejadian dapat diketahui dalam sekejap mata. Internet, meskipun bagai pisau bermata dua, sudah menyulap pola komunikasi antarmanusia di “kampung dunia” ini. Dengan FB misalnya, kawan di tengah hutan dapat dilihat aktivitasnya. Yang di lepas pantai tampak berpose di tengah badai dan gelombang dalam suasana realtime. Kejadian di bulan pun dapat disaksikan sambil ngemil buntil.

Semuanya gara-gara internet. Andaikata pemuda Natsir, Kasman Singodimedjo, Syahrir, Soekarno, Hatta, dll sudah mengenal internet pada waktu itu, mungkin efeknya jauh lebih dahsyat pada kemerdekaan Indonesia. Tapi..., hal itu tak mungkin terjadi. Semuanya sudah menjadi sejarah. Tinggal sekarang adalah pemuda masa kini, masa internet ini. Pemuda progresif yang memanfaatkan internet secara positif. Kata Menkominfo yang sekarang menjadi Mendiknas, pemuda harus memanfaatkan internet untuk kemajuan bangsa dan negara dan bisa ditempuh lewat blog. Menjadi blogger yang positif, bukan blogger atau netter yang mengunggah pornografi, baik demi kesenangan maupun demi uang.

Tentu saja menjadi blogger tidak harus di blogspot, blogsome, wordpress tetapi bisa juga di facebook. Berkaitan dengan blog ini, patutlah kita menyebut nama Enda Nasution karena telah memulai perluasan blogger di Indonesia lewat tulisannya di enda.goblogmedia.com. Mudah-mudahan Menkominfo yang baru, Pak Tifatul Sembiring, dapat lebih meluaskan canangan Hari Blog Nasional ini kepada semua pemuda agar makin meluaskan ilmu dan teknologi kepada semua orang, khususnya orang Indonesia. Agar pemuda/di Indonesia makin cinta Indonesia lewat tulisan, wajarlah pada Hari Blog Nasional dan Hari Sumpah Pemuda ini dipadukan dalam satu frase, yaitu: Pemuda/di Go Blog. Pemuda/di menuju blog, menjadi blogger yang positif.*

Kamus rahasia: Blog lawannya goblog. (Bali: Belog = bodoh).
ReadMore »

Pengol. Lumpur (Sludge Treatment)

Pengolahan Lumpur, Sludge Treatment

Dalam sebuah kesempatan, penulis berbincang dengan Direktur Utama PDAM Kota Tarakan. Satu topik bahasan yang muncul adalah tentang teknologi pengolahan lumpur IPAM. Melihat air bakunya yang sangat keruh, kaya coarse solid, suspended solid, dan koloid, dapat dipastikan unit sedimentasinya menimbulkan banyak lumpur. Berkaitan dengan itu, di bawah ini dituliskan beberapa teknologi yang bisa digunakan dalam pengolahan lumpur. Namun opsi pemanfaatan lumpur IPAM menjadi pencampur bahan bangunan, batako, paving block, adsorban, pupuk, dll seperti usulan dalam bincangan tersebut belum disertakan karena banyak yang masih dalam taraf penelitian di laboratorium dan belum bernilai ekonomis kalau diterapkan di lapangan.

Lumpur dalam arti sludge (bukan mud, wet dirt) selalu ada di setiap unit pengolah air, apapun jenis dan bentuk teknologi pengolahannya. Seperti halnya di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), walaupun berbeda sifat atau karakteristiknya, IPAM di PDAM pun menimbulkan lumpur (sludge) yang volume hariannya relatif besar, bergantung pada debit air yang diolah dan konsentrasi kekeruhan air bakunya. Makin besar debitnya dan makin tinggi konsentrasi padatannya, baik padatan kasar (coarse solid), padatan tersuspensi (suspended solid) maupun koloid, makin besar juga volume lumpurnya. Kecuali kalau air bakunya berasal dari mata air (artesian dan atmospheric spring) (khususnya pada musim kemarau), lumpur di IPAM umumnya berasal dari unit sedimentasi, baik yang sifatnya diskrit maupun flok.

Lumpur diskrit, yakni lumpur yang butir-butirannya terpisah tanpa koagulan, biasanya kecil volume per satuan waktunya kecuali pada musim hujan. Mayoritas lumpur ini mengandung pasir, grit, dan pecahan kerikil berukuran kecil. Lumpur ini bisa di-recovery dengan cara dicuci (disemprot air) atau dengan diayak di dalam air. Sebaliknya, lumpur yang berupa flok, yaitu kimflok (chemiflocc) sangat besar volumenya terutama di IPAM besar yang air bakunya sangat keruh, didominasi oleh koloid. Selain unit sedimentasi yang didahului oleh unit koagulasi dan flokulasi itu, sumber lumpur lainnya adalah unit pelunakan atau softening dan air cucian dari filter pasir cepat dan pasir lambat.

Opsi Teknologi
Dalam teknologi pengolahan lumpur, ada beberapa unit yang dapat diterapkan seperti settling, thickening, conditioning, dewatering, drying, recovery, dan disposal. Semua unit tersebut memerlukan biaya yang relatif besar, termasuk unit disposal (pembuangan) yang tampaknya murah. Ada kalanya residu tertentu boleh dibuang ke selokan atau ke dalam pipa air limbah dengan persyaratan ketat atau dalam kondisi tertentu. Hanya saja di Indonesia cara ini (sebaiknya) tidak diperbolehkan. Sebab, kalau ini terjadi maka semua IPAL domestik akan cepat dangkal, memerlukan biaya untuk pengerukan sekaligus pembuangan lumpurnya ke tempat lain. Ini menimbulkan masalah baru dan biaya baru bagi pengelola IPAL. Lain halnya kalau lumpur tersebut dibuang atau digenangkan di tanah-tanah cekung tetapi tetap harus layak agar tidak mencemari air tanahnya atau dilapisi bahan kedap air seperti lempung, geomembran, geotekstil sehingga fungsinya serupa dengan sludge drying bed.

Dari sekian banyak teknologi pengolah lumpur tersebut, diperlukan analisis kinerja masing-masing dalam pemilihannya, unit mana yang tepat diterapkan. Pilihan unit ini dipengaruhi oleh kondisi lokasi, misalnya luas lahan, jenis dan kualitas lumpur, kondisi cuaca, biaya zat kimia, dan tipe disposal atau pembuangan akhir yang tersedia atau yang harus disediakan. Seleksi ini pun bergantung pada dimensi unitnya (size of plant), biaya konstruksi, harga peralatannya (equipment), termasuk faktor operasional seperti zat kimia, listrik, pekerja, dan kelayakannya. Opsi yang dipilih dari alternatif proses pengolahan lumpur itu harus didasarkan pada aspek keuntungan, manfaat dan pertimbangan keburukan setiap prosesnya dan biaya pengolahannya secara keseluruhan. Hal yang perlu dalam memilih prosesnya antara lain (1) persyaratan lahan, (2) operasi di bawah kodisi cuaca yang buruk, (3) variasi debit olahan, (4) mudah dalam operasi-rawat, (5) kualitas lumpur dan supernatannya.

Untuk memilih jenis teknologi yang tepat, perlu diketahui dulu jenis lumpurnya. Yang pertama adalah lumpur dari unit prasedimentasi. Lumpur dari prasedimentasi ini dapat saja dikembalikan ke sungai asalkan peraturannya ada atau diizinkan oleh undang-undang. Hanya saja di sungai-sungai yang sudah dangkal, cara ini akan memperparah pendangkalan dan bisa diprotes oleh masyarakat. Yang paling aman adalah dengan memanfaatkan sludge drying bed kemudian dibuang ke tanah-tanah yang cekung sebagai bahan urugan. Bisa juga dijadikan penambah lapisan penutup di sanitary landfill (sanfil) meskipun sifatnya lulus air dan tidak bisa dijadikan pengganti tanah penutup berbahan lempung, kecuali semata-mata sebagai tempat pembuangan akhir lumpur saja, kalau tiada opsi lainnya.

Yang kedua adalah lumpur dari sedimentasi dan mixing (koagulasi, flokulasi). Rentang konsentrasi lumpur di unit ini akibat pembubuhan alum dan PAC (polyaluminum chloride) antara 1.000 mg/l dan 17.000 mg/l. Massa jenis lumpur alum kering antara 70 dan 99 pounds per cubic foot. Kalau akan dibuang ke sanitary landfill (sanfil) maka kadar padatannya minimal 20 persen. Lumpur yang dihasilkan oleh garam-garam besi juga ditangani serupa dengan penanganan lumpur dari koagulan alum sulfat ini. Teknologi recovery untuk lumpur ini agar diperoleh kembali mineral alum dan besinya sudah dijadikan objek penelitian namun hasilnya belum layak diterapkan karena belum menguntungkan.

Berikutnya adalah lumpur dari unit pelunakan (softening). Karakteristik lumpur jenis ini dipengaruhi oleh konsentrasi ion-ion penyebab kesadahan, khususnya kalsium dan magnesium, jenis koagulan yang digunakan dalam proses mixing dan konsentrasi padatan (solid) di dalam air bakunya. Kadar padatan dalam lumpur pelunakan ini berkisar antara 2 – 30 persen atau volume totalnya antara 0,3 s.d 6 persen dari volume air baku yang diolah. Karakteristiknya selain kaya kalsium, magnesium, dan natrium klorida, juga ada besi, mangan dan aluminum dalam jumlah sedikit. Di dalamnya terkandung juga padatan yang kaya kalsium karbonat dan magnesium hidroksida dengan berat mencapai 2,5 kali berat kapur tohor yang disuspensikan. Namun sayang, lumpur jenis ini pun belum ekonomis apabila diolah untuk mendapatkan kembali mineral-mineralnya.

Selanjutnya adalah lumpur dari filter, baik slow sand filter maupun rapid sand filter. Unit terakhir dalam IPAM di PDAM ini menghasilkan banyak lumpur dari air pencuci media filternya. Padatan yang banyak terkandung di dalam air cucian filter ini antara lain lempung, besi & aluminum hidroksida, kalsium karbonat, pasir halus, dan karbon aktif. Karakteristiknya agak berbeda dengan lumpur dari unit yang menerapkan pelunakan atau aerasi untuk penyisihan besi dan mangan. Namun demikian, air cucian filter ini relatif encer kadar lumpurnya, dengan nilai rerata 200 mg/l. Angka ini tentu saja bisa berbeda dari satu instalasi ke instalasi lainnya, bergantung pada kualitas air baku dan modus operasi unitnya.

Meskipun jarang atau belum diterapkan di PDAM, lumpur IPAM juga bisa berasal dari unit desalinasi atau pengurangan garam air laut atau air payau. Meskipun demikian, peluang penerapan teknologi desalinasi ini makin besar karena sumber-sumber air baku yang tawar makin sedikit sedangkan kebutuhan domestik dan industri justru makin banyak. Zat kimia yang banyak di dalam lumpur jenis ini adalah garam-garam klorida dan sulfat dari kation kalsium, magnesium dan natrium. Konsentrasi masing-masing dipengaruhi oleh metode desalinasi yang diterapkan (mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, reverse osmosis). Beratnya menerapkan teknologi desalinasi ini karena semua unitnya memerlukan pengolahan pendahuluan untuk menghilangkan kekeruhan, besi dan mangan agar dapat memperpanjang masa operasinya.

Metode selanjutnya adalah dengan cara lagoon dengan tujuan untuk mengentalkannya. Bergantung pada cuaca dan sifat lumpurnya, kadar padatan di dalam lagoon ini berkisar antara 1,0 s.d 17,5 persen. Apabila air tanahnya relatif dangkal dan dijadikan sumber air minum oleh masyarakat maka perlu dilapisi dengan lapisan kedap air seperti geomembran. Air dapat dipisahkan dari lagoon dengan dekantasi. Air yang didekantasi itu dapat dikembalikan ke badan air apabila diizinkan oleh pemerintah setempat atau bisa juga diresirkulasi. Minimal dua lagoon dibutuhkan agar dapat terus mengeringkan lumpur secara bergantian. Setelah cukup kering, lumpur dipindahkan dari lagoon dan digunakan sebagai tanah penutup di sanitary landfill. Lagoon ini harus dipagari agar aman dari gangguan dan tidak membahayakan anak-anak.

Yang terakhir, apabila timbulan lumpurnya sangat besar, agar proses pengolahannya menjadi cepat, biasanya digunakan vacuum filter. Teknologi ini cocok untuk mengolah lumpur IPAM yang lahannya sempit tetapi besar volume lumpurnya. Juga dapat mengeringkan lumpur dengan tingkat yang tinggi dibandingkan dengan metode lainnya. Kebutuhan energinya relatif besar dan perlu tenaga kerja yang memiliki kemampuan (skill) yang tinggi. Lumpur olahannya digunakan untuk memupuk tanah dan dapat ditambahkan zat-zat kimia tertentu serta unsur-unsur hara (N, P, K) untuk meningkatkan kegunaannya di bidang pertanian. Akan menjadi lebih berkualitas lagi kalau dicampur dengan pupuk organik atau kompos dari sampah domestik sehingga limbah IPAM di PDAM masih dapat dimanfaatkan di sektor lain. Waste for one is added value for another. *
ReadMore »

26 September 2009

Sedimentasi

Tersedia di Majalah Air Minum, Agustus 2009

Artikel sainstek yang berjudul Sedimentasi ini merupakan bagian tak terpisahkan dari dua artikel sebelumnya yang berjudul Rapid Mixing (MAM 163, April 2009) dan Slow Mixing (MAM 164, Mei 2009). Tema utama, lebih khusus lagi adalah judul sedimentasi dalam IPAM, seperti halnya filtrasi, merupakan unit inti dalam satuan operasi (unit operation) di bidang teknologi pengolahan air, baik air minum maupun air limbah. Bisa dipastikan, kalau ada unit koagulasi dan flokulasi, maka pasti ada juga unit sedimentasi. Tidak mungkin seorang desainer IPAM yang menyediakan fasilitas koagulasi - flokulasi tanpa membuat sedimentasi. Begitu pula, secara teoretis, tidaklah tepat apabila efluen koagulasi - flokulasi dialirkan langsung ke unit filter karena dapat segera menyumbat filter sehingga biaya operasionalnya menjadi tinggi.

Fenomena dan karakteristik sedimentasi yang dikaitkan dengan Camp Test, khususnya tipe 1 (partikel diskrit) sudah ditulis di MAM edisi 145, Oktober 2007. Dalam terapannya di PDAM, unit tersebut dinamai Prasedimentasi yang difungsikan sebagai penyisih partikel semacam pasir, grit, dan kerikil kecil. Namun unit yang digunakan sebagai penyisih partikel flok, yakni partikel yang terbentuk setelah air berkoloid mendapat perlakuan koagulasi plus koagulannya kemudian dilanjutkan dengan unit flokulasi, biasanya disebut sedimentasi atau klarifikasi. Fenomena yang kedua ini mengacu pada Camp Test tipe 2 (flocculent particle) yang berbeda karakteristiknya dengan tipe 1. Perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan mendasar pada jumlah sampling port-nya pada tabung Camp di laboratorium dan cara perhitungan efisiensi teoretisnya.

Di dalam tulisan kali ini, titik fokus bahasannya adalah sedimentasi tipe 2 yang airnya sudah melalui unit koagulasi dan flokulasi, mendapat perlakuan fisikokimia. Lebih fokus lagi adalah tentang variasi teknologi yang diterapkan untuk meningkatkan kinerja atau efisiensi unit sedimentasi konvensional. Yang biasa diterapkan adalah (1) pelaminer aliran agar aliran airnya mendekati kondisi aliran ideal, (2) solid-contact, agar terjadi flokulasi yang lebih mantap dan pelekatan flok dari air umpan (air baku), dan (3) varian teknologi ”lanjut” yang berlisensi, proprietary, semacam ide atau gabungan beberapa mode operasi tetapi belum tentu cocok untuk kondisi air tertentu dan perlu berbagai pertimbangan.


Kriteria Desain
Apapun jenis barang yang dibuat, sebaiknya mengacu pada aturan yang sudah baku atau aturan inovatif – kreatif yang diperkirakan akan menghasilkan produk yang memuaskan. Berbagai macam pengalaman di berbagai tempat berkaitan dengan satu jenis bangunan misalnya, dapat dihimpun lalu dianalisis dan dibuatkan sebuah daftar tentang tatacara membuat atau membangunnya. Di bidang teknologi pengolahan air minum dan air limbah juga demikian. Kumpulan data, biasanya dalam suatu rentang, yang berpengaruh atas desain dan produknya ini biasa disebut kriteria desain (design criteria). Sebuah unit operasi – proses dapat memiliki belasan jenis kriteria desain, ada yang menjadi kriteria utama, ada juga sebagai kriteria pelengkap.

Dalam perancangan unit sedimentasi, parameter penting dalam desainnya adalah bentuk bak (geometri), beban permukaan, waktu tinggal, zone inlet – outlet, beban pelimpah, dan zone lumpur dan sistem pembuangannya. Bentuk bak yang sama dapat berbeda rentang kriteria desainnya kalau mengolah air yang mendapat perlakuan (treatment) berbeda. Misalnya, bak berbentuk persegi panjang akan berbeda nilai kriteria desainnya kalau yang satu memiliki unit koagulasi, satunya lagi pelunakan (softening). Begitu pula, kerapkali kinerja unit sedimentasi memburuk akibat perubahan kualitas air baku atau terjadi aliran singkat (short-circuiting). Penyebabnya antara lain aliran atau kecepatan influen di zone inlet, gradien temperatur dan stratifikasi densitasnya, hembusan angin, dan pelimpah efluen. Di dalam sedimentor yang tepat desainnya juga berpotensi terjadi aliran singkat. Kondisi buruk juga dapat diakibatkan oleh turbulensi ketika air mengalir dari flokulator ke sedimentor sehingga flok-floknya pecah.


Peningkatan Kinerja
Berbagai ”ancaman” buruk atas kinerja unit sedimentasi di atas tidaklah menjadi kata akhir yang tak dapat diperbaiki. Berikut ini disampaikan beberapa teknologi dan modifikasi yang dibuat dan telah diterapkan baik dalam skala laboratorium maupun lapangan untuk meningkatkan kinerja sedimentor.

Pelaminer Aliran. Inilah metode paling populer untuk meningkatkan kinerja unit sedimentasi dan banyak diterapkan pada unit baru maupun lama. Kalau dipasang di unit lama biasanya disebut uprating, yakni penambahan debit tanpa mengubah struktur bangunan. Tentu saja debit tambahan itu bergantung pada kelonggaran kriteria desain yang diterapkan pada masa awal desain dan konstruksinya dan juga ada tidaknya perubahan kualitas air baku. Perubahan kualitas kekeruhan misalnya, apalagi kalau terlampau tinggi, akan tetap menyulitkan uprating, tetapi masih mungkin ditingkatkan kinerjanya tanpa penambahan debit.

Sebagai pelaminer aliran, karena pengendapan sangat baik pada kondisi laminer, alat ini dirancang sedemikian rupa sehingga ”garis-garis aliran” di dalam masa air seolah-olah menjadi lapisan-lapisan air yang tenang dan mampu melepaskan padatan akibat tarikan gravitasi Bumi. Prinsipnya adalah menyediakan banyak ruang pengendapan, baik berupa pelat (plate settler) maupun tabung (tube settler) dan biasanya dipasang miring antara 45 s.d 60 derajat terhadap horizontal, dipasang di zone endap dekat dengan bagian outletnya. Semua massa air yang berisi flok harus melewati ruang endap mikro ini (microsettler) yang bentuknya serupa dengan tabung atau kanal. Konfigurasi ini dapat meningkatkan penyisihan flok karena (1) jarak tempuh pengendapan flok ke zone sedimentasinya menjadi pendek, akibatnya beban permukaannya pun berkurang, (2) aliran air menjadi makin laminer di dalam tabung/kanal, (3) pengaruh pelapisan (stratifikasi) densitas, temperatur, dan hembusan angin menjadi tidak berarti terhadap proses sedimentasi.

Dalam terapannya di lapangan, pelaminer aliran ini memang berhasil menjernihkan air dari sungai yang sangat keruh sehingga sering dijadikan opsi dalam perbaikan kinerja unit sedimentasi eksisting. Keputusan untuk meng-uprating instalasi ditentukan di unit ini, tentu saja dengan tetap mempertimbangkan unit operasi – proses lainnya dan kualitas air bakunya. Yang paling sulit modifikasinya adalah perubahan elevasi muka air akibat perubahan kedalaman unit pengolah yang diakibatkan oleh penambahan kapasitasnya, terutama kalau lahan kosong di instalasinya terbatas. Mau tak mau, bangunan eksisting harus dibongkar total, lalu diganti dengan bangunan baru. Pada instalasi yang sudah berumur lebih dari 20 tahun, sesuai dengan periode perancangannya, tentu bukan beban berat bagi PDAM karena memang sudah waktunya dievaluasi dan diganti dengan unit dan modifikasi teknologi untuk menambah kapasitas pengolahannya.

Solid-Contact System. Modifikasi sedimentasi konvensional juga berhasil memperbaiki kinerja pengolahannya dengan terapan solid-contact system. Dalam sistem ini, upaya maksimal diarahkan untuk menghasilkan lapisan atau selimut lumpur (sludge blanket) di zone bawah bak. Zone ini merupakan perpaduan antara lapisan bawah zone sedimentasi dan lapisan atas zone lumpur. Lapisan lumpur inilah yang menjaring flok sambil mengikat mikroflok sehingga membesar dan memberat lalu mengendap. Pertumbuhan mikroflok yang kecepatan endapnya masih lebih kecil daripada kecepatan ke atas aliran air (upflow velocity) mengganti makroflok yang mengendap sehingga terjadi kesetimbangan antara flok yang mengendap dan flok yang melayang sebagai selimut lumpur. Fenomena ini terjadi terus menerus sampai tiba saatnya lumpur dibuang. Pembuangan lumpur ini harus dilakukan hati-hati agar selimut lumpur tidak terlampau rusak lantaran membutuhkan waktu lama untuk menumbuhkannya kembali. (Hal serupa terjadi pada pengolahan air limbah organik dengan teknologi UASB, upflow anaerobic sludge blanket, di mana efisiensi pengolahan terbesarnya terjadi di zone bawah reaktor karena biofloknya sangat banyak dan aktif di zone ini. Bedanya, di dalam bioreaktor ini terjadi fenomena bioproses sedangkan di dalam solid-contact terjadi proses fisikokimia).


Multitray System. Secara teoretis, multitray atau multiplate mudah diterapkan pada unit prasedimentasi untuk menyisihkan pasir, grit, dan kerikil kecil. Konsep plate settler dan tube settler diawali oleh penerapan pelat ganda ini. Apabila dianalisis secara matematis fenomena pengendapannya, akan diperoleh bahwa kedalaman bak sedimentasi tidak berpengaruh pada efisiensinya. Hanya saja, keleluasaan pemasangan banyak pelat ini dipengaruhi juga oleh kecepatan aliran airnya dan kesulitan pengurasan lumpurnya sehingga penambahan jumlah pelat tidak bisa tak terbatas. Jangankan banyak pelat, dua pelat saja (two tray) sudah menimbulkan kerumitan dalam pengurasan lumpurnya.

Begitu pula, terapan yang sama tidak menghasilkan kinerja optimal pada partikel flok (pengendapan tipe 2). Oleh sebab itu, unit two tray system bagi partikel flok diterapkan untuk meningkatkan kinerjanya dalam dua tingkat sedimentasi. Mekanismenya, air masuk melewati dinding berlubang-lubang lalu mengalir horizontal sepanjang zone sedimentasi di kompartemen bawah kemudian naik ke zone atas, mengalir berlawanan arah dengan zone kompartemen bawah menuju outlet. Sistem pembuangan lumpurnya berupa rantai scraper yang mengeruk endapan flok di kompartemen atas lalu dijatuhkan di dasar kompartemen bawah yang akhirnya disedot dengan pompa lumpur untuk dibuang ke tempat pembuangan (sludge drying bed).


Proprietary System. Model unit yang satu ini merupakan modifikasi dari solid-contact system yang banyak dijual di pasar dengan lisensi dari pembuatnya yang dilengkapi klaim sebagai unit berkinerja tinggi. Modifikasi utamanya adalah pada upaya pembentukan lapisan lumpur yang efektif dalam menjerat flok dan bertahan lama serta mudah atau cepat dibentuk kembali setelah unit dibersihkan total atau dibuang lumpurnya. Hanya saja, karena karakteristik air bakunya bersifat variabel, maka model paket atau berlisensi ini tidak serta merta dapat diterapkan di semua sumber air baku. Pengaturan pH air, alkalinitas, dosis koagulan, kadar kekeruhan, jenis warna air (true ataukah apparent color) tetap wajib dipertimbangkan. Di sinilah kelihatan bahwa mengolah air bisa menjadi sangat mudah tetapi pada saat dan kondisi yang lain bisa menjadi sangat sulit karena floknya tidak bisa mengendap tetapi justru mengambang.

Apapun bentuk dan jenis unit proses-operasi yang diterapkan, percobaan dalam skala laboratorium perlu dilakukan untuk lebih meyakinkan para pembuat keputusan (desainer) dalam menerapkan unit di atas. Cara yang dapat ditempuh adalah lewat kerjasama dengan perguruan tinggi sehingga rencana unit pengolah air minum diteliti dulu dalam skala laboratorium.*
ReadMore »

31 Agustus 2009

Jual - Rental Pulau

Konon, senyum permaisuri nan cantik amat menawan, bak untaian zamrud khatulistiwa. Memukau Sang Raja, hulubalang dan rakyatnya. Sayangnya, ia hanya tersenyum sekali saja, yakni saat penobatan suaminya menjadi raja. Agar tersenyum lagi, Sang Raja dibantu oleh hulubalang dan penasihatnya mencari akal. Keputusannya, bunyikan genderang perang di tengah sunyi malam. Benarlah, Sang Permaisuri tersenyum manis melihat kehebohan rakyat menyambut bunyi genderang perang. Sebaliknya, rakyat bersungut-sungut sembari masuk serambi rumahnya ketika menyadari genderang itu hanya untuk memuaskan keinginan Raja, hulubalang dan penasihatnya.

Sekian bulan kemudian, ketika benar ada serbuan musuh dari delapan penjuru angin, genderang perang pun ditabuh. Bertalu-talu. Istana dikepung. Namun terlambat. Tak ada rakyat yang bangun karena pertahanan berbasis massa telah sirna. “Pasti Raja ingin melihat senyum manis permaisuri lagi,” bisik para suami kepada istrinya sambil menggeliat di atas dipan. Kemudian..., kata sahibul hikayat, kerajaan itu - esoknya - telah dikuasai musuh. Pedihnya lagi, musuh itu ternyata kalangan yang berkedok membantu dana pembangunan istana. Rupanya, telah lama dan dengan sabar mereka mengintai aktivitas istana dari rumah-rumah sewaan kecil di sekitarnya.

-*-

Situs jual – rental pulau muncul di internet. Beberapa pulau di NTB, NTT telah beralih kepemilikan, begitu kabar tersiar. Di Mentawai, meskipun dikatakan oleh pemerintah hanya iklan resort, dan Karimun, juga sama. Berita ini sudah lama diketahui media massa, tetapi masih abu-abu, belum jelas kebetulannya, betul atau salah. Dulu pun ada niat pemerintah untuk menyewakan pulau-pulau kecil di nusantara. Yang mengagetkan waktu itu adalah pernyataan pemerintah bahwa “Penyewaan Pulau Akan Buka Lapangan Kerja”. Dengan jumlah, konon 13.677 pulau atau 17.000-an pulau menurut pendapat lain, tersirat keinginan pemerintah untuk menarik investor asing.

Jika lapangan kerja dan uang tolokukurnya, rental pulau ada sisi baiknya, yakni penghasil devisa dan lapangan kerja. Namun potensi buruknya juga muncul. Pernyataan yang menganggap mubazir gugusan nusa kecil itu sungguh keliru karena menyewakannya justru akan memubazirkan dimensi ekologinya pada masa depan. Kendati peruntukannya hanya untuk empat macam kegiatan, yakni sebagai lahan konservasi, budidaya laut, wisata dan perikanan tangkap, namun pengalaman membuktikan lain. Secara teoretis, pembatasan 40% luas pulau yang boleh dibangun dan sisanya untuk kawasan lindung, memang memungkinkan. Tapi siapa yang menggaransinya? Pembabatan hutan di pulau-pulau besar saja sulit dicegah meskipun diawasi ketat apalagi di pulau terpencil.

Jual - rental pulau juga berisiko secara politis, pertahanan keamanan karena memberikan koridor kepada kolonialisme. Tiga aspek signifikan di atas mempengaruhi “ijab - kabul” sewa-menyewa yang melibatkan institusi kenegaraan bilateral. Taruhannya adalah harga diri sebagai negara berdaulat karena sekarang, spionase melintas jelas di depan mata. Bagaimana menjamin keamanan (kamtibmas), mencegah perampokan, pembabatan lahan konservasi dan perompakan? Gerombolan perompak makin leluasa berkelit di antara pulau dan pencuri ikan menghilang di antara seliweran kapal. Saat ini, berapa banyak pencuri ikan yang menggunakan pukat harimau (trawl) di perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan lolos begitu saja. Mereka bahkan merambah ke Laut Jawa, laut Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat - Timur. Mungkin kasus yang lebih parah terjadi di Kep. Maluku. Mampukah polisi perairan dan angkatan laut melakukan pengawasan melekat? Terlebih jika kalangan pabean, keamanan dan petugas terkait teledor atau mampu disusupi isu KKN. Jadi, takkan ada sabuk keamanan (security belt).

Jual – rental pulau pun akan membangkitkan pencurian harta karun seperti keramik, arca dan material dari kapal kandas ratusan tahun silam. Siapa penjamin bahwa tidak ada kegiatan ilegal? Di pulau besar yang ramai saja kegiatan ilegal dan asusila sangat marak. Logikanya, di pulau kecil terpencil tentu lebih bebas, lepas dari pantauan polisi dan masyarakat. Berikutnya, kerusakan budaya plus warga setempat menjadi keniscayaan. Di kota saja, tak terhitung jumlah kaum terdidik yang mengadopsi mentah-mentah budaya asing tanpa memilah dan memilih secara selektif. Apatah lagi suku asli yang masih miskin ilmu di pulau itu. Imbas budaya asing yang represif dan akulturasi yang amat kuat bertentangan dengan tradisinya. Selain itu, warga asli hanya akan menjadi buruh dari majikan asingnya, membangun ironi di tanah leluhur. Sepatutnya, mereka diberi ruang hidup merdeka, tak dieksploitasi keterasingannya, dipinggirkan dan dijadikan komoditas wisata belaka. Akan tiba waktunya, budaya asing menjelma menjadi racun lewat perubahan gaya hidup. Warga mengalami gegar budaya (cultural shock) sehingga tak ada cultural belt ataupun cagar budaya seperti yang diharapkan.

Dampaknya akan lebih buruk lagi jika dihubungkan dengan otonomi daerah. Bukan tidak mungkin konflik dapat terjadi antara dua atau lebih kabupaten akibat rebutan pulau. Contohnya, Kep. Seribu dimasukkan ke mana? Apakah ke salah satu kabupaten di Provinsi Jabar, Banten, Lampung ataukah Jakarta? Daerah yang punya pulau kecil akan berusaha “menjualnya” kepada asing dengan selektivitas rendah demi pendapatan asli daerah (baca: kantong orang daerah). Kemudian muncullah “raja-raja” kecil di setiap pulau itu yang jumlahnya ribuan. Malah pada saatnya kelak, rental pulau bergeser menjadi Hak Milik Pulau (jual-beli) seperti disinyalir di internet. Tentu ini menyulitkan pemantauan aktivitas “Sang Raja” di pulaunya. Salah-salah, justru kitalah yang dituduh memata-matai mereka. Berabe banget lah.

Semoga kisah rekaan yang mengawali tulisan ini tidak mewujud di Indonesia.
ReadMore »

26 Juli 2009

Education for Sustainable Development

Education for Sustainable Development (EfSD)
Segmen: Signifikansi Pendidikan Lingkungan di Perguruan Tinggi


Education for Sustainable Development (EfSD) menjadi istilah yang santer disebarkan ke berbagai media massa oleh Depdiknas. Namun sebetulnya konsep keberlanjutan atau keajegan (sustainable) ini sudah dikenal sejak dekade 1970-an, khususnya di bidang lingkungan, dimasyarakatkan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Dalam sosial kemasyarakatan, istilah ajeg pun sudah luas dikenal, misalnya “Ajeg Bali”. (Pertanyaan saya, mengapa Depdiknas enggan mengambil istilah ajeg yang lebih singkat dan maknanya luas sebagai ganti istilah “berlanjut, keberlanjutan?”).

Pendidikan untuk pengembangan (atau pembangunan) berkelanjutan sekarang diterapkan di banyak kabupaten di Indonesia, mulai dari PAUD sampai dengan perguruan tinggi, baik di sektor sosiologi, ekonomi, ekologi, teknologi (sosioekologi), meliputi juga manajemen limbah (waste management). Segmen lingkungan (environmental) menjadi salah satu titik acu dalam pengembangan berkelanjutan, demikian Prof. Dr. Retno S. Sudibyo, dari Universitas Gadjah Mada, termasuk dalam kepanduan atau kepramukaan yang memang akrab dengan lingkungan. Apa, mengapa, dan bagaimana nilai (number) dan nilai-nilai (values) pengembangan lingkungan di sekolah, khususnya di perguruan tinggi?

Latar Belakang
Dapat dipastikan, semua orang tahu lingkungan. Tak seorang manusia pun yang tidak tahu perihal lingkungan. Kaum Badui di Kabupaten Lebak Provinsi Banten pasti berteman dengan lingkungan. Komunitas Trunyan di sekitar Danau Batur dan warga Tenganan di Bali juga berkawan dengan lingkungan. Suku Anak Dalam di pedalaman Jambi pun bagian dari lingkungan. Suku Tengger di Bromo pasti mengenali lingkungannya. Begitu juga Dayak, Batak, Sasak, dan suku-suku di Papua, Sulawesi, dan kelompok masyarakat lainnya adalah bagian dari lingkungan, termasuk manusia yang tinggal di perkotaan. Singkatnya, manusia tanpa kecuali, dikitari oleh lingkungan.

Sejak lahir sampai maut menjemputnya, manusia akrab dan bermain dengan lingkungan. Setelah dimakamkan, jasadnya bersatu dengan lingkungan kemudian memberikan kehidupan berupa nutrisi kepada mikroba, rerumputan dan pohon di sekitarnya. Sebelum malaikat Izrail melaksanakan tugasnya, yakni selama mengisi hidupnya di dunia, manusia banyak belajar tentang lingkungan, termasuk semasa menjadi murid di pesantren, sekolah atau madrasah. Pelajaran kimia, biologi, fisika, dan geografi banyak mengetengahkan lingkungan dan masalahnya. Kalau demikian, mengapa murid yang sudah belajar biologi di pesantren, sekolah atau madrasah diwajibkan lagi mengambil mata kuliah lingkungan ketika berstatus mahasiswa? Lantas, mengapa namanya Pendidikan Lingkungan (environmental education) bukan Pengetahuan Lingkungan (environmental knowledge) seperti yang digunakan di perguruan tinggi lain dan sudah berlangsung sejak dekade 1970-an?

Aspek Sejarah
Masalah lingkungan, misalnya pencemaran (polusi, pollution) air, tanah, dan udara secara masif (massive), besar-besaran terjadi di semua daerah di Indonesia, di desa maupun kota tanpa kecuali. Sebabnya berbagai macam, satu di antaranya adalah pengusaha yang hanya mengeksploitasi sumber daya alam dan abai pada kelestariannya. Mereka tak peduli pada bencana lingkungan yang mengintai anak-cucunya pada masa depan. Ketika dibawa ke meja hijau hanya sedikit di antara mereka yang berhasil dibui, selebihnya bebas melenggang ke luar penjara. Yang berhasil dipenjarakan pun hanya sekadarnya, singkat waktunya sehingga tidak menghasilkan efek jera. Perusakan lingkungan pun terjadi lagi, bahkan lebih parah daripada sebelumnya. Itu sebabnya, perangkat peradilan (jaksa, hakim, polisi) wajib memahami seluk-beluk masalah lingkungan sehingga mampu maksimal memenjarakan pengacau lingkungan.

Semua ragam kasus pencemaran lingkungan, baik yang disebabkan oleh pabrik maupun domestik (rumah tangga), menjadi cermin betapa rendah mutu pengelolaan lingkungan kita yang diawali oleh kegagalan pendidikan lingkungan atau baru sebatas pengetahuan saja, belum menjadi karakter harian (afektif) dan perilakunya (psikomotorik). Apatah lagi kalau tak diberikan pendidikan lingkungan, dipastikan sarjana yang kian banyak jumlahnya akan buta-tuli soal lingkungan. Mereka tuna lingkungan. Sains dan teknologi hanyalah alat bantu yang terus berkembang hasil olah pikir, kontemplasi dan riset saintis-teknolog. Bisa dikatakan, kerusakan lingkungan bukan karena sains dan teknologi melainkan karena etika, moral dan life-style manusia. Banyak contoh yang dapat diketengahkan perihal peran moral dan gaya hidup sebagai sumber bencana. Dapatlah dipahami pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada bencana alam. Yang ada hanyalah bencana akibat ulah manusia yang tidak arif terhadap alam (environmental wisdom), tidak bersahabat dengan lingkungan (environmental friendly) dan hanya berpikir anthropocentris bukan envirocentris.

Faktanya demikian. Kebanyakan manusia enggan memedulikan lingkungan. Sebagai contoh, pencemaran air, tanah, dan udara selalu terjadi dan makin parah dari waktu ke waktu. Begitu juga banjir akibat pembabatan hutan, buang sampah ke selokan dan sungai seperti yang selalu menimpa ibukota Jakarta. Bahkan Benyamin S, seorang aktor asli Betawi, lewat lagunya sudah memperingatkan penduduk dan pejabat di Jakarta bahwa daerahnya rawan banjir. Sudah sejak 1970-an Jakarta dilanda banjir dan terjadi sampai sekarang, terutama ketika musim hujan. Tidak hujan pun sering juga banjir karena mendapat kiriman air bah dari dataran tinggi di Cianjur dan Bogor. Tidakkah kalangan pintar di Jakarta itu belajar dari pengalaman sehingga kecerdasan lingkungan (Enviro Intelligence) atau Enviro Quotient (EnQ) mereka menjadi lebih baik, lebih tinggi?

Satu hal yang dilupakan pejabat di Jakarta ialah mengelola lingkungan secara bersahabat. Mereka tidak optimal mengelola EnQ tetapi hanya berbekal kecerdasan otak (Intelligent Quotient) tetapi miskin kecerdasan akhlak (Spiritual Intelligence). Padahal sejak 1970-an wanti-wanti itu sudah dirilis oleh Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Begawan ekonomi penulis Science, Resources, and Development ini pada tahun 1977 telah memperingatkan pemerintah bahwa akan terjadi booming dan blooming teknologi yang dapat menjadi bumerang bagi manusia kalau tidak arif menyikapinya. Mantan menteri ini menyatakan bahwa harus ada teknologi yang protektif (protective technology) atas lingkungan. Idenya itu dipublikasikan sebelum rezim Orde Baru merilis Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Menneg KLH) pada tahun 1978.

Teknologi protektif pada masa sekarang justru menjadi poin terpenting karena berkaitan langsung dengan kelestarian fungsi lingkungan, keterkaitan antara manusia dan alamnya. Semua manusia tanpa kecuali, kaya miskin, tua muda, dapat menjadi agen perusak atau pemberdaya lingkungan. Sudah pula terbukti, deretan gelar akademik dan kepangkatan seseorang, juga hartanya, tidak berkorelasi linier dengan pemahamannya atas persoalan lingkungan. Banyak orang pintar yang berjabatan dan berpangkat justru menjadi pelaku masif balak-liar (illegal logging). Nihil rasa memilikinya (sense of belonging). Mereka tidak merasa menjadi pemangku (stakeholders) fungsi lingkungan lantaran tidak maksimal pemahamannya atas fungsi lingkungan. Atau, mereka memang belum tahu peran penting kelestarian fungsi lingkungan sehingga berpendapat bahwa lingkungan boleh dieksploitasi seenak perutnya.

Namun kalau berpikir positif, perilaku di atas masih bisa diubah dan belum terlambat karena bisa belajar Pendidikan Lingkungan secara informal. Sebab, ciri khas pendidikan (tarbiyah, education) ialah seumur hidup, sampai akhir hayat. Di mana pun dan kapan pun, manusia perlu pendidikan, baik yang berkaitan dengan jasmani maupun ruhani. Dua jenis pendidikan ini sesungguhnya bersatu dalam perbedaan, seolah-olah bayi kembar yang berasal dari satu sel telur (ovum) sehingga sekilas tak dapat dibedakan. Pendidikan memasukkan dua kategori besar, yaitu sains (science) dan teknologi (technology). Keduanya saling dukung untuk menghasilkan produk berupa barang dan jasa yang dapat melancarkan kegiatan manusia. Produk inilah yang dapat menghasilkan nilai positif bagi lingkungan sekaligus menimbulkan dampak negatif berupa masalah lingkungan. Masalah lingkungan yang diakibatkan oleh perkembangan sains dan teknologi dapat berujung pada derita manusia. Tetapi bisa juga berujung pada kebahagiaan manusia lantaran sains, teknologi, lingkungan merupakan segitiga sama sisi yang masing-masing berperan dalam kehidupan manusia. Terminologi yang digunakan ialah Trilogi Pendidikan.

Di bagian awal artikel ini ada pertanyaan, mengapa perlu diadakan Pendidikan Lingkungan di perguruan tinggi? Bukankah sudah ada pelajaran serupa di SD, SMP, SMA, dan pesantren (islamic boarding school)? Betul..., sudah ada pelajaran yang erat kaitannya dengan lingkungan dan memiliki variasi nama yang khas. Namun tidak semua pesantren, madrasah, SD, SMP, SMA, SMK baik yang negeri maupun swasta sudah menyediakan pelajaran lingkungan secara formal. Mayoritas siswa belum diberikan pelajaran lingkungan secara khusus, bukan menjadi bagian kecil dalam sebuah pelajaran, misalnya pelajaran biologi. Artinya, kedudukan mata pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Lingkungan selayaknya setara dengan mata pelajaran atau mata kuliah yang lain. Sekadar contoh, Di ITB mata kuliah ini dinamai Pengetahuan Lingkungan dan diberikan kepada mahasiswa Tahun Pertama Bersama (TPB) yang berlangsung sejak 1975 sampai sekarang.

Secara ekopolitis, Pendidikan Lingkungan kali pertama dikenalkan pada konferensi International Union for Concervation of Nature and Natural Resourses atau Perserikatan Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam pada 1971. Konferensi yang berlangsung pada 15 s.d 18 Desember 1971 di Gottlieb Duttweiler Institute di Ruschlikon, Zurich berhasil merumuskan definisi Pendidikan Lingkungan sebagai berikut: Environmental education is the process of recognizing values and clarifying concepts in order to develop the skills and attitude that are necessary to understand and appreciate the interrelations among man, his culture, and his biophysical surrounding. Environmental education also entails practice in decision-making, and the self-formulation of code of behaviour about the issues concerning environmental quality. Definisi tersebut ditulis di dalam “Unesco, Nature and Resources, Vol. VIII, No. 3, July - September 1971, Paris (Sumaatmadja, 1991).

Namun historisnya, jauh sebelum politisi dunia mengangkat isu lingkungan ke pentas politik, sudah ada sejumlah karya tulis di tataran ilmiah populer. Rachel Carson misalnya, seorang ibu rumah tangga, setelah dari hari ke hari menyaksikan lingkungan tempat tinggalnya, ia mulai merasa kehilangan nuansa ekologinya. Tiada lagi burung berkicau, sapi dan domba banyak yang mati. Ada yang salah, pikir Carson waktu itu. Lalu terbitlah bukunya dengan judul The Silent Spring (Musim Bunga Yang Sunyi) pada 1962 yang kemudian menjadi best seller dan ikut membentuk pola pikir setiap “politisi hijau” di Amerika Serikat. Buku fenomenal itu lantas berubah seolah-olah menjadi “textbook” di tataran akademisi, pebisnis dan politisi, selain dibaca oleh masyarakat awam sampai sekarang.

Pada awal dekade berikutnya di tingkat dunia peran politisi hijau semakin besar. Stockholm, sebuah kota di Swedia mencatat sejarah dan pasti selalu tersirat di benak pencinta lingkungan. Pada 5 Juni 1972 di kota itu berlangsung konferensi PBB tentang lingkungan hidup (UN Conference on the Human Environment). Kota Stockholm dipilih karena paparan masalah lingkungan pertama kali dicetuskan oleh wakil dari Swedia ketika sidang PBB pada 28 Mei 1968. Hasilnya adalah Deklarasi Stockholm yang lantas dijadikan acuan oleh negara peserta untuk peduli lingkungan, advokasi lingkungan dan membentuk kementerian lingkungan. Di Indonesia dinamai Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Menneg KLH) yang sekarang sudah bermetamorfosis menjadi Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

Yang juga dapat dijadikan tonggak awal perkembangan Pendidikan Lingkungan ialah kasus pencemaran lingkungan terbesar di Jepang, yaitu Minamata yang terjadi sporadis antara tahun 1950 – 1970. Kasus besar ini berkaitan dengan limbah metilmerkuri yang mencemari ikan dan kerang laut yang merupakan makanan sehari-hari orang Jepang. Akibatnya, muncullah visi baru tentang lingkungan yang dengan cepat mencuat di tataran elite politiknya. Kemudian warganya yang ketakutan dan merasa terancam hidupnya menyerukan agar pejabat pemerintahan dan politisi peduli pada lingkungan. Selanjutnya politisi di Diet Jepang intensif menyusun rancangan undang-undang yang akhirnya menghasilkan 14 buah undang-undang. Sebab itulah di Jepang muncul sebutan Pollution Diet pada dekade 1970-an.

Bagaimana di Indonesia? Dalam versi pemerhati lingkungan sejak dulu sampai sekarang (2009) nyaris tidak ada politisi hijau di Indonesia. Padahal spirit ekologi di dalam konstitusi kita, yakni pasal sosioekologi (pasal 33 UUD 1945) jelas-jelas mengakomodasi potensi lingkungan yang dikedepankan oleh the founding fathers. Meskipun pada masa itu mereka tidak sempat “berteriak” perihal lestarikan fungsi lingkungan, merekalah politisi hijau yang sesungguhnya, yang peduli pada ruang hidupnya. Politisi dari beragam daerah itu mewakili tradisi konservasi ekologi daerahnya. Hal ini masih melekat hingga kini di kalangan masyarakat meski telah terkontaminasi oleh kepentingan politik dan ekonomi pemerintah (pusat, daerah). Tetapi eksistensinya tetap terjaga semacam kearifan masyarakat tradisional. Artinya, politisi dan birokrat kita hendaklah belajar kearifan ekologi kepada kaum yang dianggap “tak terdidik” yang tinggal jauh di pelosok.

Tradisi ujung ladang masyarakat Melayu di Sumetera Utara misalnya, selalu berwawasan lingkungan kalau akan membuka hutan. Meskipun menebang pohon dan membabatnya, selalu saja ada vegetasi pelindung yang tersisa. Pola seperti ini membantu menahan tanah agar tidak erosi atau merusak tanaman. Suku Dayak di Kalimantan punya tradisi Nyaang. Mereka biasa membuat lajur isolasi pada ladang atau ketika membabat hutan untuk melokalisir kebakaran. Begitu pun awig-awig orang Bali yang melarang menebang pohon (bunut atau beringin). Kemudian, tradisi sasi di Saparua Maluku berlaku di darat atau di laut atas komoditi yang haram dieksploitasi untuk waktu terbatas. Semuanya adalah kearifan tradisional masyarakat yang awam dengan konsep atau teknologi terbaru yang diagung-agungkan orang kota yang justru sering merusak lingkungan.

Tidakkah politisi dan birokrat Indonesia belajar dari kearifan tradisional itu? Apakah kepedulian politisi-birokrat atas lingkungan memang kalah oleh para “tradisionalis” itu? Adakah politisi-birokrat yang tak sekedar peduli lingkungan dalam retorika politiknya belaka, terutama menjelang pemilu? Adakah partai politik yang tak sekadar proforma membuat biro atau divisi lingkungan? Adakah anggota dewan yang berpolemik dengan birokrat, pemerintah menyangkut masalah pelestarian fungsi lingkungan? Yang terjadi malah sejumlah politisi, baik di pusat maupun di daerah, terlibat dan melindungi pembalak liar kayu hutan dan berada di balik alih fungsi hutan dan lahan di daerah-daerah di Indonesia. Hasilnya, banyaklah birokrat, pejabat dan anggota DPR yang ditangkap oleh KPK, meskipun pada saat berikutnya, ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) berinisial AA juga ditangkap dengan tuduhan terlibat pembunuhan seorang direktur perusahaan dan dua orang pimpinan lainnya juga disangka bermasalah dengan PT Masaro.

Banyak lagi contoh seperti itu diberitakan di koran-koran lokal dan nasional. Tak hanya di bidang “kebijakan” yang tidak bijak dan manipulatif, banyak juga program yang usianya hanya seumur jagung. Berikut ini ada beberapa yang pernah menjadi isu nasional. Dulu ada program Segar Jakartaku dan Hari Tanpa Kendaraan Bermotor. Juga ada Langit Biru. Ada satu lagi, Prokasih: Program Kali Bersih. Dalam lingkup Jawa Barat ada Masyarakat Cinta Citarum. Dari sekian banyak itu, tiada satu pun yang signifikan berhasil. Jakarta kian gerah, kendaraan bermotor makin banyak, langit terus kelabu, dan air Citarum menghitam. Banjir sudah tak terhitung lagi. Program lokal juga ada seperti Gerakan Cikapundung Bersih di Kota Bandung yang akhirnya sekadar seremonial belaka, kehabisan tenaga di tengah jalan.

Kalau begitu adanya, adakah politisi-birokrat yang berorientasi ekologi saat ini? Patut diakui, kementerian yang mengurusi masalah lingkungan mulai 1978 sampai sekarang masih ada. Di antara produk undang-undangnya adalah UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang didukung oleh sejumlah peraturan pemerintah dan keputusan menteri untuk tindak lanjutnya. Karena perlu perbaikan, telah pula dikeluarkan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian disahkan juga UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Lantas, kapankah undang-undang tentang Pendidikan Lingkungan dirancang? Undang-undang ini diperlukan untuk membangkitkan spirit mahasiswa, murid, santri sekaligus memberikan landasan yang kuat dalam hukum positif kita.

Apakah spirit Pendidikan Lingkungan? Menurut IUC seperti ditulis di atas, Pendidikan Lingkungan berkaitan dengan penanaman nilai-nilai (values) hubungan antara manusia dan lingkungannya, mengembangkan kemampuan dan perilaku yang diperlukan untuk memahami hubungan antara manusia, budaya, dan lingkungan biofisikanya (termasuk kimia, yakni biofisikokimia, tambahan dari penulis). Pendidikan Lingkungan juga melatih manusia khususnya murid, santri, mahasiswa dalam upaya pengambilan keputusan yang bertanggung jawab atas isu lingkungan kemudian menerapkannya dalam diri peserta didik dan pendidik (selanjutnya istilah peserta didik diakronimkan menjadi pedidik). Semua itu dilakukan demi mempertahankan (melestarikan) kualitas dan fungsi lingkungan.

Lantas fakta berkata, Pendidikan Lingkungan belum optimal hasilnya. Ada berbagai sebab, mulai dari lingkup materi pelajaran, metode pembelajaran, kemampuan guru, dan perilaku santri, murid, mahasiswa sebagai pedidik. Sebagai contoh, mari dikaji mata pelajaran lingkungan di Kota Bandung, Jawa Barat. Sejak 2008 muatan lokal Pendidikan Lingkungan Hidup (Mulok PLH) dilaksanakan di sekolah-sekolah di Kota Bandung. Tujuan pelajaran ini, menurut Peraturan Walikota No. 031/2007 tentang Muatan Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup, adalah mendukung upaya perbaikan kualitas lingkungan Kota Bandung agar menjadi tertib, bersih, dan indah. Materi pokok yang diharapkan diserap dan diterapkan murid (juga gurunya) meliputi konsep dasar lingkungan hidup, K3 (Ketertiban, Kebersihan, Keindahan), P4LH (Pembibitan, Penanaman, Pemeliharaan, dan Pengawasan Lingkungan Hidup), dan penerapan Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dalam mengelola lingkungan.

Bagaimana pelaksanaannya di sekolah? Dari hasil survei penulis dan tanya jawab dengan guru dan murid-muridnya dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan PLH belum tepat sasarannya. Tidak semua sekolah atau tidak semua satuan pendidikan memberlakukan muatan lokal ini. Ada sekolah yang sudah mengajarkan PLH tetapi terbatas sebagai sisipan dalam pelajaran biologi, sekadar tambahan dan tidak menjadi pelajaran inti. Karena bentuknya sisipan maka tidak mendapat perhatian mendalam dari siswa maupun gurunya. Apalagi ada kata “lokal” yang ditempelkan pada pelajaran itu. Kata tersebut menyebabkan murid dan gurunya menganggap PLH tidaklah penting atau dianaktirikan sehingga seperti ada tapi tiada, sekadar aksesoris. Bahkan ada sekolah yang menyatakan di dalam kurikulumnya sebagai pelajaran yang bersatu dengan biologi dan ditulis di dalam kurung. Tak salah memang, sebab lingkungan ini demikian luas dan bisa dimasuki dari banyak sudut pelajaran seperti biologi, kimia, IPA, geografi, dll. Tetapi sayang, tidak ada guru khusus yang mengampu pelajaran ini yang memberikan pengenalan konsep dasar sains dan teknologi lingkungan.

Atas dasar fakta tersebut bisa disimpulkan bahwa muatan lokal PLH hanya ditempatkan sebagai pelajaran proforma dan tidak diseriusi. Oleh sebab itu, pemerintah pusat dan daerah diharapkan mereposisi mulok ini termasuk menyusun rancangan undang-undang Pendidikan Lingkungan agar menempati posisinya sesuai dengan harapan dan agar dapat memberikan ilmu, wawasan, dan pengalaman kepada guru, dosen dalam memandang lingkungan dari segi rekayasa (engineering) sekaligus mengubah stereotipe guru, dosen, santri, murid dan mahasiswa dalam memandang lingkungan. Konsepnya dapat diadopsi dari Trilogi Pendidikan: sains (science), teknologi (technology), dan lingkungan (environment).

Opsi Solusi
Mari kembali ke pertanyaan tentang kata “pendidikan” dan “pengetahuan”. Kata pendidikan bermakna memberikan pembelajaran, yaitu proses transfer ilmu dan teknologi, sekaligus memasukkan nilai-nilai moral dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Adapun pengetahuan atau knowledge terbatas pada “tahu” (know) yang nilainya di bawah kata didik. Sasaran pendidikan adalah aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang mengandung makna tahu kemudian membentuk sikap mental (afektif) yang lantas diterapkan berupa keterampilan (psikomotorik) dalam hidup sehari-hari lewat kemampuan di bidang (jurusan, program studi) masing-masing. Wujudnya ialah pelibatan sarjana dari semua disiplin ilmu dan teknologi (sainstek) dalam upaya melestarikan fungsi lingkungan.

Telaah sasaran pendidikan di atas berujung pada peningkatan peran pemerintah pusat-daerah dalam memfasilitasi guru, ustadz, dosen sehingga dapat efektif mengantarkan murid, santri, dan mahasiswanya memperoleh pengalaman positif yang mendukung upaya pelestarian fungsi lingkungan. Guru, ustadz, dosen hendaklah diberikan pelatihan (training), seminar, atau bentuk lainnya tentang Pendidikan Lingkungan dengan memberikan fokus materi berupa masalah lingkungan seperti krisis air minum, air limbah, sampah, udara, kesehatan lingkungan, kebisingan, dll yang terangkum dalam akronim watsanen atau water, sanitation, environment tanpa melupakan cabang ilmu lingkungan, yakni ekologi, “anak” mata pelajaran biologi.

Untuk implementasinya pemerintah pusat-daerah dapat menyelenggarakan Pelatihan Pendidikan Lingkungan (Latdikling) dalam upaya mewujudkan sekolah dan kampus yang bersahabat dengan lingkungan (enviroschool) di seluruh Indonesia. Titik berat Pendidikan Lingkungan haruslah pada aspek afektif dan psikomotorik sehingga murid, santri, dan mahasiswa tak hanya memiliki ilmu (kognitif) tetapi juga mampu mengubah perilakunya. Mereka harus melihat bagaimana proses pencemaran air dan dampaknya bagi kesehatan. Ketika melihat sampah yang ada dalam benaknya ialah sumber daya penghasil uang. Air limbah pun dijadikan potensi pupuk buatan atau didaur ulang menjadi air minum. Pendeknya, Pendidikan Lingkungan harus mampu mendekatkan guru dan muridnya, dosen dan mahasiswanya kepada lingkungan dan menjadi bagian dari solusi. Namun harus diingat, materinya hendaklah dibatasi agar tidak meluas menjadi persoalan biologi sehingga mengaburkan masalah lingkungan yang erat dengan kehidupan sehari-hari.

Kalau hasil Pendidikan Lingkungan di pesantren, madrasah, SD, SMP, SMA belum juga optimal, maka murid yang kemudian berstatus sebagai mahasiswa di perguruan tinggi negeri/swasta hendaklah diberikan lagi mata kuliah Pendidikan Lingkungan. Hakikatnya, seperti sifat pendidikan yang dimulai dari buaian hingga dimasukkan ke liang lahat, Pendidikan Lingkungan pun demikian. Pendidikan Lingkungan ini berlangsung selamanya. Mahasiswa selayaknya didekatkan terus pada lingkungannya lewat jalur formal berupa pendidikan (perkuliahan) agar dekat dengan lingkungan. Dekat bukanlah fisiknya belaka melainkan juga spiritnya dengan cara mencintai lingkungan seperti mencintai dirinya. Itu sebabnya, mahasiswa khususnya jenjang strata satu (S1) wajib dikenalkan pada mata kuliah Pendidikan Lingkungan demi menggugah rasa memiliki atas lingkungannya.

Rasa cinta lingkungan ini dirangsang dengan stimulan tiga pilar yang telah disebut di atas, yaitu Trilogi Pendidikan. Di dalam trilogi inilah manusia tinggal (live) dan merawat kehidupannya. Mahasiswa sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang terdidik perlu memahami lingkungannya. Manusia (mahasiswa) pasti memerlukan ilmu lingkungan. Sebab, bicara lingkungan sebetulnya bicara tentang kehidupan manusia. Manusia hidup di dalam lingkungan dan berinteraksi dengan lingkungan. Manusia perlu air, perlu udara, perlu ruang hidup yang semuanya adalah komponen lingkungan. Manusia juga mengeluarkan limbah, baik padat, cair, maupun gas dan limbah ini pun masuk lagi ke lingkungannya dan digunakan lagi oleh manusia. Artinya, langsung tak langsung, manusia mempengaruhi lingkungan dan juga pasti dipengaruhi oleh lingkungannya.

Kepedulian manusia pada lingkungan menjadi konsekuensi logis interaksi manusia dan lingkungan. Mau tak mau, suka tak suka manusia harus akrab dengan lingkungan. Sebelum mencapai taraf akrab itu manusia harus tahu dan paham dulu tugasnya terhadap lingkungan. Jangan sampai manusia tidak tahu apa yang mesti dilakukannya terhadap lingkungan dan peran apa yang diembannya sebagai makhluk berakal yang mampu mempengaruhi kualitas lingkungan. Sebab, manusialah yang mampu merusak dan memperbaiki mutu lingkungan. Tetapi sayang, tak semua orang memahami lingkungan. Jangankan paham, tahu saja pun tidak. Makin besar lagi keburukannya ketika kaum terdidik atau kalangan sekolah tidak tahu dan tidak paham tentang tugasnya sebagai pelestari fungsi lingkungan. Bahkan apa itu lingkungan pun masih banyak yang belum tahu. Setiap bicara lingkungan selalu saja pikirannya mengarah kepada pohon, udara, dan air. Tidak salah, memang! Tetapi masalah lingkungan jauh lebih kompleks daripada sekadar pohon, air, dan udara.

Lantas, adakah alat yang dapat digunakan untuk meluaskan peran dan paham manusia (baca: murid, mahasiswa) terhadap pelestarian fungsi lingkungan? Secara kelembagaan, pemerintah memang memiliki lembaga dan/atau badan yang mengurusi bidang lingkungan. Tak perlu disebut di sini apa saja lembaga dan/atau badan itu. Tetapi faktanya lembaga dan/atau badan ini belum mampu berfungsi optimal untuk meluaskan pemahaman masyarakat (juga murid dan mahasiswa) atas lingkungan. Malah cenderung lembaga/badan ini bertugas sendiri-sendiri, terlepas dari perannya sebagai agen pemberdaya masyarakat dalam hal lingkungan. Segala yang dibuat menjadi sekadar proforma demi orientasi politik sesaat.

Bagaimana hasil Pendidikan Lingkungan di perguruan tinggi? Tentu saja tidak bisa segera tampak, tak bisa instan. Pendidikan apapun, khususnya bidang lingkungan bukanlah seperti main sulap atau semacam kun fayakun. Hasilnya baru akan tampak setelah sekian tahun, setelah murid dan mahasiswa, juga guru dan dosennya berupaya menerapkannya dalam keseharian. Pendidikan Lingkungan membutuhkan proses, perlu waktu panjang untuk pembentukan perilaku, yaitu perilaku manusia pencinta lingkungan, manusia yang peduli pada pembangunan yang berkawan lingkungan. Istilah formalnya, pembangunan berwawasan lingkungan (environmental & sustainable development).

Demikianlah bagian awal yang dijadikan pintu masuk (brainstorming) tentang kondisi lingkungan dan perilaku (akhlak) manusia terhadap lingkungan. Aspek sejarah ringkas tentang perkembangan kepedulian atau ketakpedulian manusia atas lingkungan lalu diikuti oleh opsi yang dapat diambil untuk menyelesaikan (bukan memecahkan) masalah lingkungan diharapkan dapat mengantarkan mahasiswa (dan siswa) ke dalam mata kuliah (pelajaran) Pendidikan Lingkungan.

Kompilasi
Spirit tulisan ini adalah mengajak mahasiswa, siswa, guru, dosen dan siapa saja yang ingin mempelajari seluk-beluk lingkungan agar tidak hanya melihatnya dari “kacamata” sains (ilmu murni) tetapi juga teknologi (terapan), termasuk teknologi tepat guna yang sederhana (appropriate technology) sehingga dapat diterapkan oleh mahasiswa yang Kuliah Kerja Nyata (KKN), Kuliah Lapangan (Kulap) atau apapun namanya, baik di desa maupun di kota. Mahasiswa diharapkan berhasil meningkatkan ranah afektif dan psikomotoriknya terhadap lingkungan setelah lulus mata kuliah Pendidikan Lingkungan, tidak hanya berhasil di ranah kognitif (sekadar memiliki ilmu atau pengetahuan lingkungan).

Oleh sebab itu, mata kuliah Pendidikan Lingkungan memiliki tujuan antara lain: (1) mahasiswa (peserta didik atau pedidik) dapat memahami bahwa manusia dan lingkungan bersifat saling mempengaruhi. Manusia bisa menjadi subjek sekaligus objek penderita ketika berhubungan dengan lingkungan. Namun kuncinya tetap di tangan manusia sebagai makhluk yang berakal, berpikir dalam pengembangan sains dan teknologi; (2) mahasiswa diharapkan mampu menganalisis masalah lingkungan yang terjadi dalam lingkup lokal (ini minimalnya), nasional, dan global serta mampu memberikan opsi solusi, minimal di dalam tataran teoretis dengan memberikan pendapat, pandangan atas masalah lingkungan tersebut. Lebih bagus lagi adalah mampu memaparkan masalah lingkungan dan memberikan opsi solusinya secara tertulis, baik dipublikasikan di media massa maupun disebarkan lewat forum informal; (3) mahasiswa mampu memantau, mengelola, memanfaatkan, kemudian mengembangkan materi dalam sainstek lingkungan untuk kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan agar sitiran Allah dalam Surat Ar Ruum ayat 41 (telah tampak kerusakan (lingkungan) di darat dan laut karena ulah manusia) dapat dikurangi.

Siapa sasaran Pendidikan Lingkungan? Sudah jelas, sasaran Pendidikan Lingkungan adalah manusia, semua orang. Hanya saja, bisa mulai dari mahasiswa di semua program studi, jurusan di semua fakultas dengan latar belakang IPA maupun IPS. Apalagi alamiahnya Pendidikan Lingkungan bersifat universal, berlaku untuk semua orang. Dalam pelaksanaannya tentu saja dapat diperluas agar tidak hanya mahasiswa yang memperoleh ilmu lingkungan tetapi juga masyarakat umum. Oleh sebab itu, Pendidikan Lingkungan hendaklah diberikan juga kepada murid sekolah (santri, TK, SD, SMP, SMA, SMK, madrasah), orang tua yang belum pernah sekolah/kuliah, pejabat pemerintahan (pusat, daerah), pengusaha terutama yang usahanya langsung bersentuhan dengan sumber daya alam seperti hutan, tambang, air, laut, perkebunan, tekstil, industri makanan dan minuman yang sarat pencemar. Tokoh masyarakat dan tetua adat juga perlu diberikan Pendidikan Lingkungan, bahkan mereka bisa berperan kunci dalam upaya memberikan pemahaman, pengertian tentang pentingnya peduli lingkungan.

Tentu saja materi pembelajarannya harus disesuaikan dengan pedidiknya (audience). Materi ini pun dapat dimodifikasi agar dapat disampaikan kepada murid di sekolah menengah atau yang lebih rendah, atau diberikan kepada masyarakat umum. Agar mencapai tujuan yang diharapkan, Pendidikan Lingkungan hendaklah dilaksanakan dengan pendekatan dan metode yang nyaman bagi pedidik dan mudah dilaksanakan oleh pendidik. Pendekatan pembelajaran mengarah pada pedidik secara individual, orang per orang dan secara komunal seperti organisasi massa maupun sekolah dan perguruan tinggi. Materinya berbeda-beda, disesuaikan dengan tempat, waktu, situasi, kondisi pedidik, fleksibel atau luwes dalam pelaksanaannya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, minimal ada tujuh metode yang dapat ditempuh dan dilaksanakan berkesinambungan, berulang-ulang karena sifat pikiran manusia yang sering lupa (diadaptasi, diubah, dan ditambah seperlunya dari Sumaatmadja, 1991).
1. Kuliah, klasikal. Metode ini dikenakan kepada mahasiswa (juga murid), diadakan secara formal di kampus (sekolah). Pedidik berkewajiban (rela atau terpaksa) belajar dan diuji (evaluasi) pada akhir semester kemudian diberikan nilai lulus atau gagal.
2. Keteladanan. Metode ini dapat diterapkan untuk semua orang di segala tempat. Kyai, ustadz memberikan keteladanan kepada santrinya. Orang tua memberikan keteladanan kepada anak-anaknya. Pejabat meneladankan persahabatan dengan lingkungan kepada bawahannya. Begitu juga pengusaha dapat memberikan contoh teladan kepada karyawannya.
3. Ceramah. Metode ini diberikan oleh kyai, ustadz, dosen, guru, pejabat, tokoh dan tetua adat kepada orang banyak dalam suatu forum. Pengajian, acara keluarga (pernikahan, syukuran, sunatan) atau rembug desa dapat dijadikan wahana peduli lingkungan, minimal mengenalkan atau mengingatkan bahwa kita perlu peduli dan menjaga kelestarian fungsi lingkungan.
4. Diskusi. Hal ini dapat dilaksanakan pada setiap pertemuan resmi dan tak resmi, baik di sekolah, kampus, kantor, bahkan pada acara pernikahan, sunatan, dll. Diskusi informal di kalangan keluarga besar atau dengan teman sekantor, sekampus, sedaerah sambil bertukar informasi dapat menjadi “obat mujarab” dalam meluaskan kepedulian masyarakat terhadap fungsi lingkungan.
5. Seminar. Acara seminar biasanya digelar oleh masyarakat kampus atau dinas pemerintah dan pesertanya adalah kalangan yang tingkat pendidikannya relatif tinggi. Acara ini biasanya melibatkan pakar atau nara sumber yang kompeten di bidang lingkungan.
6. Percontohan. Manusia lebih senang melihat sesuatu yang nyata karena dapat segera menilainya, mengapresiasinya. Percontohan, prototipe merupakan bentuk fisik yang dapat dilihat langsung oleh masyarakat. Misalnya, taman, permukiman yang bebas banjir, kantor yang ramah lingkungan karena sudah ber-IPAL, kampus yang nyaman, dll.
7. Spanduk, selebaran, brosur, dan iklan, termasuk yang ditayangkan di media televisi, dirilis di radio, dipasang di jalan-jalan, termasuk di internet seperti milis dan facebook. Ajakan ini sebaiknya menggunakan kalimat efektif agar cepat selesai dibaca dan dapat dimengerti. Kalimatnya pendek-pendek saja, boleh sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), boleh juga dengan bahasa gaul anak muda, bergantung pada sasaran yang dituju.

Semoga Pendidikan Lingkungan, baik di pesantren, madrasah, SD, SMP, SMA, SMK, dan lebih khusus di perguruan tinggi di seluruh Indonesia betul-betul berjalan di atas rel idealismenya dan menjadi the avant garde pola pendidikan yang bersahabat dengan lingkungan di Indonesia dan EfSD tidak sekadar program yang optimis di atas kertas. Semoga menjadi Environmental Education yang ajeg, yang “kekal, abadi”. Mari kita upayakan untuk melaksanakan EfSD, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi, dan sekolah nonformal di masyarakat. Aamiin*
ReadMore »