Belajar
di Perpustakaan Maya Setelah Pandemi Covid-19
Oleh Gede H. Cahyana
Virus baru yang disebut novel
Coronavirus penyebab wabah Covid-19 berawal dari Wuhan di China pada Desember
2019. Di Indonesia wabah ini mulai pada 2 Maret 2020 setelah dua orang sakit
akibat virus tersebut. Pemerintah lantas menganjurkan agar pegawai bekerja di
rumah, beribadah di rumah, belajar di rumah. Pegawai negeri dan swasta terutama
yang bekerja di sektor pendidikan mulai melaksanakan proses belajar-mengajar
(PBM) di rumah masing-masing. Guru, dosen, murid, dan mahasiswa menjadi makin
akrab dengan internet. Akrab dengan e-mail, aplikasi Zoom, Google Meeting, dan
memanfaatkan website dan blog.
Selama PBM tersebut muncul
kendala, yaitu kecepatan akses internet. Ada daerah yang kesulitan mendapatkan
sinyal. Kendala kedua adalah pulsa dan kuota. Banyak murid dan orang tua
mengeluh lantaran kehabisan pulsa dan kuota. Ada karena di-PHK (Pemutusan
Hubungan Kerja), dirumahkan sementara, atau tidak bisa lagi berjualan karena
toko dan warungnya tutup atau sepi pembeli. Ada lagi bermacam-macam sebab yang
disampaikan oleh orang tua dan murid yang kesulitan ikut dalam kegiatan
belajar-mengajar maya (online).
Adapun murid dan orang tua yang
tinggal di kota besar umumnya tidak mengalami kendala dalam PBM maya. Akses
internetnya lebih mudah dan cepat. Tetapi tetap ada masalah biaya internet
karena di kota juga banyak keluarga kurang mampu tetapi anak-anaknya harus ikut
PBM maya. Juga kesulitan mencari sumber-sumber ilmu dari situs yang berkompeten.
Banyak juga situs yang populer di internet tetapi memerlukan uang tambahan
karena harus membayar kalau diunduh (download),
terutama situs berbahasa Inggris, Jepang, Korea, Arab, China, Jerman karena
dibutuhkan oleh mahasiswa di prodi tersebut.
Dari tahun ke tahun jangkauan
internet semakin luas sehingga menjadi peluang bagi perpustakaan untuk lebih banyak
lagi memberikan layanan hingga ke pelosok. Tidak hanya perpustakaan di ibukota
negara, yaitu Perpustakaan Nasional tetapi juga perpustakaan daerah. Ada
sumber-sumber daya yang tidak tersedia di Perpustakaan Nasional tetapi tersedia
di perpustakaan daerah. Begitu juga banyak sumber daya yang tidak ada di
koleksi perpustakaan daerah tetapi ada di Perpustakaan Nasional. Interaksi maya
semua perpustakaan di Indonesia akan memperluas sumber-sumber ilmu bagi
masyarakat. Dunia pendidikan dasar, menengah, dan tinggi makin dimudahkan dalam
mendapatkan akses ilmu dan teknologi, termasuk dari beragam bahasa di berbagai
negara di dunia.
Perpustakaan
maya
Sejak telepon seluler Android
berkembang pesat semakin cepat pula perkembangan situs berita dan ilmu
pengetahuan. Berkembang aplikasi baru, mulai dari permainan (game), bisnis maya, sampai ke situs
berkonten negatif. Seolah-olah terjadi persaingan antara situs yang mendidik
dan yang merusak. Yang berpeluang menjadi benteng untuk menangkal situs buruk tersebut
adalah perpustakaan. Setiap orang yang mendengar kata perpustakaan maka yang
terbayang adalah deretan buku teratur rapi yang ditata di lemari dan rak berderet-deret.
Masyarakat meyakini bahwa di perpustakaan tersedia banyak ilmu dan informasi
teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan.
Masalahnya adalah keinginan
membaca buku yang masih perlu ditingkatkan. Masyarakat sudah mulai senang
membaca, minimal membaca tulisan di media sosial. Masyarakat juga sudah mulai
menulis, yaitu menulis di media sosial. Percakapan dari mulut ke mulut sudah beralih
menjadi percakapan dari tulisan ke tulisan. Keadaan ini bisa dijadikan peluang
oleh perpustakaan untuk lebih mengenalkan lagi berbagai macam sumber daya ilmu
dan teknologi yang ada di perpustakaan. Perpustakaan harus “menyerang” (dalam
tanda kutip) ponsel, laptop dan semua gawai (gadget) yang ada pada setiap orang.
Inovasi yang perlu dilengkapi
oleh perpustakaan pascapendemi Covid-19 adalah fasilitas untuk bercerita (story telling) atau layanan kisah (dongeng).
Kegiatan bercerita, berkisah atau mendongeng sudah ada sejak dulu. Seorang ibu
atau ayah sebelum dasawarsa 1980-an sering mendongeng kepada anak-anaknya.
Bahasa yang digunakan biasanya bahasa daerah karena kisah yang dituturkan
adalah kisah di daerah tempat tinggalnya. Juga pada waktu itu masih banyak
orang tua yang buta huruf dan tunabahasa Indonesia. Tentu ada yang berbahasa
Indonesia, umumnya orang tuanya sudah terdidik, lulusan SMA atau perguruan
tinggi.
Kegiatan mendongeng ini membekas
di dalam alam bawah sadar anak-anak sehingga menjadi memori yang diingat sampai
beranak cucu. Sumber dongeng yang terbatas dan diulang-ulang pada dekade
sebelum 1980-an itu karena orangtua sulit memperoleh buku. Pendidikan juga
tidak tinggi karena di desa atau di kota kecamatan belum ada sekolah. Orang tua
yang tunaaksara latin tersebut memiliki beberapa dongeng yang diperolehnya
secara turun-temurun dari kakek, nenek, ayah, ibunya. Didukung juga oleh
tradisi masyarakat Indonesia yang lebih banyak bertutur daripada membaca dan
menulis. Fakta tersebut dapat dimaklumi karena pada masa sebelum 1980-an, apalagi
sebelum 1970-an, lebih banyak rakyat Indonesia yang tidak bersekolah. .
Pada zaman sekarang kondisi
daerah sudah berbeda. Kebiasaan mendongeng dulu itu bisa diadopsi dan
diadaptasi untuk keperluan zaman sekarang ketika internet sudah luas
jangkauannya dan perangkat elektronik seperti laptop dan telepon seluler semakin
banyak digunakan. Apalagi setelah wabah Covid-19 ini tentu makin menguatkan
peran perpustakaan sebagai sumber belajar. Pendidikan menjadi terbantu dan
pencerdasan kehidupan bangsa, seperti amanat Pembukaan UUD 1945, lebih bisa
dicapai. Buta huruf makin berkurang sampai ke desa karena interaksi sosial di
dalam keluarga yang setiap hari bisa mengakses ilmu dan teknologi dari
perpustakaan. Maka peluang kerjasama antara Perpustakaan Nasional dan provider internet makin terbuka dan
saling menguntungkan. Terutama menguntungkan bangsa Indonesia karena dapat
memperbanyak jumlah orang yang berilmu sehingga peluang temuan teknologi baru
bisa bertambah signifikan per tahun.
Masyarakat berilmu dikuatkan
pembentukannya oleh Perpustakaan Nasional melalui PBM sesuai dengan segmennya. Misalnya
segmen untuk balita, TK, SD, SMP, SMA, SMK, santri, dan mahasiswa. Segmen yang
banyak diakses adalah segmen anak balita, TK, dan SD. Menurut Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI),1 jumlah anak di Indonesia pada tahun 2020
mencapai 90 juta orang atau 33% dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah ini bisa
dimanfaatkan oleh play group, TK dan
SD di seluruh Indonesia. Guru menjadi fasilitator atau pembimbing selama PBM.
Guru bisa menirukan aksi atau peran yang ada di video yang diakses di situs Perpustakaan
Nasional. Murid juga bisa membaca dan menyimak dari telepon seluler orang
tuanya dan bisa dilaksanakan di rumah masing-masing. Kegiatan PBM bisa
dimanfaatkan oleh orang tua yang melaksanakan home schooling. Orang tua yang memiliki waktu bisa melaksanakan
pendidikan anak-anaknya dengan memanfaatkan perpustakaan maya. Untuk orang tua
yang bekerja di kantor maka pendidikan anak-anaknya diperoleh di sekolah formal
yang juga mengakses perpustakaan maya.
Untuk memperkaya khazanah ilmu
dan teknologi, maka perpustakaan menyiapkan materi berupa tulisan dan video
yang disesuaikan dengan kurikulum sekolah. Materi tulisan atau buku dan video disiapkan
dengan melibatkan guru dan pakar pendidikan. Pembaruan materi dilakukan secara
berkala dengan melihat perkembangan ilmu dan teknologi. Pustakawan menyiapkan
dan menelusuri sumber-sumber ilmu dan teknologi terbaru kemudian memberikan
kepada tenaga ahli yang mengelola situs untuk diunggah (uploaded) sehingga tersedia kebaruan dari waktu ke waktu secara
rutin. Pustakawan juga berinteraksi dengan guru, ustadz, kyai, dosen, peneliti,
dan aparatur pemerintah untuk menyiapkan materi ilmu dan teknologi yang
diunggah di situs perpustakaan. Sumber-sumber ilmu ini terus ditambah dan
diluaskan untuk memperkaya khazanah sumber daya perpustakaan.
Dengan demikian bisa dikatakan, wabah
Covid-19 ini seperti blessing in disguise
bagi perpustakaan. Ada hikmah bagi pengembangan perpustakaan untuk pendidikan,
khususnya pembelajaran di semua tingkat sekolah dan perguruan tinggi. Maraknya
belajar maya selama wabah Covid-19 menjadi inspirasi bagi dunia perpustakaan. Perpustakaan
mampu meraih kembali kata-kata mutiara sebelum dekade 1990-an, yaitu
perpustakaan adalah sumber ilmu. Buku adalah jendela dunia. Keliling dunia di
dalam perpustakaan. Semua ilmu itu berada di dalam video, audio, dan file-file
atau naskah ilmu dan teknologi. Sumber daya klasik yang dimiliki perpustakaan
bisa dialihkan bentuknya menjadi digital. Sumber tradisional seperti buku,
jurnal, manuskrip menjadi bagian dari kegiatan pustakawan untuk menyiapkannya
ke dalam bentuk yang bisa dibaca, dilihat, diunduh di internet.
Tahap
digitalisasi
Untuk mewujudkan ide tersebut
maka tahap digitalisasi (digitalization)2
menjadi penting. Prioritas pertama diberikan kepada anak usia dini dengan produk
digital berupa buku bergambar dan video tentang pendidikan akhlak, etika, budi
pekerti. Perpustakaan menyediakan layanan yang mudah diakses oleh anak, guru, dan
orang tua. Materi pembelajaran juga dilengkapi dengan tugas yang bisa diunggah
secara interaktif. Sekolah formal, informal, dan nonformal bisa memanfaatkan
materi tersebut. Juga dilengkapi dengan fasilitas mendongeng, bercerita, berkisah.
Perpustakaan mampu membentuk karakter anak dengan memanfaatkan cerita-cerita
klasik yang timbul di masyarakat. Cerita asli daerah dan suku-suku yang ada di
Indonesia, disiapkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya. Pembentukan
generasi masa depan bangsa Indonesia dimulai dari perpustakaan yang memiliki
khazanah budaya asli semua suku bangsa, semua agama yang diakui oleh negara
Republik Indonesia.
Untuk membiayai situs tersebut perpustakaan
memperoleh pendapatan dari iklan yang ditayangkan, yaitu iklan yang berkaitan
dengan pendidikan, pembelajaran yang diperkuat oleh peraturan pemerintah dalam
izinnya. Pendapatan itu pun digunakan lagi untuk memperoleh sumber-sumber ilmu
dari seluruh dunia agar materi yang dimiliki perpustakaan bisa bertambah
sehingga tidak membosankan bagi anak-anak, murid, dan mahasiswa. Perpustakan akhirnya
bisa menjadi agen perubahan ke arah yang lebih baik untuk generasi masa depan
bangsa Indonesia. Pendidikan dilaksanakan dengan memanfaatkan perpustakaan maya
yang ada di genggaman tangan murid dan mahasiswa.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar