1. APA YANG TERJADI ?
Ekosistem bumi kita tengah mengalami perusakan pada berbagai skala. Pada skala dunia di negara-negara berkembang antara tahun 1990-1995 terjadi penghilangan 65 juta ha hutan akibat overharvesting, konversi tanah untuk pertanian, kebakaran hutan dan lain-lain, sehingga sekitar 2 milyar ha tanah rusak terdegradasi dan mengancam kehidupan 1 milyar penduduk dunia. Antara tahun 1993-2002 bencana pada tingkat dunia mencapai 2654 kejadian dengan menelan kerugian lebih dari 603 milyar dolar Amerika. Bencana ini 40% berupa banjir, 30% badai, 10% kekeringan, 7% tanah longsor, 5% kebakaran, 5% temperature ekstrim dan hanya 3% karena gempa dan letusan gunung berapi. Pada tahun 1998 saja bencana yang terkait dengan iklim menelan biaya sama dengan biaya bencana untuk satu dasawarsa tahun delapanpuluhan.
Pada skala nasional kerusakan hutan di Indonesia mencapai luas setara 6 lapangan sepakbola permenit dengan kerugian Rp 83 milyar perhari atau Rp 30 trilyun pertahun. Padahal menurut UU No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan, minimal 30% dari luas pulau atau daerah aliran sungai (DAS) harus berupa hutan. Indonesia dengan luas daratan 200 juta ha dan jumlah penduduk lebih dari 210 juta jiwa memiliki luas hutan yang sudah berada di bawah 30%, sehingga perlu kebijakan dan upaya penghentian deforestasi secara mendasar dan mendesak. Akibat rusaknya hutan 31% dari 136 DAS besar di Indonesia berada dalam keadaan sangat kritis, 41% kritis, dan 28% agak kritis.
Sementara itu pulau Jawa dengan luas 13,3 juta ha dan jumlah penduduk lebih dari 120 juta jiwa memiliki luas hutan yang sudah jauh dibawah 30% sehingga degradasi yang terjadi bukan saja di daratan namun juga terjadi di pantai dan laut Jawa, yang mengalami perusakan sangat signifikan berupa pelumpuran, pendangkalan, abrasi pantai, hingga turunnya tangkapan ikan para nelayan.
Propinsi Jawa Barat dengan luas 3,7 juta ha dan jumlah penduduk diatas 3,6 juta jiwa memiliki luas hutan yang masih pada kondisi baik tinggal 7-9% saja. Gangguan terjadi karena pencurian kayu 80%, perambahan hutan 10%, kebakaran hutan 7%, dan karena bencana alam 3%. Kebutuhan kayu di Jawa Barat mencapai 2,5 juta m3/tahun, sementara kemampuan produksinya hanya sekitar 300.000 m3/tahun. Akibat nyata dari kerusakan hutan ini sudah sangat dirasakan berupa kemandegan dan turunnya tingkat produktivitas pertanian, mengalami kekurangan air dan kekeringan dimusim kemarau, serta mengalami banjir dan longsor dimusim penghujan. Bencana yang dihadapi Jawa Barat bukan saja berupa bencana alam dan lingkungan tetapi juga berupa bencana sosial dan ekonomi seperti bangkrutnya sebagian besar pabrik tekstil, berlipatgandanya jumlah penduduk miskin, serta ancaman berbagai penyakit baik yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit maupun pathogen lainnya seperti flu burung, demam berdarah, polio, malaria, anthrax, kusta, disamping penyakit kulit, pernapasan atau penyakit pencernaan yang biasa.
