Selamat Hari Guru Imajiner
Dalam amatan saya, guru itu ada dua. Yang kesatu, guru riil, yakni guru yang langsung bertatap muka secara formal dengan muridnya, memiliki kurikulum, diatur oleh undang-undang, dan diakhiri oleh ijazah atau sertifikat. Yang kedua, guru imajiner, yakni orang yang "dianggap" guru oleh "murid"-nya. Dalam kisah Panca Pandawa, Sang Karna yang perang tanding (duel) melawan Arjuna pun memiliki guru imajiner sehingga sepiawai Arjuna dalam memanah.
Kali ini, untuk menyambut Hari Guru Nasional pada 25 November 2008, saya merilis tulisan yang fokusnya pada guru imajiner. Area bahasannya dipersempit, hanya melingkupi guru yang memberi saya ilmu keislaman, khususnya ketika saya kuliah di Bandung. Artinya, alasan dan pandangan di bawah ini adalah subjektif dari sudut penulis sehingga boleh jadi bertentangan dengan opini pembaca.
Yang pertama, saya berkisah tentang guru saya, yaitu K.H. Athian Ali M. Da’i, M.A. Hal menarik yang saya ingat ialah ketika beliau menerangkan perbedaan antara ilmul yaqin, haqqul yaqin, dan ainul yaqin. Untuk menjelaskan ketiga istilah itu beliau mencontohkannya dengan buah-buahan.
"Ada yang tahu buah marissa?" tanyanya pada suatu siang.
Kami saling pandang, bertanya-tanya. Rasanya ada yang salah.
"Bukan marissa, Pak, tapi markisa," ralat kawan-kawan serempak.
Sambil tersenyum Pak Athian mengulang lagi, "Bukan markisa, tapi ini marissa!"
Semua terdiam.
"Ada yang tahu? Ciri-cirinya begini. Besarnya sebesar apel, warnanya mirip delima, isinya putih seperti ..., bijinya hitam sebesar...."
Lancar sekali Pak Athian memaparkan ciri-ciri khas buah yang baru kali pertama itu saya dengar. Sulit sekali saya membayangkan buah itu, buah yang namanya mirip dengan nama artis film. Waktu itu memang ada artis yang baru naik daun bernama Marissa Haque. Dia belum seterkenal sekarang. Saya pun berpikir ke nama artis itu. Ternyata bukan itu yang dimaksudnya. Saya jadi menduga-duga saja.
Karena semuanya diam, mulailah Pak Athian menjelaskan buah marissa yang ternyata memang hanya khayalan atau karangan beliau saja untuk menjelaskan ilmul, ‘ainul dan haqqul yaqin. Lewat analoginya yang pas dan segar, juga sosok dan kefasihannya melafalkan ayat Qur’an dan ketegasannya dalam berpendirian membuat saya betah menyimak ceramahnya.
Guru berikutnya adalah Dr. K.H. Miftah Faridl. Yang berkesan bagi saya ialah gaya bicaranya yang tenang dan lancar. Tangannya jarang bergerak-gerak kalau sedang bicara. Beliau bicara seperti membaca buku saja. Namun, intonasinya diatur sedemikian rupa sehingga nyaman.
Ada satu pokok ceramahnya yang saya ingat sampai sekarang, yaitu soal shalat. Kalau ada orang Islam yang tidak shalat, kata Pak Miftah, mungkin ada tiga hal. Yang pertama, dia masih anak-anak, belum dewasa. Belum baligh. Yang kedua, mungkin dia seorang wanita yang sedang haid atau nifas. Tapi kalau dia berkumis, tak mungkinlah dia haid karena dia pasti laki-laki (hanya saja waktu itu Pak Miftah tidak membahas yang bencong atau waria). Yang ketiga, dia pasti orang gila. Sebab, orang gila tak dikenai kewajiban shalat. Bagaimana mau shalat, siapa dirinya saja dia tak tahu dan tak sadar atas perbuatannya.
Jadi, kalau ada mahasiswa yang tidak shalat, katanya dengan mimik serius, dia pasti bukan anak-anak, juga bukan sedang haid karena dia laki-laki. Maka, dia pasti yang ketiga...... Kami pun lantas geerr tertawa. Orang gila, katanya, akan “melenggang” ke surga. Wah, enak sekali, pikir saya. Tapi adakah yang mau menjadi gila selama hidupnya?
Yang juga menarik bagi saya adalah ceramah Prof. Ahmad Mansur Suryanegara. Bicaranya pun lurus-lurus saja, agak datar. Tapi materinya luar biasa. Pelajaran sejarah yang biasanya bikin ngantuk, tapi yang ini malah bikin melek terus. Yang khas ialah kemampuannya menggambar benua Eropa, Asia, dan Afrika hanya dengan satu tarikan garis kemudian menerangkan betapa Indonesia begitu luas sambil menunjukkan bentangan dari kota di Eropa ke kota di Asia.
Juga ada Dr. Jalaluddin Rakhmat. Beliau dosen di Universitas Padjadjaran tetapi sering memberikan ceramah dan/atau kuliah Duha di Salman. Satu hal yang membekas ialah ketika Pak Jalal tampil dalam satu panel dengan Prof. Dr. Nurcholis Madjid (pendiri Paramadina yang menghebohkan lewat "Tidak ada tuhan selain Tuhan") di GSG ITB. Di samping itu, yang membuat saya ingat Pak Jalal adalah bukunya yang berjudul Islam Alternatif. Inilah salah satu buku-buku awal yang saya beli dan ikut mewarnai keislaman saya.
Kemudian, yang membuat hati saya makin berguncang-guncang dalam Islam ialah paparan K.H. Endang Saefudin Anshari ketika mengupas buku dosen Fikom Unpad itu di Salman. Saya orang awam dan saya melihat betapa terjadi beda pendapat yang tajam dalam menafsirkan hal-hal yang ditulis Pak Jalal dalam buku itu. Pada masa itu sama sekali saya tidak tahu apa itu Syi’ah, apa itu Sunni. Entah kebetulan, entah memang sudah terjadwal, esoknya Kang Jalal yang memberikan ceramah dan langsung menanggapi ulasan Mang Endang. Saya yang belum tahu apa-apa perihal Islam dan keislaman, hanya menjadi pendengar dan tak mampu berpendapat apalagi berpihak kepada salah satu di antara mereka.
Yang juga saya nobatkan menjadi guru imajiner adalah Dr. K.H. Asep Zaenal Ausop. Ceramahnya tak lepas dari hal-hal yang membuat saya tertawa, minimal tersenyum. Ada kasus menarik yang pernah diceritakannya, yaitu perihal orang "saleh", rajin shalat dan suka ceramah. Suatu ketika dia digoda wanita cantik dan akhirnya terjerumus perbuatan nista. Sejak saat itu, katanya, dia tak pernah tobat.
Kalau diteruskan, masih panjang daftar ini, seperti K.H. Agus Syihabuddin, M.A, K.H. Muchtar Adam, Pak Mustafid Amna, Pak Sakib Mahmud, dr. Rahman Maas, dr. Biben, Dr. Hamron, dll.
Selamat Hari Guru "Imajiner" Nasional juga. Minimal, kurayakan sendiri saja lewat blogku ini.*