• L3
  • Email :
  • Search :

31 Juli 2020

Lindi Sarimukti Tanpa Solusi?

Lindi Sarimukti Tanpa Solusi?
Oleh Gede H. Cahyana
Pengamat sanitasi lingkungan, Universitas Kebangsaan

Hentikan Pencemaran Lindi Sarimukti adalah judul berita utama koran Pikiran Rakyat edisi Selasa, 21 Juli 2020. Lindi adalah air rembesan dari timbunan sampah yang sangat kuat derajat pencemarannya. Pada saat ini TPA Sarimukti sudah tidak layak guna karena kelebihan beban (overload). Proses pengolahan di Instalasi Pengolahan Air Lindi (IPALin) pun buruk sehingga mencemari air sungai di hilirnya.

Evaluasi
Pengolahan lindi di Sarimukti menggunakan proses biologi dan operasi fisika. Hampir sama dengan IPAL Bojongsoang. Bedanya, IPAL Bojongsoang hanya mengolah air limbah domestik. Konsentrasi pencemar air limbah yang masuk ke IPAL Bojongsoang jauh lebih rendah daripada konsentrasi pencemar di dalam lindi. Luas area IPAL Bojongsoang sekitar 85 hektar meskipun tidak semuanya dijadikan kolam pengolahan. Area IPAL-nya saja jauh lebih luas daripada luas area TPA Sarimukti padahal tingkat pencemaran lindi jauh lebih berbahaya daripada air limbah domestik.

IPAL Bojongsoang hanya mengandalkan transfer oksigen secara alami sedangkan IPALin Sarimukti menggunakan blower dan instalasi pipa. Efektifkah blower ini? Sudah disebut bahwa lindi berisi pencemar yang sangat kuat, COD bisa mencapai 30.000 mg/l. Sedangkan COD yang masuk ke IPAL Bojongsoang sekitar 300-400 mg/l. Penelitian ilmiah menyatakan bahwa kolam anaerob hanya mampu menurunkan COD hingga 50%. Artinya, COD sisa yang masuk ke kolam aerob masih sangat tinggi konsentrasinya.

Pengolahan di kolam anaerob makin sulit apabila derajat keasaman (pH) lindi di bawah 7,5. Bakteri lebih dulu mati sebelum mampu beradaptasi. Apalagi lindi berisi zat beracun dan bakteri anaerob adalah jenis bakteri yang sensitif terhadap racun meskipun kecil konsentrasinya. Padahal “kunci” pengolahan anerobik adalah bakteri anaerob jenis metanogenik yang mampu mengubah COD menjadi gas metana.Tanpa konversi COD menjadi metana maka praktis tidak terjadi pengurangan konsentrasi COD secara signifikan.

Dengan demikian, injeksi oksigen oleh blower ke dalam lindi menjadi tidak efektif. Karena pH rendah maka bakteri aerob lebih dulu mati sebelum menerima oksigen dari blower. Listrik pun menjadi mubazir. Hakikatnya, semua kolam pengolahan berubah menjadi sekadar bak penampung lindi tanpa aktivitas mikrobiologis. Terjadilah pencemaran air sungai di hilirnya.

Opsi solusi
Adakah solusinya? Ada dua kegiatan yang harus dikerjakan, yang pertama adalah merancang ulang area timbunan sampah sebelum TPA Legok Nangka dioperasikan. Sebetulnya masalah serupa juga bisa terjadi di Legok Nangka, waktu yang akan membuktikannya. Rancang ulang difokuskan pada penerapan sanitary landfill dan pemanfaatan metana untuk operasional kantor TPA. Syukur-syukur bisa digunakan untuk kebutuhan listrik blower dan pompa.

Kegiatan kedua adalah merancang ulang unit proses dan unit operasi IPALin. Selama ini fokus pemerintah dalam mengelola sampah hanyalah pada timbunan sampah. Kurang perhatian pada pengolahan lindi. Padahal yang mencemari air sungai dan air tanah adalah air lindi. Sedangkan sampah hanya diam selama-lamanya di sel-sel timbunan hingga habis dibusukkan oleh bakteri. Paradigma berpikir tentang pengelolaan sampah harus diubah. Sel sampah dan lindi harus dalam prioritas yang sama.

Pengolahan lindi sesungguhnya jauh lebih penting daripada lahan timbunan sampahnya. Apapun jenis landfill-nya pasti terbentuk lindi dan harus diolah karena berisi ribuan jenis zat kimia beracun. Lindi jauh lebih bahaya daripada air limbah celupan pabrik tekstil. Jauh lebih tinggi zat organiknya daripada air limbah pabrik gula. Apalagi kalau dibandingkan dengan air limbah pabrik makanan-minuman. Bahkan potensi bahaya air limbah dari kilang minyak masih kalah jauh dibandingkan dengan potensi bahaya lindi.

Ada tiga parameter yang dikaji dalam rancang ulang tersebut, yaitu kuantitas, kualitas, kontinuitas aliran lindi. Kuantitas aliran harus diukur dengan teliti karena berpengaruh pada dimensi unit pengolahan. Data ini mencakup data pada musim hujan dan musim kemarau untuk menduga variasi debit yang mungkin terjadi. Apabila data ini diketahui terperinci maka kebutuhan luas lahan IPALin bisa lebih akurat termasuk kebutuhan mekanikal elektrikalnya.

Selanjutnya adalah kualitas lindi yang berbeda pada musim hujan dan musim kemarau. Data ini diperlukan untuk memilih unit pengolah yang layak digunakan dan untuk memperkirakan biaya konstruksi dan biaya operasi-rawatnya. Juga bisa digunakan untuk rencana pengelolaan dan pengolahan lumpur (sludge) IPALin, baik lumpur biologi (biosludge) maupun lumpur kimia (chemsludge). Timbulan lumpur bisa dihitung berapa ton perbulan, bagaimana pengolahannya dan di mana diolah. Termasuk ada tidaknya potensi pendapatan (income) yang bisa diperoleh dari lumpur tersebut.

Poin ketiga adalah kontinuitas. Hal ini berkaitan dengan aliran lindi dari timbunan sampah ke IPALin dan dipengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Bersama dengan data kuantitas, data kontinuitas aliran ini digunakan untuk setting unit pengolah yang harus dioperasikan dan yang harus diistirahatkan. Data ini bisa digunakan untuk menduga optimal tidaknya unit pengolah yang tersedia. Juga menentukan unit pengolah mana yang beroperasi, mana yang bisa istirahat sambil dicek atau diperbaki.

Operasi-rawat
Selain jenis unit pengolah, yang juga penting adalah operasi dan perawatan. IPALin bukanlah lampu Aladdin yang sekali berkata “terjadi” maka “terjadilah”. Unit proses biologi IPALin banyak yang gagal. Jangankan IPALin yang lokasinya di tengah hutan atau terpencil, IPAL yang berada di dalam kota saja banyak yang tidak dikelola dengan benar. Apakah IPAL air limbah tekstil yang diolah dengan proses biologi saja mampu menurunkan logam berat, senyawa toksik secara signifikan? Apalagi lindi yang jauh lebih berbahaya daripada air limbah tekstil.

Aspek operasi dan perawatan IPALin harus dipertimbangkan agar bisa menyerap tenaga kerja lokal. Gunakan unit pengolah yang membutuhkan tenaga kerja kasar dan terlatih. Mereka dilatih menjadi operator. Tentu harus ada juga tenaga kerja yang ahli IPALin. Serapan tenaga kerja lokal akan menimbulkan rasa ikut memiliki TPA sehingga ikut menjaga dan mengamankan lokasi. Sekaligus mereka bisa berperan sebagai agen pendidikan peduli sampah di desanya.

Oleh sebab itu, hindari teknologi yang suku cadangnya harus diimpor karena akan merusak proses pengolahan apabila tidak bisa diperbaiki dalam waktu setengah hari. Hindari teknologi yang padat modal dalam investasi, mahal biaya operasinya, mahal biaya perawatannya. Gunakan teknologi yang bisa tahan sepuluh atau lima belas tahun tanpa penggantian peralatan secara signifikan. Hanya perlu penggantian komponen mekanikal elektrikal yang bisa dilakukan oleh bengkel lokal dan suku cadangnya tersedia di pasar lokal.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar