Mang Sanuki: Balada Tukang Rumput dari Majalengka
Oleh Gede H. Cahyana
Lelaki itu berperawakan kurus,
agak keriput, tingginya kutaksir 160 cm. Bajunya hijau tentara yang sudah
belel. Kerahnya putih kecoklatan, berlubang-lubang. Itulah “seragamnya” setiap datang
minta order potong rumput. Rata-rata 1,5 bulan sekali dia ke rumah.
Kadang-kadang aku yang ditemuinya, sering juga istriku atau anak-anakku yang
bermain di halaman depan.
“A, potong ya, sudah
tinggi,” begitu tawarannya. Mendengar itu, biasanya kulihat-lihat dulu ke depan
dan ke selokan. Kalau kira-kira sudah tinggi dan kotor kupersilakan dia
menggarap “projeknya”. Kalau kuanggap masih pendek, dengan berat hati kukatakan
agar dia datang satu-dua pekan lagi. Tampak mimik kecewa di wajahnya.
Disedotnya rokok lintingan, lalu berbalik. Kutatap gerak tubuhnya. Lunglai.
Gontai. Segenggam rasa campur aduk di hatiku. Tapi aku, sebagai orang gajian,
harus hemat. Rumput sering kubiarkan tinggi dulu, sampai batas-batas tertentu.
Kalau pendek-pendek sudah dicukur, terlalu boros. Kutahu artinya, ini
memperlama Mang itu mendapatkan ordernya. Namun aku, terlebih lagi istriku,
ingin menyiapkan uang sekolah anak-anak, untuk beli buku dan alat tulis.
Sekian lama mengenalnya,
kutahu kegiatannya. Mulai Antapani, Arcamanik, Guruminda, Kawaluyaan,
Margahayu, hingga Sentosa Asih adalah garapannya. Pergi pagi, jalan kaki
menyusuri jalan kompleks, mampir dulu makan kue serabi di perapatan. Dua lempeng
serabi mengganjal perutnya sampai siang. Setelah itu barulah keliling, pindah
dari satu rumah ke rumah lainnya, biasanya langganannya, sambil menawarkan jasanya.
Tiap rumah nyaris dihapal jadwalnya. Tapi tak selalu ada order. Banyak yang
mundur jadwal potongnya. Pada musim kering apalagi, rumput malas tumbuh. Dua
bulan lebih pun masih pendek-pendek. Bisa tiga bulan sekali baru dipotong.
Kerjanya rapi. Agak lambat
memang, dimakan usia. Tapi tak masalah, upahnya borongan, tak dihitung
jam-jaman. Aku puas melihat rumput dipotong sampai tampak bonggol akar-akarnya.
Pendek sekali. Di sela-sela memangkas, sesekali kuajak ngobrol. “Satu
laki-laki, tamatan SD, bekerja di pabrik di Majalengka. Satu lagi perempuan,
sekolah di SD,” jawabnya ketika kutanya berapa anaknya dan sekolah di mana.
“Yang seorang akan masuk SD. Laki-laki, A,” lanjutnya. Dia selalu memanggilku
dengan A atau Aa, sebutan kakak dalam bahasa Sunda.
Hebat juga Mang ini,
pikirku. Membiayai istri dan tiga anak hanya dari memotong rumput dan buruh
gali pemasangan kabel PLN atau pipa PDAM. Kerjanya apa saja, serabutan, asalkan
bayarannya dalam batas-batas tarifnya. Tiga minggu sekali dia balik ke kampung
membawa uang setoran buat keluarganya. Di Bandung, bukan di kos-kosan atau di
kontrakan dia tinggal. Tempat sekadar merebahkan diri pada malam hari hanyalah
gudang tua. Kulitnya sudah “kebal” oleh tusukan nyamuk, lintasan tikus dan
kecoak. Tempatnya di pinggir jalan By-Pass Bandung, di gudang tua dekat
pangkalan ojek. Tak hanya dia yang di sana. Ada lima temannya sesama profesi,
juga dari Majalengka. Merekalah mikrokomunitas yang tersisih dari derap
pembangunan, terlupakan zaman. Tak banyak yang mau bertegur sapa dengannya.
Keberadaannya hampir-hampir tak dianggap, kecuali untuk memotong rumput. Itu pun
setelah sekian bulan, paling cepat satu bulan pada musim hujan.
Orang-orang marjinal
seperti itu bisakah lepas dari kemiskinan? Bukannya tak mau bekerja, tapi kerja
semacam itulah yang bisa mereka lakukan. Lain tidak! Kalau tak ada order
setelah lelah keliling kompleks, mereka hanya duduk-duduk saja sambil makan
pisang goreng sebagai makan siang. Bisakah mereka lepas dari dera kepapaan?
Minimal anak-anaknya sekolah sampai SMA? Jangankan universitas, ke SMA saja
sulit biayanya. Aku jadi teringat berita di koran, betapa banyak pejabat yang
khianat, mengorupsi dana pendidikan. Di mana uang rakyat berupa pajak dan
retribusi itu? Menyaksikan demikian besar KKN menyelimuti pejabat di Indonesia,
seorang kyai terang-terangan menunjukkan kegeramannya atas perilaku bejat
koruptor, penipu berdasi yang selalu mencuri uang rakyat. Curiannya lantas
dipamerkan jor-joran di depan rakyat.
“Pernah ke Majalengka, A?”
aku terkesiap, buyar lamunanku. Sambil terperangah, kujawab pernah. Aku pernah
survei air bersih di sana, tepatnya di desa asal seorang mantan gubernur Jawa
Barat pada masa itu. Berkali-kali pula aku lewat di sana dan bahkan sekarang
aku masih punya saudara, tepatnya kakak istriku tinggal di sana. Kuceritakan
juga asalku, asal istriku dan jumlah anakku. Dia manggut-manggut saja sambil
berkata sepatah dua patah gumaman atau sekadar kata-kata Ooo.. saja.
***
Dalam rentang waktu
tertentu, dia datang lagi. Aku, juga istriku seolah-olah sudah berlangganan
padanya. Dengan berat hati sering kutolak tukang rumput lainnya karena menunggu
kedatangannya. Tiap kali datang, dia bercerita tentang keluarganya, tentang
kegiatannya di desa: perayaan agama, pernikahan dan sunatan. Sekali waktu dia
datang hanya untuk memberiku kecap asli Majalengka. “A, ini dari anak saya. Dia
sekarang kerja di pabrik kecap,” dua tangannya memegang botol kecap kehitaman.
“Waduh, Mang, tak usah
repot-repot. Kapan datang?”
“Kemarin!”
Kupersilakan dia masuk.
Kami ngobrol ini-itu, apa saja dan sekenanya. Hari itu dia pulang setelah
kujamu dengan goreng pisang dan kopi. Dua pekan ke depan kusuruh dia datang
lagi. Tapi sejak itu tak pernah lagi dia datang. Pekan demi pekan berlalu, tak
jua muncul. Aku dan istriku bertanya-tanya, apakah dia marah karena tak kuberi
order? Aku tepis pendapatku. Tak mungkin begitu. Kami sudah lama kenal, sudah
seperti sahabat layaknya.
Sekarang, setelah sembilan
tahun kenal, aku merasa kehilangan. Setiap kali kulihat rumput bertambah
tinggi, ingatanku terbang ke sosoknya. Kesulitan aku mencarinya. “Betul, bu.
Kita butuh orang-orang seperti Mang Sanuki,” kataku suatu kali setelah lama
rumput halaman tak dijamah pemotong rumput. Sebetulnya aku punya gunting rumput
dan sering juga memotong rumput jika ada kerja bakti di RT-ku. Bukannya aku tak
mau capek-capek memotong rumput, tapi aku, seperti saran istriku, ingin
memberikan order buat Mang.
Kalau sudah begitu, rumput
makin tinggi, aku lantas keliling mencari pemotong rumput lain. Kutemukan
seorang dan kuajak ke rumah. Dia bekerja seperti layaknya yang lain. Namun aku
dan istriku bisa menilai, bisa membandingkan cara kerja dan hasilnya. Mang
Sanuki kami anggap lebih bagus. Ini mungkin subjektif. Tapi entahlah, kurasa
Mang Sanuki yang lebih bagus. Bersih dan rapi. Mang lainnya, dengan bayaran
yang sama, hasilnya tak memuaskan. Jadilah kami merasa kehilangan Mang Sanuki.
Enam bulan berlalu sejak
itu. Masih tak tampak Mang Sanuki. Rumput dipotong oleh yang lain. Ada yang
menggunakan gunting biasa, ada yang memakai sabit, ada juga yang memakai mesin.
Dua kali Mang yang memakai mesin yang katanya sewaan itu memotong rumput.
Suaranya bising sekali; aku sempat malu pada tetanggaku yang punya bayi. Tapi,
lantaran sudah telanjur dan memang rumput sudah terlalu tinggi, aku tetap saja
mengiyakan ketika Mang ini minta order.
Sampailah suatu hari
ketika aku bertemu dengan seorang tukang rumput. Tubuhnya lebih kecil daripada
Mang Sanuki tapi lebih berisi, lebih padat dan lebih kuat. Gempal. Setelah
tawar-menawar, dia sepakat pada harga yang sering kuberikan pada Mang Sanuki. Selama
dua jam dia menyabit dan membersihkan selokan, juga memangkas pohon jambu. Tiba
saatnya istirahat. Gorengan yang dibeli istriku dan kopi panas menemaninya.
Kutawari makan tapi tak mau. Air bening pun disediakan.
“Mang, kenal Mang Sanuki?”
kutanya sambil jongkok di sebelahnya.
“Emmm... kenal. Kenal
sekali.” Dia beringsut ke pinggir, duduk di atas lantai. “Sakit sekarang,”
lanjutnya.
Aku kaget. “Sakit apa,
Mang?”
Sambil menunjuk
perutnya,”Sakit maag. Parah. Tak bisa bangun.” Di sela-sela mengunyah diseruputnya
kopi setelah menawarkannya kepadaku.
“Sejak kapan, Mang?”
Dia berusaha
mengingat-ingat. Agak lama diam. “Ada enam bulan lewat.” Kopi diseruputnya
lagi. Gorengan masih dipegangnya. Aku tercenung. Diam. Pantas saja Mang tak ke
sini. Itu sama dengan rentang waktu sejak pertemuanku terakhir dengannya.
Berarti dia tak pernah ke Bandung lagi sejak itu. Ternyata sakit. Maag yang
parah.
“Buu... sini!” Istriku
mendekat.
Setelah kuceritakan
singkat, refleks dia bertanya,” Sejak kapan?”
Jadilah kami ngobrol.
Kukorek keterangan dari Mang itu dan kudapat informasi yang mengagetkan. Mang
Sanuki, sekian hari setelah bertemu di rumah, mendapat order membangun pagar.
Bersama teman-temannya dia bekerja borongan. Udara panas waktu itu. Setelah
capek bekerja dia istirahat dan seperti biasa, dia langsung minum. Entah
kenapa, Mang Sanuki langsung saja minum air dari botol air kemasan ukuran 600
ml. Mungkin karena sangat haus, tak awas lagi pada apa yang dipegangnya. Sekali
teguk masuklah cairan dalam botol itu ke perutnya.
Yang diteguknya ternyata
bukan air, bukan air bening. Perutnya langsung sakit melilit-lilit.
Teman-temannya panik. Karena tak punya uang, juga tak paham pertolongan pertama
pada kasus tersebut, dia hanya dibaringkan dan diberi air minum. Obatnya dibelikan
di warung. Tergolek lemas dan akhirnya dibawa pulang atas kawalan temannya.
Uang tak dapat, malah sakit yang datang.
Apa yang diminumnya?
Lambungnya rusak, iritasi berat. Mukosa ususnya melepuh. Ginjalnya pasti kena.
Cairan keras itu dalam jumlah sedikit saja bisa meracuni tubuh. Racun tiada
tara kerasnya. Jangankan diminum, dibaui saja bisa membuat pusing. Kepala
berdenyut-denyut dan fly... mabuk semaput, tak sadarkan diri. Itu semua bermula
dari minyak cat yang diminumnya. Thinner yang mengiris-iris lambungnya yang
menjadi sebab-musabab beliau meninggal. *