Disrupsi Siklus Air
Oleh
Gede H Cahyana
Associate
Professor Teknik Lingkungan Universitas Kebangsaan
Dimuat di Majalah Air Minum, Edisi 294, Maret 2020.
Siapakah
pemilik air? Apakah air mutlak hak kita? Apakah air selalu tersedia di tempat
ia dibutuhkan? Apakah air selalu tersedia ketika ia dibutuhkan? Adakah potensi
perang karena air?
Tema
peringatan Hari Air Dunia (World Water
Day) berbeda dari tahun ke tahun. Tahun 2020 ini bertema Water and Climate Change. Air dan
Perubahan Iklim. Sudah banyak fakta bahwa perubahan iklim berpengaruh pada air,
baik kuantitas, kualitas, maupun kontinyuitas alirannya. Banjir awal tahun 2020
di Jakarta, Bekasi, Lebak, Tangerang, dan daerah di luar Pulau Jawa adalah
dampak dari curah hujan yang melebihi curah hujan rata-rata. Hujan adalah
fenomena cuaca (weather) seperti
halnya salju, perubahan temperatur udara, angin, awan yang bersifat jangka
pendek (short-term). Sedangkan iklim
adalah perubahan rerata cuaca dalam jangka panjang (long-term). Iklim dan cuaca mempengaruhi kejadian hujan: di mana,
kapan, dan bagaimana terjadinya.
Rusakkah Siklus Air?
Betulkah
kuantitas atau volume air berkurang? Secara teoretis, jumlah air yang terlibat
di dalam siklus air (hydrologic atau hydrological cycle) di dunia ini tidak
berubah. Tidak bertambah, tidak juga berkurang. Yang terjadi adalah perubahan kuantitas
tiga wujud air. Wujud padat, yaitu es, wujud cair, yaitu air, dan wujud gas,
yaitu uap. Ketiga wujud ini terbentuk oleh dua proses penting di dalam siklus
air, yaitu penguapan (evaporation) dan
pengembunan (condensation). Menurut Enger dan Smith (2016) keduanya
dikendalikan oleh transfer energi dari matahari dan temperatur planet Bumi yang
dipengaruhi oleh jebakan panas oleh gas-gas rumah kaca (greenhouse gases).
Pada
proses penguapan air, energi ini menyebabkan jarak antar-molekul air makin jauh
sehingga berubah menjadi gas. Pada proses kondensasi, molekul air melepaskan
energinya sehingga jarak antar-molekul makin dekat yang akhirnya menjadi cair. Fenomena
jatuhnya zat cair ini disebut hujan. Air hujan yang menyentuh tanah ada yang
melimpas di permukaan tanah, sawah, kolam, rawa, lalu masuk ke selokan, sungai,
danau, waduk, dan berakhir di laut. Ada juga yang masuk ke dalam tanah menjadi
air tanah dangkal dan air tanah dalam. Sisanya tersebar di pohon, daun, bunga,
hewan, bebatuan, dan material lainnya yang mampu menampung air. Begitu
kejadiannya sepanjang masa.
Jika
betul demikian yang terjadi, mengapa banyak daerah yang kesulitan air pada
musim kemarau? Karena hanya sedikit air yang masuk ke dalam reservoir alami
bernama ruang antarbutir atau parasitas (perviousness)
dan ruang di dalam butir tanah atau porositas (porosity). Hanya sedikit yang menjadi air tanah. Mayoritas air pada
musim hujan langsung ke sungai menuju laut. Sedikit yang menjadi air tanah
dangkal dan makin sedikit lagi yang masuk ke dalam akifer air tanah dalam.
Akibatnya terjadi krisis air pada musim kemarau, terutama saat kemarau panjang.
Terjadi disrupsi siklus air. Siklusnya tetap, komponen yang menyebabkan
terjadinya siklus juga tetap ada, tetapi perubahan iklim menyebabkan kapan, di
mana, bagaimana terjadinya hujan mengalami perubahan. Ada daerah yang sering
hujan pada lima puluh tahun yang lalu tetapi sekarang kejadian hujannya
berkurang. Ada daerah yang sedikit hujan pada masa lalu tetapi sekarang sering
kebanjiran.
Air Baku dari Air Limbah
Meskipun
belum ada yang mengukur volume air di laut tetapi bisa diduga berdasarkan
disrupsi siklus air tersebut bahwa air laut pasti bertambah. Ada indikasi
kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan atmosfer Bumi (global warming). Sebaliknya air tawar makin sedikit. Jumlah
orang makin banyak, kebutuhan air tawar yang layak diminum atau digunakan untuk
keperluan lainnya juga makin banyak. Kira-kira 1,1 miliar orang di dunia ini
tidak punya akses air bersih. Di zone American West, air sudah menimbulkan
perang (Water Wars). Whiskey is for drinking, water is for
fighting. Ini ungkapan bergaya cowboy
di Wild Wild West. Perang ini pun bisa terjadi antar-negara atau antara dua
atau lebih kabupaten, kota, provinsi. Selanjutnya adalah air limbah yang terus
bertambah. Begitu juga air asin akibat intrusi air laut yang meluas di kota
dekat pantai seperti pantura Jawa. Di kota-kota yang banyak kawasan industri
terjadi “tambang air tanah” (groundwater
mining). Inilah disrupsi sumber daya
air.
Sejak
dulu hingga saat ini sumber air diberdayakan untuk empat kelompok kebutuhan.
Yang pertama adalah kebutuhan domestik, dimanfaatkan untuk aktivitas mandi,
cuci, kakus, dan dapur. Termasuk untuk makan dan minum dan kebutuhan ibadah.
Yang kedua adalah kebutuhan pertanian. Sebelum ada perusahaan air minum,
masyarakat memperoleh air dari upaya sendiri dengan membuat sumur gali atau memanfaatkan
mata air dan sungai, pada saat itu pertanian sudah memanfaatkan air. Tidak
terjadi sengketa air karena kebutuhan air untuk domestik relatif sedikit
dibandingkan dengan kebutuhan air untuk pertanian. Ini terjadi karena penduduk
setempat masih sedikit. Yang ketiga adalah kebutuhan untuk industri. Makin
banyak industri, terutama industri makanan dan minuman, makin banyak dibutuhkan
air. Ada juga penggunaan air industri untuk pengisi ketel uap dan pencuci atau
pembilas bahan baku. Penggunaan air yang
keempat disebut In-Stream, yaitu air
yang digunakan sebagai sarana seperti pembangkit listrik tenaga air, untuk
navigasi atau pelayaran sungai, danau, dan laut dan sebagai objek wisata (Enger
dan Smith, 2016).
Semua
penggunaan air tersebut berujung pada air limbah atau air bekas. Timbullah air
limbah domestik, air limbah pertanian, air limbah industri, dan air limbah
akibat minyak dan oli dari kapal atau perahu motor. Bisa terjadi juga polusi
air tanah dangkal. Sedangkan air tanah dalam hampir tidak terpengaruh oleh
semua kegiatan tersebut. Dengan catatan, tidak terjadi retak (fracture) pada lapisan batuan akifernya.
Air tercemar inilah yang makin banyak jumlahnya dan menjadi masalah bagi sumber
air PDAM. Kalau bukan karena air limbah industri, maka masalahnya adalah
cemaran dari air pertanian. Semua pestisida dan pupuk yang digunakan berpotensi
ada di dalam air baku PDAM. Sudah saatnya IPAM di PDAM dilengkapi dengan unit
operasi dan proses yang mampu menghilangkan pestisida dalam berbagai jenis zat
kimia dan menghilangkan nutrien dari pupuk yang digunakan. Siapkah PDAM
mengantisipasi air baku yang sudah berkualitas seperti air limbah?
Paradigma Baru
Perubahan
iklim adalah keniscayaan. Banyak indikasinya. Sementara itu PDAM harus terus
hidup sebagai penyedia air layak guna dan layak minum untuk masyarakat di
daerah masing-masing. Tetapi sumber air baku yang bersahabat sudah langka. Banyak
air baku yang tidak bersahabat. Tidak mudah diolah. Bahkan kualitasnya sudah
setara dengan air limbah. Akankah berhenti berproduksi hanya karena air baku
sudah berubah menjadi seperti air limbah? Tentu tidak. Spirit filsafat PDAM
adalah P = Pegawai, D = Desain, A = Area servis, M = Manajemen dan aspek AIR: A
(aman secara kualitas), I (Isi atau volume air yang dibutuhkan per orang per
hari), dan R (Rutin, kontinyu 24 jam sehari) (Cahyana, 2004). Masyarakat tetap
setia menunggu inovasi teknologi yang diterapkan di PDAM untuk air minum yang
aman, tarif yang bersahabat dan tersedia sepanjang hari dan malam.
Hingga
saat ini pelanggan masih percaya kepada PDAM dan ini harus dijadikan pemicu
untuk mengolah air limbah menjadi air layak minum. Menggeser paradigma lama bahwa
air baku adalah air yang kualitasnya seperti air sungai di hulu di kaki gunung.
Masih bersih. Ini betul dan bisa dilakukan dengan uang. Maka ada istilah “water flows uphill toward money”. Air
bisa mengalir ke hulu, maksudnya menjadi bersih kembali, dengan uang. Artinya
dengan teknologi. Saatnya mengolah air baku berkualitas air limbah dengan smart system. Begitu pula PDAM yang
berlokasi di dekat pantai sudah saatnya menggunakan air payau atau air laut sebagai
sumber air dengan smart system juga.
Tentu ada pertimbangan, apakah mengolah air payau lebih murah daripada mengolah
air limbah. Sebagai contoh, Singapura sudah lama mengolah air limbah menjadi
air minum. NEWater bahkan menetapkan
pada tahun 2060 setengah dari kebutuhan air di Singapura berasal dari air
limbah (Cunningham dan Cunningham, 2017).
Apabila
PDAM mengadopsi teknologi NEWater
tersebut, bagaimana dengan tarif airnya? Bagaimana dengan kelayakan air sebagai
sarana ibadah seperti wudhu bagi masyarakat yang beragama Islam? Bukankah sekarang
ini air bekas wudhu, bekas cuci yang sudah diresirkulasi tetap menimbulkan
“diskusi tanpa akhir”? Biarlah ini menjadi bahasan ulama. Hanya saja perlu diingat
bahwa fungsi dan tujuan IPAM di PDAM sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan “IPAM”
yang bernama siklus air itu. Apalagi dengan teknologi yang digunakan di NEWater. Kalau air hujan hasil olahan
“IPAM” siklus air sah untuk wudhu, bisakah air limbah kamar mandi, WC dan
urinal yang diolah dengan teknologi seperti di NEWater itu disetarakan dengan air hujan sehingga suci dan
mensucikan juga?
Itulah
sejumlah masalah, sederet pertanyaan yang muncul akibat disrupsi siklus air
lantaran perubahan iklim. Selamat memperingati Hari Air Dunia, 22 Maret 2020. Senantiasa
jayalah PDAM. *
Daftar Pustaka
1.
Cahyana,
G. H. (2004), PDAM Bangkrut, Awas Perang Air, Sahara Golden Press, Bandung, ISBN. 979-98596-0-3.
2. Cunningham, W. dan M. A. Cunningham (2017), Principles
of Environmental Science: Inquiry and Application, McGraw-Hill Education,
New York, ISBN. 978-0-07-803607.
3. Enger E. D. dan B. F. Smith (2016), Environmental Science: a Study of Interrelationships, McGraw-Hill
Education, New York, ISBN. 978-1-259-25309-9.