PDAM Banda Aceh, Janganlah Kolaps
Artikel ini pernah dimuat di Majalah Air minum Edisi 112 Januari 2005, pascatsunami Aceh.
Malang nian nasib PDAM Banda Aceh. Sudah jatuh ditimpa tangga. Walaupun Instalasi Pengolah Air Minumnya sudah bisa beroperasi dua minggu pascatsunami, tapi masyarakat di sana belum berani meminum airnya. Padahal mereka krisis air bersih. Antri air minum dari para relawanlah yang mereka lakoni. Sebab, kesan traumatis dan bau mayat terus saja mengibas-ngibas hidungnya. Seolah-olah air PDAM-lah yang busuk baunya.
Ini disadari oleh pegawai PDAM. Dibantu oleh tenaga ahli dari luar negeri, para pegawai PDAM berupaya meyakinkan masyarakat bahwa airnya aman. Sudah diolah dan mencapai standar kualitas air minum. Lewat media massa mereka kampanye perihal kualitas airnya. Upaya ini diacungi jempol dan pernyataannya benar. Andaikata semua unit operasi dan proses di IPAM-nya berjalan normal dan benar, pastilah mutu airnya bagus. Terlebih lagi kualitas air bakunya tetap terjaga, terutama secara kimiawi dan biologi. Apalagi kalau lokasi sadap sumber air bakunya tidak kena tsunami. Tiadalah alasan bagi masyarakat untuk menolak air PDAM.
Namun masalahnya, manusia itu punya perasaan. Inilah yang lebih dominan di hati para korban yang hidup. Mereka setiap hari menyaksikan mayat membusuk dan bergelimpangan di sungai dan baunya menyengat bukan kepalang. Mereka takut kena wabah tifus apalagi kolera. Sudah banyak yang diare. Juga kena tetanus. Bahkan sampai ada yang diamputasi tangannya. Di daerah bencana gempa apalagi disertai tsunami, soal sanitasi khususnya ketersediaan air bersih adalah masalah dominan.
Ketakutan akan wabah tersebut sangat beralasan dan masuk akal. Dalam teknologi air bersih, kondisi instalasi yang bagus belum menjamin air yang sampai ke pelanggan akan tetap bagus. Sebab, antara instalasi dan pelanggan masih ada satu sistem lagi yaitu distribusi. Sistem distribusi inilah yang perlu dicek kembali. Gempa yang disusul oleh tsunami boleh jadi merusak pipa. Bisa diduga, banyak pipanya yang bocor atau bahkan pecah dan putus. Jalan-jalan saja banyak yang amblas, jembatan putus, tanah merekah di mana-mana. Pipa yang notabene tertanam di tanah pasti terpengaruh juga. Memang tak mudah mencek kondisi pipa tersebut. Lebih sulit lagi menentukan titik-titik bocornya. Lantas, perbaikannya, dalam kondisi kalut begini, sangat tidak mudah.
Hilanglah Pelanggan
Masalah berikutnya adalah berkaitan dengan pelanggan PDAM. Dulu, sebelum bencana tsunami, pasti ada ribuan pelanggan PDAM. Namun sekarang, rumah-rumah sudah musnah, kantor-kantor luluh-lantak. Lalu, siapa yang menjadi pelanggan PDAM?
Kalaupun ada rumah yang masih berdiri, tetapi penghuninya lenyap disapu oleh gelombang seismik. Meter airnya yang kotor atau hancur atau hilang diseret arus air laut, mungkin masih bisa dibersihkan atau dipasang meter yang baru. Persoalannya, si empunya rumah sudah tak ada lagi. Sudah meninggal. Lalu siapa yang akan mengurusi meteran dan membayar rekeningnya? Hilanglah salah satu aset PDAM, yaitu pelanggan.
Yang lebih kasihan lagi, banyak orang tua pelanggan PDAM yang meninggal dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil. Mereka belum mampu mandiri. Jangankan disuruh membayar perbaikan dan untuk berlangganan air PDAM, mereka sendiri sangat butuh bantuan masyarakat dan pemerintah. Jangan-jangan banyak juga pegawai dan anggota keluarga pegawai PDAM yang meninggal atau hilang. Ini sungguh kerugian aset perusahaan yang tak terhitung nilainya. Krisis pegawai. Kita tahu, sulit merekrut pegawai baru yang dapat langsung familiar bekerja di daerah bencana. Belum lagi soal ilmu dan keterampilan kerjanya.
Maka, tidakkah PDAM seluruh Indonesia berupaya mengirimkan pegawainya untuk dipinjamkan selama beberapa bulan sampai PDAM Banda Aceh bisa bangkit lagi? Terutama sekali adalah pegawai lapangan yang langsung berhubungan dengan pelanggan. Paling tidak, mereka bisa membantu mencek lokasi dan kondisi pelanggan, apakah masih hidup ataukah meninggal. Data pasti jumlah pelanggan pascabencana ini sangat penting. Langsung tak langsung akan berpengaruh pada eksistensi PDAM. Bagaimanapun juga, PDAM tak mungkin eksis tanpa pelanggan. Air terus diolah tetapi tidak ada yang membeli, lalu dari mana uang operasional dan perawatan instalasinya? Belum lagi buat gaji pegawainya yang juga kena tsunami.
Oleh karena itu, ada pertanyaan penting yang mendesak. Adakah pegawai PDAM lain di Indonesia yang rela bekerja di Aceh dan membangun PDAM itu? Adakah pejabat PDAM lain yang berinisiatif mengirimkan pegawainya ke Aceh? Atau, adakah alumni Teknik Lingkungan yang ikhlas dan siap mental bekerja di daerah bencana itu dengan segala kesulitan dan ancaman keamanan dari GAM?
Air Tanah Asin
Kecuali masalah di atas, ada yang lebih parah lagi, yaitu air asin yang sempat meresap ke tanah rencong. Air asin inilah yang justru akan lama "melukai" tanah dan lahan wilayah kerajaan Samudra Pasai dulu. Boleh jadi butuh waktu puluhan tahun untuk memulihkannya. Bayangkan saja, air laut dengan rerata kadar garam 35 permil atau 3,5% sangat potensial mengasinkan air tanah dangkal. Taruhlah kadar garamnya 35 g/kg air laut atau sekitar 40 kg garam per meter kubik air laut, sulit dibayangkan berapa juta ton garam di laut pindah dan meresap ke tanah Serambi Mekkah. Sekali lagi, itu dalam satu meter kubik!
Dari jutaan ton garam tersebut, tentu tidak semuanya meresap ke tanah. Setelah ganas mengobrak-abrik daratan dan isinya, gelombang laut seismik itu pun pulang ke asalnya sambil membawa keping-keping serpihan, berjenis-jenis mayat dan garam-garamnya. Garam yang tertinggal dan meresap ke dalam tanah tentu tak kalah banyak. Tak sedikit daerah cekung yang masih digenangi air laut, seperti danau/kolam air asin.
Air laut pembalut tanah Aceh meresap ke pori-pori dan rekahan tanah. Sumur-sumurnya tak bisa lagi dijadikan sumber air minum. Semuanya terkontaminasi garam dan sulit diolah. Paket-paket pengolahan air yang banyak dijual di toko dan pasar tak mampu lagi mengolahnya. Kalaupun mampu dengan proses desalinasi tetapi harus sering gonta-ganti membran. Tidak ekonomis; dan tak mungkin bagi daerah yang baru saja kena bencana dahsyat. Akankah masyarakat krisis air sepanjang masa?
Sebab, air tanah menjadi asin di Aceh bukan lantaran intrusi air laut. Pada kasus intrusi mungkin saja airnya tak terlalu asin. Atau, katakanlah payau. Selama intrusi, air laut melalui butir-butir tanah sebagai adsorban (penyerap) ion-ion pembentuk garam yang bisa mengurangi kadar garamnya. Adapun tsunami di tanah rencong sungguh jauh berbeda. Tak hanya garam-garaman yang pindah ke darat, tetapi semua pencemar di laut ikut serta. Pencemaran yang sangat masif.
Namun kita berharap agar air tanah-dalamnya tidak tercemari air laut sehingga dapat dijadikan sumber air minum oleh masyarakat, daerah komersial dan juga PDAM. Mudah-mudahan saja belum kena intrusi. Semoga PDAM Banda Aceh, juga PDAM lainnya di Nangroe Aceh Darussalam bisa bangkit dan mampu menata kawasan distribusinya, dan mampu meraih kembali pelanggannya sedikit demi sedikit.
Akhir kata, sekali lagi, bantuan dari PDAM lain di Indonesia, baik dana maupun pegawai, misalnya lewat Perpamsi, sangat ditunggu-tunggu. Bantuan tersebut lebih bersifat jangka panjang, di atas lima tahun.*