Anak Lanang, Menoreh Mimpi Menggapai Langit
Buku ini adalah novel yang ditulis dari perjalanan karir seorang PNS (atau ASN). Penggalan kisah diceritakan mulai dari kelahirannya di Bandung, bersekolah, kuliah, lulus CPNS, menikah, hingga berpindah-pindah lokasi tugas baik di Pulau Jawa maupun di luar Jawa. Puncak karir Anak Lanang dikisahkan di bagian akhir novel ini, yaitu pada 29 April 2020 sebagai Wakil Kepala Utama. Anak Lanang dipilih oleh Kepala Utama sebagai wakilnya dan mendapatkan persetujuan dari Presiden RI. Sebagai orang nomor dua di institusi hukum tersebut, Anak Lanang bertugas mengelola manajerial institusi di seluruh Indonesia.
Anak Lanang lahir dari orang tua bernama Singgih dan Sugini di Kiaracondong Bandung pada 1 Desember 1961. Pak Singgih adalah seorang tentara berpangkat Letnan Satu pada waktu itu. Nasihat orang tuanya yang kuat menggores hatinya adalah agar dia menjadi orang yang berguna dan “memayungi” semua kakak perempuannya. Setelah tamat SMA, Anak Lanang ingin belajar Ilmu Hukum dan kuliah di Uninus. Setelah mencapai Sarjana Muda atau D3, Anak Lanang ikut tes pegawai negeri dan diterima sebagai CPNS di institusi hukum negara dan ditempatkan di Sumedang.
Berawal dari kota tahu itulah karir Anak Lanang terus berproses. Dia pernah menjadi ajudan Kepala Wilayah Kantor Jawa Barat, termasuk mencuci mobil, menjadi sopir, dan melaksanakan tugas sebagai aparatur hukum, pengantar surat dinas. Setelah periode ajudan inilah dia menjalani banyak pendidikan dan pelatihan di bidang hukum, khususnya intelijen, ilmu yang diminatinya. Dia pernah menjabat sebagai Kasubsi Intelijen di Kabupaten Indramayu. Sebagai intel tentu perlu banyak orang yang bisa memberikan informasi tentang situasi dan kondisi kehidupan masyarakat. Sejumlah teman, wartawan, dan masyarakat diajaknya main, makan, dan tinggal di rumah kontrakannya.
Kota berikutnya adalah Mataram, Nusa Tenggara Barat. Anak Lanang diposisikan sebagai Kasubsi Oharda pada 13 Agustus 1994. Pada periode inilah Anak Lanang ditinggal ibunya yang wafat di tanah suci ketika menunaikan ibadah haji. Lima tahun di Mataram, Anak Lanang lantas pindah tugas ke Kudus, Jawa Tengah. Di kota yang dikenal dengan Menara Kudus inilah Anak Lanang pernah ditugaskan memeriksa stafnya atas pelanggaran tugas. Dilema terjadi karena yang diperiksa adalah staf dari teman dekatnya. Tetapi dia laksanakan tugas pemeriksaan sebagai kewajiban profesional dan integritas institusi dengan tetap bersikap santun sebagai teman.
Periode selanjutnya adalah kantor di Cibadak Kabupaten Sukabumi. Semasa bertugas di Cibadak pernah terjadi amuk massa. Anak Lanang sempat menemui tokoh masyarakat yang sangat ditakuti di Cibadak. Keberhasilannya meredakan amuk massa ini kemudian mengantarkan Anak Lanang pada jabatan barunya, yaitu sebagai Kasi Penerangan Hukum dan Humas di Kantor Wilayah Utama Jawa Barat pada tahun 2001. Artinya, pulang ke rumah dan dekat dengan bapak dan saudaranya di Bandung. Tempat tinggalnya di Jalan Warung Jambu No. 34, Kiaracondong, dekat dengan rumah orang tuanya, Pak Singgih di Jalan PSM No. F43. Tupoksi tugas baru ini mengantarkan Anak Lanang bertemu dengan banyak awak media seperti wartawan koran, radio, dan televisi. Belajar ilmu komunikasi praktis lebih diintesifkan lagi.
Di Kantor Wilayah Jawa Barat ini pulalah jabatan sebagai Pengkaji Intelijen Jawa Barat dipikulnya. Berselang setahun, jabatan sebagai Kabag Anggaran di Biro Keuangan Kantor Pusat Jakarta diamanatkan kepadanya. Uniknya, pada saat yang sama Anak Lanang diberi tugas menjadi Kepala Kantor Sementara untuk kantor di Kabupaten Garut. Pimpinan kantornya di Jakarta sulit mendapatkan pengganti Anak Lanang untuk Bagian Anggaran pada waktu itu. Akhirnya pada September 2005 resmilah ia menjadi Kepala Kantor di Kabupaten Garut. Perpustakaan di kantor ini dibenahinya sehingga meraih predikat Pustaka Adhyaksa Utama.
Dari kabupaten yang terkenal dengan dodol, jeruk dan domba ini, Anak Lanang lantas menerima promosi menjadi Asisten Intelijen di Kalimantan Barat, di Kota Pontianak. Pada masa inilah Anak Lanang dan istrinya melaksanakan ibadah haji. Berbekal uang 400 riyal mereka menuju Mekkah. Sebelum naik pesawat, seorang petugas memberitahu bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya. Orang tersebut berasal dari Cibadak Sukabumi dan sebagai kyai di pesantren di sana. “Maaf Pak Lanang, ini surat aspirasi dari masyarakat desa,” ujar kyai. Isinya adalah uang 500 riyal.
Selama proses ibadah haji, Anak Lanang selalu teringat ibunya, yaitu Ibu Sugini (almarhumah) yang meninggal dalam ibadah haji. Dalam doanya, ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan makam ibunya. Tiga puluh menit kemudian dilihatnya sekumpulan burung berputar kemudian bertengger di atas batu di permakaman umum itu. Dia merasa puas karena hatinya berbisik bahwa itu pertanda dari Allah yang menunjukkan makam ibunya. Usai ibadah haji, Anak Lanang langsung bertugas di Pontianak. Dari Pontianak lantas pindah ke kantor di Jakarta Selatan. Begitu seterusnya, Anak Lanang menjalani hari-harinya di kantor pemerintah, berpindah dari satu posisi ke posisi lainnya, hingga meraih bintang satu sebagai Asisten Khusus Kepala Utama di Kantor Pusat Jakarta pada Agustus 2011.
Amanat selanjutnya adalah sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum di Kantor Pusat Jakarta. Ia menjadi juru bicara Kepala Utama, jabatan serupa sekian tahun sebelumnya di Kantor Wilayah Jawa Barat. Prinsipnya adalah “Kenali Hukum, Jauhi Hukuman” untuk diterapkan di semua daerah di Nusantara. Bergeser lagi dari Jakarta, Anak Lanang menuju Bumi Lancang Kuning sebagai Kepala Wilayah Utama di Provinsi Riau. Setelah 358 hari di Riau, ia kembali ke Jakarta sebagai Kepala Biro Umum. Tak lama berselang ia diberi amanat lagi, yaitu sebagai Kepala Wilayah Utama di Jawa Barat, ke Bandung lagi.
Anak Lanang juga pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan. Pada waktu ada kegiatan bebersih halaman kantor di Badiklat, Anak Lanang melihat ada batu besar yang tertimbun tanah. Dibantu staf lainnya, batu itu diangkat dan terlihat sebuah batu bertulis. Sebuah prasasti. Isi tulisan singkat itu adalah sebuah puisi karya H. Ismail Saleh, S.H. Prasasti itu diresmikan oleh Hari Suharto pada 21 Juli 1984.
Ada
burung yang berkicau
Ada
daun yang bersemi
Ada
bunga yang mekar
Ada
angin yang sudi menjamah
Pertanda
karunia Tuhan
Yang
wajib disyukuri
(H. Ismail Saleh, S.H)
Diresmikan
pada tanggal
21
Juli 1984 oleh
Hari Suharto
Oleh Anak Lanang prasasti tersebut lantas ditempatkan di halaman kantor dan ditambah dengan prasasti lain dengan tulisan spirit motivasi oleh H.M. Prasetyo.
Intan
dan berlian tidak dapat diciptakan,
Tetapi
ditemukan,
Yang
nilai dan kemilau keindahannya
Ditentukan
oleh
Dirinya
sendiri
(H.M. Prasetyo)
Puisi tersebut dapat dibaca di halaman 184-185 dengan judul Menemukan Harta Karun.
Upaya Anak Lanang membangun Badan Diklat Digital mulai menorehkan hasil. Pengembangan sistem digital, renovasi fisik kantor, dan publikasi sudah rampung. Penghargaan mulai diperoleh: Badiklat terbaik se-Indonesia, peringkat terbaik ketujuh sistem keuangan, eselon satu pertama yang meraih Zone Integritas WBK dan WBBM dari Kemenpan RB. Raihan predikat tersebut mendapat respons dan diikuti oleh permintaan studi banding dari kementerian lain. Juga dikunjungi oleh utusan dari tiga negara di Eropa dan dua negara di Asia. Utusan negara tersebut mendatangi Badiklat untuk belajar pola pendidikan dan pelatihan yang diterapkan di Badiklat.
Predikat raihan tersebut ditampilkan di monumen WBK dan WBBM dan diberi untaian kata oleh Anak Lanang.
“Di tempat ini terukir secarik catatan indah tentang kekuatan sebuah harapan untuk perubahan ketika ….
Perbedaan menyatu biru, segenggam tekad bergandeng tangan, menyatukan Langkah seberkas asa, menghilangkan ego-ego tak bertepi, mengandalkan keteladanan, menyandarkan konsistensi …
Keikhlasan adalah pusakanya, ketulusan adalah jiwanya, disiplin dan tertib itu obat, gerakan hati nurani itu semangat ….
Berbuat, bertindak untuk masa depan penuh impian, untuk institusi maju, untuk Indonesia jaya
(Setia Untung Arimuladi).
Berbagai tugas dan kejadian menyertainya selama bertugas di institusi hukum pemerintah. Spirit hidupnya dipaparkan di dalam novel berjudul Anak Lanang, Menoreh Mimpi, Menggapai Langit. Novel setebal 210 halaman yang ditulis oleh Gema Dalton ini diterbitkan oleh Beranda, imprint Intrans Publishing, Malang, Jatim memberikan inspirasi tentang perjuangan dalam melaksanakan amanat di setiap posisi dan jabatan. Suka dan duka menjadi bagian hidupnya selama berkarir dari ajudan dan sopir kepala kantor hingga menjadi Wakil Kepala Utama di Jakarta. Novel ini memberikan spirit dan inspirasi dalam bekerja yang penuh tanggung jawab dan menjalin komunikasi yang baik dengan atasan dan staf, juga masyarakat.
Pada bulan Desember 2021 Anak Lanang menyelesaikan tugasnya dalam usia 60 tahun. Usia yang masih potensial dan penuh pengalaman, matang dalam organisasi kenegaraan dan tentu saja ide, spirit, dan tenaganya masih bisa disumbangkan untuk masyarakat. Di ranah pendidikan, usia purnabakti adalah 65 tahun, khususnya Guru Besar atau profesor dan dapat diperpanjang lagi sampai 70 tahun. Ini lantaran ilmunya masih dibutuhkan dan perlu waktu yang lama untuk mencapai jabatan fungsional Guru Besar di universitas.
Tentu, medan tugas baru bisa saja nanti dilakoni oleh Anak Lanang usai purnabakti di pemerintahan. Sebab, pensiun bisa saja diartikan sebagai pindah dari satu tugas ke tugas lainnya atau hijrah tugas. Sekian. ***
------
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada Mas Untung. Pada waktu saya menikah, Mas Untung menjadi ketua pelaksana, dibantu oleh mbak-mbak di PSM F43. Tentu terima kasih tak terkira kepada almarhum Bapak HMI Singgih dan Ibu Hj. Sugini almarhumah yang memberikan kesempatan kepada saya dan istri untuk menempati rumah Mas Untung di Warung Jambu No. 34. Begitu pula, terima kasih kepada Mas Untung dan Mbak Detty yang merelakan rumah dan isinya digunakan oleh saya dan istri dan tiga anak saya. Hampir lima tahun saya tinggal dan menjadi alumni Warjam 34. Alhamdulillah, semoga Allah memberikan keberkahan yang berlipat ganda kepada Mas Untung dan keluarga. Aamiin. (Gede H. Cahyana).*