• L3
  • Email :
  • Search :

19 April 2015

Konferensi Asia Afrika: Jangan ke Bandoeng Tanpa Istri

Konferensi Asia Afrika: Jangan ke Bandoeng Tanpa Istri
Oleh Gede H. Cahyana

Geliat peringatan Konferensi Asia Afrika sudah terasa sepekan terakhir ini. Bandung pun sudah bersolek sejak setahun yang lalu, khususnya di bilangan Jln. Asia-Afrika dan Gedung Merdeka. Tak kurang dari 32 orang kepala negara akan hadir dalam gawe besar Kota Bandung ini dan menjadi salah satu tonggak sejarah penting pada masa Walikota Ridwan Kamil. Solekan ini diharapkan mampu mendatangkan wisatawan mancanegara (wisman)  setelah peringatan KAA usai. Sebab, kedatangan wisman di Bandung ini sedikit sekali dibandingkan dengan wisdom (wisatawan domestik). Padahal dulu, pada paruh pertama abad ke-20, Bandung justru menjadi incaran orang-orang Eropa, China dan Arab. Komunitas mereka tersebar di sejumlah area di Bandung dan diabadikan dengan nama-nama kelurahan atau jalan. 

Patok waktu tahun 2015, tahun 1985, tahun 1955, tahun 1945, tahun 1935, dan tahun 1915 memberikan informasi tentang berbagai macam kejadian budaya, sosial, politik, dan pendidikan di Bandung. Setelah dikenal dengan ungkapan Parijs van Java, kota pegunungan ini pun dikenal dengan sebutan Europe in de Tropen. Eropa di Tropis, katanya. Bandung pun pernah menjadi Lautan Api pada masa revolusi fisik dan kini sering juga menjadi lautan air. Ada ungkapan, Bandung sebagai Parit (selokan) van Java. Dulu Haryoto Kunto (alm), seorang Kuncen Bandung, menyebutnya sebagai Venezia van Java. Namun plus minus sebuah kota ini tentu hal yang biasa dan menandakan aktivitas yang terus membesar dan meluas di seantero tatar Priangan.

Alam menjadi daya magnetis kuat di Bandung. Ada Lembang dan Tangkubanparahu di Utara, ada Kawah Putih di Selatan, ada bukit-bukit kapur di Barat dan persawahan di Timur. Juga hamparan perkebunan kina sejak zaman Jung Hun, permadani kebun teh, dan bangunan-bangunan Art Deco di setiap pelosok kota. Selain daya magnetis alam juga lantaran gaya bahasa dan tata tutur orang Bandung buhun (baheula, dahulu) yang lembut. Tentu berbeda dengan sekarang, terutama di sebagian kalangan generasi muda yang lebih akrab berbahasa “kebun binatang”. Magnetis lainnya adalah paras ayu gadis Priangan. Orang Belanda yang menjadi pemilik dan pekerja administratuur di perkebunan, faktanya, banyak yang menurunkan zuriat blasteran yang ganteng dan cantik. Sebelum ini pun, gadis Priangan sudah dikenal paras ayunya dan kelembutan tutur katanya. Itu sebabnya, pada tahun 1937, Majalah Mooi Bandoeng memuat tulisan berjudul “Don’t Come to Bandoeng if You Left a Wife at Home”. Jangan ke Bandung tanpa istri, begitulah kurang-lebih maknanya. Godaan itu demikian kuat dan nyaris tiada pria yang bisa lepas dari senyum dan tatapan mata mojang Priangan pada masa itu, khususnya Noniek-Noniek Indo-Belanda itu. Sekarang, entahlah, saya tidak mau komentar.

Ungkapan tersebut lantas dipopulerkan oleh Bandoeng Vooruit sehingga orang Eropa menamai Bandung sebagai Europe in de Tropen. Eropa di Tropis. Udaranya dingin, tetapi menjadi hangat pada siang hari dan berlangsung selama setahun. Ini tentu berbeda dengan Eropa yang mengalami musim dingin dan musim gugur, selain musim panas dan musim semi. Di Bandung nyaman selama-lamanya, pada awal abad ke-20 dulu. Sekarang, awal abad ke-21 ini tentu berbeda. Tapi, saya tak hendak komentar. No comment.  Mari bicara kondisi Bandung pada masa lalu saja. Seorang warga London, Inggris menulis di majalah Mooi Bandoeng pada Oktober 1937 dengan judul: Our Impressions of Bandoeng. “Bandoeng is specially in favoured in having close at hand and easy of access, many beauty spots of natural marvels rarely to met with anywhere else on the world within so small area.”

Kini, ungkapan Jangan ke Bandung Tanpa Istri tentu tetap berlaku, tetapi dengan konotasi berbeda. Seperti kota-kota besar lainnya, prostitusi seolah-olah tidak bisa diberantas, bahkan ada kepala daerah, gubernur dan bupati atau walikota yang justru membuatkan lokalisasi, menyediakan kamar dan penginapan yang dilengkapi dengan fasilitas ekonomi perdagangan. Juga lantaran zaman kiwari ini pendatang dari berbagai daerah menyesaki Bandung dengan "godaan" masing-masing. Namun, mari lupakan sejenak “bisnis lembut” ini dan fokus pada pelaksanaan KAA dengan cara ikut merayakan secara baik, aman dan tertib. Tertib di jalan, tertib sebagai penonton, tertib berkomentar di media sosial, mengambil yang positif dan meredam yang negatif apabila dapat merusak kekhidmatan peringatan KAA. 

Kelancaran peringatan KAA adalah prestasi warga Bandung yang dikenal memiliki daya magnet dan magis pada masa kolonial dulu dan menjadi tujuan wisata dan domisili kalangan bule Eropa. De Bloem der Indische Bergsteden (Bunganya kota pegunungan di Hindia Belanda)”. (Lihat juga: Asal-Usul Bandung Disebut Kota Kembang). 

Selamat merayakan peringatan Konferensi Asia Afrika. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar