Konferensi Asia
Afrika: Jangan ke Bandoeng Tanpa Istri
Oleh Gede H. Cahyana
Geliat peringatan Konferensi Asia Afrika sudah terasa
sepekan terakhir ini. Bandung pun sudah bersolek sejak setahun yang lalu,
khususnya di bilangan Jln. Asia-Afrika dan Gedung Merdeka. Tak kurang dari 32
orang kepala negara akan hadir dalam gawe
besar Kota Bandung ini dan menjadi salah satu tonggak sejarah penting pada masa
Walikota Ridwan Kamil. Solekan ini diharapkan mampu mendatangkan wisatawan
mancanegara (wisman) setelah peringatan KAA
usai. Sebab, kedatangan wisman di Bandung ini sedikit sekali dibandingkan dengan
wisdom (wisatawan domestik). Padahal dulu, pada paruh pertama abad ke-20,
Bandung justru menjadi incaran orang-orang Eropa, China dan Arab. Komunitas
mereka tersebar di sejumlah area di Bandung dan diabadikan dengan nama-nama
kelurahan atau jalan.
Patok waktu tahun 2015, tahun 1985, tahun 1955, tahun
1945, tahun 1935, dan tahun 1915 memberikan informasi tentang berbagai macam
kejadian budaya, sosial, politik, dan pendidikan di Bandung. Setelah dikenal
dengan ungkapan Parijs van Java, kota
pegunungan ini pun dikenal dengan sebutan Europe
in de Tropen. Eropa di Tropis, katanya. Bandung pun pernah menjadi Lautan
Api pada masa revolusi fisik dan kini sering juga menjadi lautan air. Ada
ungkapan, Bandung sebagai Parit (selokan) van Java. Dulu Haryoto Kunto (alm), seorang
Kuncen Bandung, menyebutnya sebagai Venezia van Java. Namun plus minus sebuah
kota ini tentu hal yang biasa dan menandakan aktivitas yang terus membesar dan
meluas di seantero tatar Priangan.
Alam menjadi daya magnetis kuat di Bandung. Ada Lembang
dan Tangkubanparahu di Utara, ada Kawah Putih di Selatan, ada bukit-bukit kapur
di Barat dan persawahan di Timur. Juga hamparan perkebunan kina sejak zaman
Jung Hun, permadani kebun teh, dan bangunan-bangunan Art Deco di setiap pelosok
kota. Selain daya magnetis alam juga lantaran gaya bahasa dan tata tutur orang
Bandung buhun (baheula, dahulu) yang lembut. Tentu berbeda dengan sekarang,
terutama di sebagian kalangan
generasi muda yang lebih akrab berbahasa “kebun binatang”. Magnetis lainnya
adalah paras ayu gadis Priangan. Orang Belanda yang menjadi pemilik dan pekerja
administratuur di perkebunan,
faktanya, banyak yang menurunkan zuriat blasteran yang ganteng dan cantik. Sebelum
ini pun, gadis Priangan sudah dikenal paras ayunya dan kelembutan tutur katanya.
Itu sebabnya, pada tahun 1937, Majalah Mooi
Bandoeng memuat tulisan berjudul “Don’t Come to Bandoeng if You Left a Wife at Home”.
Jangan ke Bandung tanpa istri, begitulah kurang-lebih maknanya. Godaan itu
demikian kuat dan nyaris tiada pria yang bisa lepas dari senyum dan tatapan
mata mojang Priangan pada masa itu, khususnya Noniek-Noniek Indo-Belanda itu. Sekarang,
entahlah, saya tidak mau komentar.
Ungkapan tersebut lantas dipopulerkan oleh Bandoeng
Vooruit sehingga orang Eropa menamai Bandung sebagai Europe in de Tropen. Eropa di Tropis. Udaranya dingin, tetapi
menjadi hangat pada siang hari dan berlangsung selama setahun. Ini tentu
berbeda dengan Eropa yang mengalami musim dingin dan musim gugur, selain musim panas
dan musim semi. Di Bandung nyaman selama-lamanya, pada awal abad ke-20 dulu.
Sekarang, awal abad ke-21 ini tentu berbeda. Tapi, saya tak hendak komentar. No comment. Mari bicara kondisi Bandung pada masa lalu
saja. Seorang warga London, Inggris menulis di majalah Mooi Bandoeng pada
Oktober 1937 dengan judul: Our
Impressions of Bandoeng. “Bandoeng is specially in favoured in having close
at hand and easy of access, many beauty spots of natural marvels rarely to met with anywhere else on the world within so small area.”
Kini, ungkapan Jangan ke Bandung Tanpa Istri tentu
tetap berlaku, tetapi dengan konotasi berbeda. Seperti kota-kota besar lainnya,
prostitusi seolah-olah tidak bisa diberantas, bahkan ada kepala daerah,
gubernur dan bupati atau walikota yang justru membuatkan lokalisasi,
menyediakan kamar dan penginapan yang dilengkapi dengan fasilitas ekonomi
perdagangan. Juga lantaran zaman kiwari ini pendatang dari berbagai daerah menyesaki Bandung dengan "godaan" masing-masing. Namun, mari lupakan sejenak “bisnis lembut” ini dan fokus pada
pelaksanaan KAA dengan cara ikut merayakan secara baik, aman dan tertib. Tertib
di jalan, tertib sebagai penonton, tertib berkomentar di media sosial,
mengambil yang positif dan meredam yang negatif apabila dapat merusak
kekhidmatan peringatan KAA.
Kelancaran peringatan KAA adalah prestasi warga Bandung yang dikenal memiliki daya magnet dan magis pada masa kolonial dulu dan menjadi tujuan wisata dan domisili kalangan bule Eropa. “De Bloem der Indische Bergsteden (Bunganya kota pegunungan di Hindia Belanda)”. (Lihat juga: Asal-Usul Bandung Disebut Kota Kembang).
Selamat merayakan peringatan Konferensi Asia Afrika. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar