• L3
  • Email :
  • Search :

5 Juli 2020

Belajar di Perpustakaan Maya Setelah Pandemi Covid-19

Belajar di Perpustakaan Maya Setelah Pandemi Covid-19
Oleh Gede H. Cahyana

Virus baru yang disebut novel Coronavirus penyebab wabah Covid-19 berawal dari Wuhan di China pada Desember 2019. Di Indonesia wabah ini mulai pada 2 Maret 2020 setelah dua orang sakit akibat virus tersebut. Pemerintah lantas menganjurkan agar pegawai bekerja di rumah, beribadah di rumah, belajar di rumah. Pegawai negeri dan swasta terutama yang bekerja di sektor pendidikan mulai melaksanakan proses belajar-mengajar (PBM) di rumah masing-masing. Guru, dosen, murid, dan mahasiswa menjadi makin akrab dengan internet. Akrab dengan e-mail, aplikasi Zoom, Google Meeting, dan memanfaatkan website dan blog.

Selama PBM tersebut muncul kendala, yaitu kecepatan akses internet. Ada daerah yang kesulitan mendapatkan sinyal. Kendala kedua adalah pulsa dan kuota. Banyak murid dan orang tua mengeluh lantaran kehabisan pulsa dan kuota. Ada karena di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), dirumahkan sementara, atau tidak bisa lagi berjualan karena toko dan warungnya tutup atau sepi pembeli. Ada lagi bermacam-macam sebab yang disampaikan oleh orang tua dan murid yang kesulitan ikut dalam kegiatan belajar-mengajar maya (online).

Adapun murid dan orang tua yang tinggal di kota besar umumnya tidak mengalami kendala dalam PBM maya. Akses internetnya lebih mudah dan cepat. Tetapi tetap ada masalah biaya internet karena di kota juga banyak keluarga kurang mampu tetapi anak-anaknya harus ikut PBM maya. Juga kesulitan mencari sumber-sumber ilmu dari situs yang berkompeten. Banyak juga situs yang populer di internet tetapi memerlukan uang tambahan karena harus membayar kalau diunduh (download), terutama situs berbahasa Inggris, Jepang, Korea, Arab, China, Jerman karena dibutuhkan oleh mahasiswa di prodi tersebut.

Dari tahun ke tahun jangkauan internet semakin luas sehingga menjadi peluang bagi perpustakaan untuk lebih banyak lagi memberikan layanan hingga ke pelosok. Tidak hanya perpustakaan di ibukota negara, yaitu Perpustakaan Nasional tetapi juga perpustakaan daerah. Ada sumber-sumber daya yang tidak tersedia di Perpustakaan Nasional tetapi tersedia di perpustakaan daerah. Begitu juga banyak sumber daya yang tidak ada di koleksi perpustakaan daerah tetapi ada di Perpustakaan Nasional. Interaksi maya semua perpustakaan di Indonesia akan memperluas sumber-sumber ilmu bagi masyarakat. Dunia pendidikan dasar, menengah, dan tinggi makin dimudahkan dalam mendapatkan akses ilmu dan teknologi, termasuk dari beragam bahasa di berbagai negara di dunia.

Perpustakaan maya
Sejak telepon seluler Android berkembang pesat semakin cepat pula perkembangan situs berita dan ilmu pengetahuan. Berkembang aplikasi baru, mulai dari permainan (game), bisnis maya, sampai ke situs berkonten negatif. Seolah-olah terjadi persaingan antara situs yang mendidik dan yang merusak. Yang berpeluang menjadi benteng untuk menangkal situs buruk tersebut adalah perpustakaan. Setiap orang yang mendengar kata perpustakaan maka yang terbayang adalah deretan buku teratur rapi yang ditata di lemari dan rak berderet-deret. Masyarakat meyakini bahwa di perpustakaan tersedia banyak ilmu dan informasi teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan.

Masalahnya adalah keinginan membaca buku yang masih perlu ditingkatkan. Masyarakat sudah mulai senang membaca, minimal membaca tulisan di media sosial. Masyarakat juga sudah mulai menulis, yaitu menulis di media sosial. Percakapan dari mulut ke mulut sudah beralih menjadi percakapan dari tulisan ke tulisan. Keadaan ini bisa dijadikan peluang oleh perpustakaan untuk lebih mengenalkan lagi berbagai macam sumber daya ilmu dan teknologi yang ada di perpustakaan. Perpustakaan harus “menyerang” (dalam tanda kutip) ponsel, laptop dan semua gawai (gadget) yang ada pada setiap orang.

Inovasi yang perlu dilengkapi oleh perpustakaan pascapendemi Covid-19 adalah fasilitas untuk bercerita (story telling) atau layanan kisah (dongeng). Kegiatan bercerita, berkisah atau mendongeng sudah ada sejak dulu. Seorang ibu atau ayah sebelum dasawarsa 1980-an sering mendongeng kepada anak-anaknya. Bahasa yang digunakan biasanya bahasa daerah karena kisah yang dituturkan adalah kisah di daerah tempat tinggalnya. Juga pada waktu itu masih banyak orang tua yang buta huruf dan tunabahasa Indonesia. Tentu ada yang berbahasa Indonesia, umumnya orang tuanya sudah terdidik, lulusan SMA atau perguruan tinggi.

Kegiatan mendongeng ini membekas di dalam alam bawah sadar anak-anak sehingga menjadi memori yang diingat sampai beranak cucu. Sumber dongeng yang terbatas dan diulang-ulang pada dekade sebelum 1980-an itu karena orangtua sulit memperoleh buku. Pendidikan juga tidak tinggi karena di desa atau di kota kecamatan belum ada sekolah. Orang tua yang tunaaksara latin tersebut memiliki beberapa dongeng yang diperolehnya secara turun-temurun dari kakek, nenek, ayah, ibunya. Didukung juga oleh tradisi masyarakat Indonesia yang lebih banyak bertutur daripada membaca dan menulis. Fakta tersebut dapat dimaklumi karena pada masa sebelum 1980-an, apalagi sebelum 1970-an, lebih banyak rakyat Indonesia yang tidak bersekolah. .

Pada zaman sekarang kondisi daerah sudah berbeda. Kebiasaan mendongeng dulu itu bisa diadopsi dan diadaptasi untuk keperluan zaman sekarang ketika internet sudah luas jangkauannya dan perangkat elektronik seperti laptop dan telepon seluler semakin banyak digunakan. Apalagi setelah wabah Covid-19 ini tentu makin menguatkan peran perpustakaan sebagai sumber belajar. Pendidikan menjadi terbantu dan pencerdasan kehidupan bangsa, seperti amanat Pembukaan UUD 1945, lebih bisa dicapai. Buta huruf makin berkurang sampai ke desa karena interaksi sosial di dalam keluarga yang setiap hari bisa mengakses ilmu dan teknologi dari perpustakaan. Maka peluang kerjasama antara Perpustakaan Nasional dan provider internet makin terbuka dan saling menguntungkan. Terutama menguntungkan bangsa Indonesia karena dapat memperbanyak jumlah orang yang berilmu sehingga peluang temuan teknologi baru bisa bertambah signifikan per tahun.

Masyarakat berilmu dikuatkan pembentukannya oleh Perpustakaan Nasional melalui PBM sesuai dengan segmennya. Misalnya segmen untuk balita, TK, SD, SMP, SMA, SMK, santri, dan mahasiswa. Segmen yang banyak diakses adalah segmen anak balita, TK, dan SD. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),1 jumlah anak di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 90 juta orang atau 33% dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah ini bisa dimanfaatkan oleh play group, TK dan SD di seluruh Indonesia. Guru menjadi fasilitator atau pembimbing selama PBM. Guru bisa menirukan aksi atau peran yang ada di video yang diakses di situs Perpustakaan Nasional. Murid juga bisa membaca dan menyimak dari telepon seluler orang tuanya dan bisa dilaksanakan di rumah masing-masing. Kegiatan PBM bisa dimanfaatkan oleh orang tua yang melaksanakan home schooling. Orang tua yang memiliki waktu bisa melaksanakan pendidikan anak-anaknya dengan memanfaatkan perpustakaan maya. Untuk orang tua yang bekerja di kantor maka pendidikan anak-anaknya diperoleh di sekolah formal yang juga mengakses perpustakaan maya.

Untuk memperkaya khazanah ilmu dan teknologi, maka perpustakaan menyiapkan materi berupa tulisan dan video yang disesuaikan dengan kurikulum sekolah. Materi tulisan atau buku dan video disiapkan dengan melibatkan guru dan pakar pendidikan. Pembaruan materi dilakukan secara berkala dengan melihat perkembangan ilmu dan teknologi. Pustakawan menyiapkan dan menelusuri sumber-sumber ilmu dan teknologi terbaru kemudian memberikan kepada tenaga ahli yang mengelola situs untuk diunggah (uploaded) sehingga tersedia kebaruan dari waktu ke waktu secara rutin. Pustakawan juga berinteraksi dengan guru, ustadz, kyai, dosen, peneliti, dan aparatur pemerintah untuk menyiapkan materi ilmu dan teknologi yang diunggah di situs perpustakaan. Sumber-sumber ilmu ini terus ditambah dan diluaskan untuk memperkaya khazanah sumber daya perpustakaan.

Dengan demikian bisa dikatakan, wabah Covid-19 ini seperti blessing in disguise bagi perpustakaan. Ada hikmah bagi pengembangan perpustakaan untuk pendidikan, khususnya pembelajaran di semua tingkat sekolah dan perguruan tinggi. Maraknya belajar maya selama wabah Covid-19 menjadi inspirasi bagi dunia perpustakaan. Perpustakaan mampu meraih kembali kata-kata mutiara sebelum dekade 1990-an, yaitu perpustakaan adalah sumber ilmu. Buku adalah jendela dunia. Keliling dunia di dalam perpustakaan. Semua ilmu itu berada di dalam video, audio, dan file-file atau naskah ilmu dan teknologi. Sumber daya klasik yang dimiliki perpustakaan bisa dialihkan bentuknya menjadi digital. Sumber tradisional seperti buku, jurnal, manuskrip menjadi bagian dari kegiatan pustakawan untuk menyiapkannya ke dalam bentuk yang bisa dibaca, dilihat, diunduh di internet.

Tahap digitalisasi
Untuk mewujudkan ide tersebut maka tahap digitalisasi (digitalization)2 menjadi penting. Prioritas pertama diberikan kepada anak usia dini dengan produk digital berupa buku bergambar dan video tentang pendidikan akhlak, etika, budi pekerti. Perpustakaan menyediakan layanan yang mudah diakses oleh anak, guru, dan orang tua. Materi pembelajaran juga dilengkapi dengan tugas yang bisa diunggah secara interaktif. Sekolah formal, informal, dan nonformal bisa memanfaatkan materi tersebut. Juga dilengkapi dengan fasilitas mendongeng, bercerita, berkisah. Perpustakaan mampu membentuk karakter anak dengan memanfaatkan cerita-cerita klasik yang timbul di masyarakat. Cerita asli daerah dan suku-suku yang ada di Indonesia, disiapkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya. Pembentukan generasi masa depan bangsa Indonesia dimulai dari perpustakaan yang memiliki khazanah budaya asli semua suku bangsa, semua agama yang diakui oleh negara Republik Indonesia.


Untuk membiayai situs tersebut perpustakaan memperoleh pendapatan dari iklan yang ditayangkan, yaitu iklan yang berkaitan dengan pendidikan, pembelajaran yang diperkuat oleh peraturan pemerintah dalam izinnya. Pendapatan itu pun digunakan lagi untuk memperoleh sumber-sumber ilmu dari seluruh dunia agar materi yang dimiliki perpustakaan bisa bertambah sehingga tidak membosankan bagi anak-anak, murid, dan mahasiswa. Perpustakan akhirnya bisa menjadi agen perubahan ke arah yang lebih baik untuk generasi masa depan bangsa Indonesia. Pendidikan dilaksanakan dengan memanfaatkan perpustakaan maya yang ada di genggaman tangan murid dan mahasiswa.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar