Di Parangtritis dia menjadi nelayan, sama seperti orang tua dan kakeknya. Usianya memasuki 40 tahun. Pipinya cekung, tonjolan tulang pipinya jelas terlihat. Berkulit legam terbakar matahari, tiap hari dia melaut dan hasilnya dijual ke tengkulak. Demi kaderisasi, seperti umumnya nelayan, dia pun ingin tahu nasib anak lelaki satu-satunya. Pergilah ia ke seorang peramal. Hasilnya menggelisahkan. Pasalnya, peramal mengatakan bahwa anaknya akan meninggal sebelum remaja karena buaya. Ia tahu, di muara sungai dekat desanya memang banyak ada buaya. Ia malah sudah pernah menangkap dua buaya bersama tetangganya.
Itu sebabnya ia gelisah. Resah memikirkan nasib anaknya, tak rela anaknya tewas karena buaya. Membayangkan kulitnya yang kasar bergerigi, giginya yang besar, kuat dan tumbuh tak rata, mengerikan baginya. Setelah lama berpikir akhirnya ia putuskan untuk pindah. Gunung adalah tujuannya. Ia ingin tinggal di lereng Merapi, menjadi peladang di sana sambil merawat anaknya. Di gunung dekat hutan itu ia pastikan tak ada buaya. Ia yakin akan hal ini.
Hari berganti pekan, pekan menjadi bulan, bulan pun berganti tahun. Sampailah ulang tahun ke-10 anaknya. Menurut ramalan, anaknya meninggal tepat pada hari ulang tahun ke-10. Dijaganya anaknya pada hari H itu. Ketat diawasinya. Hingga siang tak tampak tanda-tanda ada buaya. Tak mungkin ada buaya di sini, pikirnya sambil menatap anaknya yang bermain dengan teman-temannya, seperti hari-hari biasanya. Mereka bermain sambil belajar di dekat pengolahan kayu. Ada yang menggambar Merapi, ada yang menggambar pohon, ada yang menggambar binatang. Melihat itu ia pun yakin anaknya aman. Ia lantas pergi ke ladang, menengok sapinya yang merumput.
Matahari sudah memerah, hari memasuki petang. Sejumlah anak masih tetap bermain di dekat tumpukan kayu yang penuh gambar. Para pekerja pengolahan kayu siap-siap pulang dan membereskan tumpukan kayunya. Mereka menumpukkan kayu-kayu itu seperti biasanya. Anak-anak tetap bermain di sisi sebaliknya. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Satu patok kayu patah karena tak kuat menahan beban yang makin berat. Arah rubuhnya ke arah anak-anak itu. Beberapa anak terjepit kakinya dan yang lain patah tangannya. Tangis meramaikan suasana.
Ada seorang yang tertimpa tumpukan kayu. Tujuh lembar papan besar bersilangan menindihnya. Satu per satu papan itu diangkat para pekerja. Yang tertimpa ternyata anak mantan nelayan itu. Lehernya patah. Darah ke luar dari telinga kirinya, berceceran di tanah. Seorang pekerja langsung mencari bapaknya. Mendengar pemberitahuan itu, ia tersentak dan lari ke tempat kejadian. Ia peluk anaknya, bersimbah air mata. Di sela-sela isak tangisnya dia teringat kata-kata peramal itu bahwa anaknya meninggal karena buaya. Ia tetap tak percaya. Mana buayanya? Di sini tak ada buaya, tegas hatinya.
Ia lalu melihat ke kiri. Dilihatnya balok kayu yang menindih anaknya. Ia balikkan balok itu. Jantungnya terkesiap. Di balok yang menindih anaknya itu, yaitu balok terbawah yang langsung bersentuhan dengan tubuh anaknya, ada gambar buaya!*
---***---
Mati adalah takdir, sudah tercatat kapan terjadinya dan tak seorang pun tahu kapan ia datang. Jika sudah waktunya, ia pasti hadir. Yang berbeda adalah caranya. Ada karena sakit, karena kecelakaan, karena perang atau karena bencana alam seperti letusan Merapi atau gempa.
Merapi, sampai saat ini, belum menjadi alat kematian bagi masyarakat di sekitarnya. Tapi yang pasti, masyarakat di sekitar Merapi pasti akan mati suatu saat kelak, sama seperti kita. Bisa karena sakit, bisa karena lain-lain sebab. Begitu pun korban gempa Yogya yang hari ini, Selasa 30 Mei, mencapai 6.200-an orang tewas. Mereka dijemput maut lewat alat bernama gempa. Tak seorang pun tahu akan ada gempa. Jangankan orang awam, pakar gempa pun tak tahu. Begitu pun kematian, tak ada yang tahu, tapi ia datang tepat waktu.
Mati tak bisa dihindari. Tak bisa diobati. Ia bukan penyakit. Sembunyi di lemari baja atau bunker sekalipun, tetap saja ia menjemput. Ia pun tak pernah pilih kasih. Siapa pun akan dijemputnya jika sudah waktunya. Tak bisa dimajukan, tak bisa diundurkan, tak bisa ditunda, apalagi dihilangkan. Jika demikian, perlukah kita takut akan kematian?
Takut mati memang masuk akal. Cinta keluarga, sayang orang tua, istri-suami dan anak-anak, dan cinta dunia menjadi sebabnya. Tapi takut mati takkan menjauhkan mati dari kita. Takut mati atau berani mati, tetap saja mati menjadi rahasia yang tak terungkap dan takkan pernah terpecahkan rahasianya. Rahasia mati mungkin akan terpecahkan jika ada orang mati lalu hidup kembali dan ingat apa yang terjadi selama dia mati. Jika kisahnya dibukukan, maka 100% menjadi buku best seller di seantero dunia.
Namun demikian, yang jauh lebih penting daripada itu adalah hidup sesudah mati. Hidup sesudah mati adalah hidup yang takkan mati. Kekal abadi. Hidup jenis ini harus diperjuangkan sekarang. Sebab, hidup sekarang ini tak sekadar main dadu, main untung-untungan. Hidup mirip lomba lari, lomba menuju garis finis dan berupaya menang. Menang melawan godaan dunia yang sarat nikmat, yakni nikmat semu fatamorgana. Tapi nikmat dunia tetap wajib dicari demi ibadah. Harta benda halal wajib dicari demi mengisi masa hidup ini, demi tabungan amal, demi menolong korban gempa misalnya.
Mati, baik karena Merapi maupun karena gempa, adalah soal cara. Mati, baik karena buaya maupun gambarnya, adalah soal cara. Hakikatnya, mati adalah takdir yang sudah tertulis di alam azali. Karena sudah tertulis dan kita tak tahu kapan terjadinya, juga tak bisa dimajukan maupun diundurkan, maka tak usahlah resah. Sebab, resah atau tidak, takkan mengubahnya. Jika sudah takdirnya, maka terjadilah. Sang Kuasa hanya berkata kun fayakun! Terjadi, maka terjadilah!
Kini kita sedang antri masuk kuburan. Jika kita sering menyalip ketika antri di loket PLN, PDAM, kereta api, bis, beli formulir, prapatan lampu merah, dll, kita tak mau tertib, maka pada jenis antri masuk kuburan ini mau tak mau kita harus tertib. Atau, adakah yang ingin menyalip mendahului?
Dan Allahlah yang Mahatahu. *
Gede H. Cahyana
ReadMore »
Itu sebabnya ia gelisah. Resah memikirkan nasib anaknya, tak rela anaknya tewas karena buaya. Membayangkan kulitnya yang kasar bergerigi, giginya yang besar, kuat dan tumbuh tak rata, mengerikan baginya. Setelah lama berpikir akhirnya ia putuskan untuk pindah. Gunung adalah tujuannya. Ia ingin tinggal di lereng Merapi, menjadi peladang di sana sambil merawat anaknya. Di gunung dekat hutan itu ia pastikan tak ada buaya. Ia yakin akan hal ini.
Hari berganti pekan, pekan menjadi bulan, bulan pun berganti tahun. Sampailah ulang tahun ke-10 anaknya. Menurut ramalan, anaknya meninggal tepat pada hari ulang tahun ke-10. Dijaganya anaknya pada hari H itu. Ketat diawasinya. Hingga siang tak tampak tanda-tanda ada buaya. Tak mungkin ada buaya di sini, pikirnya sambil menatap anaknya yang bermain dengan teman-temannya, seperti hari-hari biasanya. Mereka bermain sambil belajar di dekat pengolahan kayu. Ada yang menggambar Merapi, ada yang menggambar pohon, ada yang menggambar binatang. Melihat itu ia pun yakin anaknya aman. Ia lantas pergi ke ladang, menengok sapinya yang merumput.
Matahari sudah memerah, hari memasuki petang. Sejumlah anak masih tetap bermain di dekat tumpukan kayu yang penuh gambar. Para pekerja pengolahan kayu siap-siap pulang dan membereskan tumpukan kayunya. Mereka menumpukkan kayu-kayu itu seperti biasanya. Anak-anak tetap bermain di sisi sebaliknya. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Satu patok kayu patah karena tak kuat menahan beban yang makin berat. Arah rubuhnya ke arah anak-anak itu. Beberapa anak terjepit kakinya dan yang lain patah tangannya. Tangis meramaikan suasana.
Ada seorang yang tertimpa tumpukan kayu. Tujuh lembar papan besar bersilangan menindihnya. Satu per satu papan itu diangkat para pekerja. Yang tertimpa ternyata anak mantan nelayan itu. Lehernya patah. Darah ke luar dari telinga kirinya, berceceran di tanah. Seorang pekerja langsung mencari bapaknya. Mendengar pemberitahuan itu, ia tersentak dan lari ke tempat kejadian. Ia peluk anaknya, bersimbah air mata. Di sela-sela isak tangisnya dia teringat kata-kata peramal itu bahwa anaknya meninggal karena buaya. Ia tetap tak percaya. Mana buayanya? Di sini tak ada buaya, tegas hatinya.
Ia lalu melihat ke kiri. Dilihatnya balok kayu yang menindih anaknya. Ia balikkan balok itu. Jantungnya terkesiap. Di balok yang menindih anaknya itu, yaitu balok terbawah yang langsung bersentuhan dengan tubuh anaknya, ada gambar buaya!*
---***---
Mati adalah takdir, sudah tercatat kapan terjadinya dan tak seorang pun tahu kapan ia datang. Jika sudah waktunya, ia pasti hadir. Yang berbeda adalah caranya. Ada karena sakit, karena kecelakaan, karena perang atau karena bencana alam seperti letusan Merapi atau gempa.
Merapi, sampai saat ini, belum menjadi alat kematian bagi masyarakat di sekitarnya. Tapi yang pasti, masyarakat di sekitar Merapi pasti akan mati suatu saat kelak, sama seperti kita. Bisa karena sakit, bisa karena lain-lain sebab. Begitu pun korban gempa Yogya yang hari ini, Selasa 30 Mei, mencapai 6.200-an orang tewas. Mereka dijemput maut lewat alat bernama gempa. Tak seorang pun tahu akan ada gempa. Jangankan orang awam, pakar gempa pun tak tahu. Begitu pun kematian, tak ada yang tahu, tapi ia datang tepat waktu.
Mati tak bisa dihindari. Tak bisa diobati. Ia bukan penyakit. Sembunyi di lemari baja atau bunker sekalipun, tetap saja ia menjemput. Ia pun tak pernah pilih kasih. Siapa pun akan dijemputnya jika sudah waktunya. Tak bisa dimajukan, tak bisa diundurkan, tak bisa ditunda, apalagi dihilangkan. Jika demikian, perlukah kita takut akan kematian?
Takut mati memang masuk akal. Cinta keluarga, sayang orang tua, istri-suami dan anak-anak, dan cinta dunia menjadi sebabnya. Tapi takut mati takkan menjauhkan mati dari kita. Takut mati atau berani mati, tetap saja mati menjadi rahasia yang tak terungkap dan takkan pernah terpecahkan rahasianya. Rahasia mati mungkin akan terpecahkan jika ada orang mati lalu hidup kembali dan ingat apa yang terjadi selama dia mati. Jika kisahnya dibukukan, maka 100% menjadi buku best seller di seantero dunia.
Namun demikian, yang jauh lebih penting daripada itu adalah hidup sesudah mati. Hidup sesudah mati adalah hidup yang takkan mati. Kekal abadi. Hidup jenis ini harus diperjuangkan sekarang. Sebab, hidup sekarang ini tak sekadar main dadu, main untung-untungan. Hidup mirip lomba lari, lomba menuju garis finis dan berupaya menang. Menang melawan godaan dunia yang sarat nikmat, yakni nikmat semu fatamorgana. Tapi nikmat dunia tetap wajib dicari demi ibadah. Harta benda halal wajib dicari demi mengisi masa hidup ini, demi tabungan amal, demi menolong korban gempa misalnya.
Mati, baik karena Merapi maupun karena gempa, adalah soal cara. Mati, baik karena buaya maupun gambarnya, adalah soal cara. Hakikatnya, mati adalah takdir yang sudah tertulis di alam azali. Karena sudah tertulis dan kita tak tahu kapan terjadinya, juga tak bisa dimajukan maupun diundurkan, maka tak usahlah resah. Sebab, resah atau tidak, takkan mengubahnya. Jika sudah takdirnya, maka terjadilah. Sang Kuasa hanya berkata kun fayakun! Terjadi, maka terjadilah!
Kini kita sedang antri masuk kuburan. Jika kita sering menyalip ketika antri di loket PLN, PDAM, kereta api, bis, beli formulir, prapatan lampu merah, dll, kita tak mau tertib, maka pada jenis antri masuk kuburan ini mau tak mau kita harus tertib. Atau, adakah yang ingin menyalip mendahului?
Dan Allahlah yang Mahatahu. *
Gede H. Cahyana