Curang, Diponegoro Ditangkap
Oleh Gede H. Cahyana
Kejadian politik yang menjadi klasik dalam sejarah
Indonesia adalah Perseteruan Pangeran Diponegoro dengan De Kock. Betapa tidak,
panglima Kerajaan Belanda di Indonesia itu berbuat curang. Ucapan yang dia
sampaikan tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukannya terhadap Pangeran
Diponegoro. De Kock menipu dengan akal bulus. Mengatur taktik penangkapan
apabila skenario berlangsung alot dan merugikan Belanda.
Faktanya, Diponegoro ditangkap, diasingkan ke
Makasar hingga meninggal di sana. Curang memang bisa menang, apalagi kalau disusun
rapi dan melibatkan banyak lapisan pejabat dari tingkat terbawah hingga
teratas. Barisan licik yang rapi, terstruktur, dan terukur pasti mampu
mengalahkan barisan yang baik dan benar tetapi kurang dikoordinasikan dengan
tepat, tidak mendapat dukungan solid dari pendukungnya, didukung tetapi
setengah hati. Kerumunan, sebesar apapun wujud dan jumlahnya, pasti mudah
dikalahkan oleh kelompok jahat yang berbaris rapi dalam satu komando dan
memiliki spirit sama dalam perjuangannya, apapun landasan ideologi dan basis
politiknya, tidak masalah.
Sabda Nabi Muhammad,
ما من عبد يسترعيه الله رعية يموت يوم يموت وهو
غاش لرعيته إلا حرم الله عليه الجنة
Maknanya secara garis besar, Allah haramkan surga bagi pejabat yang curang. Artinya, curang dalam meraih jabatan dan curang juga dalam melaksanakan tupoksi jabatannya itu. Hakikat curang adalah bohong. Berbohong untuk menyembunyikan perilakunya yang menipu masyarakat. Bersekongkol dengan kalangannya untuk menipu lawan atau kompetitornya. De Kock sudah menerapkan pola ini saat melawan Diponegoro pada Perang Jawa. Dia frustrasi menghadapi keteguhan sikap Diponegoro dan bosan dengan perang berkepanjangan.
Begitupun orang yang mendukung tindakan pelaku
kecurangan. Orang yang memihak pelaku kecurangan menerima predikat yang sama
sebagai pecurang. Hakikatnya, jangankan banyak berbuat curang, sekali saja
sudah merupakan perbuatan cacat, jahat, dan laknat. Perbuatannya keji dan mungkar.
Ibaratnya seorang ilmuwan, sekali dia berbuat curang, misalnya dengan mengambil
tulisan (artikel) orang lain sebagai karya sendiri, maka sudah termasuk
perbuatan nista. Hukuman akademis sudah pasti diterimanya, selain boleh jadi
ada hukuman pidana apabila ada pihak yang dirugikan secara ekonomi dan moral.
Gelarnya pun, misalkan gelar kesarjanaan, atau jabatan fungsionalnya bisa
dibatalkan.
Curang sudah pasti merugikan orang yang
dicuranginya. Tidak sesuai dengan jiwa semua sila Pancasila. Curang melanggar
ajaran agama (sila kesatu). Merusak hubungan kemanusiaan, humanisme (sila
kedua). Mengganggu persatuan, karena menimbulkan perpecahan (sila ketiga). Sila
keempat apalagi, pemilihan umum yang memiliki banyak kecurangan akan cacat.
Tidak ada hikmat/ kebijaksanaan. Hikmat, hikmah, akal sehat, hukum, hakim yang
adil. Adil ini pun dilanggar, yaitu adil secara sosial untuk seluruh rakyat
Indonesia (sila kelima).
Sejarah mencatat, kecurangan memang bisa menang, mampu berkuasa, bahkan lama, seperti terjadi pada Fir’aun, Abu Jahal. Mereka represif kepada rakyatnya. Rakyat yang lemah, tidak bersenjata, tidak bisa melawan. Ini terjadi di berbagai negara. Syahdan dialami juga oleh kerajaan-kerajaan di nusantara, semisal Ken Arok dan intrik politik yang mengitarinya... *