Tepat dua tahun lalu, pada 26 Desember 2004, pagi-pagi setelah fajar menyingsing, Aceh Utara dan Barat dikejutkan oleh deru air laut. Bubungannya begitu tinggi dan tampak gelap-hitam disesaki kayu, bambu, seng, perahu, kapal, dan... mayat. Smong atau tsunami, itulah yang terjadi. Pada hari yang sama di kawasan lain di pesisir Asia Selatan dan Tenggara juga mengalami hal serupa. Bahkan sampai ke pantai Timur Afrika, menyisir bibir pantai Tanzania hingga Somalia (negara yang saat ini sedang perang saudara dan melibatkan Ethiopia). Akibat smong itu korban pun jatuh, ratusan ribu orang tewas. Terbanyak di Aceh.
Hari ini, Selasa, 26 Desember 2006, dua tahun pascatsunami itu, Aceh Utara dan Timur sedang dilanda banjir. Banjir sebanjir-banjirnya! Hutan di kawasan Leuseur telah menipis secara signifikan, dengan percepatan deforestasi yang kian tinggi. Akibatnya: "di mana-mana air melulu, sawah dan ladang menjadi satu", kata lirik sebuah lagu. Dua tahun lalu air asin menyusup jauh ke darat dan kini air tawar melimpas deras menuju pantai. Baru saja usai pilkada yang dimenangkan oleh mantan aktivis GAM, bencana itu datang lagi. Bencana dan kematian terus saja menghampiri manusia. Lalu, adakah sesuatu yang patut disombongkan oleh manusia di hadapan Sang Khalik?
Di sela-sela berita duka itu, ada juga berita gembira. Sebentar lagi, yaitu pada 31 Desember 2006 untuk wilayah Nusantara ini, Idul Adha menjelang, terjadi tepat pada hari terakhir tahun 2006 dan mendekati detik-detik awal tahun 2007. Putaran Bumi mengelilingi matahari (revolusi) dimulai lagi dari titik awalnya dan ... akan terus demikian hingga tiba Hari Akhir (Yaumil Akhir). Revolusi Bumi ini demikian penting bagi kaum muslim untuk menentukan waktu-waktu shalatnya. Jadi, tahun baru bagi kaum muslim tak hanya 1 Muharram, tetapi juga 1 Januari. Edar atau rotasi bulan terhadap Bumi (atau kalender Qamariah) dan revolusi Bumi atas Matahari (atau kalender Syamsyiah) diperlukan untuk penentuan waktu ibadah umat Islam. Keduanya bermanfaat dan maslahat bagi kaum muslimin.
Dengan lantunan bismillaahir rahmaanir rahiim, saya ucapkan selamat Hari Raya Idul Adha 1427 H dan Tahun Baru 2007. Sekaligus juga Tahun Baru Hijriah, 1 Muharram 1428 H pada 20 Januari 2007. Jadi, bulan Januari 2007 nanti, umat Islam disambangi oleh dua tahun baru. Dan dua tahun lagi, kedua jenis tahun baru tersebut akan berimpitan, minimal berdekatan. Semoga Allah merahmati dan memberkahi kita.
Untuk menyambut hari raya qurban tersebut, di bawah ini ada tulisan yang berkaitan dengan ibadah haji dan kematian. Ternyata kita kian dekat pada kematian, garis finish yang pasti dilalui, syahdan tidak ke Mekkah. Kematian dan bencana bisa datang kapan saja. Ketika tsunami dulu, banyak jamaah haji asal Aceh yang selamat karena berada di Arab, sekaligus sedih karena semua hartanya lenyap dan tak punya lagi sanak famili. Artinya, yang pergi haji dua tahun lalu selamat dari tsunami dan masih hidup sampai sekarang tetapi kini mereka memperoleh ujian lagi berupa banjir air tawar nan besar. Subhanallah... inilah sesi kehidupan yang penuh rahasia. Allahu ‘alam.
*****
Dulu, ketika di Bali, saya sering bertanya-tanya dan terheran-heran kenapa orang-orang berduyun-duyun pergi ke Mekkah. Ada yang naik kapal selama berbulan-bulan berlayar ke Arab Saudi dan berbulan-bulan pula waktunya untuk kembali ke Indonesia. Mereka tinggalkan sanak famili dan keluarganya dalam tempo lama dan tak sedikit yang pulang hanya namanya. Ada yang meninggal di Mekkah, di Madinah, di Jeddah, di kapal atau di perantauan di negeri seberang.
Kalau tak salah, pada tahun 1978 ada pesawat jamaah haji meledak di Colombo, Srilangka yang menewaskan semua penumpangnya. Pernah pula terjadi tragedi terowongan Mina dan ribuan insiden desak-injak ketika jumrah. Jika semua tragedi tersebut dicermati bisa dikatakan bahwa haji adalah ibadah berisiko tinggi tetapi sarat peminat. Antrian calon jamaah haji demikian panjang. Tahun ini tak kurang dari 2,5 juta orang yang menjadi tamu Allah. Itu pun lantaran diberlakukan kuota yang direlasikan dengan jumlah penduduk suatu negara. Andai tanpa kuota bisa dipastikan jumlahnya jauh lebih banyak lagi dan otomatis kian menyibukkan pemerintah Saudi dalam melayani tamunya.
Membaca sejumlah insiden kecelakaan itu membuat saya "pusing" dan tak habis pikir. Betul-betul tak masuk akal bagi saya, paling tidak sampai saya tamat SMA. Apa sebetulnya yang mereka cari? Datang dari jauh berkorban daya, dana, tenaga, raga, dan bahkan jiwa hanya untuk mengelilingi Ka’bah dan diam duduk-duduk saja di tengah terik mentari padang Arafah. Meskipun bertenda, sengatan mentari Arab betul-betul tiada tara. Sungguh aneh bagi saya, ada yang rela berpanas-panas terik begitu. Apalagi ada dogma atau minimal anggapan sebagian masyarakat yang tak masuk akal bagi saya dan sering tak sejajar dengan prinsip agama. Seringlah saya bertanya dan terus saja bertanya-tanya.
Betulkah orang yang berhasil berangkat haji akan mampu "naik" ke surga? Barangkali inilah sebabnya ibadah haji pada masa Orde Baru disebut "naik haji" dengan harapan setelah mendapat "titel" haji mereka berhak "naik" ke surga. Apa betul surga bisa "dibeli" dengan naik haji? Bagaimana kalau ongkos pergi hajinya berasal dari uang MKKN (manipulasi, korupsi, kolusi, nepotisme)? Bagaimana kalau berasal dari uang sinetron, film, majalah yang tak sesuai dengan ajaran Islam, berjualan narkoba, judi, minuman keras, dll? Sebab, tak sedikit orang-orang yang berkecimpung di bidang tersebut juga ibadah haji dan umroh. Pertanyaan ini terus saja mengejar saya karena tak jua terjawab. Berbagai-bagai ustadz pernah saya tanyai dan rata-rata jawabannya stereotipe, standar normatif dan nyaris tanpa argumen baru.
Betulkah surga bisa dibeli dengan "naik" haji? Saya bimbang. Saya ragu. Terlebih lagi kalau sumber uangnya berasal dari kegiatan yang bertentangan dengan aturan Islam. Suatu kali saya mendengar kisah tentang orang yang gagal berangkat haji padahal uang dan bekalnya telah cukup. Bertahun-tahun sedikit demi sedikit laba hasil jualannya di pasar dikumpulkan sampai cukup untuk ongkos berangkat haji. Ketika hendak berhaji (sayang sekali atau mungkin juga untung sekali) tetangganya jatuh sakit. Sakit parah yang perlu biaya banyak tetapi tak punya cukup uang untuk berobat. Melihat hal itu, orang yang hendak ibadah haji tadi memberikan uangnya untuk pengobatan. Nyaris habis uang ongkos pergi hajinya itu untuk berobat dan operasi. Lantaran tak punya lagi uang, gagallah dia pergi haji. Sedihnya lagi, tetangga yang ditolongnya itu tiga bulan kemudian pulang ke rahmatullah.
Bayangkan, dia kumpulkan uang sepeser demi sepeser selama bertahun-tahun untuk ibadah haji dan telah pula memberitahu tetangga dan keluarganya bahwa dia akan berangkat ke Mekkah, tapi batal lantaran ada tetangganya yang sakit keras dan butuh biaya untuk operasi. Meskipun berhasil dioperasi namun Allah berketentuan lain. Dia mewafatkannya setelah jutaan rupiah uang dikeluarkan. Siapa yang tak sedih? Terlebih lagi bisa diduga, tahun depan pun belum tentu dia bisa berangkat haji karena harus mengumpulkan rupiah demi rupiah lagi hasil dagangannya di pasar. Tahun itu dia gagal ibadah haji yang telah puluhan tahun diharap-harapnya. Kalau demikian, jika dibanding-bandingkan, siapa yang berhasil ibadah haji, apakah orang yang menginjak tanah Arafah ataukah orang yang menolong berobat tetangganya tetapi gagal berangkat?
Menurut riwayat, orang yang gagal ibadah haji itu secara de jure justru mendapatkan predikat haji. Dia telah menerapkan spirit dan pola hidup orang yang berhaji walaupun de facto dia tidak ke Mekkah. Apalagi tujuannya berhaji bukanlah untuk meraih titel haji melainkan semata-mata demi ibadah, melaksanakan kewajibannya sebagai muslim setelah rutin menunaikan rukun Islam lainnya. Dia telah syahadat dan rutin pula syahadat ketika shalat. Dia telah shaum Ramadhan sebagai kendali penyaluran uang laba dagangnya setelah dibayarkan zakatnya. Tak hanya zakat yang ditunaikan, sedekah dan sumbangan sosial pun dia tebarkan. Tiada pengemis yang datang ke rumahnya kecuali ada sejumput makanan yang dibagikannya. Itulah karakternya yang bermetamorfosis dari uang laba dagangnya, uang halal yang sen demi sen dikumpulkannya.
Pada kali lain saya juga melihat orang yang berhaji, bahkan berkali-kali ibadah haji tapi justru menjadi penyakit masyarakat. Dia bertitel haji tapi perilakunya tak paralel dengan spirit hajinya, bertentangan secara diametral. Dia tidak shalat dan tidak zakat. Hanya puasa Ramadhan yang dia kerjakan tapi itu pun tak tahu pasti apakah betul-betul saum atau pura-pura. Pernah juga saya dengar orang yang sering berhaji tetapi berlakon sebagai rentenir atau senang bergunjing dan menjelek-jelekkan saudaranya, tetangganya.
Kerapkali pula saya dengar lontaran kalimat dari ustadz bahwa banyak orang yang sepulang haji menjadi haji tomat: tobat sebentar, paling lama 40 hari, lalu kumat lagi. Ia lupa akan ikrarnya di depan baitullah dan tak ingat lagi spirit jumrah yang telah dilaksanakannya. Bertubi-tubi batu dilemparkannya demi melawan karakter setan tetapi justru setelah kembali ke tanah air, dia bersahabat lagi dengan perilaku setan. Banyak pula orang berhaji agar bisa mendapatkan proyek dan jabatan “basah” di kantornya atau agar dirinya kembali menjadi selebriti terkenal setelah redup dikalahkan pendatang baru dan kembali berpenampilan "panas", melupakan baju ihramnya selama berhaji.
Haji-hajjah demikian, yaitu hajinya orang-orang yang berbuat maksiat dan tidak melaksanakan rukun Islam lainnya terutama shalat dan saum Ramadhan akankah mampu membuka pintu surga lalu masuk ke dalamnya? Karena penasaran, saya buka-buka Qur’an dan saya baca ayat 41 surat al-Hajj yang terjemahnya kurang lebih seperti ini. Bahwa seharusnya orang-orang yang sudah diteguhkan kedudukannya di bumi harus mendirikan (bukan hanya melaksanakan) shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah perbuatan mungkar. (Perihal tafsirnya yang lengkap sudah ada di sejumlah kitab tafsir, baik karya ulama salaf, maupun yang kontemporer).
Jadi, paradoks nian apabila orang berhaji tetapi tidak shalat dan tidak zakat. Tambah ironis lagi jika mereka justru berbuat mungkar dan mencegah orang lain yang ingin berbuat baik atau sengaja menjerumuskan orang lain agar berbuat buruk seperti dirinya. Kalau ada anak buahnya yang rajin shalat, dia sengaja mencari siasat agar anak buahnya itu tak sempat shalat. Entah beban kerjanya diperberat dan disuruh ke sana-sini dan bahkan rapat pun sengaja digelar menjelang shalat Jumat. Harapannya, jika MKKN-nya terbongkar maka dia akan dapat menyeret semua orang ke dalam kasusnya dengan harapan kasusnya itu dipetieskan karena takkan tuntas disidik.
Lantas, manakah yang lebih layak naik ke surga, orang-orang yang gagal berhaji lantaran menolong tetangganya ataukah yang berhasil ke Mekkah? Satu pertanyaan lagi, seperti diungkap di atas, bagaimana kalau ongkosnya berasal dari aktivitas haram seperti MKKN atau berdagang dengan cara menipu dan tak jujur dalam menimbang? Apakah orang berhaji yang selalu menuliskan huruf H atau Hj di depan namanya lebih mulia ketimbang orang yang gagal berhaji sehingga tak punya huruf H atau Hj di depan namanya? Apalah arti sebuah huruf? Bagi perendah diri, dia sangat bergantung pada label dan titel untuk mendongkrak dirinya. Dia aktualkan dirinya di atas gelar dan merasa titel adalah kebutuhan teratasnya.
Pertanyaannya sekarang, maukah orang yang berhaji itu tidak memasang label H atau Hj di awal namanya dengan anggapan bahwa ibadah haji tak berbeda secara transenden dengan ibadah shalat dan puasa Ramadhan? Bedanya hanya dari sisi biaya dan makin murah jika jaraknya makin dekat ke Arab. Taruhlah biayanya 30 juta rupiah. Harga sekian itu setara dengan biaya kuliah plus biaya kos selama empat tahun untuk meraih gelar sarjana.
Adapun gelar haji/hajjah bisa diperoleh dalam waktu singkat, hanya beberapa hari. Kalau di dunia perguruan tinggi ada gelar palsu yang diraih secara instan, jangan-jangan banyak juga yang memperoleh gelar haji dan hajjah palsu. Andaikata ibadah itu dilandaskan pada gelar dan bangga menaruh gelar H atau Hj di depan namanya lantaran telah berhaji kenapa tidak meletakkan huruf S karena sudah shalat, huruf Z karena sudah zakat atau huruf PR karena telah puasa Ramadhan? Saya tidak tahu. Hanya Allahlah yang Mahatahu.
Haji dan Kematian
Sudah dimaklumi, haji identik dengan kebahagiaan sedangkan mati, bagi banyak orang, terkait dengan kesedihan. Orang yang beribadah haji sangat dekat dengan kematian, demikian kata orang. Itu sebabnya, sejak awal mereka sudah minta maaf atas kesalahannya, bahkan minta maaf kepada orang yang baru dikenalnya. Saya bertanya-tanya, betulkah demikian? Betulkah orang yang berhaji sangat dekat dengan malakul maut? (Konsekuensi logisnya, apakah orang yang tak pergi haji dan tinggal saja di negaranya akan jauh dari malakul maut?)
Akibat dogma kematian itu banyak orang kaya jadi takut pergi haji. Kalau dilihat hartanya, sudah bukan cukup lagi untuk biaya ke Mekkah tetapi bisa untuk membiayai puluhan orang dan mukim di sana selama dua bulan atau lebih. Sering saya dengar alasannya ialah hidayah. Katanya, mereka belum mendapat hidayah. Atau merasa belum siap, baik siap mental maupun siap ilmu. Juga ada yang merasa belum bagus dalam ibadah shalat sehingga merasa belum layak menginjak tanah Mekkah. Tapi ada juga karena takut menjadi saleh. Kenapa? Kalau menjadi saleh berarti segala perbuatan maksiatnya harus dihentikan. Mereka tak kuat menahan bujuk rayu teman-teman kerjanya dan merasa sudah kadung menjadi orang jahat. Merasa putus asa dari rahmat Allah dan ragu-ragu apakah Allah akan mengampuni dosa-dosanya.
Setahu saya, tak ada kaitan sama sekali orang yang berhaji lebih dekat dengan kematian daripada yang tidak berhaji. Tak ada kaitan sama sekali umur manusia dengan ibadah haji. Sebab, mati itu bisa menjemput kapan saja dan di mana saja. Malah waktunya sudah ditentukan ketika manusia baru saja lahir, bersama rizki dan jodohnya. Maka, dokter yang marah-marah kepada orang yang berhaji ketika sudah uzur atau pensiun, dapatlah disebut tidak simpatik dalam meladeni jamaahnya. Saya sedih mendengar dokter yang menjadi tim kesehatan jamaah haji berkata menakut-nakuti seperti itu. Bahkan ancaman kematian, kata dokter itu, makin tinggi di Mekkah dan kian tinggi lagi pada manusia usia lanjut (manula).
Betulkah kematian akan lebih senang menjemput manula? Kematian memang rahasia Allah dan tak seorang pun yang tahu. Jangankan meramal kematian orang, meramal kematian dirinya saja dia tidak tahu. Kalau ada yang merasa yakin bahwa seseorang akan mati pada hari, tanggal, bulan, tahun sampai detil ke jam, menit dan detiknya pastilah orang itu dusta. Jangankan yang detil, yang yakin dalam hitungan tahun saja, misalnya tahun sekian si Fulan akan mati, wajiblah tak mempercayainya. Tapi kalau hanya mengira-ngira kapan kematian berdasarkan kondisi kesehatan yang sangat parah tentu jangankan dokter, orang biasa di pihak keluarganya pun biasanya sudah siap akan kehilangan saudaranya.
Ada kisah nyata. Saya kenal seseorang yang divonis umurnya tinggal tiga bulan lagi ketika dirawat di sebuah rumah sakit di Bandung tapi masih hidup sampai sekarang. Padahal vonis itu dijatuhkan oleh dokter pada awal tahun 1990-an. Kini dia bekerja di sebuah toko buku di Bandung dan tampak menikmati hidupnya yang sederhana. Di pihak lain, ada juga orang yang merasa dirinya kuat, sehat-gagah dan merasa hidupnya masih lama lagi. Fisiknya kuat karena ikut bina-raga dan bulutangkis. Tapi yang terjadi, ketika dia naik mobil di jalan tol, sebuah truk yang tiba-tiba bannya pecah menjadi alat kematiannya. Tulang dan ototnya yang kuat tak jua mampu melindunginya, malah patah berdarah-darah.
Andaikata jamaah haji yang wafat di Mekkah, Madinah atau di tempat lainnya tidak berhaji apakah mereka tetap masih hidup? Ingatlah saya pada sebuah ayat tapi lupa ayat berapa dan di surat apa. Isinya menegaskan bahwa ke mana dan di mana saja kita sembunyi takkan mampu menghindari maut. Syahdan masuk ke peti besi atau ruang kedap apapun. Malah saya kira akan lebih cepat mati kalau masuk ke ruang sempit kedap udara tanpa kontak dengan alam. Sejak dulu dan sampai kapan pun manusia takkan mampu memahami fenomena kematian. Apakah ruhnya itu ke luar dari ubun-ubun, mata, ataukah dari kaki sambil tubuhnya meregang, melengkung sebentar lalu kaku tak bergerak? Saya beberapa kali melihat ayam meregang nyawa berkelojotan dan kakinya mencari-cari sandaran lalu diam tak bergerak. Seperti itukah?
Saya pribadi takut pada kematian. Saya takut kalau mati segera seperti halnya takut kalau anak-anak, istri, orangtua, saudara dan teman-teman baik saya dijemput maut. Saya belum siap untuk hal yang satu ini padahal sudah sering saya dengar dan saya baca bahwa kematian takkan mungkin bisa ditolak. Jangankan ditolak, ditangguhkan sedetik pun tak bisa. Artinya, rasa takut pun tiada guna. Tapi tetap saja saya takut. Takut mati boleh jadi lantaran iman saya masih lemah atau tak tahu akan ke mana setelah mati. Kalau pun tahu, yaitu surga atau neraka, justru yang ditakutkan adalah neraka. Tapi anehnya, tak kusiapkan amal sebaik-baiknya, sebenar-benarnya dan sebanyak-banyaknya. Aneh.... memang!
ReadMore »
Hari ini, Selasa, 26 Desember 2006, dua tahun pascatsunami itu, Aceh Utara dan Timur sedang dilanda banjir. Banjir sebanjir-banjirnya! Hutan di kawasan Leuseur telah menipis secara signifikan, dengan percepatan deforestasi yang kian tinggi. Akibatnya: "di mana-mana air melulu, sawah dan ladang menjadi satu", kata lirik sebuah lagu. Dua tahun lalu air asin menyusup jauh ke darat dan kini air tawar melimpas deras menuju pantai. Baru saja usai pilkada yang dimenangkan oleh mantan aktivis GAM, bencana itu datang lagi. Bencana dan kematian terus saja menghampiri manusia. Lalu, adakah sesuatu yang patut disombongkan oleh manusia di hadapan Sang Khalik?
Di sela-sela berita duka itu, ada juga berita gembira. Sebentar lagi, yaitu pada 31 Desember 2006 untuk wilayah Nusantara ini, Idul Adha menjelang, terjadi tepat pada hari terakhir tahun 2006 dan mendekati detik-detik awal tahun 2007. Putaran Bumi mengelilingi matahari (revolusi) dimulai lagi dari titik awalnya dan ... akan terus demikian hingga tiba Hari Akhir (Yaumil Akhir). Revolusi Bumi ini demikian penting bagi kaum muslim untuk menentukan waktu-waktu shalatnya. Jadi, tahun baru bagi kaum muslim tak hanya 1 Muharram, tetapi juga 1 Januari. Edar atau rotasi bulan terhadap Bumi (atau kalender Qamariah) dan revolusi Bumi atas Matahari (atau kalender Syamsyiah) diperlukan untuk penentuan waktu ibadah umat Islam. Keduanya bermanfaat dan maslahat bagi kaum muslimin.
Dengan lantunan bismillaahir rahmaanir rahiim, saya ucapkan selamat Hari Raya Idul Adha 1427 H dan Tahun Baru 2007. Sekaligus juga Tahun Baru Hijriah, 1 Muharram 1428 H pada 20 Januari 2007. Jadi, bulan Januari 2007 nanti, umat Islam disambangi oleh dua tahun baru. Dan dua tahun lagi, kedua jenis tahun baru tersebut akan berimpitan, minimal berdekatan. Semoga Allah merahmati dan memberkahi kita.
Untuk menyambut hari raya qurban tersebut, di bawah ini ada tulisan yang berkaitan dengan ibadah haji dan kematian. Ternyata kita kian dekat pada kematian, garis finish yang pasti dilalui, syahdan tidak ke Mekkah. Kematian dan bencana bisa datang kapan saja. Ketika tsunami dulu, banyak jamaah haji asal Aceh yang selamat karena berada di Arab, sekaligus sedih karena semua hartanya lenyap dan tak punya lagi sanak famili. Artinya, yang pergi haji dua tahun lalu selamat dari tsunami dan masih hidup sampai sekarang tetapi kini mereka memperoleh ujian lagi berupa banjir air tawar nan besar. Subhanallah... inilah sesi kehidupan yang penuh rahasia. Allahu ‘alam.
*****
Dulu, ketika di Bali, saya sering bertanya-tanya dan terheran-heran kenapa orang-orang berduyun-duyun pergi ke Mekkah. Ada yang naik kapal selama berbulan-bulan berlayar ke Arab Saudi dan berbulan-bulan pula waktunya untuk kembali ke Indonesia. Mereka tinggalkan sanak famili dan keluarganya dalam tempo lama dan tak sedikit yang pulang hanya namanya. Ada yang meninggal di Mekkah, di Madinah, di Jeddah, di kapal atau di perantauan di negeri seberang.
Kalau tak salah, pada tahun 1978 ada pesawat jamaah haji meledak di Colombo, Srilangka yang menewaskan semua penumpangnya. Pernah pula terjadi tragedi terowongan Mina dan ribuan insiden desak-injak ketika jumrah. Jika semua tragedi tersebut dicermati bisa dikatakan bahwa haji adalah ibadah berisiko tinggi tetapi sarat peminat. Antrian calon jamaah haji demikian panjang. Tahun ini tak kurang dari 2,5 juta orang yang menjadi tamu Allah. Itu pun lantaran diberlakukan kuota yang direlasikan dengan jumlah penduduk suatu negara. Andai tanpa kuota bisa dipastikan jumlahnya jauh lebih banyak lagi dan otomatis kian menyibukkan pemerintah Saudi dalam melayani tamunya.
Membaca sejumlah insiden kecelakaan itu membuat saya "pusing" dan tak habis pikir. Betul-betul tak masuk akal bagi saya, paling tidak sampai saya tamat SMA. Apa sebetulnya yang mereka cari? Datang dari jauh berkorban daya, dana, tenaga, raga, dan bahkan jiwa hanya untuk mengelilingi Ka’bah dan diam duduk-duduk saja di tengah terik mentari padang Arafah. Meskipun bertenda, sengatan mentari Arab betul-betul tiada tara. Sungguh aneh bagi saya, ada yang rela berpanas-panas terik begitu. Apalagi ada dogma atau minimal anggapan sebagian masyarakat yang tak masuk akal bagi saya dan sering tak sejajar dengan prinsip agama. Seringlah saya bertanya dan terus saja bertanya-tanya.
Betulkah orang yang berhasil berangkat haji akan mampu "naik" ke surga? Barangkali inilah sebabnya ibadah haji pada masa Orde Baru disebut "naik haji" dengan harapan setelah mendapat "titel" haji mereka berhak "naik" ke surga. Apa betul surga bisa "dibeli" dengan naik haji? Bagaimana kalau ongkos pergi hajinya berasal dari uang MKKN (manipulasi, korupsi, kolusi, nepotisme)? Bagaimana kalau berasal dari uang sinetron, film, majalah yang tak sesuai dengan ajaran Islam, berjualan narkoba, judi, minuman keras, dll? Sebab, tak sedikit orang-orang yang berkecimpung di bidang tersebut juga ibadah haji dan umroh. Pertanyaan ini terus saja mengejar saya karena tak jua terjawab. Berbagai-bagai ustadz pernah saya tanyai dan rata-rata jawabannya stereotipe, standar normatif dan nyaris tanpa argumen baru.
Betulkah surga bisa dibeli dengan "naik" haji? Saya bimbang. Saya ragu. Terlebih lagi kalau sumber uangnya berasal dari kegiatan yang bertentangan dengan aturan Islam. Suatu kali saya mendengar kisah tentang orang yang gagal berangkat haji padahal uang dan bekalnya telah cukup. Bertahun-tahun sedikit demi sedikit laba hasil jualannya di pasar dikumpulkan sampai cukup untuk ongkos berangkat haji. Ketika hendak berhaji (sayang sekali atau mungkin juga untung sekali) tetangganya jatuh sakit. Sakit parah yang perlu biaya banyak tetapi tak punya cukup uang untuk berobat. Melihat hal itu, orang yang hendak ibadah haji tadi memberikan uangnya untuk pengobatan. Nyaris habis uang ongkos pergi hajinya itu untuk berobat dan operasi. Lantaran tak punya lagi uang, gagallah dia pergi haji. Sedihnya lagi, tetangga yang ditolongnya itu tiga bulan kemudian pulang ke rahmatullah.
Bayangkan, dia kumpulkan uang sepeser demi sepeser selama bertahun-tahun untuk ibadah haji dan telah pula memberitahu tetangga dan keluarganya bahwa dia akan berangkat ke Mekkah, tapi batal lantaran ada tetangganya yang sakit keras dan butuh biaya untuk operasi. Meskipun berhasil dioperasi namun Allah berketentuan lain. Dia mewafatkannya setelah jutaan rupiah uang dikeluarkan. Siapa yang tak sedih? Terlebih lagi bisa diduga, tahun depan pun belum tentu dia bisa berangkat haji karena harus mengumpulkan rupiah demi rupiah lagi hasil dagangannya di pasar. Tahun itu dia gagal ibadah haji yang telah puluhan tahun diharap-harapnya. Kalau demikian, jika dibanding-bandingkan, siapa yang berhasil ibadah haji, apakah orang yang menginjak tanah Arafah ataukah orang yang menolong berobat tetangganya tetapi gagal berangkat?
Menurut riwayat, orang yang gagal ibadah haji itu secara de jure justru mendapatkan predikat haji. Dia telah menerapkan spirit dan pola hidup orang yang berhaji walaupun de facto dia tidak ke Mekkah. Apalagi tujuannya berhaji bukanlah untuk meraih titel haji melainkan semata-mata demi ibadah, melaksanakan kewajibannya sebagai muslim setelah rutin menunaikan rukun Islam lainnya. Dia telah syahadat dan rutin pula syahadat ketika shalat. Dia telah shaum Ramadhan sebagai kendali penyaluran uang laba dagangnya setelah dibayarkan zakatnya. Tak hanya zakat yang ditunaikan, sedekah dan sumbangan sosial pun dia tebarkan. Tiada pengemis yang datang ke rumahnya kecuali ada sejumput makanan yang dibagikannya. Itulah karakternya yang bermetamorfosis dari uang laba dagangnya, uang halal yang sen demi sen dikumpulkannya.
Pada kali lain saya juga melihat orang yang berhaji, bahkan berkali-kali ibadah haji tapi justru menjadi penyakit masyarakat. Dia bertitel haji tapi perilakunya tak paralel dengan spirit hajinya, bertentangan secara diametral. Dia tidak shalat dan tidak zakat. Hanya puasa Ramadhan yang dia kerjakan tapi itu pun tak tahu pasti apakah betul-betul saum atau pura-pura. Pernah juga saya dengar orang yang sering berhaji tetapi berlakon sebagai rentenir atau senang bergunjing dan menjelek-jelekkan saudaranya, tetangganya.
Kerapkali pula saya dengar lontaran kalimat dari ustadz bahwa banyak orang yang sepulang haji menjadi haji tomat: tobat sebentar, paling lama 40 hari, lalu kumat lagi. Ia lupa akan ikrarnya di depan baitullah dan tak ingat lagi spirit jumrah yang telah dilaksanakannya. Bertubi-tubi batu dilemparkannya demi melawan karakter setan tetapi justru setelah kembali ke tanah air, dia bersahabat lagi dengan perilaku setan. Banyak pula orang berhaji agar bisa mendapatkan proyek dan jabatan “basah” di kantornya atau agar dirinya kembali menjadi selebriti terkenal setelah redup dikalahkan pendatang baru dan kembali berpenampilan "panas", melupakan baju ihramnya selama berhaji.
Haji-hajjah demikian, yaitu hajinya orang-orang yang berbuat maksiat dan tidak melaksanakan rukun Islam lainnya terutama shalat dan saum Ramadhan akankah mampu membuka pintu surga lalu masuk ke dalamnya? Karena penasaran, saya buka-buka Qur’an dan saya baca ayat 41 surat al-Hajj yang terjemahnya kurang lebih seperti ini. Bahwa seharusnya orang-orang yang sudah diteguhkan kedudukannya di bumi harus mendirikan (bukan hanya melaksanakan) shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah perbuatan mungkar. (Perihal tafsirnya yang lengkap sudah ada di sejumlah kitab tafsir, baik karya ulama salaf, maupun yang kontemporer).
Jadi, paradoks nian apabila orang berhaji tetapi tidak shalat dan tidak zakat. Tambah ironis lagi jika mereka justru berbuat mungkar dan mencegah orang lain yang ingin berbuat baik atau sengaja menjerumuskan orang lain agar berbuat buruk seperti dirinya. Kalau ada anak buahnya yang rajin shalat, dia sengaja mencari siasat agar anak buahnya itu tak sempat shalat. Entah beban kerjanya diperberat dan disuruh ke sana-sini dan bahkan rapat pun sengaja digelar menjelang shalat Jumat. Harapannya, jika MKKN-nya terbongkar maka dia akan dapat menyeret semua orang ke dalam kasusnya dengan harapan kasusnya itu dipetieskan karena takkan tuntas disidik.
Lantas, manakah yang lebih layak naik ke surga, orang-orang yang gagal berhaji lantaran menolong tetangganya ataukah yang berhasil ke Mekkah? Satu pertanyaan lagi, seperti diungkap di atas, bagaimana kalau ongkosnya berasal dari aktivitas haram seperti MKKN atau berdagang dengan cara menipu dan tak jujur dalam menimbang? Apakah orang berhaji yang selalu menuliskan huruf H atau Hj di depan namanya lebih mulia ketimbang orang yang gagal berhaji sehingga tak punya huruf H atau Hj di depan namanya? Apalah arti sebuah huruf? Bagi perendah diri, dia sangat bergantung pada label dan titel untuk mendongkrak dirinya. Dia aktualkan dirinya di atas gelar dan merasa titel adalah kebutuhan teratasnya.
Pertanyaannya sekarang, maukah orang yang berhaji itu tidak memasang label H atau Hj di awal namanya dengan anggapan bahwa ibadah haji tak berbeda secara transenden dengan ibadah shalat dan puasa Ramadhan? Bedanya hanya dari sisi biaya dan makin murah jika jaraknya makin dekat ke Arab. Taruhlah biayanya 30 juta rupiah. Harga sekian itu setara dengan biaya kuliah plus biaya kos selama empat tahun untuk meraih gelar sarjana.
Adapun gelar haji/hajjah bisa diperoleh dalam waktu singkat, hanya beberapa hari. Kalau di dunia perguruan tinggi ada gelar palsu yang diraih secara instan, jangan-jangan banyak juga yang memperoleh gelar haji dan hajjah palsu. Andaikata ibadah itu dilandaskan pada gelar dan bangga menaruh gelar H atau Hj di depan namanya lantaran telah berhaji kenapa tidak meletakkan huruf S karena sudah shalat, huruf Z karena sudah zakat atau huruf PR karena telah puasa Ramadhan? Saya tidak tahu. Hanya Allahlah yang Mahatahu.
Haji dan Kematian
Sudah dimaklumi, haji identik dengan kebahagiaan sedangkan mati, bagi banyak orang, terkait dengan kesedihan. Orang yang beribadah haji sangat dekat dengan kematian, demikian kata orang. Itu sebabnya, sejak awal mereka sudah minta maaf atas kesalahannya, bahkan minta maaf kepada orang yang baru dikenalnya. Saya bertanya-tanya, betulkah demikian? Betulkah orang yang berhaji sangat dekat dengan malakul maut? (Konsekuensi logisnya, apakah orang yang tak pergi haji dan tinggal saja di negaranya akan jauh dari malakul maut?)
Akibat dogma kematian itu banyak orang kaya jadi takut pergi haji. Kalau dilihat hartanya, sudah bukan cukup lagi untuk biaya ke Mekkah tetapi bisa untuk membiayai puluhan orang dan mukim di sana selama dua bulan atau lebih. Sering saya dengar alasannya ialah hidayah. Katanya, mereka belum mendapat hidayah. Atau merasa belum siap, baik siap mental maupun siap ilmu. Juga ada yang merasa belum bagus dalam ibadah shalat sehingga merasa belum layak menginjak tanah Mekkah. Tapi ada juga karena takut menjadi saleh. Kenapa? Kalau menjadi saleh berarti segala perbuatan maksiatnya harus dihentikan. Mereka tak kuat menahan bujuk rayu teman-teman kerjanya dan merasa sudah kadung menjadi orang jahat. Merasa putus asa dari rahmat Allah dan ragu-ragu apakah Allah akan mengampuni dosa-dosanya.
Setahu saya, tak ada kaitan sama sekali orang yang berhaji lebih dekat dengan kematian daripada yang tidak berhaji. Tak ada kaitan sama sekali umur manusia dengan ibadah haji. Sebab, mati itu bisa menjemput kapan saja dan di mana saja. Malah waktunya sudah ditentukan ketika manusia baru saja lahir, bersama rizki dan jodohnya. Maka, dokter yang marah-marah kepada orang yang berhaji ketika sudah uzur atau pensiun, dapatlah disebut tidak simpatik dalam meladeni jamaahnya. Saya sedih mendengar dokter yang menjadi tim kesehatan jamaah haji berkata menakut-nakuti seperti itu. Bahkan ancaman kematian, kata dokter itu, makin tinggi di Mekkah dan kian tinggi lagi pada manusia usia lanjut (manula).
Betulkah kematian akan lebih senang menjemput manula? Kematian memang rahasia Allah dan tak seorang pun yang tahu. Jangankan meramal kematian orang, meramal kematian dirinya saja dia tidak tahu. Kalau ada yang merasa yakin bahwa seseorang akan mati pada hari, tanggal, bulan, tahun sampai detil ke jam, menit dan detiknya pastilah orang itu dusta. Jangankan yang detil, yang yakin dalam hitungan tahun saja, misalnya tahun sekian si Fulan akan mati, wajiblah tak mempercayainya. Tapi kalau hanya mengira-ngira kapan kematian berdasarkan kondisi kesehatan yang sangat parah tentu jangankan dokter, orang biasa di pihak keluarganya pun biasanya sudah siap akan kehilangan saudaranya.
Ada kisah nyata. Saya kenal seseorang yang divonis umurnya tinggal tiga bulan lagi ketika dirawat di sebuah rumah sakit di Bandung tapi masih hidup sampai sekarang. Padahal vonis itu dijatuhkan oleh dokter pada awal tahun 1990-an. Kini dia bekerja di sebuah toko buku di Bandung dan tampak menikmati hidupnya yang sederhana. Di pihak lain, ada juga orang yang merasa dirinya kuat, sehat-gagah dan merasa hidupnya masih lama lagi. Fisiknya kuat karena ikut bina-raga dan bulutangkis. Tapi yang terjadi, ketika dia naik mobil di jalan tol, sebuah truk yang tiba-tiba bannya pecah menjadi alat kematiannya. Tulang dan ototnya yang kuat tak jua mampu melindunginya, malah patah berdarah-darah.
Andaikata jamaah haji yang wafat di Mekkah, Madinah atau di tempat lainnya tidak berhaji apakah mereka tetap masih hidup? Ingatlah saya pada sebuah ayat tapi lupa ayat berapa dan di surat apa. Isinya menegaskan bahwa ke mana dan di mana saja kita sembunyi takkan mampu menghindari maut. Syahdan masuk ke peti besi atau ruang kedap apapun. Malah saya kira akan lebih cepat mati kalau masuk ke ruang sempit kedap udara tanpa kontak dengan alam. Sejak dulu dan sampai kapan pun manusia takkan mampu memahami fenomena kematian. Apakah ruhnya itu ke luar dari ubun-ubun, mata, ataukah dari kaki sambil tubuhnya meregang, melengkung sebentar lalu kaku tak bergerak? Saya beberapa kali melihat ayam meregang nyawa berkelojotan dan kakinya mencari-cari sandaran lalu diam tak bergerak. Seperti itukah?
Saya pribadi takut pada kematian. Saya takut kalau mati segera seperti halnya takut kalau anak-anak, istri, orangtua, saudara dan teman-teman baik saya dijemput maut. Saya belum siap untuk hal yang satu ini padahal sudah sering saya dengar dan saya baca bahwa kematian takkan mungkin bisa ditolak. Jangankan ditolak, ditangguhkan sedetik pun tak bisa. Artinya, rasa takut pun tiada guna. Tapi tetap saja saya takut. Takut mati boleh jadi lantaran iman saya masih lemah atau tak tahu akan ke mana setelah mati. Kalau pun tahu, yaitu surga atau neraka, justru yang ditakutkan adalah neraka. Tapi anehnya, tak kusiapkan amal sebaik-baiknya, sebenar-benarnya dan sebanyak-banyaknya. Aneh.... memang!