Kota Bandung dengan luas lahan 16.729 ha dan jumlah penduduk 2,5 juta jiwa memiliki ruang terbuka hijau tinggal 1,5% yang seharusnya memiliki luas hutan kota paling tidak 10% (menurut PP No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota). Curah hujan di tahun 1896 masih 3000 mm/tahun, saat ini hanya sekitar 2250 mm/tahun. Koefisien run-off di kota Bandung sudah mencapai 90% pada tahun 2004, padahal tahun 1960 masih sekitar 40%. Temperatur maksimum kota Bandung saat ini mencapai 34oC, padahal sebelumnya tidak pernah lebih dari 27oC. Kondisi hujannya semakin asam (pH 3,5) dan jumlah hari sehatnya tinggal 55 hari karena udara kota Bandung telah semakin tercemar. Kadar Pb dalam udara kota Bandung sudah diatas ambang batas sehingga bukan sekedar membahayakan kesehatan namun juga bisa berdampak buruk pada tingkat kecerdasan penduduknya dikemudian hari. Sungai di kota Bandung berjumlah 46 buah dengan panjang 268 km serta 77 buah mata air saat ini berada dalam keadaan sekarat. Kota Bandung tengah menghadapi masalah kekeringan kota. Muka air tanah sudah sangat menurun, dalam sepuluh tahun terakhir ini muka airtanah dangkalnya telah menurun hingga 10 meter dan airtanah dalamnya mencapai 80 meter, akibatnya terjadi landsubsidence sedalam 2 meter pada lahan seluas 5 x 3 km di daerah Dayeuh Kolot.
Kondisi ini diperparah dengan kerusakan di Kawasan Bandung Utara (KBU) yang telah mencapai 70%. Kawasan ini merupakan kawasan lindung dan daerah tangkapan air hujan bagi cekungan Bandung dengan potensi 0,25 x 1,2 milyar m3/tahun, merupakan 60% dari sumber pasokan air tanah Kota Bandung serta merupakan infrastruktur alam untuk memelihara kestabilan iklim mikro Kota Bandung.
Secara teoritis apabila fungsi kawasan lindung di hulu sub DAS sungai-sungai kecil Kota Bandung dapat dipulihkan, sebenarnya Kota Bandung tidak perlu mengalami kekeringan dan dapat memenuhi kebutuhan air warganya sepanjang tahun. Namun dengan kondisi kawasan lindung yang rusak , bila hujan tidak ada yang tersimpan atau meresap ke dalam tanah karena langsung melimpas. Penelitian menunjukkan bahwa potensi air yang bisa dimanfaatkan di musim kemarau tinggal 10% saja atau 28.750.000 m3/tahun, itupun kualitasnya sangat jelek karena tercemar oleh limbah, padahal kebutuhannya sudah mencapai 182.500.000 m3/tahun. Jadi sudah sangat defisit. Bayangkan menurut prediksi National Geographic, pada tahun 2015 kota Bandung berpenduduk 5,3 juta jiwa dengan kebutuhan air bersihnya 386.900.000 m3/tahun dengan basis kebutuhan air 200 liter/ orang/hari. Kalau kota Bandung bertambah penduduk 1 orang, berarti harus menyediakan air 200 liter/ orang/ hari.
2. MENGAPA BISA TERJADI ?
Nampak sekali dari kenyataan di atas kerusakan lingkungan di manapun sudah akan memberikan dampak secara multiskala, mulai dari skala mikro hingga skala global. Peran metabolisme planet bumi hasil proses fotosintesa di Indonesia pada iklim global sangat menentukan. Indonesia merupakan salahsatu dari paru-paru dunia selain Brasil di Amerika Selatan dan Konggo di Afrika Tengah yang mampu menyerap karbon dioksida hingga 2,5 kg per meter persegi pertahun. Gas CO2 ini kemudian dikonversikan menjadi gas oksigen yang dihirup oleh mahluk hidup di dunia. Lebih dari Brasil dan Konggo Indonesia memiliki kondisi laut yang luas dan dangkal serta matahari berlimpah sehingga memiliki konveksi air laut yang lebih aktif dan merupakan wilayah pembentuk awan paling aktif menjadi salah satu generator utama iklim global. Seharusnya kenyataan ini merupakan posisi tawar Indonesia yang tiada taranya dalam proses globalisasi. Sayang karena lingkungan lokalnya tidak terjaga dan iklim mikronya juga rusak sehingga Indonesia pun menjadi sangat rentan terhadap pengaruh dari perobahan iklim global.
Berada diantara dua benua dan dua samudra iklim di Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh kejadian alam yang terjadi kedua benua dan kedua lautan tersebut. Fenomena terbentuknya kutub panas baik di lautan Pasifik maupun lautan Hindia menyebabkan iklim musim di Indonesia yang diakibatkan oleh pemanasan benua Asia atau Australia juga sangat dipengaruhi oleh perbedaan temperatur di bagian barat dan timur lautan Pasifik serta temperatur di bagian barat dan timur Lautan Hindia. Pengaruh El Nino dan La Nina (El Nino Southern Oscilation - ENSO) akan sangat terasa di bagian timur Indonesia dan bagian barat Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh pergeseran kutub panas di lautan Hindia (Indian Ocean Dipole Mode Event-IODM). Perobahan iklim dunia menyebabkan periode ulang ENSO yang biasanya terjadi selang 5-7 tahun kini cenderung sering muncul dengan selang 4 tahun, sementara periode ulang IODM yang semula terjadi selang 15 bulan pada waktu tertentu muncul pada selang 3-4 tahun juga.
Dengan demikian multiskala iklim di Indonesia harus dipahami dengan baik. Iklim Indonesia selain dipengaruhi secara global juga dipengaruhi melalui perobahan regional iklim musim dengan ENSO dan IODM. Untuk mengurangi pengaruh iklim global dan regional tersebut bahkan untuk membangun kembali iklim global dan regional, Indonesia harus mampu membangun kembali iklim mikromya yang handal, dengan cara memanfaatkan dengan sebaik-baiknya kekhasan alam masing-masing pulau dan lembah-lembahnya, menyetop penebangan hutan, dan membangun kembali kawasan lindung di masing-masing wilayah.
Eko-hidrologi daerah aliran sungai merupakan sebuah sistem komplek yang tidak boleh terputus. Siklus air ini merupakan serangkaian gudang air dan pengalirannya yang mencakup gudang air di atmosfir pada awan yang menggantung di puncak gunung atau bukit, gudang air di hutan, gudang air permukaan di sungai dan danau, gudang air tanah dangkal, gudang air tanah dalam dan gudang air di laut. Pada saat ini keberadaan gudang-gudang air dan pengalirannya tidak terjaga, sehingga rusak bahkan tercemar. Dengan hilangnya luas dan kualitas hutan siklus air ini terpotong justru pada tahap yang paling menentukan kesinambungannya. Hutan di gunung pada dasarnya adalah tangki air alami pada tempat yang paling tinggi. Hutan di gunung adalah bendungan air alami yang paling baik. Penelitian Dr.Eneas Salati dari Brasil menunjukkan total air hujan yang didaur ulang oleh hutan adalah sebesar 74,1% yaitu air yang kembali ke atmosfir oleh evaporasi daun 25,6% dan oleh transpirasi 48,5%, sementara limpasan dan air tanah sebesar 25,9%. Ini menunjukkan bagaimana hutan dapat menjadi pengendali kelembaban, penjaga iklim mikro, dan pembangkit hujan secara berkesinambungan. Sejumlah fungsi hutan di atas sangat ditentukan oleh keberadaan jumlah dan keberagaman tegakan pohonnya. Fungsi pepohonan sebagai makhluk hidup yang tidak bisa berjalan tentunya akan sangat menjaga keberadaan sumber kehidupannya. Di atas permukaan tanah pohon yang cukup besar akan menghasilkan oksigen sekitar 2 kg/pohon/hari, membuat udara dan teduh karena pohon menyerap panas 8x lebih banyak dari pada tanpa pohon, menjaga kelembaban karena menguapkan kembali ? air hujan ke atmosfir, menyerap debu, mengundang berbagai kehidupan lainnya, dan membuat keindahan. Sementara di bagian bawah tanah pepohonan membantu mrenyerapkan air ke dalam tanah, mengikat butir-butir tanah, dan mengikat air di pori tanah dengan gaya kapilaritasnya dan tegangan permukaan. Kekuatan air yang melekat di permukaan butir tanah ini akan mampu menahan air lainnya menjadi sebuah bendungan alami yang limpasan airnya justru berada dibagian tanah yang lebih dalam membuat aliran di dalam tanah.
Sebagai sebuah negara kepulauan Indonesia sangat kaya dengan potensi airnya. Namun karena tidak memiliki kemampuan manajeman air yang tepat, utuh dan menyeluruh justru Indonesia saat ini merupakan negara pengimpor air paling besar. Dalam bentuk air maya Indonesia mengimpor sebesar 20,2 Giga m3 menurut neraca perdagangan air maya antar negara tahun 1995-1999. Air maya adalah sejumlah air yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk pertanian atau barang konsumsi. Untuk menghasilkan 1kg padi misalnya diperlukan 2700 liter air, 1 kg daging memerlukan 16.000 liter air, 1 kg kentang 160 liter air dan seterusnya. Dengan demikian kekuatan ekonomi dalam produk seperti itu sebenarnya berada pada kekuatan manajemen air, sementara pada saat yang bersamaan dengan jumlah penduduk yang sangat besar Indonesia merupakan pasar potensial bagi produk tersebut. Maka dengan kehancuran sistem manejemen airnya pasar Indonesia yang sangat besar itu justru akan dikuasai dan menjadi milik negara lain. Propinsi Jawa Barat dengan kekhasan alamnya karena letak dan topografinya memiliki potensi sumber air yang termasuk besar di dunia yaitu sebesar 81 milyar m3/tahun, namun karena kerusakan infrastruktur alamnya, pada musim kemarau ketersediaan airnya tinggal 8 milyar m3/tahun padahal kebutuhan totalnya sudah mencapai 17 milyar m3/tahun, sehingga setiap musim kemarau Jawa barat akan mengalami masalah kekurangan air. Apabila infrastruktur alamnya dalam keadaan baik karena pemulihan kondisi hutannya, maka ketersediaan air di Jawa Barat bisa dipelihara sebesar 25% dari potensi totalnya sepanjang tahun yaitu 20 milyar m3/tahun, yang berarti lebih dari cukup untuk memenuhi total kebutuhannya, yang memungkinkan petani di Jawa Barat dapat menggarap lahan pertaniannya sepanjang tahun menjadi jaminan alam peningkatan kesejahteraannya yang nyata.
3. APA YANG HARUS DILAKUKAN ?
Penataan kembali ekosistem harus dimulai dengan pemulihan infrastruktur alam berupa hutan, sungai, danau, pesisir dan sejenisnya. Infrastruktur buatan hendaknya dibangun justru untuk menguatkan dan menjaga kesinambungan manfaat infrastruktur alam bukan untuk menggantikannya, karena investasi dan biaya operasi infrastruktur alam adalah yang paling murah. Gunakan phyto-technology atau teknologi ramah lingkungan lainnya untuk maksud tersebut.
Secara legal upaya di atas harus dimulai dengan penetapan tata ruang kawasan lindung dan peraturan yang mampu membudayakan perilaku yang seharusnya terjadi di kawasan tersebut. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa, guna kepentingan keberkelanjutan. Di dalamnya bisa mencakup kawasan hutan lindung yaitu kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah; kawasan resapan air yaitu kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan, sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air; sempadan sungai yaitu kawasan sepanjang kanan kiri sungai, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai; kawasan sekitar waduk dan situ yaitu kawasan di sekeliling waduk dan situ yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsinya; dan kawasan sekitar mata air yaitu kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi mata air.
Secara regional Jawa Barat sudah menetapkan kawasan lindungnya sebesar 45% luas lahannya sebagai konsekwensi dari kekhasan alamnya berdasarkan kriteria objektif ketinggian dan kemiringan lahan, intensitas curah hujan, dan jenis tanah (Perda No.2 tahun 2003 tentang RTRW Propinsi Jawa Barat). Pada penerapannya di kabupaten dan kota sebenarnya harus dapat ditetapkan lebih luas dari kawasan lindung regional di atas, karena kebijakan setempat dapat menambahkan berbagai jenis kawasan lindung lokal berdasar kepentingan dan kearifan budaya setempat yang akan lebih menjamin kesinambungannya. Namun pada prakteknya saat ini justru kabupaten dan kota seolah tengah berlomba memacu pendapatan asli daerahnya dengan ekspansi kawasan budidayanya mengintervensi kawasan lindung tanpa memperhatikan kepentingan jangka panjang dan kaidah-kaidah kesinambungan. Tentunya hal ini akan sangat membahayakan semua pihak termasuk para investornya sekalipun, karena ketidakcermatan pertimbangan ekosistem dapat mengakibatkan bencana alam, bencana ekonomi dan bencana sosial yang seringkali bersifat irrevesibel.
Secara khusus Kota Bandung harus melakukan penataan ekosistemnya berdasarkan batas-batas alamnya sebagai bagian dari sebuah cekungan alami cekungan Bandung, yang juga merupakan hulu dari sebuah daerah aliran sungai yang sangat penting yaitu sungai Citarum. Secara regional Cekungan Bandung harus memiliki kawasan lindung seluas 54% termasuk di dalamnya adalah kota Bandung, sehingga pengkajian luasan hutan kota di kota Bandung menjadi sangat menentukan. Potensi luas taman di kota Bandung saat ini mencapai 115,25 ha, bila ditambah dengan potensi ruang terbuka hijau lainnya seperti jalur hijau, pemakaman, jalur tegangan tinggi, jalur kereta api, kawasan konservasi termasuk Punclut, pekarangan rumah, perkantoran dan industri seluruhnya bisa mencapai luas 8.336,48 ha yang berarti hampir separoh dari luas kota Bandung 16.729 ha. Konsep ruang kota Bandung pasca reformasi mestinya merupakan sebuah kota hutan yang sangat ditentukan oleh jumlah dan jenis tegakan pohonnya, dan bukan lagi kota taman sekedar untuk keindahan.
Pola kegiatan usaha di KBU sebagai kawasan lindung tidak dapat disamakan dengan kawasan yang sepenuhnya dialokasikan sebagai kawasan budi daya. Ekowisata yang harus dikembangkan adalah bukan yang bersifat large-scale and capital-intensive industrial tourism, melainkan suatu community, cultural, natural and landscape based turism yang melibatkan langsung masyarakat setempat sebagai salah satu pemain utamanya, bukan sebagai buruh pinggiran, satpam atau tukang kebun. Pengembangan ekonomi KBU hendaknya berbasis karakteristik fungsinya sebagai kawasan lindung (wanawisata, tahura, agrowisata, camping ground), kearifan budaya tatar sunda, dan keunikan lokal: G. Tangkuban Perahu, mata air panas, air terjun, patahan lembang, Cikapundung Hulu, Bosscha, gua Jepang, gua Belanda; dipadu dengan Homestay/ Bed and Breakfast yang memanfaatkan rumah-rumah penduduk yang layak untuk itu, tentu dengan dukungan pemda dan investor.
Ekowisata harus dikelola dengan kaidah-kaidah berkelanjutan, sehingga menciptakan peluang ekonomi bagi masyarakat lokal dan memberikan perlindungan bagi kawasan konservasi. Untuk menjamin keberlanjutan usaha ekowisata skala kecil dan menengah diperlukan dukungan aspek pengelolaan berupa kelembagaan, organisasi, tatacara, legaldan perlindungan; fungsi pengelolaan berupa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan; serta unsur pengelolaan berupa sumber daya manusia, aliran dana, aliran informasi, dan kajian pasar
4. LANDASAN TEORI
Terdapat 3 unsur penjamin kesinambungan yaitu tatanan ekosistem, evolusi nilai dan evolusi kelembagaan. Tatanan ekosistem akan melahirkan kebijakan infrastruktur baik yang alami maupun yang buatan untuk menjadi rujukan aplikasi dalam bentuk tatacara alat dan prosedur. Evolusi kelembagaan akan menata kembali aktivitas pemberdayaan dalam sektor-sektor kegiatan yang utuh. Sementara evolusi nilai akan memberikan rujukan pembudayaan membangun motivasi dan inisiatif untuk upaya pengembangan.
Selain itu harus dipertimbangkan dipenuhinya 3 paradigma kesinambungan yaitu paradigma keterkaitan ekosistem (proses globalisasi), keterkaitan multiskala (keanekaragaman), dan keterkaitan kesejahteraan. Keterkaitan ekosistem menggeser pendekatan sistem terbuka menjadi sistem tertutup atau semi tertutup untuk meminimumkan penggunaan sumberdaya dan buangan yang tak bermanfaat. Dengan pergeseran tersebut akan terjadi pergeseran pula tolok ukur dari upaya peningkatan nilai tambah yang sebesar-besarnya (energetik) menjadi pertukaran nilai manfaat yang berkelanjutan (exergetik). Sehingga yang menjadi ukuran di lapangan bukan lagi penguasaan aktivitas hulu sampai hilir melaiankan membangun siklus-siklus keterkaitan pada semua tahapan proses. Globalisasi adalah kenyataan keterkaitan ekosistem ini tetapi hanya dianggap terjadi pada skala besar saja. Sebetulnya proses ini terjadi secara multiskala bukan hanya pada skala global melainkan juga pada skala nasional maupun lokal. Paradigma keterkaitan multiskala menciptakan keanekaragaman sebagai upaya alami untuk menyeimbangan keterbatasan sumberdaya alam terhadap kebutuhan yang senantiasa meningkat. Gerak multiskala tidak terpusat hanya pada satu poros putaran saja melainkan masing-masing skala memiliki mekanisme putarannya sendiri, sehingga paradigma ini akan mengubah pendekatan secara sentralistik menjadi pendekatan terdistribusi dengan menciptakan banyak kemandirian, banyak jenis keberagaman, sekalipun tetap berada pada satu keterkaitan ekosistem. Dalam bidang ekonomi penerapan paradigma ini menetapkan keberadaan skala perekonomian global, nasional, dan lokal yang masing?masing memiliki mekanisme pasar, finasial dan distribusinya yang spesifik. Skala global saat ini berbasis investasi multinasional dan pasar bebas, sementara ekonomi skala kecil mestinya berbasis pemeliharaan daya beli dan pasar sendiri. Bencana ekonomi akan terjadi bila penetapan kebijakan ekonomi melanggar paradigma dasar alam ini.
Paradigma keterkaitan kesejahteraan terjadi karena manusia berbagi kesempatan kerja, tidak sekedar sekedar berbagi kekayaan. Kesempatan kerja akan terbuka sangat luas dengan ekonomi jasa yang dilandasi oleh mutu kemampuan dan kemauan sumberdaya manusia yang secara pendidikannya. Ekonomi Jasa akan mencakup 70% dari kegiatan perekonomian, akan merupakan kunci keberhasilan ekopnomi, serta akan mendorong sebagian masyarakat melayani kepentingan masyarakat lainnya (privatisasi layanan public pada masing-masing skala perekonomiannya).
Implementasi struktur dan paradigma kesinambungan di atas perlu ditunjang oleh upaya pelembagaan pemberdayaan dan pembuadayaannya, yang akan mencakup lembaga keuangan, lembaga pasar, dan lembaga gudang serta penyampaiannya untuk upaya pemberdayaan ekonomi; serta keberadaan lembaga keyakinan , lembaga silaturahim, dan lembaga pendidikan untuk upaya pembudayaannya. Lembaga-lembaga diatas akan memiliki kesepadanan fungsi dan keterkaitan diantara upaya pemberdayaan ekonomi dan penegakkan nilai budayanya, saeperti dalam pengertian bank adalah lembaga keyakinan ekonomi sementara lembaga keyakinan pembudayaan haruys merupakan banknya aspirasi, pasar adalah silaturahimnya ekonomi dan lembaga silaturakhim harus merupakan pasarnya aspirasi, demikian pula gudang dan penyampaiannya adalah lembaga pembelajaran ekonomi dan lembaga pendidikan seharusnya merupakan storage and delivery nya nilai-nilai dan aspirasi.
5. PENUTUP
Penataan kembali ekosistem nampaknya tidak dapat dilaksanakan hanya dengan memperhatikan kriteria kekhasan alamnya saja namun juga harus dengan secara mendasar menyertakan pertimbangan kearifan budaya setempat. Keraifan budaya sunda misalnya telah mampu mengungkap esensi keterkaitan ekosistemnya dengan istilah Siliasih yaitu harus saling mengasihi karena bersama-sama berada hanya dalam satu sistem alam, esensi keterkaitan multiskala dengan istilah Siliasah yaitu memberi keleluasaan hidup dan berpendapat untuk mampu menciptakan keberagaman, serta esensi keterkaitan kesejahteraan dengan istilah Siliasuh untuk saling berbagi kesempatan, sehingga mampu meraih Siliwangi yaitu sasaran sinergitas.
Secara praktis di lapangan kearifan budaya sunda inipun memberikan rujukan yang sangat seksama seperti diungkapkan dalam pesan Saursepuh yang mengungkap perlunya pertimbangan keseksamaan penanganan daerah aliran sungai dengan kearifan nilainya :
? Gunung - Kaian
? Gawir - Awian
? Cinyusu - Rumateun
? Sampalan - Kebonan
? Pasir - Talunan
? Dataran - Sawahan
? Lebak - Caian
? Legok - Balongan
? Situ - Pulasaraeun
? Lembur - Uruseun
? Walungan - Rawateun
? Basisir - Jagaeun.
Akhirul kalam cermati pula pesan Al-Quran dalam surat Qaaf (50) ayat 7-11 berikut:
Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali mengingat Allah.
Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba Kami, Dan Kami hidupkan dengan air tanah yang mati (Kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.
Allah menurunkan air dari langit, lalu mengalir di lembah-lembah menurut ukurannya,… (Surat Ar Ra`Du (13) 17).
Dan Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran, lalu Kami menempatkannya di Bumi. Dan sesungguhnya Kami berkuasa untuk menghilangkannya.
(Surat Al Mu`Minuun (23) 18).
BIODATA PENULIS
Mubiar Purwasasmita, Lahir di Sumedang 27 Desember 1951, Anak ke-7 dari 10, Keluarga Hadjar Purwasasmita (Alm) guru dan pendiri Sekolah Guru B dan Sekolah Guru A di Sumedang, dan Ibu Rd.Robiah Soemawisastra (Alm) guru Sekolah Menengah Pertama di Sumedang. Menikah tahun 1979 dengan Mintarsih Binti H.Iyon sarjana ekonomi Unpad 1981. Pendidikan dasar dan menengah diikuti di kota Sumedang. Lulus Sarjana Teknik Kimia ITB Tahun 1975, Lulus Doktor Teknologi Pemrosesan di Institut Nationale Polytechnique de Lorraine di Nancy-Perancis tahun 1985. Lulus sarjana langsung bekerja di Pabrik Keramik PT KIA sebagai Insinyur Proses dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Produksi. Tahun 1978 kembali ke Kampus ITB menjadi dosen teknik kimia hingga saat ini, pernah menjadi Pembantu Rektor ITB Bidang Perencanaan, Pengembangan, dan Pengawasan (1993-1997), Ketua Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM-ITB) (1997-2000). Sejak tahun 2000 aktif sebagai Ketua Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, serta Ketua Lembaga Kajian Strategis Paguyuban Pasundan.
Sebagai Dosen, Peneliti dan Pengabdi kepada masyarakat telah melakukan banyak hal nyata dan bermanfaat, antara lain : Mengembangkan Bahan Tahan Api Asal Lokal untuk membuat Reaktor Gasifikasi (1975-1978), Mengembangkan Sistem Pengolah Sampah Terpadu dengan berbagai alat yang dikembangkan sendiri, serta memecahkan permasalahannya pada berbagai bidang spesifik (1987-1992), Studi Penyediaan Air Baku yang mencakup masalah pengambilan dan penyimpanannya untuk Skala Industri (1980-1985), Mengembangkan Reaktor Kimia Baru berupa Reaktor Unggun Tetap dengan Aliran Gas dan Cairan yang sangat cepat dengan Katalis Padat yang sangat kecil untuk cairan organik maupun air (Thesis Doktor) (1980-1985), Merancang Alat Ekstraksi berbagai Bahan Alam Hayati seperti minyak nabati, atsiri, insektisida alam dll. (1988-1990), Mengembangkan Konsep Multiskala menyangkut keberadaan Usaha Desa, Nasional, dan Global (1996-2000), Mengembangkan Teknologi Bersih (Ecotechnology) dan penerapannya pada Tambak Udang Superintensif, Olah Lahan Pertanian Secara Terpadu, dll. (1997-2000), Mengembangkan Sistem Pabrik Skala Kecil dengan Penerapan Terdistribusi berbasis pengembangan Masyarakatnya, antara lain untuk Pabrik Gula mini, Pabrik Air Minum dalam kemasan, Fasilitas Penunjang Kampung Nelayan, dst. (1999-2000), Menginisiasi Metoda Dialog Partisipatif Masyarakat untuk membangun Strategi Pembangunan Kota, Kawasan Lindung Regional, Budaya Perusahaan, dll. (1997-2002), Ikut serta memecahkan berbagai masalah lingkungan alam yang kritis, tentang Infrastruktur Alam seperti Hutan, Sungai, Danau, Pesisir, Pulau Kecil, Udara, Iklim Mikro, dst. (2000-2003), Kajian Fenomenologi Nilai untuk membangun Kepekaan Aspiratif guna meningkatkan Potensi Manfaat Iptek (1983-2003), Penghutanan Kembali Lahan Kritis berbasis Masyarakat Setempat (2003-2004), Mengembangkan alternatif energi rakyat terbarukan, dan Olah lahan pertanian secara seksama berbasis bioreactor (2005-2006).
BANDUNG, 21 NOPEMBER 2005