• L3
  • Email :
  • Search :

29 Desember 2012

Ketika Mundur adalah Maju

Ketika Mundur adalah Maju
Oleh Gede H. Cahyana



Tak selamanya mundur itu buruk. Menandur padi adalah contoh baik tentang mundur demi kemajuan, yaitu tahap awal demi proses akhir untuk memanen bulir-bulir padi. Tiruan dapat dibuat untuk kehidupan manusia yang akan meninggalkan tahun 2012 dan menuju awal waktu 2013, dengan cara evaluasi masa lalu, duabelas bulan yang lewat. Tak banyak saya ucap sapa kepada pembaca blog ini, selain ucapan:



‘Met tahun anyar 2013

Terima kasih khusus untuk Vivanews dan Vivalog yang telah menambah trafik blog ini secara signifikan.


ReadMore »

Mang Sanuki: Balada Tukang Rumput dari Majalengka

Mang Sanuki: Balada Tukang Rumput dari Majalengka
Oleh Gede H. Cahyana

Lelaki itu berperawakan kurus, agak keriput, tingginya kutaksir 160 cm. Bajunya hijau tentara yang sudah belel. Kerahnya putih kecoklatan, berlubang-lubang. Itulah “seragamnya” setiap datang minta order potong rumput. Rata-rata 1,5 bulan sekali dia ke rumah. Kadang-kadang aku yang ditemuinya, sering juga istriku atau anak-anakku yang bermain di halaman depan.


“A, potong ya, sudah tinggi,” begitu tawarannya. Mendengar itu, biasanya kulihat-lihat dulu ke depan dan ke selokan. Kalau kira-kira sudah tinggi dan kotor kupersilakan dia menggarap “projeknya”. Kalau kuanggap masih pendek, dengan berat hati kukatakan agar dia datang satu-dua pekan lagi. Tampak mimik kecewa di wajahnya. Disedotnya rokok lintingan, lalu berbalik. Kutatap gerak tubuhnya. Lunglai. Gontai. Segenggam rasa campur aduk di hatiku. Tapi aku, sebagai orang gajian, harus hemat. Rumput sering kubiarkan tinggi dulu, sampai batas-batas tertentu. Kalau pendek-pendek sudah dicukur, terlalu boros. Kutahu artinya, ini memperlama Mang itu mendapatkan ordernya. Namun aku, terlebih lagi istriku, ingin menyiapkan uang sekolah anak-anak, untuk beli buku dan alat tulis.

Sekian lama mengenalnya, kutahu kegiatannya. Mulai Antapani, Arcamanik, Guruminda, Kawaluyaan, Margahayu, hingga Sentosa Asih adalah garapannya. Pergi pagi, jalan kaki menyusuri jalan kompleks, mampir dulu makan kue serabi di perapatan. Dua lempeng serabi mengganjal perutnya sampai siang. Setelah itu barulah keliling, pindah dari satu rumah ke rumah lainnya, biasanya langganannya, sambil menawarkan jasanya. Tiap rumah nyaris dihapal jadwalnya. Tapi tak selalu ada order. Banyak yang mundur jadwal potongnya. Pada musim kering apalagi, rumput malas tumbuh. Dua bulan lebih pun masih pendek-pendek. Bisa tiga bulan sekali baru dipotong.

Kerjanya rapi. Agak lambat memang, dimakan usia. Tapi tak masalah, upahnya borongan, tak dihitung jam-jaman. Aku puas melihat rumput dipotong sampai tampak bonggol akar-akarnya. Pendek sekali. Di sela-sela memangkas, sesekali kuajak ngobrol. “Satu laki-laki, tamatan SD, bekerja di pabrik di Majalengka. Satu lagi perempuan, sekolah di SD,” jawabnya ketika kutanya berapa anaknya dan sekolah di mana. “Yang seorang akan masuk SD. Laki-laki, A,” lanjutnya. Dia selalu memanggilku dengan A atau Aa, sebutan kakak dalam bahasa Sunda.

Hebat juga Mang ini, pikirku. Membiayai istri dan tiga anak hanya dari memotong rumput dan buruh gali pemasangan kabel PLN atau pipa PDAM. Kerjanya apa saja, serabutan, asalkan bayarannya dalam batas-batas tarifnya. Tiga minggu sekali dia balik ke kampung membawa uang setoran buat keluarganya. Di Bandung, bukan di kos-kosan atau di kontrakan dia tinggal. Tempat sekadar merebahkan diri pada malam hari hanyalah gudang tua. Kulitnya sudah “kebal” oleh tusukan nyamuk, lintasan tikus dan kecoak. Tempatnya di pinggir jalan By-Pass Bandung, di gudang tua dekat pangkalan ojek. Tak hanya dia yang di sana. Ada lima temannya sesama profesi, juga dari Majalengka. Merekalah mikrokomunitas yang tersisih dari derap pembangunan, terlupakan zaman. Tak banyak yang mau bertegur sapa dengannya. Keberadaannya hampir-hampir tak dianggap, kecuali untuk memotong rumput. Itu pun setelah sekian bulan, paling cepat satu bulan pada musim hujan.

Orang-orang marjinal seperti itu bisakah lepas dari kemiskinan? Bukannya tak mau bekerja, tapi kerja semacam itulah yang bisa mereka lakukan. Lain tidak! Kalau tak ada order setelah lelah keliling kompleks, mereka hanya duduk-duduk saja sambil makan pisang goreng sebagai makan siang. Bisakah mereka lepas dari dera kepapaan? Minimal anak-anaknya sekolah sampai SMA? Jangankan universitas, ke SMA saja sulit biayanya. Aku jadi teringat berita di koran, betapa banyak pejabat yang khianat, mengorupsi dana pendidikan. Di mana uang rakyat berupa pajak dan retribusi itu? Menyaksikan demikian besar KKN menyelimuti pejabat di Indonesia, seorang kyai terang-terangan menunjukkan kegeramannya atas perilaku bejat koruptor, penipu berdasi yang selalu mencuri uang rakyat. Curiannya lantas dipamerkan jor-joran di depan rakyat.

“Pernah ke Majalengka, A?” aku terkesiap, buyar lamunanku. Sambil terperangah, kujawab pernah. Aku pernah survei air bersih di sana, tepatnya di desa asal seorang mantan gubernur Jawa Barat pada masa itu. Berkali-kali pula aku lewat di sana dan bahkan sekarang aku masih punya saudara, tepatnya kakak istriku tinggal di sana. Kuceritakan juga asalku, asal istriku dan jumlah anakku. Dia manggut-manggut saja sambil berkata sepatah dua patah gumaman atau sekadar kata-kata Ooo.. saja.

***

Dalam rentang waktu tertentu, dia datang lagi. Aku, juga istriku seolah-olah sudah berlangganan padanya. Dengan berat hati sering kutolak tukang rumput lainnya karena menunggu kedatangannya. Tiap kali datang, dia bercerita tentang keluarganya, tentang kegiatannya di desa: perayaan agama, pernikahan dan sunatan. Sekali waktu dia datang hanya untuk memberiku kecap asli Majalengka. “A, ini dari anak saya. Dia sekarang kerja di pabrik kecap,” dua tangannya memegang botol kecap kehitaman.

“Waduh, Mang, tak usah repot-repot. Kapan datang?”
“Kemarin!”

Kupersilakan dia masuk. Kami ngobrol ini-itu, apa saja dan sekenanya. Hari itu dia pulang setelah kujamu dengan goreng pisang dan kopi. Dua pekan ke depan kusuruh dia datang lagi. Tapi sejak itu tak pernah lagi dia datang. Pekan demi pekan berlalu, tak jua muncul. Aku dan istriku bertanya-tanya, apakah dia marah karena tak kuberi order? Aku tepis pendapatku. Tak mungkin begitu. Kami sudah lama kenal, sudah seperti sahabat layaknya.

Sekarang, setelah sembilan tahun kenal, aku merasa kehilangan. Setiap kali kulihat rumput bertambah tinggi, ingatanku terbang ke sosoknya. Kesulitan aku mencarinya. “Betul, bu. Kita butuh orang-orang seperti Mang Sanuki,” kataku suatu kali setelah lama rumput halaman tak dijamah pemotong rumput. Sebetulnya aku punya gunting rumput dan sering juga memotong rumput jika ada kerja bakti di RT-ku. Bukannya aku tak mau capek-capek memotong rumput, tapi aku, seperti saran istriku, ingin memberikan order buat Mang.

Kalau sudah begitu, rumput makin tinggi, aku lantas keliling mencari pemotong rumput lain. Kutemukan seorang dan kuajak ke rumah. Dia bekerja seperti layaknya yang lain. Namun aku dan istriku bisa menilai, bisa membandingkan cara kerja dan hasilnya. Mang Sanuki kami anggap lebih bagus. Ini mungkin subjektif. Tapi entahlah, kurasa Mang Sanuki yang lebih bagus. Bersih dan rapi. Mang lainnya, dengan bayaran yang sama, hasilnya tak memuaskan. Jadilah kami merasa kehilangan Mang Sanuki.

Enam bulan berlalu sejak itu. Masih tak tampak Mang Sanuki. Rumput dipotong oleh yang lain. Ada yang menggunakan gunting biasa, ada yang memakai sabit, ada juga yang memakai mesin. Dua kali Mang yang memakai mesin yang katanya sewaan itu memotong rumput. Suaranya bising sekali; aku sempat malu pada tetanggaku yang punya bayi. Tapi, lantaran sudah telanjur dan memang rumput sudah terlalu tinggi, aku tetap saja mengiyakan ketika Mang ini minta order.

Sampailah suatu hari ketika aku bertemu dengan seorang tukang rumput. Tubuhnya lebih kecil daripada Mang Sanuki tapi lebih berisi, lebih padat dan lebih kuat. Gempal. Setelah tawar-menawar, dia sepakat pada harga yang sering kuberikan pada Mang Sanuki. Selama dua jam dia menyabit dan membersihkan selokan, juga memangkas pohon jambu. Tiba saatnya istirahat. Gorengan yang dibeli istriku dan kopi panas menemaninya. Kutawari makan tapi tak mau. Air bening pun disediakan.

“Mang, kenal Mang Sanuki?” kutanya sambil jongkok di sebelahnya.
“Emmm... kenal. Kenal sekali.” Dia beringsut ke pinggir, duduk di atas lantai. “Sakit sekarang,” lanjutnya.
Aku kaget. “Sakit apa, Mang?”
Sambil menunjuk perutnya,”Sakit maag. Parah. Tak bisa bangun.” Di sela-sela mengunyah diseruputnya kopi setelah menawarkannya kepadaku.
“Sejak kapan, Mang?”

Dia berusaha mengingat-ingat. Agak lama diam. “Ada enam bulan lewat.” Kopi diseruputnya lagi. Gorengan masih dipegangnya. Aku tercenung. Diam. Pantas saja Mang tak ke sini. Itu sama dengan rentang waktu sejak pertemuanku terakhir dengannya. Berarti dia tak pernah ke Bandung lagi sejak itu. Ternyata sakit. Maag yang parah.

“Buu... sini!” Istriku mendekat.
Setelah kuceritakan singkat, refleks dia bertanya,” Sejak kapan?”

Jadilah kami ngobrol. Kukorek keterangan dari Mang itu dan kudapat informasi yang mengagetkan. Mang Sanuki, sekian hari setelah bertemu di rumah, mendapat order membangun pagar. Bersama teman-temannya dia bekerja borongan. Udara panas waktu itu. Setelah capek bekerja dia istirahat dan seperti biasa, dia langsung minum. Entah kenapa, Mang Sanuki langsung saja minum air dari botol air kemasan ukuran 600 ml. Mungkin karena sangat haus, tak awas lagi pada apa yang dipegangnya. Sekali teguk masuklah cairan dalam botol itu ke perutnya.

Yang diteguknya ternyata bukan air, bukan air bening. Perutnya langsung sakit melilit-lilit. Teman-temannya panik. Karena tak punya uang, juga tak paham pertolongan pertama pada kasus tersebut, dia hanya dibaringkan dan diberi air minum. Obatnya dibelikan di warung. Tergolek lemas dan akhirnya dibawa pulang atas kawalan temannya. Uang tak dapat, malah sakit yang datang.

Apa yang diminumnya? Lambungnya rusak, iritasi berat. Mukosa ususnya melepuh. Ginjalnya pasti kena. Cairan keras itu dalam jumlah sedikit saja bisa meracuni tubuh. Racun tiada tara kerasnya. Jangankan diminum, dibaui saja bisa membuat pusing. Kepala berdenyut-denyut dan fly... mabuk semaput, tak sadarkan diri. Itu semua bermula dari minyak cat yang diminumnya. Thinner yang mengiris-iris lambungnya yang menjadi sebab-musabab beliau meninggal. *

ReadMore »

28 Desember 2012

Pemerintah Tidak Peduli pada Nusa Laut

Pemerintah Tidak Peduli pada Nusa Laut
Oleh Gede H. Cahyana

Menjelang tutup tahun 2012 ini, satu di antara sejumlah raport merah pemerintah Indonesia adalah tidak peduli pada nusa-laut kita. Jangankan peduli, terpikirkan saja belum. Buktinya, ribuan nusa kita tak bernama. Di peta daerah saja tidak kelihatan, terlebih lagi di peta nasional. Jangan-jangan petugas patroli pun tak pernah berani mendekati apalagi mengunjungi nusa-nusa itu karena tak tahu siapa pemiliknya. Takut dianggap melanggar teritorial negara jiran? Yang terjadi, kita malah disalip. Negeri jiranlah yang justru ofensif masuk ke wilayah kita. Tak hanya militer dan kapalnya, tapi juga nelayan dan mafia kayu ilegalnya.



Oleh karena itu, cara terbaik bagi pemerintah adalah tegas atas garis batas negara. Jangan terlalu terkendala lantaran serumpun. Justru kata serumpun inilah yang mereka manfaatkan buat mengajak kita masuk ke Mahkamah Internasional. Kitalah yang proaktif mengupayakan perundingan garis batas. Inisiatif diplomatik mesti intensif dilakukan pemerintah. Kitalah yang paling berkepentingan atas garis batas dan mewujudkannya dalam bentuk ratifikasi perjanjian bilateral. Tanpa perjanjian, negara lain justru merasa di atas angin dan malah senang. Kita yang rugi. Upaya itu pun dibuat tidak hanya dengan Malaysia tapi juga negara lain yang berbatasan dengan kita. Satu syaratnya, diplomat kita harus ulung, menguasai sejarah perkembangan kerajaan di Asia Tenggara dan sejarah kolonialisme Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris serta punya peta yang tepat.

Contoh kasus adalah Ambalat. Andaikata Ambalat dan East Ambalat jatuh ke tangan Malaysia, atau soal ini berlarut-larut seperti Sipadan-Ligitan, yakinlah kita bahwa pemerintah pusat dan daerah sudah tak peduli lagi pada keutuhan nusantara. Atau, takut berhadapan dengan Malaysia. Atau, adakah Inggris dan Amerika di belakang layar mereka? Apalagi kalau Nusa Maratua dan Sambit di wilayah itu juga ikut-ikutan diincar dan diungkit-ungkit, ini alamat "kiamat"; habislah nusa-nusa di garis batas itu. Belum lagi nusa yang berbatasan dengan negara selain Malaysia.

Seperti halnya si kembar Sipadan-Ligitan, kasus Ambalat hanyalah dampak. Dampak dari ketakpedulian pemerintah terhadap laut. Siapa yang tahu Sipadan dan Ligitan sebelum kasus itu ditulis di media massa? Mayoritas kita tak tahu nusa itu. Masih banyak yang bertanya-tanya, di mana Sipadan-Ligitan itu setelah Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan keduanya menjadi milik Malaysia pada 18 Desember 2002. Akankah nusa lainnya disengketakan lagi lalu akhirnya kita dikalahkan dengan hormat karena menganggap kita bangsa pemaaf, suka mengalah, dan tak suka perang?

Sungguh ironis. Kita kaya laut tetapi tidak akrab dengan laut. Adakah yang tahu berapa sebetulnya jumlah pulau dan nusa kita? Ada yang bilang 13.677 buah, ada yang berkata 17.000 buah. Ada juga yang bilang 12.000-an. Mana yang tepat? Pasti tak ada yang yakin akan jawabannya, termasuk saya. Dari SD sampai perguruan tinggi kita cuma tahu angka-angka itu. Semuanya hanya kira-kira. Sekian ribu, sekian belas ribu atau ribuanlah. Selalu begitu jawaban kita.


Tak Peduli Nusa-Laut
Sebetulnya akar klaim Malaysia bertolak dari ketakacuhan kita pada wilayah dan terlalu asyik bergelut di ranah domestik. Mereka telah membuktikannya lewat Sipadan-Ligitan. Mereka juga tahu kita tak punya peta detail wilayah nusantara. Beranilah mereka mencoba lagi mengaku-aku Ambalat sebagai miliknya. Syukur-syukur kalau menang jika dibawa ke Mahkamah Internasional. Di pihak lain, kita jus­tru sebaliknya, merasa tak bersalah dan acuh tak acuh ketika ada pulau karang yang dieksploitasi negara lain. Kita pun sangat tak peduli ketika minyak, batu bara, gas, dan emas disedot negara asing. 

Itu semua berakar di pemerintah kita yang dulu. Pemerintah salah memformat pendidikan. Pelajaran geografi cuma mengupas pulau-pulau besar. Tak ada temuan nusa-nusa baru yang masuk ke buku. Dari tahun ke tahun nyaris dari itu ke itu saja. Tak ada materi baru yang signifikan. Materi tahun 1970-an masih sama dengan materi abad ke-21. Akibatnya, kita tak pernah tahu mana batas wilayah negara kita. Tak tahu mana batas wilayah di darat, mana batas di laut, apalagi di udara. Lihatlah ratusan kilometer perbatasan darat di Kalimantan-Malaysia. Betapa banyak penyusup dari dan ke Malaysia atau dari dan ke Indonesia. Tak terkontrol. Sangat longgar. Pelarian TKI adalah contoh gamblangnya.

Yang betul-betul mendebarkan pernah terjadi, yaitu rental pulau-pulau kecil. Porsi 40% dari luas pulau dieksploitasi dan sisanya untuk kawasan lindung. Kalau ide ini benar dilaksanakan pastilah habis pulau itu dibangun. Takkan pernah ada yang namanya kawasan lindung. Telebih lagi pejabat kita senang disogok dan rendah diri di depan orang asing. Pembabatan hutan di pulau besar saja tak mampu disetop. Pencuri kayu lolos di laut lepas. Yang lenyap mencapai 1,5 juta hektare/tahun. Pasti lebih tak mampu lagi mencegah pembabatan di nusa-nusa itu. Setelah satu demi satu disewa orang (negara) asing, kita pun hanyalah pekerja di nusa itu. Yang menyedihkan, banyak yang justru bangga bekerja pada orang asing. Tapi untunglah isu itu lenyap dan mudah-mudahan tak muncul lagi.

Jika kita tetap tak peduli pada nusa kita, seperti Maratua dan Sambit, juga pulau-pulau kecil tak berpenghuni lainnya dan menganggapnya tak berguna, yakinlah suatu saat kelak kita kebakaran jenggot lagi. Disengketakan lalu akhirnya kalah. Kecuali diklaim negara lain, boleh jadi banyak sudah nusa kita yang lenyap begitu saja tanpa pernah ada yang tahu. Ini berkaitan dengan terumbu karang. Apalagi hanya 7-10% terumbu karang yang tergolong sangat baik dari total luas 60.000 km2. Kerugian akibat kerusakan tersebut 1,2 juta dolar Amerika setahun. Akibatnya, entah berapa buah nusa kita yang tenggelam seperti Pulau Air Kecil, Ubi Besar, Ubi Kecil, dan Vader Smith di Kep. Seribu akibat pengambilan terumbu karang.

Akhirnya, apa yang mesti kita upayakan? Satu di antaranya, dan ini jangka panjang, adalah pembelajaran di sekolah formal dan nonformal. Beri tahulah siswa bahwa laut kita luas, pulau kita belasan ribu dan pasti jumlahnya, pasti letaknya. Beri tahulah nusa-nusa mana saja yang berbatasan dengan negara tetangga, baik dengan Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, Papua Nugini, Australia dan Timor Timur. Cobalah ekspos nusa-nusa itu. Iklankanlah di media massa. Ingatkan, sekecil apa pun nusa itu, di bawahnya ada kekayaan alam yang menjadi milik mereka sesuai amanat pasal 33 UUD 1945.

Upaya lain, bukalah perbincangan dengan negara-negara tersebut agar batas negara masing-masing menjadi jelas. Kitalah yang berinisiatif, bukan mereka. Sebab, kitalah yang paling berkepentingan. 

Kepada pembaca blog ini, selamat menyambut tahun baru 2013 dengan berbagai kegiatan positif. Give..., give...., give. *
ReadMore »

27 Desember 2012

Pesona Dunia Laut Indonesia


Oleh Gede H. Cahyana

Adalah hutan mangrove (bakau) yang mengawali pesona laut. Tapi sayang, kita terlambat menyadari fungsi "sabuk hijau" pantai ini, yang luasnya pernah mencapai 4,25 juta ha atau 22% dari 17 juta ha di dunia. Sekarang luasnya tak lebih dari 3 juta ha! Malah boleh jadi sudah jauh berkurang. Meskipun begitu, ekosistem dengan 30-an spesies mangrove ini tetap berperan pada siklus biogeokimia, menjadi habitat flora-fauna dan penyedia 80% sumber perikanan komersial. Besar sekali perannya!

Sebagai "arsitek pantai", ia tumbuh menyebar tak merata di 17.000-an pulau, di sepanjang 81.000 km garis pantai dan melebar ke laut dangkal. Biasanya akarnya tumbuh di lumpur namun ada juga yang tumbuh di terumbu karang, sejenis hewan dari filum Coelenterata dan bersimbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Bakau perlu koral untuk tempat tumbuhnya sedangkan koral terhindar dari gerusan CO2 karena diambil oleh bakau untuk fotosintesisnya.

Hewan karang yang tersusun oleh kalsium karbonat ini kaya warna karena ada algae endozoik, yakni zooxanthellae di bagian "kepala" atau polip-nya. Perannya yang demikian penting itu, selain karena penghasil tak kurang dari 15 ton ikan per km2 luas terumbu karang, juga karena luasnya yang sangat besar antara 60.000 - 70.000 km2 atau 14% dari luas totalnya di dunia. Yang patut disayangkan, hanya 6,48% berstatus sangat baik, 22,53% baik, 28,39% cukup baik dan sisanya 42,59% sangat buruk.

Anggota Coelenterata punya tentakel mungil, mampu bergerak dengan tarian jarinya dan mata primitifnya yang berderet melingkar di bawah tubuhnya yang transparan, mirip kubah bola. Dengan tentakel atau bulu atau silianya itu ia bergerak, berenang sambil mengembangkempiskan tubuhnya. Tentakelnya yang bersengat itu digunakan untuk menangkap mangsa. Di antara terumbu karang itu juga ada anemon laut yang lebih mirip bunga. Ia sesungguhnya karnivora yang menipu calon mangsanya dengan lambaian tangan (tentakel) berbisanya.

Tak jauh dari habitat binatang berongga ini terlihat bintang laut yang membelai karang dengan lengannya yang jumlahnya bisa lebih dari lima untai. Mulutnya di bawah sedangkan duburnya di atas (uaneh ya!) dan mampu merangkak dengan kaki sedotnya. Dengan lengan itu ia mampu mengisap daging kerang. Ia mampu bertunas dari lengannya yang putus. Di bawahnya berserakan bulu-bulu babi yang tubuhnya penuh duri berbisa. Mulutnya juga di bawah tubuhnya. Ia termasuk filum Echinodermata yang artinya kulit berduri. Juga ada moluska, si hewan lunak dan beragam jenis ikan dan kepiting.

Bahkan ikan hiu yang terkenal ganas itu, untuk jenis tertentu kesukaannya makan algae dengan "lauk-pauk" ikan -ikan kecil. Kenyataannya, tak semua ikan hiu itu ganas. Dari sekitar 250 atau ada yang meyakini sekitar 350 jenis ikan cucut ini, hanya belasan jenis yang buas. Tiger shark, si macan loreng dengan panjang mencapai 3 m, termasuk yang buas. Juga cucut banteng (Carcharinus leucas) dan cucut putih (Carcharodon carcharias yang ganas, di Australia disebut si white dead. Cucut macan (Galeocerdo cuvieri) ini ada garis-garis lorengnya. Tapi ikan hiu buas ini tetap dibutuhkan untuk kelestarian ekosistem. Artinya, dalam perikehewanan, tiadalah yang termasuk hewan buas dan hewan jinak. Semua hewan yang bertingkah jinak dan ganas hanyalah demi kelestariannya.

Ada juga jenis hiu lain yang tak "sebuas" di atas seperti hiu raksasa Cetorhinus maximus dan hiu paus Rhinodon typicus. Hiu jenis ini pemakan plankton, ubur-ubur, dan ikan kecil lainnya. Tubuhnya besar sehingga malas, kurang lincah gerakannya. Cucut martil juga ganas, gesit dan rakus. Kepalanya aneh dengan mata di ujungnya sehingga mampu melihat ke depan dan ke belakang. Mereka hidup di laut bebas.

Yang juga khas adalah ikan paus. Ini nama keliru karena paus bukanlah ikan (pisces) tetapi mammalia. Ia melahirkan anak dan menyusuinya. Seperti halnya hiu, paus pun ada yang buas sebagai pembunuh tetapi tetap dalam lingkup pelestarian rantai makanan. Lumba-lumba, yang dianggap sebagai keturunan paus, termasuk mamalia cerdas.

Paparan di atas hanyalah contoh beberapa biota laut yang memesona dan tertulis di buku ajar. Banyak lagi yang belum disebut dan belum diketahui. Agar kita tergugah untuk mengetahuinya, pembelajaran adalah kuncinya. Kayakan buku dan bukel kita akan flora, fauna, tambang dan energi laut. Moyang kita orang pelaut. Jalesveva Jayamahe. Di lautan kita jaya. Semoga. *

ReadMore »

22 Desember 2012

Mencari "Dukun" di Pedalaman Wanoja, Brebes

Mencari "Dukun" di Pedalaman Wanoja, Brebes
Oleh Gede H. Cahyana

Waktu itu saya “diplonco” oleh konsultan tempat saya bekerja. Dunia teoretis di kampus harus segera dicoba di dunia terapan. Saya ditugasi survei sekaligus merancang transmisi dan distribusi air bersih untuk proyek PPSAB. Single fighter, begitulah istilahnya. Tak tanggung-tanggung, lokasi survei tersebar di sejumlah kabupaten di Jawa Tengah. Setelah urusan melelahkan di Semarang, lalu ke pemda kabupaten, kecamatan dan desa. Di desa, di lokasi survei, justru lokasi inilah yang terberat. Semuanya butuh waktu tiga minggu. Semua desa yang dikunjungi adalah daerah baru bagi saya. Malah ada daerah yang “tak bertuan” seperti cerita film-film western, wild-wild west. Tak bertuan dalam arti sulit berhubungan dengan dunia luar karena buruknya prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi.  

Suatu hari, setelah berkunjung ke desa-desa lainnya sampailah saya di Bumiayu, sebuah kota yang sekarang diusulkan menjadi ibukota Kab. Brebes atau bahkan kabupaten mandiri (otonomi). Setelah mencari-cari penginapan, dapatlah sebuah losmen yang lumayan. Setelah bayar lunas untuk dua malam dan menaruh barang-barang bawaan, saya mulai bekerja. Hanya barang yang saya perlukan untuk survei saja yang saya bawa. Dari terminal Bumiayu saya naik angkutan ke desa tujuan. Cukup jauh, tapi terhibur oleh pinus-pinus dan tampak para penyadap getah pinus di sepanjang jalan. Jalan berlika-liku, sempit dan saya terjepit di angkutan desa yang sesak. Orang-orang ini begitu bersahaja, tampak dari caranya berpakaian dan tutur katanya. Ramah semua.

Waktu di angkot dan sebelumnya sudah saya tanyakan ke petugas losmen, saya bertanya lagi tentang Desa Wanoja. Wanoja, katanya, berarti perempuan. Meskipun secara administratif masuk Kabupaten Brebes, tetapi secara kultural berbahasa Sunda. Gunung Sawal menjadi sempadan antara kedua etnis tersebut. Penduduk setempat yang akan ke Ciamis atau Kuningan tinggal menyusuri jalan setapak di kaki gunung itu sehingga tak perlu ke Bumiayu yang butuh waktu lama. Demikianlah resume yang saya peroleh dari “ceramah” singkat orang-orang desa.

Namun sayangnya, mobil angkutan desa (angdes) itu ternyata tidak sampai ke desa tujuan saya tapi berhenti di prapatan. Dari sini saya harus naik ojek. Waktu itu ojek masih sedikit dan saya harus menunggu lama. Ketika satu ojek mendekat, saya hampiri dan tukang ojeknya langsung menyapa. Saya katakan bahwa saya mau ke Wanoja. Dengan cepat dia menyambar,” Mau ke dukun?”

Saya kaget dan sempat bingung. Apa saya tampak seperti orang yang senang ke dukun? Dia terus saja ngomong,” Bagus dukunnya. Banyak yang ke sana dan dekat.”

Saya masih diam tapi mulai merinding. Seumur-umur saya belum pernah ke dukun. Sampai tamat SMA di Bali pun saya belum pernah melihat leak (makhluk jejadian dari manusia). Tapi sekarang malah diduga mau ke dukun. “Dunia antah berantah apa lagi yang saya masuki?” bisik hati saya.

“Bisa saya antar!” ajaknya.

Hati saya masih galau. Pergi nggak, ya? Akhirnya saya tanyakan ongkosnya sambil menyuruhnya agar saya diantar ke kepala desa. Ternyata dekat yang dimaksudnya begitu jauh bagi saya. Jalannya naik turun, belum diaspal, dan berbatu-batu besar.

Sampai di rumah kepala desa, saya disuguhi kue-kue khas setempat. Kepala desanya berusia sekitar 50-an tahun. Tapi yang membuat saya kaget, saya diladeni minum dan penganan oleh seorang perempuan yang umurnya di bawah saya. Kira-kira usia 19 tahun atau kurang dari 20 tahun. Kulitnya kuning langsat, berhidung bangir, ditambah lagi berbaju mirip kebaya dan berkain. Cantik juga anaknya, pikir saya.

Tapi saya luar biasa kaget, perempuan muda yang saya kira anak kepala desa itu ternyata bukan anaknya. Juga bukan keponakannya. Bukan adiknya. “Gadis” muda itu ternyata istrinya. Kata pemandu saya waktu survei ke mata air, itu istri ketiganya. Amboi…., cetus hati saya waktu itu. *
ReadMore »

21 Desember 2012

Menulis Itu Memang Gampang

Menulis Itu Memang Gampang
Oleh Gede H. Cahyana 

“Ah... masa’? Yang bener. Nggak ah..., nggak percaya!” Begitulah tanggapan yang muncul setiap saya bicara soal tatatulis, tulis-menulis, dan saat memberikan training penulisan.

Betulkah gampang? Saya jawab, “Betul!” Menulis itu gampang. Segampang bicara. Ini bukan isapan jempol. Juga bukan bualan. Ini serius. Tak percaya? Kalau tak percaya, pasti belum dicoba. Sebab, sekali dicoba, dijamin ketagihan, pasti nagih! Gimana caranya?

Secara ringkas, minimal ada tiga cara dalam memulai menulis. Ketiga cara itu bertumpu pada satu hal saja, yaitu berani. Kata “berani” ini justru tak dimiliki oleh orang yang tak mampu menggerakkan penanya di atas kertas atau di kibor komputer. Padahal semua orang, tak peduli tingkat pendidikannya, asalkan bisa membaca dan menulis (dalam arti mengaksara), pasti bisa menulis (dalam arti mengarang cerita atau menulis artikel, berita, dll). 

Apalagi sekarang medianya banyak: ada Twitter, istilahnya microblogging, ada Facebook, yang ini saya namai milliblogging, dan ada blog atau website sebagai pelopor nulis curhat di internet. Kini ada Vivanews untuk tulisan berita dan Vivalog untuk artikel yang dapat memacu daya tulis setiap orang yang ingin mampu menulis dengan mudah.

Secara ringkas, caranya diuraikan berikut ini. Yang pertama disebut Flashing (tulis-cepat). Apa pun yang berkelebat di otak, tulislah. Cepatlah gerakkan pena di tangan, tulislah walaupun bak cakar ayam, yang penting masih terbaca. Jangan takut, jangan ragu. Cuma ini kuncinya. Sebagai latihan, tataplah selokan atau jalan di dekat rumah atau kantor lalu tulislah sesuatu. Apa saja. Tulis! Teruslah berlatih melihat sesuatu di sekeliling kita lalu tulislah. Lama kelamaan, bayangkan atau khayalkanlah sesuatu lalu tulislah. Tulis saja dan jangan pikirkan tatabahasa, struktur kalimat, dll. Baru setelah itu, setelah usai atau dianggap selesai, mulailah diedit, dibenahi kosakatanya, diasah pola kalimatnya, dijernihkan gaya bahasanya.

Ini cara kedua, Blooming (tulis-mekar). Cara ini mirip bunga yang sedang mekar, makin lama makin besar dan meluas. Tulislah kelopak-kelopak bunga di sekitar pusatnya. Kelopak ini berisi kata atau frase. Dari setiap kata atau frase tersebut dapat dibuat kalimat, bisa saling berhubungan, bisa juga lepas dan berdiri sendiri. Di sini pun kuncinya tetap sama dengan cara di atas, yaitu “berani dan jangan ragu”. Setiap kelopak akan memunculkan jalinan ide cerita (paragraf) yang boleh jadi berkaitan dan bahkan membentuk jejaring dengan kelopak lainnya. Jejaring inilah yang akan menyatukan setiap tema dalam kelopak dan menjadi untaian tulisan yang padu.

Yang ketiga, Spraying (tulis-pancar). Cobalah mulai dari satu kata. Kata apa saja. Dari satu kata ini, cobalah buat kalimat. Kalimat apa saja. Boleh kalimat berita, boleh kalimat perintah, bisa juga kalimat tanya. Jangan pusing-pusing dengan tatabahasa dan usahlah takut-takut. Susunlah satu kalimat dari sejumlah kata, entah itu sesuai dengan pola SPOK atau yang lainnya. Dari susunan kata ini akan terbentuk kalimat demi kalimat yang akan berkumpul penjadi paragraf.

Cobalah buat satu kalimat yang berisi kata air. Ini contohnya. Semua orang pasti perlu air. Ini kalimat berita. Cobalah susun kalimat tanya. Siapa yang tak butuh air? Berikut ini kalimat perintah. Silakan minum air yang di meja merah, jangan yang di meja biru! Bukankah kalimat-kalimat ini serupa dengan kalimat-kalimat yang sering kita ucapkan sehari-hari? Pasti ada saja kalimat yang kita ujarkan kepada orang lain, teman kita atau kepada siapa saja, setiap hari! Kalau ujaran itu ditulis, baik di kertas maupun di komputer, maka kita sudah menulis.

Setelah satu kalimat itu, cobalah tambah dengan kalimat lainnya. Sebaiknya yang masih terkait dengan air juga. Misalnya begini. Siapa yang tak perlu air? Semua makhluk hidup pasti butuh air. Jangankan manusia, binatang dan tumbuhan saja perlu air. Reratanya, 75% tubuh kita berisi air. Bahkan dalam tulang pun ada air. Malah manusia diciptakan dari air (mani). Syahdan spermatozoa dan sel telur (ovum) pun komponen utamanya adalah air. Jadi, tepatlah kita hidup di planet air ini, yaitu planet Bumi yang 97,3% permukaannya diselimuti air.

Tampaklah, dari satu kalimat lalu ditambah satu kalimat lagi dan dirangkai lagi dengan kalimat berikutnya bisa dihasilkan satu paragraf utuh. Sebaiknya setiap kalimat yang ditulis itu masih terkait dengan kalimat sebelumnya. Boleh berupa penjabaran kalimat sebelumnya, boleh juga berupa kalimat lainnya yang setara atau memberikan penjelasan atas kalimat sebelumnya.*

Orang bule, konon, mewanti-wanti temannya, “jangan mati sebelum ke Bali.” Entah betul entah salah, ungkapan itu bisa diubah menjadi “jangan mati sebelum menulis”. Kekalkan diri dalam tulisan, dalam buku, dalam artikel, dalam blog. Ketika ruh pergi dari tubuh, sang tulisan berupa buku, artikel, cerpen, novel, dan blog akan hidup terus. “Abadi” hingga kiamat. Untunglah Jumat ini, 21 Desember 2012, gak ada kiamat. Jadi, masih ada kesempatan untuk menulis dan berbagi cerita dengan siapapun. Yuk nulis. Gampang kok. **

ReadMore »

20 Desember 2012

Eksotisme Pijat di Kuta Bali

Eksotisme Pijat di Kuta Bali
Oleh Gede H. Cahyana

Rambut ikalnya yang pirang masih basah dan dikepang kuda. Buti-butir air asin menotol-notol di sekujur tubuhnya. Kaki putihnya yang jenjang diselonjorkan lalu kepalanya direbahkan di atas lipatan handuk tebal. Mata birunya menerawang ke awan putih di sela-sela sinar matahari jam dua siang. Ombak dan riak terus bekerja, datang dan pergi, gemuruh suaranya.

Seorang ibu tua berkulit agak gelap terbakar matahari, kontras dengan kulit bule itu, mulai membalurkan minyak di paha atasnya sampai ke jari-jari kakinya lalu memijat-mijatnya. Sejurus kemudian ibu berkain batik yang agak lusuh ini membalikkan tubuh putih itu sehingga tengkurap. Mulai tengkuknya, lalu ke punggungnya, sampai ke karet bikini bawahnya ia balurkan minyak lalu menekan-nekankan ujung jarinya, maju, mundur, maju, mundur... Yang dipijat memejamkan mata, nyaman sekali tampaknya. Mungkin tertidur oleh belaian desir angin pantai.

Sementara itu, kira-kira 12 meter dari gadis tadi ke arah bibir pantai berbaringlah dua wanita bule yang juga berbikini, sedang mandi mentari. Satu orang gemuk, usianya paruh baya dengan lengan dan paha bergelambir, kulitnya bercak-bercak coklat; satu lagi jauh lebih muda, tampak singset dan cantik bagi ukuran orang Indonesia, mungkin anaknya, sedang membaca buku tebal. Sekian meter dari sana, sekian meter lagi dari yang di sana dan sekian meter lagi dari yang di sebelah sana, juga ada pemandangan serupa di antara lalu-lalang orang-orang. Banyak sekali, tak terhitung lagi jumlahnya.

Begitulah keseharian di pantai “terpanas” dan terdemam di Bali, yaitu Kuta. Dulu John Travolta punya Saturday Night Fever, demam malam minggu, tetapi Kuta malah punya Every Night Fever, demam saban malam. Kuta, Legian, Sanur dan Tanah Lot hanyalah segelintir dari puluhan objek wisata yang disukai bule karena “hawa” panasnya. Ada 5S yang akrab di sana: sun, mandi mentari; sand, pasir-jemur; song, lagu diskotik, cafe; show, musik panggung; dan sex, samen-leven, seks bebas. Itu semua tentu saja tak lepas dari narkoba dan prostitusi dari kelas teri sampai kelas elite, mewah dan VIP. Khusus di Kuta ada satu S lagi, yaitu surfing, baik dalam arti selancar maupun olahraga voli pantai yang aduh aduh aduhai…

Kuta, di antara sekian banyak tujuan wisata, adalah nama yang paling populer karena begitu eksotis. Pantai pasir putihnya akrab sekali dengan dekapan tubuh-tubuh turis mancanegara dan juga domestik. Dekapan itu mulai dari yang berkaos pantai bercelana pendek gombrang ala Hawaii, yang hanya berbalut bikini hingga yang hanya mengenakan “segitiga” alias monokini. Yang betul-betul bugil tanpa sehelai benang pun ada, bergelimpangan bak putri duyung, terutama di Legian. Itulah turis kulit putih yang santai-santai saja seolah-olah berada di negaranya yang serba-boleh atau permisif atas pola hidup nudis.

Kejadian di atas menjadi prosesi rutin harian, layaknya acara formal yang terjadwal. Setelah membasahi tubuhnya dengan air, letih berenang, selancar atau sekadar jalan-jalan menyusuri garis air, turis biasanya minta dipijat di bawah pohon di pantai itu tanpa penghalang. Dengan mudah orang menontonnya dan tidak perlulah sungkan-sungkan karena sudah biasa. Yang sehari-hari tinggal di sana sudah maklum adanya, tak kaget lagi. Yang agak menahan napas tentulah orang yang baru kali pertama datang ke Kuta, Legian dan sekitarnya. Ini wajar terjadi lantaran yang dilihatnya adalah tubuh bule yang hanya ditutupi kain di bagian “rahasia” yang sudah tidak rahasia lagi. Berjam-jam hot show gratis itu berlangsung di sana, berganti dari satu orang ke orang lainnya dan dari satu ras ke ras lainnya, dari satu bangsa ke bangsa lainnya. Lengkap semua dari seluruh penjuru dunia.

Itulah Bali, potret “surga” dunia, kata orang-orang. Konon katanya, turis asing lebih kenal Bali ketimbang Indonesia. Indonesia itu di bagian mana Bali? Begitu joke yang sering saya dengar. Pamor Bali memang melebihi Indonesia.*
ReadMore »

17 Desember 2012

Kriteria Sukses Seorang Penulis

Kriteria Sukses Seorang Penulis
Oleh Gede H. Cahyana
Banyak sekali bermunculan penulis (writer) dan pengarang (author) sejak booming internet mudah dan (cukup) murah. Didukung juga oleh sebaran komputer, laptop, netbook, tablet, dan beragam ponsel cerdas yang nyaman untuk menulis. Tambah lagi munculnya media sosial seperti Facebook dan Twitter. Kalau semua orang lantas menulis, mulai dari microblogging di Twitter, milliblogging di Facebook hingga blogging di blog atau website, lantas siapa yang disebut penulis/pengarang sukses?

Kriteria sukses seorang penulis atau pengaranng sudah banyak dibincangkan. Sederet pendapat pun muncul. Ada yang bersetujuan, ada yang berseberangan, ada yang bertentangan. Masing-masing hadir dengan alasan dan pengalamannya. Berikut ini dibahas ringkas penulis sukses dari tiga sudut pandang.

1. Secara ekonomi.
Orang umumnya memandang sudut ini sebagai parameter sukses seorang penulis. Karyanya yang laris di pasar membuatnya bergelimang uang dari penghasilan pasif. Apalagi kalau diterjemahkan ke berbagai bahasa, kian teballah pundi-pundinya. Royaltinya tak terhitung lagi, berdatangan setiap tiga atau enam bulan. Bahkan kalau banyak karyanya, royalti itu bisa diterimanya sebulan sekali atau malah dua kali.

Penerbitnya pun senang dan kian rajin mempromosikan tulisannya. Beragam temu-muka dengan penggemar dan resensi bukunya dimuat di banyak media, baik cetak, radio, TV maupun on-line. Kebanyakan pikiran orang akan tertuju pada kata uang dan royalti ketika mendengar sebuah buku atau tulisan seseorang laris atau best seller. Inilah yang paling dinanti-nanti oleh setiap penerbit dan juga penulis.

Hanya saja, buku-buku yang best seller belum tentu mampu mengubah karakter pembacanya menjadi lebih baik. Malah sangat mungkin menjadi lebih buruk, menjadi penakut, dicekam dunia khayal atau bahkan melakukan perbuatan nista yang dilarang agamanya. Ini bergantung pada isi buku yang laris itu. Sebuah buku yang bernilai positif dan memberikan pandangan optimis pada pendidikan karakter dan akademik di pesantren adalah Negeri 5 Menara yang juga sudah difilmkan dengan judul yang sama. 

2. Secara publikasi.
Jumlah terbitan adalah tolokukurnya. Makin banyak buku yang ditulisnya, makin suskeslah dia. Dari sekian banyak bukunya itu, boleh jadi semuanya best seller (misalnya laku di atas 10.000 eksemplar dalam tempo enam bulan). Boleh jadi juga semuanya tidak menembus julukan best seller tetapi terjual biasa-biasa saja. Atau, ada beberapa yang best seller dan lainnya tidak bahkan ada yang gagal dalam penjualannya. Jika parameter ini yang digunakan maka yang disebut penulis sukses adalah yang banyak menulis, baik buku tebal, di atas 500 halaman kertas A5 atau yang tipis dan sangat tipis, di bawah 150 halaman.

Kelompok ini ada yang tak peduli pada mutu tulisannya, yang penting banyak menulis dan tetap berharap laris di pasar. Ada juga yang demikian peduli atas mutunya sehingga berupaya menulis sebaik mungkin dan tetap berharap laku keras. Baginya, kuantitas dan kualitas adalah saudara kembar yang harus dirujuki, tak bisa disepelekan. Kelompok lain ada juga yang terus menulis hingga puluhan, bahkan ratusan karya tanpa berharap mendapat uang tetapi demi penyebaran ilmu yang dimilikinya. Sejumlah ulama besar menghasilkan karya-karya berkategori ini.

Pada masa sekarang, ada juga penulis buku dan artikel yang tak peduli pada imbalan berupa royalti atau honor. Yang penting baginya, karyanya bisa dibaca banyak orang, baik lewat koran, majalah, jurnal ilmiah, brosur, buletin maupun internet berupa web atau blog. Kepuasannya terletak pada berbagi ilmu yang diketahuinya.

3. Secara sosiologi.
Jika instrumen ini yang digunakan maka penulis sukses ialah penulis yang bukunya mampu mengubah karakter pembacanya. Tentu saja yang diharapkan adalah perubahan dari karakter buruk menjadi baik, bukan sebaliknya. Jika terjadi sebaliknya, mengubah orang baik menjadi buruk, bisa juga dikatakan sukses tetapi bukan ini yang dimaksud di sini. Sebab, ada sejumlah buku yang memang akhirnya mengubah pandangan pembacanya menjadi demikian buruk, jahat dan bahkan menjadi tak percaya atas ke-Ada-an, ke-Esa-an Tuhan. Menjadi atheis misalnya. Yang dampaknya buruk seperti ini tidak dimasukkan sebagai penulis sukses di sini. Atau, bisa disebut sukses menyesatkan orang.... boleh-boleh saja.

Penghuni kategori ini ada yang hanya menulis satu-dua buku seumur hidupnya tetapi berjuta-juta orang mendapatkan manfaatnya, mengubahnya menjadi manusia baik dan benar. Misalnya, Kartini. Kumpulan surat-suratnya dijadikan buku dan dijuduli (oleh penerbitnya) Habis Gelap Terbitlah Terang. Orang menjadi banyak tahu kehidupan masa itu lewat surat-suratnya. Contoh lain adalah Hasan Al Banna, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin. Spirit ajakannya berefek tajam sampai sekarang dan meletupkan hasrat iman kepada Tuhan bagi siapa saja yang membacanya.


Menulislah sebelum ditulis (di batu nisan). *


ReadMore »

16 Desember 2012

Evaluasi Pernikahan, Inilah Saatnya

Evaluasi Pernikahan, Inilah Saatnya
Oleh Gede H. Cahyana

Pernikahan bahagia dibumbui oleh asam, asin, manis, dan pahit kehidupan. 

Bupati Garut, Aceng Fikri menalak istrinya dalam tempo empat hari setelah akad nikah. Meskipun sah secara agama, tentu pernikahan singkat ini menjadi contoh buruk dalam relasi suami-istri. Juga ada anggota DPR, DPRD menikah sirri, yaitu tidak dicatat di KUA, tetapi tidak memberitahukan pernikahannya kepada istri-(istrinya). Walaupun tidak wajib, tetapi memberitahu bahwa ia akan menikah lagi, lalu mempertemukan istri-(istrinya) dengan calon istrinya adalah perbuatan baik. Ini perlu dilakukan karena semua anak yang lahir dari semua istrinya itu menjadi saudara “kandung” yang punya hak dan wajib yang proporsional, berkaitan dengan waris, wali, dan menghindari pernikahan antarsaudara “kandung” (incest).

Medio Desember 2012 sudah lewat, sebentar lagi masuk tahun baru 2013. Saatnya mengevaluasi pernikahan, seperti halnya perusahaan, yaitu tutup buku. Bagi pasangan baru, artinya keduanya baru kali pertama menikah, apalagi menikahnya pada angka 12-12-12 yang lalu tentu sekarang masih semanis madu. Barangkali sekarang sedang berlari-lari di sela-sela pohon atau tiang seperti Shahrukh Khan dalam Kuch Kuch Hota Hai. Ini wajar, semua orang akan meniti dan melewati kondisi semerbak mewangi surga dunia itu yang disebut bulan madu, minimal pekan madu selama tujuh hari. Cinta menggebu-gebu bagai gelombang pasang itu, hukum alamnya, tetapi ini wajar terjadi, akan masuk ke masa surut. Akan ada masa jenuh dan hambar, bagai sayur tak bergaram.

Itu sebabnya, evaluasi perlu dibuat, ditulis di kertas, dibuat analisis SWOT-nya. Apa saja kekuatan (strengths) yang masih dimiliki, kelemahan (weaknesses) yang terus menggerus, peluang dan kesempatan (opportunities) yang mulai tampak, dan ancaman (threats) yang mengakibatkan karam dan kandas pernikahan. Tulislah ini bersama pasangan, kalau istri lebih dari satu, ada baiknya dirumuskan bersama-sama agar transparan bahkan terbuka tentang uang, harta, gaji, laba/rugi dagang dan perusahaan sehingga semua istri menjadi legowo, terhindar dari curiga, iri, dengki. Rumuskan juga rencana tahun 2013, peluang pendapatan, rencana mudik, rencana umroh, haji, jalan-jalan wisata, bayar ZIS, membiayai sekolah anak yatim/ miskin, sekolah anak-anak, dan hal-hal lain yang khas bagi keluarga masing-masing.

Ingatlah, seperti menjadi murid atau mahasiswa, kehidupan suami-istri itu ada pasang surutnya, ada ujiannya, ada susah-senangnya. Tidak selamanya manis madu itu dinikmati. Onak duri menusuk setiap hari bisa terjadi. Salah paham hal-hal remeh bisa meletup besar, apalagi kalau melibatkan orangtua dan mertua, bisa menjalar-jalar. Rasa egoisme yang tinggi, tidak saling mengerti dan memahami, terlalu mengumbar kondisi rumah tangga kepada teman dan/atau tetangga sehingga menimbulkan fitnah dan gosip, api cemburu yang berlebihan dan selingkuh, yaitu punya WIL (tanpa nikah) atau PIL. Gesekan kecil, kalau tidak dibicarakan dengan kepala dingin, akan berubah menjadi badai, topan, puting beliung yang menggulung rumah tangga.

Itu sebabnya, momentum akhir tahun dapat dijadikan saat evaluasi rumah tangga. Bersamaan dengan itu, suami istri hendaklah saling mendoakan, kalau suami atau istri salah atau berbuat buruk (jahat), tolaklah dengan cara yang lebih baik. Sikap ini akan menimbulkan kebaikan dan rasa sayang di antara pasangan sebagai wujud dari kesabaran yang akan berakhir pada keberuntungan. Kendalikan emosi dan introspeksi diri atas perkataan, perbuatan yang buruk terhadap pasangan. Saling menasihati dengan kalimat yang baik dan nada suara rendah, lakukan pada saat yang tepat, juga ada baiknya di tempat yang romantis seperti pantai, gunung, taman, atau saat menonton film di bioskop.

Terakhir, apabila evaluasi ini tetap menghasilkan solusi yang buruk, artinya rumah tangga sudah tidak dapat dipertahankan, maka bercerailah dengan cara yang baik. Suami menalak istrinya atau istri menggugat cerai suaminya dengan baik dan benar sesuai dengan agama, dan kalau pernikahan itu dulu didaftarkan di KUA, segeralah urus ke Pengadilan Agama. Relasi humanisme tetap harus dipertahankan, tidak menyebarkan hal-hal buruk pasangan selama menikah, terutama kepada suami atau istri baru. Tutuplah episode hidup dengan pasangan lama seperti menutup museum, menjadi kenangan yang hanya diri sendiri yang tahu.

Selamat mengevaluasi pernikahan dan menyambut tahun baru 2013 dengan suka cita. *
ReadMore »