• L3
  • Email :
  • Search :

12 Juli 2020

Potensi Risiko Corona di Ruang Tertutup Ber-AC

Potensi Risiko Corona di Ruang Tertutup Ber-AC 

TVOne dan Kompas TV intensif membahas berita terbaru dari WHO tentang “potensi transmisi Corona di udara/aerosol”. Dalam bahasa positifnya, WHO mungkin berhati-hati karena ini organisasi berskala dunia, sangat dipercaya oleh banyak orang. Meskipun beberapa hari lalu akhirnya Amerika Serikat keluar dari WHO. Tapi ini lain soal. Ini terserah Trump and the ganks.

Kembali ke tema Corona di dalam aerosol. Sebelum 239 orang peneliti ahli yang melaporkan bahwa sebaran Corona bisa lewat aerosol (publikasi 6 Juli 2020), pada medio Maret, The New England Journal of Medicine edisi 17 Maret 2020 merilis surat (letter) dari van Doremalen, Bushmaker, dan Morris. Surat tersebut menyatakan bahwa Corona bisa bertahan tiga jam di dalam aerosol, empat jam di permukaan tembaga, 24 jam di permukaan karton, dan bertahan tiga hari di permukaan plastik dan logam stainless. Rilis jurnal tersebut sudah saya kutip di dalam artikel yang diterbitkan di koran Pikiran Rakyat edisi 23 Maret 2020. Ini link-nya
Tambahan penting dari pernyataan WHO adalah bahwa ruang tertutup seperti ruang kelas murid dan ruang kuliah mahasiswa, termasuk ruang rapat. Akan bertambah besar risikonya adalah ruang yang ber-AC. Corona akan menyebar dan berputar-putar di dalam ruang dan dihirup ke paru-paru oleh semua orang di dalam ruangan itu. Hal ini masuk dalam kajian Indoor Air Pollution (IAP). Agak berbeda dengan potensi sebaran Corona di Outdoor Air Pollution (OAP). Tetapi sangat disarankan, meskipun di luar ruang, agar mengenakan masker. Lebih aman lagi kalau ditopengi dengan face shield (tameng wajah).

Namun demikian, terjadi paradoks di masyarakat. Pada masa awal Corona lebih banyak warga masyarakat yang khawatir, takut, bahkan stress terhadap wabah Covid-19 ini. Pada saat itu yang sakit Covid-19 sangat sedikit. Bahkan dilabeli dengan angka oleh pemerintah, seperti penderita 01, 02, 03, dan seterusnya. Sebaliknya pada Juli 2020 ini, ketika penderita makin banyak, bahkan kasus terbanyak selama ini terjadi di Secapa AD di Hegarmanah Kota Bandung, warga hampir tidak khawatir lagi. Banyak yang tidak bermasker di toko, warung, mall, jalan, dll. 

Warga juga banyak yang berwisata dan menikmati kuliner. Bukan tidak boleh, tetapi protocol kesehatan tetap harus dilaksanakan. Namun demikian, wanti-wanti WHO beberapa hari lalu justru menjadi lampu merah, warning keras bagi kalangan yang sudah beranggapan bahwa Covid-19 ini memasuki masa aman. Apalagi kalau betul di Indonesia ada dua macam virus Corona yang dampaknya bisa berbeda. Ini kalau betul, tentu makin besar risiko yang dihadapi warga Indonesia, justru pada masa di puncak kebosanan tinggal di rumah, bosan work from home, bosan kuliah atau belajar di rumah. 

Paradoksnya lagi, pemerintah justru sudah membuka luas kantor dan fasilitas komersial, transportasi kereta api, bandar udara, pelabuhan laut, terminal, dll. Sebentar lagi adalah bioskop, ruang ber-AC yang kedap tertutup. Sungguh patut dipertimbangkan usulan Pak Dahlan Iskan tentang subsidi pemerintah untuk rakyat senilai kurang lebih 125 triliun untuk menghilangkan sebaran Corona. Silakan baca lebih lengkap di website-nya. 

Intinya, saripatinya, bulan kelima wabah Covid ini justru memasuki masa risiko tinggi. Maka, dunia akademik, mulai dari prasekolah, sekolah, hingga kuliah sebaiknya menahan diri dulu. Gunakan fasilitas internet untuk rapat, belajar, mengajar. Keselamatan dan kesehatan anak-anak, cucu-cucu tidak ternilai harganya dibandingkan dengan egoisme sepihak atau parapihak dengan pertimbangan ekonomi dan politik jangka pendek. 

Bagaimana dengan ruang yang tidak ber-AC? Tentu ada beberapa syarat agar aman. Yang pertama, lokasi ruang itu masuk dalam zone hijau menurut kategori gugus tugas Covid-19 setempat. Ini pun dibagi menjadi dua lagi, yaitu (1) ruang yang menerima orang dari berbagai lokasi atau tempat tinggal seperti ruang kantor, dll.; dan (2) ruang yang hanya diisi oleh orang-orang di dalam lingkup terbatas seperti sekolah berasrama (boarding school). Semua murid sudah dinyatakan sehat sebelum masuk ke asrama sekolah dan dilaksanakan protocol kesehatan yang disiplin selama ini. Termasuk semua guru dan pekerja yang ada di dalam lingkup sekolah tersebut. Apabila keluar-masuk setiap hari maka harus dicek minimal dengan thermogun dan bagusnya lagi adalah dengan rapid test rutin atau swab. Biayanya, ini yang harus dicarikan solusinya oleh pemerintah dan sekolah. Kemudian penunjangnya adalah makan makanan sehat, bergizi cukup. Semua makanan terutama sayur harus dimasak, tidak dilalab (dimakan mentah) dan makan buah-buahan yang berkulit seperti pisang. Hindari buah yang langsung dimakan dengan kulitnya seperti anggur, dll.

Yang kedua, ruang tersebut memiliki ventilasi yang bagus. Jendelanya terbuka dan banyak berjejer di dinding ruang. Pintu dibuka selama PBM. Duduk dengan jarak yang cukup, minimal 2 meter. Harus bermasker dan lebih bagus lagi dengan face shield (tameng wajah). Cuci tangan dengan air dan sabun tersedia di luar ruang dan harus antri dengan sabar dan jaga jarak. Disiplin. Yang melanggar selayaknya diperingatkan dan dikenai sanksi hukuman tertentu. Begitu juga ruang tidurnya, tetap dengan protocol kesehatan. Harus banyak ventilasi dan disemprot dengan disinfektan setiap hari oleh murid-muridnya. Minimal dicuci dengan air yang berisi klor (chlorine). Kaporit bisa dibeli di toko kimia setempat atau minta bantuan ke PDAM setempat lewat bupati atau walikota.

Yang ketiga, durasi waktu belajarnya dipersingkat. Tidak lebih dari 45 menit, yang biasanya 90 menit. Pergantian waktu digunakan untuk menyemprot atau membersihkan ruang oleh murid atau petugas. Paparan kognitif untuk sementara ini, selama wabah Covid-19 ini, dikurangi dan ditambah nanti setelah wabah berlalu. Gunakan waktu yang seharusnya kognitif menjadi psikomotorik untuk menguatkan afektifnya. Penambahan ilmunya kecil tetapi penambahan afeksinya lebih besar. Adab, akhlak, mental, karakternya menjadi lebih kuat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar