Memimpikan Alun-alun Ramah Lingkungan
Oleh Gede H. Cahyana
Hampir 17 tahun
usia artikel ini, dikirim ke koran Galamedia (GM). Alun-alun Bandung, dengan
wajah barunya, akan diresmikan oleh Walikota Ridwan Kamil pada 31 Desember 2014.
Mimpi 17 tahun lalu ini, mudah-mudahan saja betul-betul terwujud pada tahun 2015.
------------------------------------------------------
Rencana Pemda Kodya Bandung menutup Jl. Dewi Sartika - segmen di
depan Masjid Agung - seperti diliput oleh “GM (20/3) dan tajuk rencananya
(21/3) yang lalu, mendapat tanggapan pro dan kontra dari banyak kalangan. Yang
kontra beralasan akan ada penurunan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan ancaman
PHK bagi dua puluhan orang tukang parkir di kawasan tersebut. Gema protes keras
itu, menimbulkan penafsiran negatif di kalangan masyarakat. Ada apa gerangan?
Untuk perparkiran, “GM” menulis ada Rp 40 juta uang retribusi parkir raib per
harinya. Atau sekitar Rp 14,4 miliar per tahun! Sebagai perbandingan, target
pendapatan pada tahun anggaran 1998/1999 hanyalah Rp 4,2 miliar.
Berseberangan secara diametral, kelompok warga yang setuju
pun tidak kalah banyaknya. Jumlah saran, usulan dan masukan via surat pembaca
di media massa sudah tak terhitung. Mereka adalah kalangan yang kehilangan
nuansa tumakninah sebagai warga Bandung yang pernah dibelai lembut oleh Bandung
Tempo Doeloe! Sudah gerah melihat dekadensi moral yang mewujud di
sekitar masjid itu. Dengan serius mereka menghujat kesemrawutan, kebisingan,
kenyamanan dan keamanan di sekitar Alun-alun. Merekalah pencinta Bandung dengan
motto Berhiber. Keinginannya kuat untuk meraih kembali Parijs van Java, Kota Kembang yang hilang.
Namun pada sudut yang lain, kalangan netral tanpa vested interest, mengkhawatirkan
terjadinya penumpukan kendaraan di ruas jalan yang lain, khususnya pada pagi
dan sore hari. “Pengalihan jalur,” katanya, “hanya memindahkan kemacetan!”
Penambahan jalan, apalagi dengan area parkir, dianggap sudah tidak mungkin
lagi. Kawasan hutan beton itu, memang tidak memiliki celah untuk ditata ulang.
Artinya, kemacetan di jantung kota Bandung itu menjadi suatu keharusan. Jika
dipaksakan maka social cost-nya akan
sangat tinggi. Bayangkanlah, mega aktivitas padat di noktah sejarah (historical spot, Kunto 1984) mulai dari
kegiatan di Masjid Agung, sekolah, perkantoran, hotel, trayek angkot, sentra
bisnis dan hiburan di dalam radius 500 m. Terlebih lagi dekat stasiun, terminal
Kebon Kalapa, Kantor Pos Besar dan dilewati oleh jalur bis kota. Itu semua
menambah sareukseuk kawasan yang
luasnya tidak lebih besar daripada lapangan sepak bola tersebut.
Sebenarnya keinginan menata kawasan Alun-alun sudah menjadi
lagu lama. Haryoto Kunto (alm) telah mengkompilasi metamorfosis Alun-alun.
“Sudah tiga kali ubah muka,” tulisnya. Hingga sekarang, mungkin telah lima kali
wajah pusat budaya (baheula) itu
“dioperasi”. Namun pada era reformasi ini, ketika semua orang bebas bicara,
tuntutan itu menguat. Ulama dan kaum terdidik apik (akademisi dan pelajar)
sering menggelar mimbar bebas di Alun-alun, yang “doeloe” menjadi arena budaya. Tuntutannya sama dan sebangun dengan
pembubaran dan restrukturisasi daerah kelabu Saritem, yang akan dijadikan pesantren. Sejauh ini, gemanya memang
masih terdengar sayup-sayup.
Namun demikian, aspek yang mengemuka sejauh ini adalah sisi
sosioekonomi dan budaya saja. Sedikit - untuk tak menyebut tidak ada - kalangan
yang meninjau aspek sosio ekologinya. Padahal aspek ini berpengaruh luas
terhadap kondisi sosial, budaya dan ekonomi. Yang paling kentara di dalam
masalah ekologi adalah kondisi vegetasi sebagai paru-paru kota, parameter utama
kota bernuansa gunung. Ajakan di dalam motto Berhiber itu pun erat kaitannya
dengan kawasan hijau.
Tidak Ramah lingkungan?
Alun-alun sudah tidak ramah lagi! Secara sosial budaya,
dengan kasat mata dapat diyakini bahwa daerah tersebut menjadi ajang perjudian.
Ada pula warga yang meniru mentah-mentah budaya “barat”. Westernisasi itu merasuk ke mode pakaian hingga ke cara bergaul.
Tanpa rasa sungkan, para remaja - mulai dari pelajar hingga warga awam lainnya,
berpesta moral di sana. Tidak sekedar berpegangan tangan. Kini telah jamak
dilihat, pasangan nir-nikah itu, berpelukan dengan intimnya. Puncaknya akan
terjadi menjelang tengah malam. Terutama pada Sabtu malam, malam tahun baru
atau Hari Valentine. Semua kalangan,
seolah-olah tumpah ruah di sana. Sangat biasa, jika petugas kebersihan
menjumput CD (celana dalam), kondom dan bungkus pil KB, setiap hari!
Penganut “baratisme” yang sebagian besar adalah pemuda/di,
mengalami sindrome familiar strangers.
Mereka tidak saling kenal kecuali dengan konco-konconya,
bergaya hidup AWOL (American Way of Life).
Padahal, Dewi Sartika - yang dikenang dengan nama jalan di Alun-alun itu -
sangat perhatian pada kemajuan wanita. “Sakola Istri” yang akhirnya diubah
menjadi “Sakola Kautamaan Istri” adalah hasil obsesinya untuk memberdayakan
wanita. Namun kini, hiburan dan lipuran di Alun-alun seperti bioskop dan amusement jika tidak selektif akan
menunjang lost generation. Hal yang
dihindari oleh Dewi Sartika. Dan di sana, dengan interaksi yang pekat di antara
pengunjung namun miskin komunikasi, akan suburlah sikap kamu adalah kamu dan
aku adalah aku.
Dari sisi sosial ekonomi, alun-alun - seperti halnya BIP -
menjadi pusat jor-joran kapitalisme.
Akibatnya, lokasi mejeng itu sering
menjadi ajang penodongan. Pencopetan sudah menjadi keseharian. Kesenjangan
ekonomi, dianggap pencetusnya. Namun, di sela-sela gemerlap kemewahan, tak
terhitung jumlah pengemis (anak-anak) dan kalangan yang terpinggirkan secara
sosial, ekonomi dan pendidikan. Mereka tak terimbas oleh perputaran miliaran
rupiah kapital di sentra bisnis tersebut. Area Pendopo Kabupaten tengah
mengalami krisis (urban crisis).
Kawasan yang menjadi salah satu land mark
Bandung itu, awal dekade 80-an ketika serbuan supermarket belum gencar adalah
tujuan pelesir kaum muda. Selain berada di jantung kota, mudah dijangkau oleh
angkot juga karena dekat masjid untuk shalat.
Namun, seperti disebutkan di atas, kondisi sosioekologinya
sangat memprihatinkan. Entah berapa belas ribu kendaraan yang lalu lalang dan
parkir per harinya. Selain bising dan mengurangi kenyamanan ibadah di Masjid
Agung, limbah gasnya banyak mengandung CO (karbon monoksida), gas yang tidak
berwarna, tidak berbau, tidak berasa dan sedikit larut di dalam air. Gas hasil
dari pembakaran tidak sempurna mesin itu, sangat berbahaya. Metabolisme aerobik
manusia dapat rusak karenanya. Ini diakibatkan oleh daya ikat (afinitas) CO
terhadap hemoglobin (Hb) sangat
besar. Dan, sekitar 48% pencemar udara di perkotaan berasal dari gas CO.
Selanjutnya diikuti oleh gas SO2 (15 %), NOx (15%) dan Hidrokarbon (16%). Pada
kondisi itu, kontributor utama CO adalah sektor transportasi, antara 70% hingga
85%.
Selain gas CO, ancaman serius juga datang dari keracunan
kronis akibat timbal atau timah hitam (lead)
yang berasal dari TEL (tetra etil lead).
Keropos tulang adalah dampak akumulasi (penimbunan) timbal di dalam tulang
akibat pertukaran dan reposisi ion kalsium. Keracunan sistemik pun dapat
diderita oleh seluruh tubuh (hati dan pankreas). Bising itu, seperti disinggung
di atas, dapat mengganggu kenyamanan dan konsentrasi kerja, mengganggu
komunikasi, merusak pendengaran baik temporer maupun permanen.
Mencari solusi
Mencermati fenomena di atas maka sangat dituntut sikap
lapang dada semua pihak. Tujuannya adalah mencari solusi dari opsi yang ada.
Dan memang tidak akan ada satu pilihan (option)
pun yang memuaskan semua pihak. Jadi harus ada pembagian rasa puas (sharing). Terutama mereka yang selama
ini menangguk untung dari kondisi sekarang. Relakah dicap sebagai penopang
“status quo”? Meskipun demikian, pihak yang “tergusur”, harus tetap diindahkan.
Khususnya kalangan marginal, para PKL termasuk petugas parkir. Terlebih,
menurut “GM”, ada 236 lokasi parkir di Kodya Bandung yang dapat dijadikan
tempat “mutasi” yang bersangkutan.
Selanjutnya, taman Alun-alun itu bisa dikembangkan menjadi
bentang hijau (green area) yang lebih
baik lagi. Belum terlambat. Masih ada sedikit waktu. Membongkar kolam dan pot
tanpa bunga dan menanaminya dengan pohon (bukan perdu) seperti di THR Djuanda
adalah salah satu way out-nya.
Pedestrian paving block (semoga di
bawahnya memang tanah, bukan semen apalagi aspal) akan mendukung resapan air.
Diharapkan hal ini mampu merestorasi wajah kelamnya dan mengukirnya menjadi
paru-paru kota.
Untuk area parkir memang pelik. Sebagai opsi, dapat
dipindahkan ke tempat yang lebih jauh dari Alun-alun, seperti kawasan
Cikapundung dan Kebon Kalapa. Warga yang ingin ke Alun-alun dapat berjalan kaki
atau disediakan angkutan ramah lingkungan. Misalnya kawasan bersepeda (akan memunculkan
rental sepeda) atau trem listrik untuk masa depan. Tujuannya untuk mengurangi
dampak negatif gas CO dan pajanan timbal. Karena selain pengunjung, keracunan
juga mengancam para sopir angkot, penumpang, pedagang, petugas parkir dan
polisi lalu-lintas. Mereka amat potensial terpajan gas CO dan timbal. Ini
diperparah lagi oleh udara di Cekungan Bandung yang calm, berkecepatan rendah.
Opsi yang lain adalah upaya reverse urbanization. Membangun kawasan pemukiman, perkantoran dan
pusat bisnis di daerah pinggiran, menyebar di delapan penjuru angin. Maksudnya
adalah memecah konsentrasi massa dan kendaraan, sehingga kadar polutan dapat
diminimalkan. Termasuk memperkecil kemungkinan bahaya sosial dan mengurangi
beban lalu-lintas pada saat jam-jam puncak atau hari libur.
Dalam dimensi nasional, imporlah BBM yang rendah kadar
sulfurnya dan gunakan bensin biru bebas TEL. Tentu cara efektif adalah
pembatasan jumlah kendaraan bermotor (pribadi) yang masuk kawasan itu.
Bagaimana mekanismenya, itulah tugas anggota DPRD dan eksekutif daerah untuk
berfikir dan berkarya. Toh rakyat
memilihnya memang untuk mencari solusi dari masalah yang ada, tanpa menimbang
berapa gajinya.
Akhirnya, apa pun pilihannya, harus memberi andil dalam
pelestarian fungsi lingkungan Alun-alun. Menjadikannya lebih ramah lingkungan dan
warga yang peduli dan antusias dapat melalui hijaunisasi - Gerakan Penghijauan,
Gerakan Sejuta Pohon! *
Catatan:
Pada masa itu,
istilahnya adalah Kota Madya atau Kodya. Dulu Saritem masih “heboh” tetapi
sekarang sudah berubah menjadi pesantren.