• L3
  • Email :
  • Search :

30 September 2012

Teknik Lingkungan dan Ilmu Lingkungan

Teknik Lingkungan dan Ilmu Lingkungan
Oleh Gede H. Cahyana

Oktober adalah bulan kelahiran Teknik Lingkungan di Indonesia kalau diacu pada embrio yang bernama Teknik Penyehatan (TP) di Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada masa itu, TP menjadi “bagian” dari Departemen Teknik Sipil.

ReadMore »

27 September 2012

Opsi Solusi Tawuran Pelajar


Oleh Gede H. Cahyana

Kunci solusinya hanya satu, yaitu disiplin. Terapan kedisiplinan guru dan siswanya pasti lembek kalau terjadi perkelahian antara siswa di dalam sekolah, juga antara siswa yang beda sekolah. Proses belajar mengajar pun dipastikan tidak menyenangkan,
ReadMore »

25 September 2012

Hutan Gunung Lawu Hangus


Hutan Gunung Lawu Hangus
Oleh Gede H. Cahyana


Hutan yang berada di puncak Gunung Lawu hangus terbakar mulai Senin malam, sekitar pukul 19.00 WIB. Namun di bagian yang masuk wilayah Ngawi, kebakaran itu terjadi sejak Minggu malam, pukul 20.00 yang dapat dilihat dengan jelas dari Paron,
ReadMore »

20 September 2012

Reposisi Pengetahuan ke Pendidikan Lingkungan

Oleh Gede H. Cahyana


Nyaris lima tahun lewat Muatan Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup (Mulok PLH) dilaksanakan di sekolah-sekolah di Kota Bandung. Tujuan pelajaran ini, seperti tertulis pada Peraturan Walikota No. 031/2007 tentang Muatan Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup, adalah mendukung upaya perbaikan kualitas lingkungan Kota Bandung agar menjadi tertib, bersih, dan indah. Materi pokok yang diharapkan diserap dan diterapkan oleh murid (juga gurunya) meliputi konsep dasar lingkungan hidup, K3 (Ketertiban, Kebersihan, Keindahan), P4LH (Pembibitan, Penanaman, Pemeliharaan, dan Pengawasan Lingkungan Hidup), dan penerapan Iptek dalam mengelola lingkungan hidup.





Bagaimana pelaksanaannya di sekolah-sekolah? Dari hasil survey penulis dan tanya jawab dengan guru dan murid dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan PLH ini belum mengenai sasaran. Sebab, tidak semua sekolah atau tidak semua satuan pendidikan memberlakukan muatan lokal ini. Ada sekolah yang sudah mengajarkan PLH tetapi hanya terbatas sebagai sisipan dalam pelajaran biologi, sekadar tambahan dan tidak menjadi pelajaran inti. Karena bentuknya sisipan maka tentu saja tidak mendapat perhatian yang mendalam dari siswa maupun gurunya.

Apalagi karena ada kata “lokal” maka murid dan juga guru-gurunya menganggap tidak penting atau dianaktirikan. Pelajaran “lokal” ini seperti ada tapi tiada, sekadar aksesoris. Bahkan jelas-jelas ditulis di dalam kurikulumnya sebagai pelajaran yang bersatu dengan biologi dan ditulis di dalam kurung. Tidak salah memang, sebab lingkungan ini demikian luas dan bisa dimasuki dari banyak sudut pelajaran seperti biologi, kimia, IPA, geografi, dll. Tetapi sayang, tidak ada guru khusus yang mengampu pelajaran ini yang memberikan pengenalan konsep-konsep dasar teknologi lingkungan. Masalahnya sederhana, yaitu guru tidak (belum) tahu ilmunya lantaran bukan lulusan Teknik Lingkungan.

Atas dasar fakta tersebut, mulok ini hanyalah ditempatkan sebagai pelajaran proforma dan tidak diseriusi. Oleh sebab itu, Pemkot Bandung diharapkan mereposisi lagi mulok ini agar menempati posisinya sesuai dengan harapan DPRD Kota Bandung dan Pemkot Bandung sebagai institusi yang merilisnya. Pemkot Bandung hendaklah memberikan ilmu, wawasan, dan pengalaman kepada guru dalam memandang lingkungan dari segi rekayasa (engineering) sekaligus mengubah stereotipe guru dan murid dalam memandang lingkungan. Konsepnya dapat diadopsi dari Trilogi Pendidikan, yaitu sains (science), teknologi (technology), dan lingkungan (environment).

Di sinilah peran Pemkot Bandung dalam memfasilitasi para gurunya sehingga dapat mengantarkan murid-muridnya memperoleh pengalaman positif yang mendukung pelestarian fungsi lingkungan. Guru diberikan training, seminar, atau bentuk lainnya tentang pelajaran PLH dari sudut rekayasa. Fokus materinya berupa masalah lingkungan seperti air minum, air bersih, air kotor, sampah, udara, kesehatan lingkungan, dll yang terangkum dalam akronim watsan atau water and sanitation tanpa melupakan cabang ilmu lingkungan (ekologi, “anak” dari pelajaran biologi).

Untuk implementasinya, Pemkot Bandung dapat memberikan Training Pendidikan Lingkungan Hidup (TPLH) dalam upaya mewujudkan Ecoschool di setiap sekolah di bawah Dinas Pendidikan Kota Bandung. Titik berat PLH ini harus pada sisi afektif - psikomotorik sehingga murid tak hanya memiliki ilmu tetapi juga mampu mengubah perilakunya. Murid harus melihat bagaimana proses pencemaran air dan apa dampaknya bagi kesehatan. Melihat sampah, yang ada dalam benaknya ialah sumber daya baru yang bahkan mampu menghasilkan uang. Air limbah pun dijadikan potensi pupuk buatan atau didaur ulang menjadi air minum lagi. Pendeknya, PLH harus mendekatkan guru dan muridnya kepada lingkungan dan menjadi bagian dari solusi, bukan penimbul masalah.

Sekali lagi, materi PLH ini harus dibatasi agar tidak meluas menjadi persoalan biologi (dan harus dipisahkan dari pelajaran biologi) sehingga mengaburkan masalah lingkungan yang erat dengan kehidupan sehari-hari. Ada satu kalimat kunci, yaitu: PLH haruslah praktis dan aplikatif. Pada saat yang sama, pendidikan lingkungan selayaknya diberikan juga di tingkat perguruan tinggi, ditetapkan dengan peraturan pemerintah atau menteri. Sebab, apalah artinya himbauan peduli lingkungan, cinta lingkungan, tanam sejuta pohon, taruh sampah di tempatnya, waspadai penyakit menular lewat air dan makanan kalau karakter yang dibentuk oleh pendidikan lingkungan terputus di tengah jalan?

Perguruan Tinggi
Itulah sebabnya, MK Pengetahuan Lingkungan yang diselenggarakan oleh ITB sejak tahun 1970-an sebaiknya diubah namanya menjadi MK Pendidikan Lingkungan. Tak perlu ditambahi kata “Hidup”. Pendidikan lebih dalam dan luas cakupannya dibandingkan dengan pengetahuan. Mendidik berbeda dengan sekadar tahu. Mendidik setara dengan long life education yang terdiri atas learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be (The International Bureau of Education, UNESCO, The International Comission on Education for the 21st Century). Maka, bertentangan secara diametral kalau perguruan tinggi hanya fokus pada ucapan dalam merefleksikan kepedulian mereka terhadap kehidupan di Bumi ini. Idem ditto dengan pemerintah yang sekadar retorika dalam hal peduli lingkungan.

Pemerintah, misalkan lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hendaklah menjadikan Pendidikan Lingkungan sebagai MK yang setingkat dengan Pancasila dan Kewarganegaraan. Bisa kita lihat, betapa rusak kelakuan mayoritas aparat pemerintah di berbagai kementerian, dinas, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Padahal mereka sudah diberikan pelajaran atau MK agama, etika, Pancasila, PPKn. Itu pun sudah dilaksanakan di berbagai strata sekolah. Apatah lagi kalau mereka tidak diberikan MK Pendidikan Lingkungan, syahdan sejak di SD, SMP, SMA, SMK, MA, atau pesantren. Ketika di perguruan tinggi pun mereka tidak memperoleh MK Pendidikan Lingkungan, minimal 2 SKS. Lantas, seperti menggantang asaplah asa konservasi lingkungan atau dengan bahasa yang melangit disebut oleh pejabat negara ini sebagai pembangunan berkelanjutan, berwawasan lingkungan. Bah…, apa pula ini? Nonsense!

Tak usah muluk-muluk, sekadar fakta, kemarin, yaitu Rabu, 19 September 2012, hanya dengan hujan “agak deras” sedikit saja dan sebentar temponya, lalu lintas di banyak ruas jalan di Kota Bandung macet total. Sampah yang menyumbat selokan dan sewerage PDAM Kota Bandung menjadi sebabnya sehingga airnya luber ke jalan. Padahal, seperti ditulis di atas, Kota Bandung adalah pelopor dalam Pendidikan Lingkungan Hidup di SD, SMP, SMA, SMK, MA. Bisa diduga, bagaimana kondisi kota dan kabupaten yang belum memberlakukan PLH (lebih tepat PL) di sekolah-sekolah. Lebih amburadul, tentu saja.

Sebagai akhir catatan, marilah kita mulai mendidik murid dan mahasiswa kita agar tahu (to know), mau mengamalkan (to do), sehat sosial (to live together), dan menjadi manusia saleh (to be) seperti harapan Pancasila dan UUD 1945. Mari kita eksiskan MK Pendidikan Lingkungan di semua program studi di perguruan tinggi kita, baik PTN, PTS, PT agama, PT kedinasan, dll. Tanpa peraturan dan keputusan dari pemerintah, niscaya upaya ini akan layu di tengah masa dan dilupakan. Lantas, untuk apa semua slogan cinta dan peduli lingkungan itu? *

Materi Trilogi Pendidikan dll klik ini

Trilogi Pendidikan

ReadMore »

18 September 2012

Bandung Makin Panas



Oleh Gede H. Cahyana

Masuk paruh kedua September 2012, Bandung sudah betul-betul kering. Siang hari, udara panas sekali. Langit menyapu biru dengan awan putih mengapas di sana-sini. Matahari terik menikam Bumi. Panas! Gemeente van Bandoeng yang dibentuk tahun 1906 ini pun disinyalir makin “cekung” dan “mendung”. Penyebabnya adalah untaian masalah pada agenda ekonomi, sosial dan lingkungan seperti eksploitasi air tanah, penyediaan air bersih, sistem koleksi dan pembuangan sampah, peningkatan polusi udara, zonasi industri dan pemukiman (kumuh), penyaluran air kotor dan drainase kota.

Kota yang dulu berjuluk Bunganya Kota-kota Pegunungan di Nusantara ini memiliki daerah padat dan kumuh (slum area) di antaranya Cicadas. Buruknya fasilitas sanitasi kota mojang Priangan ini diindikasikan oleh lingkup distribusi air minumnya yang masih rendah - sedang (kurang dari 60%). Padahal salah satu penentu status sebuah kota adalah tingkat layanan air minumnya. Begitu pun masalah sampah (seperti longsor TPA Leuwigajah dengan 150-an orang tewas), sistem koleksi dan tempat penampungan sementaranya tak terurus di sudut-sudut jalan.

Hal senada terjadi juga pada riol-riolnya yang dibangun oleh BUDP (Bandung Urban Development Project) pada era 1980-an. Tak optimal kerjanya. Peningkatan layanan penyaluran air limbah di sekitar pipa induk dan cabang belum luas. Dampaknya, banyak ruas pipanya tetap “kering” karena tak ada air limbah yang masuk tapi justru terisi dan tersumbat sampah. Celakanya lagi, riol itu telah berfungsi sebagai bioreaktor anaerob sehingga muncul bau busuk.

Makin Cekung
Dengan elevasi di atas 650 m dari muka laut, dikelilingi gunung dan curah hujannya tinggi, secara teoretis cekungan Bandung takkan punya masalah air minum. Artinya, kebutuhan domestik dan komersialnya tercukupi oleh air tanah dan air permukaan. Diduga, potensi air tanah cekungan Bandung sekitar 1.400 liter/detik. Namun, jika eksploitasi berlebihan atas air tanah itu terus berlangsung, ancaman krisis air makin serius dan di beberapa tempat terjadi ambles (land subsidence) sehingga tanah makin cekung.

Saat ini kapasitas pemompaan air tanahnya sangat kritis. Air hujan yang jatuh di gunung perlu puluhan tahun untuk mengisi cekungan Bandung, karena kecepatannya sangat kecil, kurang dari 2 m/tahun. Itu pun kalau air hujannya tak langsung melimpas ke sungai menuju laut. Jika daerah tangkapan dan resapannya sangat sedikit, selain ancaman banjir juga bisa terjadi penurunan paras air tanah. Ini sudah terjadi di beberapa daerah seperti Batujajar, Cimindi, Buahbatu, Ujung Berung, Soreang, Majalaya, dan lain-lain dengan variasi penurunan 0,5 - 12 meter per tahun.

Mengingat pencekungan paras air tanah itu, maka harus ada penatalaksanaan dan diversifikasi sumber air. Pada tahap perencanaan, asumsi yang diambil oleh konsultan air bersih untuk kebutuhan air bersih orang kota agar bisa hidup higienis adalah 150 - 200 liter/orang/hari. Adapun orang desa 60 liter/orang/hari yang disuplai dari hidran umum. Namun pembagian itu sifatnya tidaklah exactly karena proyeksi kebutuhan air sudah makin kompleks. Di Parisj van Java ini (ini julukan seabad lalu, sebab sekarang sudah tidak demikian lagi), lebih dari 60% kebutuhan air masyarakatnya diambil dari air tanah. Sisanya diladeni oleh PDAM. Mestinya angka tersebut secepatnya dibalik.

Layanan PDAM untuk domestik, komersial dan industri diperluas dan pada saat yang sama sumber air baku PDAM jangan lagi dari air tanah dalam! Orientasinya harus pada pemanfaatan air permukaan (sungai, waduk) karena akan menguntungkan dalam jangka panjang. Selain itu, teknologi pengolahan air permukaan yang dapat diadopsi untuk menanggulangi pencemar telah berkembang pesat. Sampai sekarang, air permukaan dianggap tak ekonomis untuk sumber air baku, terutama dari sudut kualitas. Namun tetap harus berpikir ke depan bahwa potensi terbesar air minum adalah dari air permukaan dengan aplikasi teknologi yang tepat. Jika hal tersebut tak diindahkan, Bandung akan betul-betul makin cekung yang dampaknya tentu pada struktur bangunan khususnya bangunan tinggi dan jalan raya (tol).

Makin “Mendung”
Relokasi dan zonasi industri harus diarahkan pada lokasi tertentu saja. Dengan kata yang strict, Bandung tak layak untuk kota industri tapi sebagai kota pendidikan dan pariwisata. Dulu memang ada ide pemerintah Belanda ingin menjadikan Bandung sebagai pusat gemeente menggantikan Jakarta (oleh Bandoeng Actie 1920, Harry Kunto). Namun, untung ide men-Jakarta-kan kota Kembang itu batal. Sebab, kalau jadi, betapa hancurnya kondisi kota pegunungan ini akibat berubah menjadi metropolis.

Sirkulasi udara di cekungan Bandung menjadi sulit karena pegunungan yang ada menghambat arus udara dari luar menuju Bandung dan sebaliknya. Inilah sisi negatif pegunungan di Bandung, selain bahaya letusan dan gas serta logam-logam berat yang dihasilkannya. Tingkat polusi udara di Bandung saat ini sudah mengkhawatirkan. Inilah yang membuat langit Bandung makin “mendung”, walaupun tak semendung saat letusan G. Galunggung tahun 1982/1983. Kadar partikulat jauh melebihi ambang batas 260 mikrogram/m3. Selain debu (partikulat), pencemar yang lain adalah gas CO, CO2, NOx, SOx, H2S dan hidrokarbon dari kendaraan bermotor, industri dan gunung. Dampaknya meliputi kesehatan manusia, pertanian, properti dan kehidupan air. 

Oh... Bandung
nestapa ekologis
membusa rangka ringkihmu
Usia rentamu 202
pada 25 September 2012 ini

Bandung,
Dikau melati di sisi sunyi
Semburat harummu
Tak jua membahana jiwa
Bergeming seribu basa

(Sebagai warga Bandung, aku tetap cinta kota ini. 
Selamat HUT ke-202 Kota Bandung, semoga tetap ramah).
ReadMore »

14 September 2012

Luruhlah Hujan


Luruhlah Hujan



Hujan itu
luruh juga.
Tetes mutiaranya
tampias di lensa mata


Hablur bayangannya
menyeka rekah luka.
Selimut selapisnya
kondisioner  pelembab.


Ricak-ricak kezarahannya
Mengoyak tanah, mengurat akar ilalang dan teki
Menyublim pohon
Menghijau telentang.


Water is the best of all things”, kata Pindar.


Panaan dalam keterpanaanku itu, kuakui, betul jua seuntai kalimat Pindar itu. Namun faktanya, meskipun terbaik, di Indonesia ini, air belum diutamakan, masih di baris belakang sehingga terkuaklah krisis air di mana-mana, diberitakan di media massa. 


(Mudah-mudahan puisi ini menjadi catatan akhir kemarau ketika kebanyakan sudut daerah di Indonesia sedang didukanestapai oleh kekeringan dan krisis air minum, air irigasi, dan kebanjiran air mata …, sementara itu, mata airnya kekeringan). *



ReadMore »

7 September 2012

Teknik Lingkungan ITB Ulang Tahun Ke-50

Teknik Lingkungan ITB Ulang Tahun Ke-50
Oleh Gede H. Cahyana

Sebulan dari sekarang akan ada perhelatan ulang tahun Teknik Lingkungan di Indonesia, khususnya diwakili oleh kelahiran Teknik Penyehatan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Kali ini ultahnya yang ke-50, karena “bayi” teknik ini lahir pada 10 Oktober 1962. Orang menamainya, ulang tahun emas. Waktu itu istilahnya Departemen Teknik Penyehatan. Pada 1984, departemen ini diubah menjadi Departemen Teknik Lingkungan. Tetapi, pada saat yang sama, istilah “jurusan” justru sering juga digunakan. Antara 1984 hingga 1990 kerapkali muncul sebutan “departemen TP”, departemen TL, juga jurusan TP atau TL. Kakak kelas saya, lebih sering menyebutnya departemen TP. Namun, saya dan teman-teman lebih suka dengan nama jurusan Teknik Lingkungan. Selain karena lebih luas bidang kajiannya, tak sekadar ke-TP-an, juga karena namanya familiar dan lumrah di masyarakat.








Namun sekarang, kondisi keilmuan dan pemahaman keteknikan sarjana Teknik Lingkungan di Indonesia dipertanyakan, terutama oleh kalangan di Kementerian Pekerjaan Umum atau Dinas PU di daerah. Pasalnya, penguasaan ilmu, kemampuan desain sarjana Teknik Lingkungan dianggap menurun dibandingkan dengan lulusan ketika namanya masih Teknik Penyehatan. Ini sebabnya, muncul wacana di kalangan alumni, juga asosiasinya, yaitu IATPI (Ikatan Alumni Teknik Penyehatan – Lingkungan Indonesia, berdiri 10 Oktober 1977 di Bandung) agar dimunculkan lagi jurusan Teknik Penyehatan atau Program Studi Teknik Penyehatan. Akankah ada dua prodi, yaitu Teknik Lingkungan dan Teknik Penyehatan atau sebutan lainnya yang disinyalir ialah Program Studi Teknik Infrastruktur Lingkungan di Indonesia?

Menimbang beragam rencana di atas, juga untuk mengisi ulang tahun emas TP/TL ITB (juga di Indonesia), layaklah diaktifkan lagi kegiatan semacam Lokakarya Jurusan Teknik Lingkungan Seluruh Indonesia yang pernah digelar di ITB pada 12 Juni 1996. Waktu itu saya mewakili Teknik Lingkungan Institut Teknologi Adityawarman (Univ. Kebangsaan). Sudah lewat enam belas tahun kegiatan itu berlangsung dan pasti ada hal baru yang mesti dibahas bersama. Apalagi peluang pengembangan bidang TP/TL ini meliputi belasan sektor, bahkan bisa mencapai 16 bidang yang melibatkan alumni TL secara langsung. Hal ini tentu terkait erat dengan pengayaan kurikulum prodi yang antisipatif menghadapi peluang dan tantangan kerja alias peluang pasar. “Pasar” tidak dicari tetapi diciptakan (disiapkan), begitu kata motivator bisnis. Juga, agar alumni TL tidak terkonsentrasi di bidang air minum saja, tetapi juga meluas ke sektor lainnya, termasuk meningkatkan strata pendidikannya: S1, S2 dan S3 dengan harapan, penambahan gelar akan menambah kuantitas ilmu dan kemampuannya.

Berikut dikutipkan paparan Prof. Dr. Bambang Hidayat (Astronomi ITB) ketika menjabat sebagai Sekretaris BAN dan hadir dalam lokakarya tersebut bahwa alumni S1 harus mampu menerapkan ilmu (bersifat inovatif), S2 harus mampu berkreasi (kreatif) dan S3 hendaklah arif dalam mendalamkan ilmunya dan wajib mampu menampilkan perubahan di bidang sainstek.

Selamat ulang tahun ke-50 Teknik Penyehatan – Teknik Lingkungan ITB, sekaligus sebagai ulang tahun emas profesi TP/TL di Indonesia, sebuah profesi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya seperti air minum, air limbah, persampahan, kesehatan lingkungan, AMDAL, plambing gedung, dan seterusnya. Good luck. *

Sejumlah dosen yang menjadi founder, co-founder dan pengembang sainstek ke-TP/TL-an di Indonesia dan sudah meninggal disebutkan di bawah ini. Selain Ir. K. R. T. Mertonegoro, semuanya adalah dosen yang langsung mengajar saya. Pak Mertonegoro “mengajar” saya lewat buku dan diktat yang ditulisnya yang tersedia di perpustakaan jurusan pada waktu itu. 

Ir. K. R. T. Mertonegoro
Prof. Dr. Ir. Soetiman, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Benny Chatib, M.Sc
Prof. Ir. H. M. Masduki HS
Prof. Dr. Ir. Kalimardin A, Dipl.S.E
Prof. Dr. Ir. Asis H. Djajadiningrat, Dipl.S.E, DEA
Prof. Ir. R. Harjoko, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Moestikahadi S, M.Sc, DEA
Prof. Dr. Ir. Munsyir Arfandi
ReadMore »

5 September 2012

Orbs adalah Hantu, Jin ataukah “nothing”?


Oleh Gede H. Cahyana

Orbs, menurut sejumlah sumber, berasal dari bahasa Latin orbis. Kata ini juga mengingatkan kita pada kata orbit, orbital elektron atau garis (lintas) edar planet atau satelit yang berbentuk lingkaran. Dalam tulisan ini, orbs dinisbatkan pada gambar objek yang berbentuk lingkaran di sebuah foto yang diambil dengan lampu flash (blitz). Pendapat pun beragam, ada yang menyatakan bahwa orbs adalah manifestasi “sesuatu” yang mengarah pada makhluk gaib (tak tampak oleh mata). Yang lain meyakini itu adalah energi (positif atau negatif) yang hadir pada saat pemotretan. Tentu ada lagi pendapat lain.

Foto terlampir adalah orbs yang terekam kamera, lokasinya di Gua Jepang, Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, di Bandung Utara. Foto pertama diambil tanpa lampu flash karena, entah kenapa, lampunya tidak menyala. Dalam hitungan kurang dari 10 detik, diambil lagi foto kedua dan lampu flash-nya menyala. Pada foto kedua, tampak lingkaran dengan beragam diameter, besar dan kecil, tersebar di seluruh area foto. Seorang teman yang melihat foto tersebut langsung berkomentar bahwa objek itu adalah “sesuatu”. Dia lalu bercerita tentang “Dunia Lain” dan berbagai hal yang berkaitan dengan jin dan objek yang tak tampak tetapi ada.

Alam, setahu saya, dikelompokkan menjadi dua, yaitu alam gaib (ghaib: tak tampak) dan alam tampak. Yang gaib adalah iblis, jin, malaikat, surga dan neraka.  Yang tahu kondisi alam gaib hanyalah Allah Swt, Tuhan yang Mahaesa. Sedangkan manusia, sekadar alam tampak pun tak semua diketahuinya. Alam di luar angkasa, nun jauh di sana, jutaan tahun perjalanan cahaya, di planet-planet tertentu, bahkan di dasar laut pun, tak semua diketahui oleh manusia. 

Dalam kehidupan ini, manusia dilarang minta tolong dan minta perlindungan kepada jin, syahdan dalam perkara kebaikan, karena jin akan menjadi congkak (sombong). Lantas, pertanyaannya, bagaimana dengan klaim bahwa ada yang mengerahkan pasukan jin untuk mengamankan suatu acara atau perhelatan di negeri ini?

Kembali ke foto tersebut, mestikah kita percaya bahwa objek orbs itu adalah “sesuatu” yang gaib? Kalau betul-betul gaib, logikanya, tentu tak kasat mata, tak dapat ditangkap kamera. Ataukah, makhluk gaib itu menampakkan dirinya dalam wujud (ujud) yang bisa “ditabrak” elektron berupa cahaya flash? Atau, mereka adalah hantu (ghost) seperti dalam film Ghost-nya Demi Moore? Atau, mereka adalah nothing? Wa Allahu ‘alam. ***
ReadMore »

2 September 2012

Ke Gontor, Apa Yang Kau Cari?

Ke Gontor, Apa Yang Kau Cari?

Libur lebaran yang lalu sempatlah saya berkunjung ke Gontor, sebuah pesantren yang gemanya sampai ke negeri manca. Murid atau santrinya ada yang dari Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, Saigon, Australia, Amerika Serikat, dan Saudi Arabia. Hingga tahun 2012 ada 13 pondok putra dan 7 pondok putri yang tersebar di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi dengan luas total 7.273.670 m2 atau 727,367 hektar. Jumlah guru dan santrinya 24.145 orang. (Sumber: Warta Dunia, Vol. 65, Sya’ban 1433). Di ranah pendidikan tinggi, Gontor mengelola kampus, yaitu Institut Studi Islam Darussalam (ISID) yang sedang berbenah menjadi Darussalam University.

Di Kabupaten Kediri ada Gontor 3 untuk putra, lokasinya di Desa Sumbercangkring, Kecamatan Gurah. Butuh waktu 25 menit, kurang lebih, perjalanan naik mobil dari stasiun Kediri. Menuju ke Gontor Putri (GP) 5 di Kandangan, waktu tempuhnya sekitar 70 menit, melewati Pare, kota kecil yang terkenal dengan bahasa Inggrisnya. Kampung Inggris, begitulah nama yang disematkan ke daerah yang cukup sejuk ini. Lokasi GP 5 sekitar 120 meter dari jalan raya yang merupakan jalur penghubung dan urat nadi ekonomi antara Kabupaten Kediri dan Kabupaten Malang.

Di Kabupaten Ngawi ada GP 1, GP 2, dan GP 3. Berlokasi di tepi jalan raya Solo – Surabaya, pondok putri ini mudah dijangkau oleh semua moda kendaraan. GP 1 dan GP 2 berada di Kecamatan Mantingan, berbatasan dengan Kabupaten Sragen. GP 3 terhampar di Kecamatan Widodaren, sekitar 250 meter dari jalan raya Solo - Surabaya, dikelilingi oleh sawah yang menghijau. Selain terminal bis Gendingan, ada satu stasiun kereta api, yaitu Walikukun di daerah ini, dengan jarak tempuh 10 menit dari pondok.

Di Kabupaten Ponorogo ada Gontor 1 dan Gontor 2. Di daerah yang terkenal dengan Reognya inilah cikal bakal Pondok Modern Darussalam Gontor.  Diprakarsai oleh K. H. Ahmad Sahal, K. H. Zainuddin Fananie, dan K. H. Imam Zarkasyi, Gontor diresmikan pada 20 September 1926 (12 Rabiul Awwal 1345). Tiga orang pendiri pondok ini dikenal dengan sebutan Trimurti, semuanya sudah meninggal (almarhum). Kini tampuk pimpinan pondok diemban oleh K. H. Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi, K. H. Hasan Abdullah Sahal, dan K. H. Syamsul Hadi Abdan, S.Ag.

Yang menarik, sebagai eye catcher, adalah kalimat tanya Ke Gontor, Apa Yang Kau Cari? Untaian kata ini terpampang di beberapa gedung di Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG), baik di pondok putra maupun putri. Juga terbaca sejumlah kata-kata mutiara sebagai motivator bagi guru dan santri dalam mengajar-belajar mulai pukul 04.00 s.d 22.00 setiap hari. Guru mengenakan jas dan/atau berdasi dan santri bercelana panjang dan kemeja. Ketika shalat saja mereka bersarung dan kopiah (peci).

Yang juga menarik, santri selalu antri dan lari. Mau mandi, antri. Mau makan, antri. Menuju kelas, menuju dapur, menuju masjid, mereka lari atau jalan rapi berduyun-duyun. Bersamaan dengan itu, kakak kelasnya bertepuk tangan memberikan aba-aba agar semangat dan cepat berkumpul di masjid atau kelas atau berbaris rapi dalam suatu kegiatan. 

Melihat itu semua, ternyata pesantren, khususnya Gontor, sangat dinamis dan enerjik dalam proses belajar – mengajarnya. Hanya saja, sampai sekarang saya belum tahu, apa jawaban yang tepat untuk pertanyaan: Ke Gontor, Apa Yang Kau Cari? Adakah pembaca yang tahu jawabannya? *


ReadMore »