• L3
  • Email :
  • Search :

28 April 2006

BBM Dibatasi Untuk Publik?!!!

Kemarin, 27 April 2006, ada berita bahwa pemerintah akan membatasi penggunaan BBM untuk publik. Ini dilakukan karena lonjakan harga BBM yang begitu luar biasa dan pemerintah tak mampu menambah subsidinya. Mendengar ini saya langsung termangu dan menerawang ke masa lalu, masa ketika kita sebagai negara pengekspor minyak. Kita jaya di dalam OPEC. Itu dulu! Tapi kini, saya kira lebih tepat kita sebagai anggota OPIC (Importir, ini kalau ada organisasinya).

Bicara hemat energi, ini adalah kali kedua dalam tempo satu tahun pemerintah mencangkan hemat energi yang lebih diarahkan pada publik. Sebelumnya pemerintah sudah membatasi penggunaan listrik. Hanya saja, semuanya terkesan asal-asalan karena sekarang tak berbekas lagi. Di sejumlah kantor pemerintah dan PJU (penerangan jalan umum) saya lihat bolam dan neonnya terus saja menyala pada siang hari. Siang malam menyala. Yang bayar bukan mereka, tapi rakyat. Karena merasa itu adalah duit rakyat maka mereka akhirnya tak peduli.

Kali ini saya tak hendak mengupas lips service amtenaar-aparat kita itu. Tulisan berikut ini hanya bicara soal energi alternatif yang sedang dikembangkan dan terus diteliti di luar negeri, di negeri jiran Thailand. Di Indonesia sudah ada beberapa yang memulainya tapi tak terdengar gaungnya.

BBMK
Kitti Maneesrikul, bukanlah seorang periset ataupun pengusaha. Ia hanyalah petani di Samut Songkram, Thailand. Namun demikian, darinyalah terkuak peluang energi alternatif yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan BBM. Kitti, tinggal 75 km arah Selatan Bangkok, mengklaim bahan bakarnya tidak banyak menghasilkan CO2 (tentu ini perlu dibuktikan), salah satu gas rumah kaca (greenhouse gas) yang dapat menghalangi refleksi sinar surya yang dipantulkan bumi ke angkasa sehingga temperatur atmosfer meningkat. (Silakan baca serial tulisan Hari Bumi: Climate Change Solutions di blog ini).

Temuannya berawal dari harga kelapa di daerahnya yang sangat murah karena produksinya melimpah sehingga hanya tersisa 10% dari harga normal. Nyaris tak berharga sama sekali. Namun karena petani yang juga guru SD ini tahu bahwa semua bagian pohon kelapa dapat dimanfaatkan, mulailah idenya menjalar-jalar. Selain itu, juga tak lepas dari harga solar yang mahal untuk pengisi tangki mobilnya. Kebun kelapaku banyak, katanya dalam hati, apa yang bisa kulakukan? Begitulah pertanyaan yang sering berseliweran di kepalanya.

Di kebun sebelah rumahnya yang banyak ditumbuhi pohon kelapa itulah ia lantas melaksanakan eksperimen kecil-kecilan, coba-coba, trial and error. Dari minyak kelapa bekas yang disaring (filtrasi), diperoleh filtrat yang dicampurnya dengan minyak tanah dan sejumlah zat aditif lainnya dengan rasio 1:20 untuk memberikan ekstra “kick’. Menurut Kitti, tak hanya minyak bekas yang bisa digunakan tapi juga minyak kelapa murni yang belum digunakan menggoreng. Tentu saja minyak bekas yang biasanya dibuang ke sungai lebih murah harganya sekaligus mengurangi pencemaran sungai.

Akhirnya, jadilah bahan bakar alternatif bagi mesin truknya, selain untuk mesin pabrik dengan penghematan 30% daripada minyak diesel. Sekarang bahan bakar masa depan yang terbarui ini juga digunakan oleh tetangganya untuk mesin-mesin tambak udang. Sudah dicoba pula untuk mesin traktor pertanian dan perahu nelayan setempat. Bahkan beberapa ferry menggunakannya untuk penyeberangan ke pulau Koh Samui, tempat berlibur di Thailand Selatan. Mereka, para pemilik jasa penyeberangan yang mengoperasikan tiga boat bisa menghemat 440.000 baht atau sekitar USD 10.000 sebulan. Sedangkan Kitti bisa mengirit 5.000 baht, sekitar USD 115 sebulan. Dengan semangat, produksinya saat ini mencapai 300 l seminggu, disimpan di drum di halaman rumahnya.

Berkat temuannya itu, tak pelak lagi, pujian pun datang dari pencinta lingkungan, dari kelompok Greenpeace regional Asia Tenggara. Walau demikian, ada juga yang masih ragu, takut kalau mesin kendarannya rusak (blow up). Karenanya, pemerintah Thailand dalam hal ini National Energy Policy Office, masih melanjutkan riset BBMK ini dengan kajian sisi kelayakan ekonomi, kualitas dan keamanan mesin-mesin kendaraan. Wajar saja pemerintah Thailand bersemangat karena tak kurang dari satu milyar butir kelapa dihasilkannya dalam setahun.

Bagaimana di Indonesia? Sama dengan Thailand, kita punya jutaan pohon kelapa yang bahkan gugusan pulaunya disebut nusa nyiur melambai, Rayuan Pulau Kelapa. Tinggal sekarang kemauan pemerintah untuk mendanai riset di sektor ini agar ada inovasi teknologi produksi BBMK yang optimal dari sisi kualitas dan tak kalah dengan BBM yang sebentar lagi akan habis karena tak terbarui. Namun begitu, yang juga patut dicari dan dikembangkan adalah energi alternatif (opsi) selain BBMK.

Opsi selain BBMK
Arah pengembangan energi alternatif adalah mensubstitusi energi konvensional saat ini, yakni BBM dan bahan bakar fosil (BBF) lainnya seperti batubara dengan mencari dan meningkatkan pemanfaatan energi alternatif yang murah, ramah lingkungan (environmental friendly). Beberapa di antaranya adalah etanol, telah digunakan di Swedia, Brazil, Australia, Kanada, Mexico atau minyak kelapa sawit (palm oil) yang sedang dikembangkan di Malaysia. Selain itu, ada juga sumber energi murah dan ramah lingkungan lainnya seperti energi air alias batubara putih, energi surya, angin, pasang surut atau gelombang dan biogas.

Energi air misalnya, termasuk energi bersih, tidak mencemari udara dan tidak mengandung zat radioaktif seperti halnya energi nuklir. Energi angin pun demikian. Ia bisa digunakan untuk memutar kincir seperti di negara Kincir Angin, Belanda dan menghasilkan listrik. Selanjutnya adalah energi pasang surut karena laut kita sangat luas yang gelombangnya tinggi bertubi-tubi. Yang juga potensial dan telah banyak diterapkan adalah energi surya yang melimpah di katulistiwa sepanjang tahun.

Terakhir adalah energi tertua yang dikenal manusia, yaitu energi biomassa. Tapi kendalanya bukan hanya vegetasi hutan yang menipis dan sangat diperlukan untuk konservasi air, juga potensinya mencemari lingkungan, degradasi lahan, flora dan fauna. Sebab itulah yang patut dikembangkan adalah energi biomassa dari IPAL anaerob berupa metana atau biogas dan juga dari sanitary landfill di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah. Setiap 1000 kg zat organik berupa COD ekivalen dengan 12 juta BTU (british thermal unit) sebagai metana, dan 10.000 BTU sekitar 1 KWH energi listrik.

Tantangannya sekarang: bagaimana menjinakkan energi biogas itu agar dapat digunakan dengan aman dan nyaman, comfortable. *
ReadMore »

Tujuh Alasan Aku Menulis

1. Setahuku, hidup ini linier, garis lurus menuju firdaus atau neraka saqar. Tak ada siklus. Hidup ini pun mirip parabola: lahir, kecil, muda, dewasa, tua, lansia, mati. Yang juga pasti, hidup ini hanya sekali dan singkat. Apa yang bisa aku lakukan, kulakukan. Patokanku: baik dan (juga) benar. Baik belum tentu benar. Benar pun belum tentu baik dari sudut (nafsu)-ku. Maka, aku hidup untuk hidup. Hidup di dunia demi hidup di akhirat. Menulis adalah salah satu caranya. Kutulis tapak-jejak hidupku agar tak dihempas masa, tak dilupakan zaman, tak diburu waktu, tak dideru debu, tak digadai badai. Minimal aku dikenang oleh anakku, cucuku, dan buyutku nanti. Harapanku, tulisanku menjadi warisan buat zuriatku, turunanku, terutama spiritnya. Spirit membaca dan spirit menulis. Memberikan contoh bahwa eksistensi bisa ditempuh lewat menulis. Kutulis, aku eksis. Inilah mottoku.

2. Insan kamil. Kutahu, tak mudah mencapai derajat insan kamil. Tak cukup hanya dengan ibadah ritual lantas mengklaim diri sudah saleh. Tak layak mengaku-aku sudah mencapai maqam (bukan makam) tertinggi. Begitu pun menulis. Tak ada batas dalam statistik seseorang pantas disebut penulis besar. Semasih hidup, sekali lagi semasih hidup, belumlah ada karyanya yang besar apalagi terbesar. Bagiku, proses itu baru berhenti ketika jasad telah berkalang tanah dan ruhnya menanti Hari Hisab di alam kubur, bukan di kuburan. Kuburan hanyalah tanah bercampur jasad lapuk, ditemani cacing, belatung, dan bakteri. Kutak ingin lahir sekali lalu mati tak berbekas. Kutak mau jadi sampah. Maka, agar jejakku berbekas aku harus menulis. Tulisan adalah ukiran hidupku yang kutoreh di kertas, kupahat di komputer. Apalagi kusadari, aku bukanlah ulama, bukan kyai, bukan ustadz. Hanya menulislah yang kulakoni di antara lakon-lakon lainnya. Kata orang bijak bestari, karakter insan kamil adalah manusia pembelajar, manusia pembaca dan HARUS menulis. Jangan berhenti di ufuk baca, teruskanlah sampai di titik tulis!

3. Waktuku adalah pedangku. Ali bin Abithalib penggemanya. Merinding aku menyimaknya. Terbayang mata pedang menyelempang di leherku. Aku gentar, dadaku bergetar, takut mati tanpa arti, bagai duri tak bertaji. Maka kuupayakan agar sword, sang pedang itu, berubah menjadi words, sang kata-kata. Kulawan sword dengan words: dengan kata, dengan frase, dengan kalimat, dengan paragraf, dan... dengan tulisan. Itu sebabnya, aku bersuluk-suluk mencari waktu agar bisa menumpahkan lika-likuku sebagai lelaki lewat tulisan. Ditemani buku lusuh, dikawani teh-kopi dan ditingkah tik-tik kibor komputerku, aku terus saja melajukan huruf per huruf, kata per kata, kalimat demi kalimat. Kuuntai mereka menjadi jalinan bermakna yang mudah-mudahan membuahkan hikmah yang bisa dipetik pembacanya. Lantas, ketika tuntas satu tulisan, legalah hatiku, bebaslah diriku, terbanglah aku. FLY. Kuterbang dan menari diiringi gemerincing tari sufi yang bersuluk di sudut mihrab. Aku fly di awan ilmu, di langit buku, di atmosfer kalbu.

4. Orang ‘alim, orang berilmu. Sesungguhnya, aku ingin masuk kalangan orang-orang berilmu yang mampu memanfaatkan ilmunya demi tabungan Hari Depan. Tapi aku sadar sesadar-sadarnya, tak banyak ilmu yang bisa kuserap selama ini. Yang kutekuni saja, sainstek lingkungan, hanya secuil jua yang kubisa. Sebagian besar sisanya tak kuketahui, apalagi kukuasai. Malah kudengar, orang paling jenius pun tak bisa menguasai semua ilmu di jagat ini. Dia hanya jenius di bidang tertentu. Dulu, tahun 1990 atau 1991, aku lupa tahun berapa pastinya, aku menonton film Rainman. Ceritanya tentang orang idiot tapi jenius dalam hal tertentu. Idiot savant disebutnya. Aku tentu saja tak ingin seperti Rainman itu. Lebih senang aku menjadi diriku saja sambil terus belajar tanpa maksud menjadi pejabat, apalagi mengganti pejabat (emang ada yang mau diganti? ge er?). Belajar bukan demi jabatan. Ini bukan prioritasku. Yang utama bagiku adalah menjadi pemimpin (bukan pejabat) bagi diriku (silakan baca beda pemimpin dan pejabat di blog ini). Namun yang pasti, seorang pejabat haruslah sarat ilmu dunia (profesional) dan kaya ilmu akhirat (akhlak karimah) demi bebas KKN. Tapi sayang, yang terjadi justru yang miskin profesionalisme dan kaya manipulatifnya.

5. Suvenir fisiologis terbesar bagiku adalah otak. Sang Kreator menitipkan si kelabu kembar itu demi pembedaku dengan hewan. Ketika kera diberi insting, aku tak hanya diberi naluri dan otak tapi juga akal. Dengan otak dan akal itulah aku memilah lalu memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Ini sebabnya aku tak setuju pada ungkapan Charles Darwin bahwa manusia dan kera berhulu pada nenek moyang yang sama. Dia memang tidak eksplisit menyatakan bahwa manusia dari kera tapi aku tak setuju pada ungkapannya bahwa kera dan manusia ber-evolusi dari nenek moyang yang sama. Kera adalah kera dan dia hanyalah hewan sedangkan manusia adalah insan yang diciptakan dari tanah (turab) lalu diberi bentuk. (Aku pun sadar bahwa manusia bisa jauh lebih hina ketimbang binatang, menjadi asfala saafiliin). Jelaslah benang merah hipotesis Darwin di dalam The Descent of Man and Selection in Relation to Sex adalah keliru. Harun Yahya terang-terangan menyebutnya pembohong besar, peremuk peradaban manusia, penista insan kamil. Apalagi hanya manusialah yang mampu membaca dan menulis, bukan simpanse. Kalau begitu, jika ada manusia yang tidak suka baca-tulis...?

6. Bukan katak dalam tempurung, melainkan manusia dalam langit makrokosmos. Ibrahim, seorang nabi yang insan kamil, jelas-jelas mengagumi makrokosmos bahkan nyaris menuhankan matahari, bulan dan bintang. Ia membaca ayat kauniyah lalu menganalisis fenomenanya dan menarik simpulan. Berbekal ilmunya, lewat uji hipotesis disimpulkan: ketiga benda angkasa itu bukan tuhan. Kini kita pun tahu lewat bacaan, bukan Pluto planet terjauh dalam tata surya kita melainkan planet ke-10 berkode 2003 UB313. Pasti ada lagi nanti temuan-temuan baru. Kalau tidak membaca pasti tak tahu temuan anyar itu. Maka, bacalah! Membaca adalah obeng pembuka tempurung katak. Menulis adalah pembuka langit semesta. Lewat menulis aku didaulat agar sabar membaca. Membaca apa saja: astronomi, ekonomi, ilmu Bumi, dll. Aku yakin, manusia akan picik dan sok tahu jika meniadakan aktivitas membaca. Seorang pembaca rakus pun hanya akan berguna buat dirinya saja andaikata tidak menulis. Menulis pun mesti dilanjutkan dengan distribusi agar makin banyak orang yang tercerahkan. Seorang pembaca rakus belum dianggap menembus relung langit al-qudus jika berhenti hingga di situ. Ia mesti menulis!

7. Iqra dan kalam. Baca dan tulis. Aku begitu surprised ketika diberi tahu bahwa ayat pertama yang diterima Nabi Muhammad adalah tentang membaca. Baca! Aku sudah mempelajari sejumlah kitab suci agama-agama lain, tapi hanya Al Qur’anlah yang peduli pada otak dan akal manusia. Bahkan kata iqra itu diulang dua kali dalam surat al ‘Alaq. Setelah itu barulah diperintah kalam, yaitu menulis. Sangat logis. Anak kelas satu SD pasti disuruh membaca dulu baru menulis. Seorang yang menulis tak mungkin tanpa didahului aktivitas membaca. Membaca dulu baru setelah itu bisa menulis. Tak mungkin dibalik. Yang juga hebat bagiku, Allah memilih orang yang tak bisa baca-tulis sebagai penerima risalah-Nya. Lantaran inilah kaum orientalis yang menyudutkan Islam tak bisa berkutik. Muhammad jelas-jelas buta huruf. Al Qur’an dengan gaya susastranya nan Mahaagung, tak tertandingi oleh sastrawan terhebat yang pernah ada, betul-betul wahyu Allah. Andaikata Muhammad bisa baca-tulis niscaya mereka tegas-tegas lugas-lantang berkata bahwa Qur’an itu hasil olah-pikir Muhammad, bukan firman Allah. Lantaran ada ayat yang menitahku untuk iqra dan kalam itulah aku membaca dan menulis. Bacalah.... Bacalah..... Tulislah. *

ReadMore »

26 April 2006

Awas, Racun di Rumah

Seorang teman sedang kalut hatinya. Betapa tidak, anak batitanya menelan sabun mandi. Tak banyak memang, hanya sekali pagutan atau isapan. Tapi hatinya tetap saja gundah, cemas takut terjadi apa-apa di kemudian hari. Mungkinkah hal serupa menimpa anak-anak kita? Jawabnya, sangat mungkin! Bahkan bisa jauh lebih parah, efeknya lebih berat.

Jenis keracunan
Secara umum jenis keracunan dapat dibagi menjadi dua, yaitu (1) akut dan (2) kronis. Keracunan akut terjadi dengan cepat, waktu paparannya pendek atau singkat dan dosisnya tinggi. Dampaknya langsung tampak. Contohnya: keracunan gas CO (karbonmonoksida) dari mobil-motor di ruang tertutup. Korban langsung lemas lalu meninggal.

Keracunan kronis terjadi dalam jangka waktu lama, paparannya kontinu atau menahun dengan dosis kecil. Gejalanya secara perlahan, gradual. Sebagai contoh, keracunan pestisida banyak dialami petani penyemprot hama.

Pintu Masuk
Racun butuh pintu masuk ke tubuh kita. Ada empat pintu masuk (portal of entry) sebelum masuk ke peredaran darah.

(1) Oral/mulut. Racun langsung menuju saluran pencernaan, misalnya keracunan makanan-minuman. Racun yang masuk dengan cara ini relatif sulit mencapai peredaran darah di samping terjadi proses detoksikasi yang dapat mengurangi toksisitasnya. Para pecandu minuman keras dan pil semacam ecstasy, valium dll biasanya teracuni dengan cara ini.

(2) Inhalasi atau saluran pernapasan. Sangat cepat menyebar ke seluruh tubuh karena mudah masuk ke peredaran darah. Zat padat/partikulat dan gas dengan mudah memasuki paru-paru. Di perapatan jalan lampu merah tampak anak-anak dengan santainya menghirup bau lem dan produk lainnya. Suatu saat, ketika racunnya sudah banyak, mereka bakal sakit dan mengancam hidupnya. Apa yang mesti kita dan pemerintah lakukan buat mereka?

(3) Dermal atau kulit. Ini pun mudah memasuki peredaran darah. Racun yang lipofilik dan hidrofilik (mudah larut dalam lemak dan air) akan cepat menyebar ke seluruh tubuh. Luas kulit orang dewasa sekitar 2 m2 akan memudahkan terjadinya keracunan. Jadi, hati-hatilah mengolesi atau melulurkan zat kimia ke permukaan kulit. Salah-salah, terjadi keracunan atau iritasi.

(4) Parenteral. Racun sengaja disuntikkan ke peredaran darah. Termasuk di sini adalah gigitan hewan beracun seperti ular dan kalajengking. Pecandu narkotika seperti morfin pun memanfaatkan cara ini. Maka, mudah sekali pecandu itu mati mendadak. Orang bilang: overdosis! Jadi..., sudahlah... buang itu si obat setan. Hanya ilusi yang didapat. Cuma itu!

Tindakan...?
Bagaimana menangani kasus keracunan itu? Prinsip dasarnya, berikan tindakan awal secepat-cepatnya. Yang paling mudah, hindari kontak langsung dengan zat racun. Namun, andaikata terjadi juga keracunan, upayakanlah hal-hal berikut ini.

(1) Jika masuk lewat oral/mulut, usahakanlah muntah lalu minum air dan karbon aktif (misal:norit). Karbon aktif dapat mengurangi racun yang masuk ke peredaran darah. Cara lainnya: berikan obat pencahar agar cepat buang air besar.

(2) Jika masuk lewat dermal/kulit, cepatlah cuci dengan air bersih. Air hangat lebih bagus. Cucilah terus, berkali-kali. Ketika memperbaiki sumbu kompor, upayakan tangan jangan terlalu belepotan minyak tanah. Apalagi kalau terlalu sering kena minyak tanah atau cairan racun lainnya, ini berbahaya.

(3) Keracunan melalui inhalasi sangat sulit ditangani, karena langsung masuk ke dalam darah melalui alveoli paru-paru dan beredar ke seluruh tubuh. Biasanya penderita langsung meninggal seperti keracunan CO dari mobil/motor atau gas dari kawah, gua atau letusan gunung. Gunung Merapi, andaikata jadi meletus, ia potensial mengemisi gas beracun.

(4) Parenteral. Jika belum terlambat lakukan cuci darah atau hemodialisis. Tapi ini sulit dilakukan bagi pecandu narkotika karena darahnya sudah kaya racun. Penanganan kerohanian, perbaikan akhlak, reparasi spirit hidup diharapkan dapat mereduksi ketagihannya sedikit demi sedikit.

Tampak..., betapa kita dekat dengan racun. Dari obat nyamuk, pembasmi kecoak, pembunuh semut, pembersih lantai, deterjen, sabun, sampai pengharum ruangan sangat boleh jadi meracuni kita. Makanan-minuman pun begitu: ada sejumlah produk yang disinyalir berisi logam berat atau minimal kadaluwarsa. Dampaknya bisa cepat tapi bisa juga lambat sehingga tak sadar kita sedang diracuni sedikit demi sedikit setiap hari. Tahu-tahu, setelah belasan tahun, terlambat sudah..... !*
ReadMore »

25 April 2006

Romeo - Juliet dari Bali

Romeo - Juliet dari Bali
Oleh Gede H. Cahyana

Suatu kali, jika sempat ke Bali (lagi), cobalah menapak jejak di Bali Barat. Jangan terlalu berkutat di Kuta, Sanur, Nusa Dua dan sekitarnya. Cobalah lihat dari dekat kehidupan desa yang betul-betul desa. Kuta dll, bagi saya, sudah tidak asli lagi. Terlalu dalam pembauran karakter dan budayanya sehingga menggelisahkan orang-orang Bali.

Maka, cobalah ini.

Susurilah jalan hotmix sepanjang jalan Bali Barat, dari Gilimanuk sampai Pekutatan. Lalu beloklah ke kiri dan teruskan naik pelan-pelan ke Utara, ke arah Pupuan. Dari kecamatan berhawa dingin ini teruslah ke Utara, lalu menuruni bukit menuju Seririt, sebuah kecamatan yang pernah luluh lantak rata dengan tanah akibat gempa Bumi tahun 1976. Tapi jangan masuk ke Seririt, beloklah ke arah Barat dan terus menuju Pulaki dan akhirnya tiba lagi di Gilimanuk.

Jika itu yang dilakukan, maka bisa dikatakan kita sudah mengitari bagian luar Taman Nasional Bali Barat yang khas dengan burung Jalak Putihnya. Taman tersebut meliputi dua kabupaten, yaitu Jembrana dan Buleleng bagian Barat seluas 80.000 ha dan dipasak oleh Gunung Patas, Musi dan Merbuk. Taman Nasional Bali Barat ini pun meliputi Pulau Menjangan yang memiliki kekayaan alam bawah laut dan menjadi ajang scuba diving yang tak kalah indahnya dengan kawasan taman laut yang lain.

Di Taman Nasional Bali Barat ini ada peninggalan kisah kasih klasik Romeo-Juliet versi Bali. Jangan-jangan William Shakespeare mendapatkan idenya dari kisah ini. Jangan-jangan! Kisah ini terjadi di Teluk Trima, dekat Pulau (Nusa) Menjangan. Cinta tak terlerai yang dibawa mati ini bermula dari seorang pemuda tampan berbudi baik, namanya Jayaprana, bekerja menjadi abdi dalem kerajaan Prabu Kalianget. Sampai tibalah saatnya sang "Romeo" ini menikahi seorang gadis rupawan bernama Layonsari sang "Juliet" si kembang desa. Rupanya kebahagiaan ini tak berlangsung lama karena ternyata Sang Prabu tertarik dan jatuh cinta kepada Layonsari.

Untuk mencapai hasrat hatinya itu, raja menyuruh Jayaprana pergi ke Bali Barat untuk membantu peperangan yang sedang berlangsung di sana. Ia dikawal seorang patih bernama Sawunggaling. Tentu ini hanyalah tipu muslihat saja karena sesampainya di tujuan, Jayaprana malah dibunuh. Mendengar kematian suaminya, dengan serta merta Layon-Juliet-Sari pun ikut bunuh diri. Kuburan Jayaprana ini masih dapat dijumpai sekarang di Teluk Trima dan menjadi salah satu tempat yang sakral di Bali.*

Gambar:  Tripwow.tripadvisor.com

ReadMore »

24 April 2006

SAMPAH: Syukur Aku Makin Paham Arti Hidup

Adakah orang yang tidak menghasilkan sampah? Yakin 100% aku menjawab tidak. Tak ada orang yang tidak menimbulkan sampah. Bahkan jasadnya pun penuh dengan sampah dan kotoran. Semua lubang di tubuhnya adalah sumber sampah dan kotoran yang kalau jarang dibesihkan akan bau. Tak hanya jasadnya, ruhaninya pun bisa kaya sampah seperti halnya pikiran. Pikiran sampah, pikiran yang nihil manfaatnya. Ruhani sampah, ruhani yang sarat penyakit hati. Ada satu resep mencuci sampah hati, yaitu qalbun salim atau kelola-kalbu. Manajemen kalbu.

Lantas ada pertanyaan, betulkah sampah tidak berguna? Bagiku, sampah adalah singkatan dari syukur aku makin paham arti hidup. Artinya, aku terus berupaya memahami makna hidup ini, hidup yang pendek ini. Dan setahuku, ini kata orang bijak bestari, orang-orang yang paham arti hidup justru akan seperti orang yang tak tahu apa-apa. Ia terapkan ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Dalam kemerundukannya itu dia terus saja menebarkan berkah berupa nasi dan gizi. Mungkin ada yang suka menerima suguhannya, mungkin juga ada yang menolaknya. Tapi orang-orang yang berstatus pemberi pasti merasa tidak dirugikan ketika pemberiannya ditolak. Dia tetap akan memberikannya kepada orang lain, orang yang mau menerimanya. Pasti ada yang mau menerimanya di antara 6,5 milyar manusia di Bumi.

Selanjutnya, sampah adalah kependekan dari syukur aku masih punya asa hidup. Punya asa berarti punya spirit, punya semangat hidup, yakni semangat berbagi. Orang yang mampu berbagi hanyalah orang yang memiliki sesuatu. Tak mungkin orang bisa berbagi tanpa punya benda, baik benda konkrit maupun benda abstrak. Kedua jenis ujud benda itu harus juga yang bermanfaat bagi orang lain. Yang bermanfaat, misalnya makanan-minuman halal dan toyib, uang halal, buku positif, termasuk juga sampah dalam arti sebenarnya yang dikupas di alinea di bawah ini. Ilmu, sains, teknologi, wawasan, ide, gagasan dan agama adalah benda abstrak yang sangat berguna jika dibagi-bagikan kepada orang lain, syahdan orang itu menerima atau menolaknya. Andaipun ditolak, amal baik telah tercatat kuat di buku Sang Kreator untuk dievaluasi pada Hari Penentuan. Jadi, tak ada ruginya berbagi apa saja, berbagi hal-hal baik.

Itulah makna konotasi sampah. Dalam makna denotasinya, sampah selalu dibuang orang lantaran dia belum tahu manfaatnya secara ekonomi. Jika dia tahu di dalam sampah tersembunyi uang misalnya, tentu sampah itu tak dibuangnya. Boleh jadi dia jual kepada pemulung atau penampung sampah untuk diproses lebih lanjut. Bagaimana dengan sampah busuk? Ini juga bermanfaat meskipun jarang yang mau memulungnya. Tapi sampah busuk ini bisa dijadikan pupuk. Bahkan kotoran pun, kotoran apa saja, misalnya kotoran sapi, bisa dijadikan pupuk, pencetus pupuk kompos. Jadi, sampah itu masih kaya manfaat jika kita berupaya memanfaatkannya. Pendeknya, tak ada di dunia ini yang tak bermanfaat. Tinggal kita saja kuncinya, apakah bisa memanfaatkannya atau tidak.

Secara ringkas, inilah guna sampah. (1) pupuk organik atau kompos untuk tanaman sayur dan buah-buahan; (2) bahan urugan daerah rendah lalu bisa dijadikan daerah permukiman, bisa juga untuk reklamasi pantai; (3) sumber energi biogas yang dapat ditampung dan digunakan untuk keperluan dapur;( 4) penggembur atau penyubur tanah sehingga memperkecil limpasan langsung air hujan; (5) rejeki bagi pemulung dengan cara sortasi sekaligus membantu proses daur ulang.

Ada ungkapan begini. Cobalah selalu memberi, memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Kalau kita diberi sampah (apalagi kotoran) cobalah berpikir positif apa saja yang bisa dimanfaatkan dari sampah (kotoran) itu. Bisa dijual (misalnya sampah kertas, plastik, botol, dll), bisa dijadikan pupuk atau kompos untuk sampah busuk/kotoran. Jadi, pasti ada gunanya dan tak usah marah-marah. Malah harus berterima kasih diberi modal usaha berbuat baik, menebarkan benih pahala. Balaslah keburukan itu dengan kebaikan. Membalas kebaikan dengan kebaikan, ini sudah lumrah. Yang berat adalah membalas keburukan dengan kebaikan. Tapi hasilnya.... nikmat tenan... (kata Paijo Londo).

Jadi, selalulah memberi. Memberi dan berbagi. Memberikan sesuatu yang baik, apapun ujudnya. Salah satunya berupa saling menasihati dalam kebenaran, saling menasihati dalam kesabaran.*
ReadMore »

23 April 2006

Belasungkawa bagi Orang TP dan TL

Pagi-pagi, 23 April 2006, saya dapat SMS (Servis Madah Singkat) dari seorang kawan. Isinya, berita belasungkawa. Yang meninggal adalah salah seorang perintis Teknik Penyehatan di ITB (sekaligus di Indonesia), yaitu Prof. Dr. Ir. Soetiman, M.Sc di Klaten, Jawa Tengah.

Ini berarti dalam tiga bulan terakhir ini kalangan Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan di Indonesia sudah kehilangan dua orang perintisnya. Tiga bulan lalu yang meninggal adalah seorang pakar drainase dan persampahan, yaitu bapak Ir. Masduki H.S. Beliaulah peletak dasar-dasar drainase dan persampahan di Teknik Penyehatan dan Lingkungan ITB yang lantas berkembang ke semua institut dan universitas di Indonesia.

Ini pun berarti kehilangan bagi pegawai PDAM. Sebab, banyak pejabat di PDAM adalah murid-murid beliau. Begitu pun yang bekerja di Ditjen Cipta Karya, di konsultan, kontraktor, supplier, pabrik, universitas, dan banyak lagi yang lain.

Lewat tulisan ini saya ujarkan kalimat Istirjaa: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Semua dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Sebuah keniscayaan.
ReadMore »

Graha Perpamsi, Selamat...!

Saya memang sering mengritik Perpamsi. Lebih sering lagi saya mengritik PDAM. Tapi justru karena saya merasa ikut memilikinya. Teman-teman saya banyak yang bekerja di PDAM, banyak juga yang bekerja di konsultan dan menjadi rekanan dalam projek di PDAM. Mantan mahasiswa saya pun banyak yang bekerja di PDAM.

Apalagi PDAM selalu terkait dengan Teknik Lingkungan. Di sekujur kurikulum TL penuh dengan air, baik air limbah maupun air bersih. Dan mayoritas skripsi alumni TL berporos pada desain instalasi pengolahan air, selain di bidang riset. Maka, sering saya katakan, PDAM adalah sahabat TL. Kerapkali saya berkata, di mana nanti bekerja jika tak ada PDAM? Ada yang lugas menjawab, "Di konsultan."Atau, "Di kontraktor." Tapi saya balik berkata, "Kan PDAM sudah tidak ada. Kalau tidak ada berarti tak ada pekerjaan untuk konsultan dan kontraktor." Mendengar itu, mereka pun diam.

Tak hendak saya berpanjang kata di sini. Satu saja ucapan saya, SELAMAT. Semoga Graha Perpamsi yang sedang dibangun di Kali Malang selesai tepat waktu. Sudah selayaknya Perpamsi punya gedung yang "representatif". Sejak dulu, semasa Prof. Dr. Benny Chatib mengelola Perpamsi, saya merasa "risih" dan sedih melihat kawan-kawan PDAM dan Perpamsi berkantor di kantor dulu. Masa’ kantor PDAM ada yang megah tapi ‘induknya’ seperti itu?

Mudah-mudahan rekan-rekan yang dulu pernah menerima beasiswa dari Perpamsi dan sekarang menjadi pejabat di PDAM mau juga menyisihkan laba PDAM-nya untuk Graha Perpamsi itu.

Selamat untuk Perpamsi. Selamat juga untuk kru Majalah Air Minum.

Gede H. Cahyana.
http://gedehace.blogspot.com
ReadMore »

22 April 2006

Kartini Dipoligami

Ada kutipan yang yang erat kaitannya dengan Kartini. Kuambil dari buku Menemukan Sejarah karya Prof. A. Mansur Suryanegara, seorang gurubesar sejarah di Univ. Padjadjaran Bandung. Begini isinya:

Di sana hampir tiada seorang juga laki-laki yang perempuannya hanya seorang, dalam kalangan bangsawan terutama lingkungan susuhunan, seorang laki-laki lebih 26 orang perempuannya (23 Agustus 1900).

Kalimat di atas bisa ditafsirkan menjadi tiga segi, yaitu (1) Kartini tak suka poligami yang sangat banyak istrinya, sampai puluhan; lalu yang (2) Kartini tak setuju poligami lebih dari empat orang atau Kartini setuju pada poligami empat orang; dan (3) Kartini menganut monogami. Jika dilihat dari tanggal suratnya, bisa disimpulkan bahwa itu dibuat atau dikirim oleh Kartini kepada sahabatnya sebelum ia menikah. Ada juga data bahwa Kartini belajar tafsir Al Qur’an tapi baru sampai beberapa juz saja. Barangkali Kartini sudah pernah membaca atau diberi tahu bahwa dalam Qur’an ada ayat yang membolehkan poligami. Itu pun hanya dengan empat perempuan. Jka tak mampu, sebaiknya satu saja.

Maka, apa yang terjadi selanjutnya? Kartini ternyata mau menjadi istri keempat dari Djojoadiningrat yang sudah punya tujuh anak. Berikut ini saya kutipkan kolom di majalah Tempo, 17 April 2006.

Kartini menikah dengan Djojoadiningrat, yang sudah punya tiga istri dan tujuh anak. Bahkan putri tertua suaminya hanya terpaut delapan tahun dari sang Raden Ajeng itu. Perkawinan yang berlangsung pada 8 November 1903 itu praktis menyudahi perlawanannya terhadap praktek poligami di masyarakat Jawa. Setelah diboyong ke Rembang menjadi raden ayu di kabupaten, Kartini tidak lagi bicara soal kedudukan perempuan atau menyerang poligami, bahkan juga cita-citanya mengenai pendidikan. Sangat boleh jadi ia sudah berdamai dengan lingkungannya. Ini memang aneh: seorang pemberontak bisa menjadi begitu lentuk.

Jika demikian, adakah Kartini setuju pada poligami? Betulkah dia telah menjadi begitu lembut dan pasrah? Untuk menjawab ini, saya hanya berpatokan pada analisis keumuman, common analysis dan lebih dititik beratkan pada sudut pandang Islam, pada fakta dalam Qur’an dan sejumlah pendapat orang-orang terkenal di kalangan barat.

Begini. Seratus persen saya yakin, tak ada seorang wanita pun yang mau dipoligami (saya sengaja menggunakan kata wanita dan perempuan). Hati kecil terdalamnya, relung kalbunya, pastilah ingin menguasai suaminya tanpa harus berbagi dengan wanita lain. Jangankan berbagi dengan tiga wanita lain, dengan satu wanita saja dia tak rela, syahdan deras mengalir frase ‘ikhlas dimadu’ dari mulutnya. Sebersit rasa waswas pasti muncul di hatinya. Kuyakin itu. Apalagi kutahu dari buku-buku kisah rasul atau sirah nabawiyah, bahwa Aisyah, istri termuda dan perawan ketika dinikahinya, sesekali protes. Aisyah mencemburui Khadijah, istri pertama dan utama Muhammad yang telah lama meninggal. Bayangkan, dengan orang yang sudah almarhumah saja Aisyah begitu cemburu.

Suatu kali Aisyah dibakar api cemburu yang menderu-deru. Sampai-sampai ia tega berkata, ‘Khadijah lagi... Khadijah lagi... Seperti di dunia ini tak ada wanita selain Khadijah!’ Tajam nian kalimat itu, lurus menghujam hati lelaki. Muhammad lantas meninggalkan Aisyah tapi tak lama kemudian kembali lagi. Ibu Aisyah, Ummu Rumman, ada di sampingnya seraya berkata,’ Wahai Rasulullah, ada apakah engkau dengan Aisyah? Aisyah masih sangat muda. Selayaknyalah engkau memakluminya.’

Beliau tidak meninggalkannya, bahkan memegang dagu Aisyah seraya berkata,’ Bukankah engkau yang berkata seakan-akan di dunia ini tak ada lagi wanita selain Khadijah?’

‘Buat apa engkau mengingat perempuan tua renta dan ujung mulutnya sudah merah, padahal Allah sudah menggantinya dengan yang lebih baik bagimu?’ kata Aisyah.

‘Demi Allah, Dia tak pernah mengganti dengan yang lebih baik daripada Khadijah. Ia beriman kepadaku ketika semua orang mendustakanku. Dia ulurkan hartanya saat orang lain menahannya. Dia memberiku anak sedangkan yang lainnya tidak,’ jawab Muhammad. Bagaimana kalau, ini sekadar andaikata, Khadijah masih hidup dan punya madu seperti Aisyah, apa yang bakal terjadi? Terhadap madu-madunya yang lain pun, seperti Shafiah dan Ummu Salamah, Aisyah menaruh rasa cemburu.

Begitulah fakta ketakrelaan wanita dimadu, seorang wanita yang menjadi istri nabi, yang tingkat keimanannya jauh di atas wanita zaman sekarang. Jika istri nabi saja cemburu satu sama lain, apatah lagi wanita yang dimadu zaman sekarang. Pasti api cemburunya jauh lebih panas lagi. Sebagai manusia, Muhammad begitu piawai menangani semua istrinya. Tapi kemampuan itu tak bakal dimiliki oleh lelaki sekarang. Takkan ada lelaki sekarang yang mampu seadil Muhammad. Aku bulat seratus persen meyakini hal ini. Yakin seyakin-yakinnya. Bagi manusia biasa, lelaki zaman sekarang, jangankan sembilan istri, empat istri saja sudah rumit. Hanya lelaki ‘luar biasa’ saja yang mampu adil atas semua istrinya pada masa sekarang. Lelaki demikian memang ada, tapi sedikit jumlahnya. Hanya saja, aku tak punya datanya. Aku tahu, ada orang-orang terkenal dan kaya beristri lebih dari satu. Namun, aku tak berani menilainya, karena aku tak tahu betul kehidupan rumah tangganya. Dari luar, dari jauh, kulihat mereka akur-akur saja dan sering tampil di televisi atau ketika acara tabligh di sejumlah daerah.

Setahuku, wanita pun memiliki nafsu setara dengan lelaki. Hanya saja, wanita tak mau menunjukkan rasa tertariknya itu secara ekspresif dan eksplisit. Malu-malu... tapi mau. Lihatlah kasus Juleha dan Nabi Yusuf. Siapa yang hendak memperkosa? Siapa yang dilanda birahi tak terkendali? Yusuf bukannya tak berbirahi ketika itu. Dia juga tertarik, tapi bisa menahan dirinya. Tapi si cantik bernama Juleha itu malah tak tertahankan hasrat hatinya. Demi ‘kehormatan’ permaisuri, Yusuf justru dijebloskan ke penjara. Juga lihatlah betapa wanita-wanita ‘seteru’ Juleha sampai teriris jejarinya lantaran terpukau melihat ketampanan Yusuf. Mereka tertarik pada Yusuf dan, dalam bentang hatinya, masing-masing ingin memilikinya, menjadikannya suami yang penuh gairah cinta. Deburan hatinya itu tak bisa disembunyikan dan kisahnya abadi dalam Al Qur’an.

Bayangkan saja, berderet-deret wanita cantik dari kalangan bangsawan takluk tak berdaya melihat Yusuf. Mereka begitu ‘tersihir’ oleh keelokan paras pemuda yang pernah dibuang ke sumur tua oleh saudaranya itu. Andaikata, Yusuf hendak memperistri semua wanita itu (berpoligami seperti raja Jawa di atas), tentulah semua wanita itu mau-mau saja. Pasti mereka saling bersaing merebut api cinta Yusuf dan saling cemburu! Maka, ketika Muhammad menjadi nabi, Al Qur’an membolehkan muslimin memperistri empat wanita dalam satu waktu. Namun tetap harus diingat, raja-raja dan pejabat masa lalu sangat banyak istrinya. Orang-orang biasa pun berbilang istrinya. Islamlah yang mengerem poligami tak terhingga itu. Hanya empat yang diizinkan-Nya, itu pun dengan wanti-wanti harus adil. Adil. Dan Adil.

Perihal poligami tersebut, telah pula panjang dikupas oleh beragam kalangan. Yang paling sering kudengar, khususnya yang kontra adalah dari kalangan yang menyebut dirinya ‘pejuang perempuan’. Aku tak paham, dari mana saja dasar hukum dan pola pikir yang disadapnya itu. Sebab, pada saat yang sama kulihat mereka justru memorak-morandakan nilai-nilai seorang perempuan. Aku lihat mereka berdiri di atas ranting rapuh, tak kuat menyangga pendapatnya sehingga terkesan membabi buta, serampangan. Acuannya selalu saja ke Barat, dunia yang terbukti rapuh dan gagal dalam melawan arus freesex dan hancur akibat HIV/AIDS. Betul-betul aneh ada wanita Indonesia yang tergila-gila mengambil pola hidup orang yang terbukti gagal menata rumah tangganya. Mereka justru mengambil pola hidup orang yang doyan seks-bebas asalkan aman dengan memakai kondom misalnya.

Malah kudengar, ada wanita dari kalangan ‘pejuang perempuan’ itu yang lebih rela suaminya ‘membeli sate saja’ daripada harus memelihara kambing. Sebagai ‘pejuang’ dia tentu malu suaminya berpoligami. Ini bisa merubuhkan reputasinya sebagai ‘pejuang’ perempuan. Lebih senang suaminya ‘jajan’ saja daripada harus dimadu. Alasannya macam-macam, salah satunya adalah soal harta waris, agar semua warisan suami jatuh ke tangannya. Jadi, alasannya tak jauh dari sisi ekonomi. Barangkali, kalau suaminya sudah meninggal, dia bisa mendapat warisan banyak dan bisa mudah memilih lelaki yang gagah nan tampan sekeinginannya. Ini, memang pernah kulihat di film buatan sineas Indonesia tahun 1990-an.

Lantas, bagaimana pandangan bule pada poligami? Berikut ini kukutipkan seorang bule yang sangat dikagumi banyak orang, baik laki maupun perempuan. Begini katanya. ‘Muhammad mengurangi jumlah wanita yang boleh dikawini oleh seorang pria; sebelum ia muncul, poligami itu tak terbatas. Orang-orang kaya biasa mengawini sejumlah besar perempuan. Jadi Muhammad membatasi poligami.’ Inilah kalimat tegas dari Napoleon Bonaparte dalam Bonaparte etl’Islam oleh Cherfils, Paris.

Ada juga tulisan James A. Michener. Penulis barat telah mendasarkan tuduhan mereka yang penuh nafsu terutama pada masalah kewanitaan. Namun sebelum Muhammad, kaum lelaki dianjurkan supaya mengawini wanita-wanita yang tak terbatas jumlahnya. Muhammad memberikan batasan kepada mereka hingga empat saja. Dan Qur’an terang-terangan mengatakan bahwa suami yang tak sanggup berlaku seadil-adilnya di antara dua istri atau lebih, harus mengawini satu orang perempuan saja. (James A. Michener, Islam, The Misunderstood Religion, dimuat dalam Reader’s Digest, di USA pada Mei 1955 halaman 70)

Seorang pakar studi Islam, seorang orientalis bernama Prof. H. A. R Gibb berkata bahwa pembaruan Muhammad telah meninggikan status kaum wanita pada umumnya, sudah diakui dunia. ‘Hukum Al Qur’an tentang wanita lebih adil dan liberal. Islam sudah sejak dulu menghargainya.... Adalah suatu ketololan kalau orang mengatakan bahwa dalam Islam wanita itu dianggap tak berjiwa. (Annie Besant dalam The Life and Teaching of Muhammad).

Dari secuplik opini orang-orang bule itu bisalah ditarik simpul bahwa poligami memang alami. Hanya saja, jika lelaki tak mampu bertindak adil, jangan coba-coba bermain api.

Pamungkas, apa yang sudah dilakoni Kartini, itulah catatan sejarah. Seperti artikel kemarin, aku tetap salut pada Kartini. Ia suvenir dari abad ke-19. Ia putri sejati, putri Indonesia, harum namanya. *
ReadMore »

21 April 2006

Kartini, Mak Eroh, Rachel Carson


Tolong, jangan kebaya yang diingat jika ingat Kartini. Tolong, jangan sanggul yang dipakai saat Hari Kartini. Bukan tidak boleh memakai atribut itu, tapi ada yang jauh lebih penting dan lebih hormat dan sayang pada bunda kita itu. Cobalah ingat betapa Kartini ingin semua orang menjadi terpelajar, sekolah setinggi-tingginya. Bahkan, dan ini patut dicontoh, Kartini mendirikan sekolah (kelas kecil) (5 Juli 1903, A. Mansur Suryanegara).

Kartini juga melawan adat yang menyudutkan posisi perempuan. Kartini ingin kaumnya bernilai tinggi seperti tingginya nilai perempuan di dalam Qur’an (surat keempat dinamai Annisaa’ atau perempuan). Dan Kartini tegas-tegas melawan penjajah Belanda sampai-sampai jujur ia tuturkan kepada sahabatnya, Zeehandelaar. Ia pun mengritik pedas penjajah atas sikap diskriminasinya terhadap pribumi, terutama kalangan pegawai yang jabatannya di bawah bupati. Mereka disuruh duduk di lantai sedangkan orang Eropa, termasuk anak-anaknya, duduk di kursi.

Bunda bunga bangsa, dikenang selalu, setiap 21 April. Bundalah suvenir dari abad ke-19.

Jika bukan kebaya, bukan sanggul, lalu apa yang mesti dilakukan? Mudah sekali. Cobalah, apa saja, asalkan bermanfaat. Tak peduli setingkat, RW atau RT. Berbuatlah wahai perempuan Indonesia, minimal seperti apa yang diperbuat oleh Mak Eroh. Tentu bukan materi-kerja yang dilakukan Mak Eroh yang ditiru, melainkan spirit juangnya.

Betapa tidak, Mak Eroh adalah pahlawan hijau. Ialah suvenir dari abad ke-20, minimal di hati warga Desa Pasirkadu. Beliau meninggal dalam usia 70 tahun, September 2004. Namanya memang tak seharum Kartini. Namun patut diingat, besok, tanggal 22 April adalah Hari Bumi (Earth Day) yang ke-36. Dan Mak Eroh tercatat dalam sejarah lingkungan Indonesia sebagai peraih Kalpataru 1988, sebuah award prestisius bidang lingkungan. Beliau “identik” dengan lingkungan walaupun tak tahu menahu soal program lingkungan dan tak paham teori-teori lingkungan.

Dulu, Mak Eroh hanya mengayun cangkul. Cangkul... cangkul... cangkul yang dalam. Nalurinya saja yang dituruti, mencangkul selangkah demi selangkah, peluh membasahi tubuh rentanya. Habis-habisan tenaganya dikuras untuk membuat saluran air selama berminggu-minggu. Ketika saluran itu mencapai 2 km dan sudah 47 hari mengayun pacul, barulah warga desa membantunya. Mulanya mereka mencibir, mencemooh dan bahkan menganggapnya gila. Kini, lantaran “Mak Eroh Aquiduct” itulah desanya menjadi hijau.

Ada satu lagi perempuan yang patut diingat, seorang bule, yaitu Rachel Carson, ibu rumah tangga yang menulis buku tentang lingkungan dan langsung menghentak jagat ekologi. Bukunya itu, The Silent Spring (Musim Bunga atau Semi Yang Sepi), memberi Gaylord Nelson inspirasi untuk membesut Hari Bumi setelah orasi ekopolitiknya di Seattle tahun 1969. Lalu, 20 juta orang ikut dalam deklarasi Earth Day pada 22 April 1970.**

Selamat Hari Kartini, 21 April 2006.
Selamat Hari Bumi, 22 April 2006.
ReadMore »

Kartini di bukuku: Mencari Allah

Pamer kemolekan itukah emansipasi? Betulkah itu maksud Kartini? Tak percaya saya itu yang dimaksud istri Bupati Rembang ini. Lihat saja fotonya, apa Kartini memakai baju yang “kurang-bahan” menurut ukuran orang Indonesia, khususnya Jawa?

Ironisnya, mereka yang senantiasa mengelu-elukan emansipasi justru melecehkan wanita. Yang giat di feminisme kerapkali berpakaian “kurang bahan” yang mengundang decak lelaki. Tragisnya lagi, ada perempuan yang rutin bicara persamaan hak perempuan sembari berpakaian mini yang mencetak lekuk-liku kesintalannya dan bangga dikatakan aktivis “pembela” wanita. Dari mulutnya mengalir deras saran agar lelaki menghargai perempuan karena, katanya, perempuan itu makhluk terhormat. Tapi justru dirinya yang tidak menghormati kaumnya dengan berbuka-buka, berkamuflase mirip bunglon yang bertukar-tukar baju you can see. Tak heranlah RUU Anti-pornografi ditolaknya mentah-mentah..... (dst).
ReadMore »

18 April 2006

Belajar Menulis Lewat Peta-Pikiran, Jaring-Ide

Artikel yang berjudul Ingin Menulis? Mulailah Dari Peta-Pikiran rupanya belum jelas dari sudut teknis. Ada rekan yang bertanya lebih lanjut dan ingin penjelasan gamblang tanpa tedeng aling-aling. Ia ingin contoh paripurna, contoh yang betul-betul dapat dilihat, dirasa, disentuh, dan tentu saja dipahami. Itu sebabnya, saya tulis lagi artikel lanjutannya. Agar to the point, saya langsung saja pada pokok materinya.

Ada pertanyaan, apakah saya setia menggunakan Peta-Pikiran (selanjutnya disingkat PP) dalam menulis? Saya jawab, saya tidak setia. Tak selalu setia. Apalagi dalam arti saya menuliskannya dulu di secarik kertas kosong lebar, lalu sedikit demi sedikit merinci ide-ide yang hadir di pikiran. Yang saya lakukan pada saat ini, termasuk ketika menulis artikel ini, saya hanya menuliskannya sedikit saja di secarik kertas lalu pikiran saya membuat ide dan cabang-cabangnya. Dari sinilah saya bertolak menuju isi cerita atau artikel yang saya tulis. Boleh dikatakan, saya membuat PP di pikiran saya, secara maya saja dan otomatis sangat cair, mudah berubah dalam hitungan detik. Tapi dulu, ketika saya baru belajar menulis, saya membuat outline dulu, bukan PP karena saya belum tahu istilah PP.

Sebetulnya saya tak terlalu mengikuti pola PP seperti aslinya. Saya lebih suka hasil modifikasinya yang dibuat berdasarkan pengalaman. Lebih senang saya menggunakan istilah Jaring-Ide (Ideanet). Kenapa demikian? Dalam anggapan saya, setiap tulisan, apapun ujudnya, dimulai dengan mengumpulkan atau menjaring ide, pokok pikiran, topik, sejumlah judul dan subjudul. Ini mirip dengan menjaring ikan. Mungkin saja kita mendapat ikan besar, ikan kecil, ada udang, ada kepiting, mungkin batu, kayu, sampah, lumpur, dan lain-lain. Dari semua tangkapan itu kita lantas memilihnya sesuai dengan kebutuhan. Boleh jadi ada yang dibuang, dan jangan-jangan tanpa diduga ada juga satu benda (ide) yang sangat berharga seperti emas (tulisan bernas) misalnya.

Kecuali itu, Jaring-Ide (disingkat JI) juga membantu kita menjabarkan ide dalam bentuk saling terkait. Dalam hal ini, JI tak hanya berbentuk seperti PP, tapi lebih daripada itu. Dalam artikel sebelumnya saya umpamakan PP itu dengan pipa distribusi PDAM yang Dead End Pattern. Sebetulnya tak hanya Dead End Pattern, tapi pola Loop pun bisa juga digunakan. Malah pola Loop ini jauh lebih baik daripada pola Dead End dalam jaringan pipa PDAM, terutama untuk kota-kota besar yang jutaan penduduknya. Oleh sebab itu, pola JI ini saya anggap lebih leluasa dalam menjaring ide dan menyebarkan ide. Bisa seperti PP yang bercabang-cabang, tapi bisa juga saling berhubungan seperti pipa PDAM di kota besar yang saling terkait.

Tidakkah menjadi lebih rumit? Betul, memang lebih banyak garis dan ide yang ditulis. Namun keuntungannya, pikiran kita bisa saling terkait dengan ide-ide lainnya, bahkan dengan ide kecil yang dikira tak berguna sama sekali. Misalnya, lumpur atau sampah dalam contoh menjaring ikan di atas. Siapa bilang lumpur dan sampah tak bermanfaat? Bisa saja asalkan kita mampu membuatnya bermanfaat. Lumpur bisa mengisi daerah legok dan sampah bisa dijadikan kompos atau produk lainnya. Jadi, kembali pada diri kita sebagai penulis, apakah mampu mengoptimalkan hasil tangkapan itu atau hasil jaringan itu. Semuanya bisa digunakan dengan kemampuan olah pikir yang kita miliki.

Baiklah, kita beralih ke contoh. Yang saya tunjukkan di sini adalah gabungan antara PP dan JI. Saya lebih suka menyebutnya dengan Jaring-Ide (Ideanet). Agar mudah, contoh yang saya buat ini terkait dengan milis di mana pertanyaan itu muncul, yaitu penulislepas@yahoogroups.com.

Membuat Jaring-Ide.
Mari mulai membuat JI tentang milis tersebut. Silakan ambil kertas kosong, yang bekas juga boleh. Tulislah kata Penulislepas atau PL di tengah-tengah. Kenapa di tengah-tengah? Agar kita leluasa bergerak di sekujur ide utama. Lalu cobalah mengingat-ingat, apa saja yang berkaitan dengan milis tersebut. Misalnya terbayang pengelolanya, tulislah kata Jonru di kiri PL (di kanan, di atas, di bawah juga boleh. Bebas-bebas saja). Coba ingat apa saja yang terkait dengan Jonru. Alamat blognya! Betul, tulislah! Idenya tentang gathering PL di Bandung, tulis juga tanggapan anggota milis, dll. Tulis juga tentang posting Jonru dan forward-forward-nya. Semua ide itu dihubungkan dengan garis. Ide utama dan subnya boleh dilingkari, dikotaki, diellipsi, diwarnai, atau digambari dengan gambar apa saja, khususnya yang terkait dengan ide atau subidenya. Ini untuk memancing potensi otak kanan.

Setelah itu cobalah ke atas PL. Tulis kata posting lalu kotaki atau bentuk grafis lainnya. Buatlah jenis posting seperti cerpen, puisi, artikel, spam, iklan, dll. Boleh dilengkapi dengan nama orang yang senang posting puisi, cerpen, artikel, dll. Puisi, cerpen, artikel apa yang terbanyak, apa yang tersedikit, apakah genre remaja ataukah dewasa, atau perihal politik, ekonomi, atau lingkungan? Iklan juga bisa dirinci lagi dengan iklan diri anggota milis, iklan penerbit, iklan percetakan, bahkan iklan money game yang sesekali muncul juga. Termasuk iklan lowongan kerja menjadi penulis buku, wartawan dll. Topik atau isu hangat apa saja yang paling sering dibahas di milis juga bisa ditulis. Misalnya, RUU APP atau pembajakan buku. Dalam diskusi-diskusi itu, topik apa saja yang paling keras diskusinya dan melibatkan siapa saja. Dan seterusnya... dan selanjutnya.

Mari beranjak ke bagian kanan PL. Tulislah kata motif. Boleh dilingkari, diellipsi, dikotaki atau diwarnai. Isilah dengan kata atau frase: ingin belajar menulis, ingin dikenal orang, ingin banyak teman, ingin berbagi ilmu, mengisi waktu luang, mempelajari karakter orang, mencari pekerjaan, dll. Silakan diteruskan sesuai minat masing-masing. Silakan juga dirinci setiap motif di atas sesuai dengan keinginan kita. Dapatkah diketahui motif peserta milis? Dari mana datanya? Bagaimana cara mendapatkannya? Berapa lama mereka bertahan menjadi anggota milis? Ini juga berkaitan dengan motif mereka ikut milis tertentu.

Yang terakhir (tapi ini terakhir di contoh tulisan ini saja, sebab masih bisa diperluas terus sesuai dengan keinginan kita), tulislah kata anggota lalu lingkari. Di bawahnya, tulislah domisili lalu diurai lagi menjadi luar negeri dan dalam negeri. Di LN bisa dirinci dengan nama-nama negaranya, dan di DN bisa disebutkan provinsi, kabupaten-kota, kecamatan, desa tampat tinggal anggotanya. Data ini bisa didapat di pengelola milis. Buatlah persentasenya. Begitu pun soal pendidikan. Tulis persentase anggota yang berpendidikan SMA (SMK) ke bawah, Universitas (S1, S2, S3). Rentang usia juga bisa dimasukkan. Jendernya juga demikian, berapa persen lelaki, berapa persen perempuan. Dari sekian banyak anggotanya, apa saja jenis pekerjaannya. Silakan tulis PNS (pemda, dosen, guru), swasta, wiraswasta, penerbit, percetakan, direktur, manajer, murid, mahasiswa, wartawan koran-majalah, atau belum bekerja. Masukkan juga anggota yang aktif berapa persen dan yang pasif berapa persen.

Begitulah seterusnya. Setelah semuanya selesai atau dianggap selesai dan kita sudah menemukan sesuatu yang ingin ditulis, cobalah mulai menulis secara lepas tanpa kekangan. Lepas saja. Pada tahap awal, jangan peduli pada kesalahan ejaan, kesalahan istilah dan kesalahan kata. Pokoknya tulis dan tulis saja. Bisa dimulai dari mana saja. Boleh dari ide utama, yaitu PL, boleh dari cabang ide, juga boleh dari ranting ide. Dari mana saja. Maka, ketika sudah mencapai taraf “cuek” seperti ini, berarti kita sudah meluapkan emosi kita dalam menulis. Ini disebut Emotional Writing.*

Membuat Tulisan.
Berikut ini saya sertakan contoh tulisan hasil pengembangan Jaring-Ide yang dibuat di atas. Judul tulisan kita, misalnya: Milis Penulislepas. Tulisan ini dimulai dari kiri PL, yaitu cabang Jonru. Kita bisa mulai dari mana saja, terserah kita. Dari pusat PL, dari cabang atas, kanan, bawah, atau dari ranting-rantingnya. Dari mana saja boleh dan hasilnya adalah tulisan unik kita. Khas diri kita masing-masing, dengan diksi dan gaya tutur masing-masing. Pasti 100% tak ada yang sama walaupun tema dan JI-nya sama.

Dicoba, mari dicoba.*

Milis Penulislepas
Oleh......... (yang bersangkutan)

Siapa yang tak kenal milis Penulislepas? Barangkali orang yang tak suka menulis saja yang tak kenal. Yang suka menulis apalagi sehari-hari terlibat dalam kerja-tulis, pasti tahu milis ini. Minimal pernah dengar. Sebagai milis kepenulisan, isinya tentu saja berkaitan dengan menulis dan membaca. Siapa pengasuhnya? Siapa lagi kalau bukan Jonru. Ia bisa ditemui di blognya, misalnya di http://jonru.multiply.com. Admin PL ini sekarang sedang menggagas temu anggota milisnya alias gathering di Bandung. Rencana gathering itu telah diawali dengan temu online atau konferensi di dunia maya pada Kamis sore, 13 April 2006 (ini saya baca kemarin di milis). Hasilnya? Kita tunggu saja atau kita sebagai anggota milis mau proaktif membantu? Bagaimana respon anggota? Ada waktu? Entahlah, tak semua orang memang bisa punya kelapangan waktu. Tapi kalau ingin, tentu bisa-bisa saja dipaksakan sedikit. Selain itu, Jonru juga sering posting yang bisa dibaca di blognya. Ia pun kerapkali mem-forward artikel yang terkait dengan kepenulisan. Jadi, yang tak sempat atau tak ikut milis lain bisa tahu juga ilmu dan informasi dari milis lain atau dari situs lain.

Ciri khas milis adalah posting. Sesuai dengan namanya, posting yang terbanyak adalah tulisan dalam ujud cerpen, puisi, artikel, dan bahkan spam. Hanya saja, entah kenapa, cerpen, puisi, dan artikel itu jarang diapresiasi. Paling hanya komentar-komentar pendek saja. Tak ada waktu? Atau tak paham isinya? Respon ternyata sangat-sangat sedikit. Yang paling banyak direspon dan didiskusikan adalah posting yang terkait dengan berita kekinian (current issue) di media massa. Misalnya, RUU APP. Topik ini luas dibahas, tak hanya di milis ini, tapi juga di milis lain. Ada juga yang lumayan ramai dikupas, yaitu pembajakan buku. Selain jenis posting di atas, ada juga tentang buku yang diposting penerbit. Juga ada iklan buku oleh toko-toko buku dan penulisnya. Posting tentang kualifikasi sebagai penulis, wartawan, editor, penulis lepas di koran dan majalah, atau penulis yang baru mulai belajar menulis juga ada. Jika dilanjut, akan menarik kalau ada upaya meneliti jenis-jenis posting tersebut karena dapat memberikan gambaran nyata perilaku miliser di milis ini.

Tampak bahwa beragam sekali jenis posting di milis ini. Akarnya adalah motif masing-masing. Apa saja motif miliser yang posting hal-hal di atas? Bisa saja mereka bermotif ingin mengisi waktu luang ketika senggang di kantor atau di rumah. Juga ada yang ingin mengenal karakter orang, ingin punya banyak kawan. Ada juga yang ingin belajar menulis sehingga selalu ingin tulisannya direspon. Tapi nyatanya, sedikit sekali yang mau merespon dan sampai-sampai ada yang memohon agar direspon. Budaya malu-malu dan takut memang masih lekat di hati kita. Kita sering salah tingkah dan grogi jika ingin berkomentar. Ada satu resep, yaitu sepedas apa pun komentar atau kritik orang terhadap tulisan kita, sebaiknya diterima saja dan tak usah putus asa. Perbaiki terus, evalusi di mana kekurangannya. Malah kalau beruntung, yang mengritik akan menunjukkan di mana letak kekurangannya, sekaligus memberikan solusinya. Sebagai penulis, kita sungguh beruntung ada orang yang tak dibayar mau menilai dan mengevaluasi naskah kita. Itu sebabnya, kita wajib berterima kasih kepadanya. Lalu apa lagi motif miliser? Betul, berbagi ilmu. Latar belakang miliser sangat beragam sehingga beragam pula ilmu dan beragam pula kekurangan masing-masing. Wajar mereka ingin berbagi sekaligus mendapat bagian ilmu lain dari miliser lain. Sangat boleh jadi ada juga motif ingin dapat pekerjaan, entah itu pekerjaan apa. Dan ini sah-sah saja. Atau ingin dapat jodoh?

Yang terakhir adalah perihal anggota. Dari sekian peserta milis, ternyata yang aktif posting dan berdiskusi hanya 40%. Yang pasif 60% dan umumnya menjadi pembaca setia saja. Itu pun tidak setiap hari bermilis. Dari sekian yang aktif itu, jenis posting terbanyak adalah puisi. Yang paling rajin posting puisi adalah Fulan. Dalam satu minggu bisa dua kali dia posting puisi. Ranking kedua adalah cerpen, dilakoni oleh Fulanah. Posting artikel di posisi terendah dan biasanya dikirim oleh Fulan bin Fulan. Yang paling ramai diposting adalah isu hangat, misalnya RUU APP atau masalah pornografi. Maklumlah, di Jakarta sedang ramai dibahas topik tersebut.

Dari sekian jumlah anggotanya, yang terbanyak ternyata tinggal di Indonesia. Ada juga yang berdomisili di luar negeri, misalnya di Jepang, Hong Kong, dan Belanda. Di dalam negeri, anggotanya terbanyak tinggal di DKI Jakarta, lalu diikuti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Di Jawa Barat, banyak miliser tinggal di Bandung dan Sumedang. Ini mungkin terkait dengan lokasi kampus. Distribusi pendidikan ini perlu juga dicantumkan dan datanya bisa diperoleh di pengelola milis. Dari sisi jendernya, ternyata 55% miliser adalah perempuan. Hanya 45% lelaki. Bedanya 10%. Apakah ini berarti perempuan lebih terbuka diskusi di dunia maya? Entahlah. Berdasarkan usianya, miliser di sini rata-rata berusia antara 30-40 tahun. Ini yang terbanyak. Yang kedua antara 20-30 tahun, dan yang ketiga berusia di atas 40 dan di bawah 20 tahun.

Demikianlah, semoga bermanfaat.*


Catatan penting!
Semua angka yang saya tulis di atas, kecuali tanggal konferensi rencana gathering, hanyalah karangan saya saja. Dengan kata lain, semua angka tersebut tidak betul. Ditulis hanya untuk keperluan contoh artikel dalam menerapkan PP atau JI. Sekali lagi, data di atas hanyalah khayalan. Hal yang sama juga berlaku pada nama negara, provinsi, kota dan kabupaten. Semuanya karangan saya saja. Demikian dan harap maklum.

Salam.
Gede H. Cahyana
ReadMore »

Merapi Menyalak Galak

Merapi menyalak lagi. Ia galak lagi. Ia muntah lagi. Ia unjuk panas lagi. Wedus-wedus gembel mengintai lagi. Kudengar kisah, saat itu rembang petang di sebuah link radio terkenal di Jakarta. Waktu menunjukkan 16 April 2006. Beritanya, penduduk sekitar didata untuk evakuasi. Daerah setempat siaga. Tapi ada sejumlah orang tua yang tak hendak dievakuasi. Mereka masih percaya bahwa Merapi sayang pada mereka. Merapi adalah berkah. Kudengar juga, dan ini terjadi kemarin malam tanggal 17 April 2006, bahwa gunung-gunung lain di Jawa ikut-ikutan memanas, frekuensi gempanya meningkat.

Pikiranku lantas kembali ke masa-masa lalu, ke letusan lalu, ke kisah erupsinya dulu. Aku khawatir, bagaimana kalau gunung-gunung itu toleran terhadap Merapi dan sama-sama meletus? Semua meletus semau-maunya? Begitu marahkah Merapi sampai-sampai dia mengonsolidasi teman-temannya? Merapi memang pemimpin. Dia salah satu penggede gunung di Indonesia, minimal di Jawa. Dan aku masih ingat. Lima bulan lalu ketika sempat kutatap Merapi dari dekat, dia begitu kalem dalam diam. Awannya saja yang bertengger di sisi puncaknya yang angkuh. Ia memang angkuh. Bagiku, apalagi dia hanyalah gundukan tanah dan bukan manusia, wajar dia begitu. Dia adalah gunung api hebat dari 13% gunung api dunia yang berada di Indonesia! Ia adalah bagian yang hebat dari 35 gunung api aktif yang menjadi pasak-pasak Pulau Jawa. Jumlah 35 itu setara dengan 27% dari 129 gunung api aktif di Indonesia. Dia pulalah si jago bandel saat ini.

Perlukah kita menghindar dari Merapi? Mau migrasi ke mana? Bencana ada di mana-mana. Dekat gunung, kena letusannya. Dekat laut, kena tsunaminya. Di dataran rendah yang subur, kena gempanya. Di dekat hutan, binatang buas mengintai dan kebakaran hutan bisa terjadi. Mau tinggal di mana? Pindah ke mana? Tak usah ke mana-mana! Kita dikepung laut, juga dihadang gunung. Tapi tak berarti diam berpangku tangan. Berikut ini ada kisah tentang gunung.

Negara gunung
Kita ini, negara kita ini, betul-betul khas. Banyak kekhasannya jika mau dirinci satu per satu. Selain sebagai negara kaya pulau dan nusa, Indonesia juga kaya gunung. Tanah air dan laut kita tepat berada di sabuk gunung api sepanjang 7.000 km yang melintang dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kep. Maluku sampai Sulawesi Utara. Walaupun “orang gunung”, ternyata masih banyak aspek kegunungapian yang belum akrab di telinga kita, kecuali orang-orang yang bekerja di Vulkanologi dan kuliah di Geologi. Selama ini, jika mendengar kata gunung api maka yang terbayang adalah bencana letusan (erupsi) berwujud lahar, lava, debu, dan awan panas yang mematikan. Hingga kini secara total sudah 263.000-an orang tewas akibat letusan gunung api di Indonesia (jauh lebih kecil dibandingkan dengan korban satu kali tsunami yang hanya berlangsung beberapa menit dan tak terduga).

Sebagai contoh adalah erupsi G. Galunggung yang dikredit selama tahun 1982/1983. Bencana ini mengganggu aktivitas ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dll. Namun di lain pihak, fenomena alam itu menjadi bahan studi para peminat gunung api, pertanian, kesehatan, lingkungan dan antropologi. Bencana lain adalah letusan G. Agung di Bali tahun 1963 dengan korban tewas 300 orang. Yang unik, pada erupsi G. Agung adalah munculnya bintang Kukus di Timur Pulau Bali. Orang lantas mengira-ngira akan ada bencana besar. Ternyata betul. Meletuslah G30S/PKI. (Hanya saja sekarang aku tak percaya lagi kaitan antara bintang Kukus dengan peristiwa itu). Korban erupsi G. Kelud (1935) tak kurang dari 5.000 orang. Yang paling menyejarah adalah letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Debunya, konon, sampai ke Eropa. Korban yang tewas pasti sangat banyak, tapi aku tak punya datanya.

Selain akibat letusan, aspek bahaya gunung api yang lain adalah gas beracun yang dilepaskannya. Kawah Sinila (1979) di Pegunungan Dieng adalah contoh klasik saat ini. Minimal 150 orang meninggal pada bencana “selamat pagi” itu akibat gas CO dan CO2. Yang paling riskan adalah CO, karbonmonoksida. (Peristiwa Sinila inilah yang memicuku menulis puisi sekadar koleksi pribadi. Sebagai anak SD, waktu itu aku belum percaya diri mengirimkannya ke koran Bali Pos). Selain gas beracun, potensi bencana juga terjadi karena akumulasi gas di atmosfer yang menyebabkan hujan asam. Disebut hujan asam karena airnya memiliki pH (derajat keasaman) kurang dari 5,5 lantaran ada gas-gas SOx, H2S, CO2 dan NOx yang bereaksi dengan uap air lalu menghasilkan H2SO4, HNO3 dan H2CO3. Dampak negatifnya antara lain pH tanah jadi rendah, gangguan ekosistem perairan, kerusakan bangunan dan monumen karena korosi serta iritasi kulit.

The silent killer yang lain adalah pencemaran sumber air tanah dan air permukaan oleh logam berat hasil erupsi dan aktivitas kawah gunung api. Contoh kasus ini adalah kematian ikan di Sungai Ciwidey dan Waduk Saguling yang sumber airnya berasal dari G. Patuha dengan Kawah Putihnya dan G. Tangkuban Parahu. Yang patut diwaspadai adalah dampaknya terhadap manusia jika makan dan minum dari air atau ikan dan bahan sayur yang berasal dari daerah tersebut. Masukan ini penting bagi PDAM agar jangan hanya mengolah air dari aspek fisika saja tapi mulai memikirkan untuk mengamankan generasi bangsa agar tidak teracuni oleh zat kimia dari aktivitas gunungapi, seperti dioxin dan logam berat.

Bahaya dan Peluang
Gunung api dapat dipandang sebagai pedang bermata dua. Satu mata dapat menebas eksistensi manusia dan satu lagi mempertajam kualitas hidupnya. Ancaman diubah menjadi tantangan dan peluang pengembangan ekonomi dan pendidikan. Memandang alam dengan “positive thinking”, menggeser bagian negatif menjadi manfaat. Demikian halnya dengan gunung api. Ancaman bencana disublimasi menjadi keuntungan. Erupsi adalah tantangan dan peluang perbaikan teori dan hipotesis sains yang telah ada dengan konsep mutakhir.

Tantangan bidang kesehatan seperti penyakit kelenjar gondok, gigi dan pernapasan harus dapat dilawan sampai seminimal mungkin. Termasuk sakit jantung, fibrosis, fluorosis dll. Di sinilah peran pakar kesehatan (kedokteran). Bagian pertanian, perkebunan dan kehutanan mengambil manfaat dari debu vulkanik yang sangat subur walaupun ketika erupsi komponen itu sangat berbahaya. Termasuk evaluasi kualitas panen agar tidak mengandung logam-logam berat di atas ambang batas. Instalasi pengolah air minum mesti dimodifikasi untuk menangani unsur yang berbahaya dalam air dan emisi gas beracun.

Peluang lain adalah semua komponen gunung api dijadikan “pencetak uang”. Namun, eksploitasi itu dilakukan dengan mengindahkan aspek kesinambungan fungsi lingkungan, kesehatan dan keselamatan pekerja dan masyarakat awam. Jadi keuntungan bukan hanya untuk para pengusaha atau pemilik modal saja. Contohnya adalah penambangan pasir-batu (sirtu). Sirtu hasil erupsi itu memang menggairahkan ekonomi masyarakat setempat. