IPAL Bukan Lampu Aladdin
Oleh Gede H.
Cahyana
Banyak yang menyangka bahwa IPAL itu
seperti mesin. Katakanlah semacam “mesin” blender
untuk membuat jus (juice). Masukkan
buah-buahan (input), tekan knop on, tunggu sambil santai (proses), hasilnya
adalah jus segar (output). IPAL tidak
demikian. Ia mirip makhluk hidup yang perlu dirawat, diperhatikan, diberi
“vitamin”, dan kalau “sakit” harus segera “diobati”.
Anggapan bahwa IPAL itu seperti mesin
atau robot yang tidak perlu “kasih-sayang” manusia (baca: operator) adalah
keliru, Akibatnya, banyak IPAL yang akhirnya bermasalah lalu gagal-olah. Sekadar
contoh, nyaris semua IPAL milik rumah pemotongan hewan (RPH) menimbulkan polusi
udara, tanah, dan perairan. Sektor industri, seperti pabrik tekstil di Bandung
Raya juga sarat masalah. Industri rumahan juga sama, tidak memiliki IPAL. Pabrik
besar pun banyak yang tidak ber-IPAL seperti di Cimahi, yang pada September
2014 baru ditindak 30 pabrik.
Bukan
lampu Aladdin
Buruknya kualitas pengolahan IPAL
tersebut erat kaitannya dengan pemahaman keliru terhadap teknologinya. IPAL
bukanlah lampu ajaib Aladdin yang dengan ucapan sim salabim saja, langsung hasil. Sangkaan keliru ini merebak luas
di kalangan dinas-dinas yang memiliki projek IPAL dan kantor atau badan
pemerintah yang berkaitan dengan air limbah dan sanitasi. Interaksi kalangan
dinas dan penyedia jasa konsultan dan kontraktor atau pengadaan barang &
jasa kerapkali tidak klop.
Bahkan di pihak penyedia jasanya pun tidak memahami hakikat pengolahan air
limbah, baik secara biologi maupun fisikokimia.
Anggapan yang marak beredar, IPAL itu
seperti mesin yang siap beroperasi dan berproduksi setelah dipasang (istilah di
lapangan: di-install) tanpa keterlibatan
manusia (operator). Justru bagian terpenting dalam operasi IPAL adalah peran operator
dalam memantau proses di semua unit pengolah di dalam IPAL. Klaim yang
menyatakan bahwa IPAL-nya mampu mencapai efisiensi, misalnya 70%, 80% dan seterusnya
adalah keliru dan menyesatkan. IPAL yang sama, mengolah air limbah yang sama,
bisa jauh berbeda efisiensinya kalau berbeda pula “perhatian” atau perlakuan
operator terhadap unit-unit pengolahnya. Apalagi kalau dibiarkan begitu saja
setelah dipasang, lalu “dilupakan” lantaran meyakini bahwa IPAL itu seperti
mesin blender atau lampu Aladdin.
Itu sebabnya, hanya sedikit IPAL yang optimal dalam
mereduksi polutan. Mayoritas unit proses yang dibuat pun hanya untuk menurunkan
konsentrasi zat organik (senyawa
karbon) dengan parameter BOD dan/atau COD. Padahal jenis polutannya, selain senyawa
karbon itu, ada
bermacam-macam. Sayangnya lagi, petugas di dinas, badan, kantor yang berwenang di instansi kesehatan dan lingkungan
hanya fokus pada angka BOD dan/atau COD. Malah kebanyakan petugas tersebut dan
masyarakat umumnya hanya
terpaku pada angka BOD, COD. Sejatinya
ada sumber polutan lain yang lebih bahaya bagi lingkungan, yaitu nutrien
yang terdiri atas senyawa nitrogen dan fosfat. Dalam silsilah pengolahan air limbah, kedua senyawa
tersebut digolongkan ke dalam pengolahan tingkat lanjut (advanced treatment).
Nutrien,
si anak tiri
Di bidang riset dan
pengembangan ilmu pengolahan nutrien, berbagai temuan baru bermunculan yang
diikuti oleh terapannya di dunia praktis. Apalagi pada masa sekarang banyak
produk rumah tangga, hotel, kantor, rumah sakit mengandung nitrogen dan fosfat.
Berbagai produk pembersih pun tak lepas dari deterjen yang kaya fosfat sehingga
signifikansi nitrogen dan fosfat dalam instalasi pengolahan air limbah cenderung menguat dibandingkan dengan
senyawa karbon (BOD, COD).
Inovasi dan kreativitas dalam industri makanan dan minuman menimbulkan “ledakan”
(booming) polutan N dan P.
Pendangkalan sungai, waduk, danau akibat algae
(blooming algae) menjadi ancaman bagi sektor perikanan air tawar seperti
keramba dan jaring apung termasuk penurunan kualitas sumber air PDAM.
Melihat fakta
tersebut, wajiblah petugas di berbagai dinas, kantor, badan di kabupaten, kota, dan provinsi
mengawasi IPAL dengan bekal ilmu dan teknologi yang memadai dikaitkan dengan
polutan senyawa nitrogen dan fosfat, tidak lagi hanya berpatokan pada angka BOD - COD. Jangan anak-tirikan nutrien karena bisa menjadi the silent killer bagi lingkungan. Kalangan konsultan, kontraktor, dan vendor pun
hendaklah memiliki ilmu yang serupa itu agar dapat menjelaskan secara betul tentang polutan dari suatu pabrik, kantor, kawasan permukiman,
rumah sakit, puskesmas, hotel, dll.
Lewat mereka inilah masyarakat
akan mulai bertambah ilmunya tentang air limbah dan teknologi pengolahannya
sehingga “jargon” semacam IPAL adalah BOD, COD saja mulai berubah, yakni
ditambah dengan nitrogen dan fosfat, yang ketiganya bisa diolah secara
biologi-lengkap (bioproses komplit)
dengan pemantauan rutin oleh operatornya dan tersedia peralatan dan bahan kimia
di laboratorium mini internal.
Dengan pola pikir
seperti itu maka IPAL yang hanya terdiri atas proses anaerob tidak akan mampu
mengolah senyawa nitrogen dan fosfat secara optimal. Bahkan tak mungkin terjadi
reduksi senyawa tersebut kecuali hanya sejumlah yang dibutuhkan oleh bakteri dan
archaea (nomenklatur baru untuk bakteri anaerob) untuk
pertumbuhannya. Itu sebabnya, semua teknologi seperti septic tank, Imhoff Tank, digester, dan banyak lagi
nama merek berbahan fiberglass yang dijual
komersial di toko tidak akan
mampu mengolah N dan P. Produk itu hanya mampu mengolah senyawa karbon dalam
wujud BOD dan/atau COD. Ini pun masih rendah efisiensinya lantaran dibiarkan begitu saja tanpa
pantauan rutin. Semua IPAL, sesederhana apapun ia, perlu dirawat dan dicek
kualitasnya secara berkala oleh operator, baik yang dipasang di rumah, kantor,
hotel, puskesmas, rumah sakit, pabrik maupun kawasan industri.
Selain senyawa nitrogen dan
fosfat, masih ada lagi polutan lainnya,
yaitu logam berat dan B3 yang sulit
diolah secara biologi. Cemaran
B3 ini pun telah merusak 415 hektar sawah di Bandung pada September 2014. Kelompok polutan terakhir ini harus
diolah secara kimia dengan melibatkan beberapa jenis zat kimia sebagai reagen
yang nilai investasi dan biaya O-M-nya jauh lebih mahal dibandingkan dengan bioproses.
Pengolahan kimia ini pun
mutlak membutuhkan pantauan rutin dari operator qualified, yaitu operator yang memiliki ilmu di bidang proses
pengolahan kimia, baik dengan pelatihan maupun sekolah.
Pembaruan informasi tentang jenis
pencemar dan teknologi terapannya perlu dimiliki oleh semua orang yang
berkecimpung di dalam pengolahan air limbah dan sanitasi. Jika tidak demikian,
maka lambat laun IPAL itu akan berubah menjadi monumen, onggokan beton, fiberglass dan pipa belaka. *
Artikel
ini dimuat di koran Pikiran Rakyat, Sabtu, 20 September 2014.