Terpujilah wahai engkau, Ibu Bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sbagai prasasti, trimakasihku ntuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa.
(Sartono)
Hari Guru Nasional
Oleh Gede H. Cahyana
Hari ini, 25 November, guru melaksanakan upacara peringatan Hari Guru Nasional. Peringatan HGN memang terasa sepi, hanya diperingati oleh kalangan guru dan Depdiknas atau Dinas Pendidikan di daerah. Apalagi peringatan ini ditimpa oleh berita tentang KPK, Polri, dan jaksa, juga Bank Century dan demo buruh dan mahasiswa di beberapa daerah.
Menjadi guru profesional dan efektif tidaklah mudah. Sangat sulit dan berliku jalannya. Tak hanya peningkatan jenjang pendidikan, tetapi juga kemauan, kemampuan, semangat dan kesempatan untuk memperoleh tambahan ilmu dan keterampilan. Bisa dikatakan, yang mengajar di kota besar berpeluang lebih banyak untuk menggali ilmu daripada yang di daerah, apalagi di pelosok. Jaringan internet lebih banyak dan mudah di kota ketimbang di desa. Kesempatan kuliah di jurusan yang serasi dengan ilmunya selama ini juga lebih besar bagi guru yang tinggal di kota besar.
Lepas dari kekurangan tersebut, guru tetaplah berperan mencerdaskan anak-anak. Dalam makna yang lebih luas guru pun meliputi guru di rumah, yaitu orang tua, guru dalam pemerintahan, yaitu aparat negara, dan guru di sekolah, madrasah, pesantren. Ada satu lagi, yaitu guru imajiner, yakni orang-orang yang ”digurukan” oleh seseorang meskipun belum pernah bertemu, belum pernah ada proses belajar-mengajar. Guru imajiner ini dapat melintasi dimensi ruang dan waktu dan ”tanya-jawabnya” lewat buku, manuskrip, prasasti, papirus, lontar, dll.
Bagaimana dengan sertifikasi? Dimulai dari zaman isi portofolio, lantas Uji Kompetensi Awal, UKG, dan PLPG sembilan hari. Pada saatnya kelak, dilaksanakan PPG, kuliah selama satu tahun. Menurut dosen yang menjadi instruktur workshop pada kegiatan PLPG, kualitas peserta sangat bervariasi, mulai dari yang sangat tidak paham instruksi, bahkan ada yang sulit menulis (mengeja) namanya, sampai yang cerdas-bernas. Apapun itu, semoga semua guru menuju ke arah perbaikan kualitas. Sebab, ujian pun adalah belajar.
Rawe-rawe rantas, malang-malang putung, ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.*
Sekolah Abad ke-21
Berikut adalah ringkasan dari “What’s So Special About Tahatai Coast?, New Zealand.
1. Jadikan sekolah sebagai pusat penelitian dan penemuan.
2. Pilihlah kepala sekolah yang inspirasional
3. Kepala sekolah yang inspiratif ini lantas memilih staf dan karyawannya yang bermutu tinggi dan berkomitmen kuat pada filosofi sekolah.
4. Sediakan sarana computer, multimedia untuk mendukung pembelajaran.
5. Sediakan computer atau laptop untuk semua guru dan jaringan internet.
6. Jadikan murid sebagai guru dan begitu sebaliknya.
7. Jalinlah kerjasama bisnis.
8. Bergabunglah dengan sekolah-sekolah lain dalam jaringan.
9. Bangunlah jaringan informasi sekolah – rumah – multimedia.
Sumber: The Learning Revolution, Revolusi Belajar, Gordon Dryden & Jeannette Vos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar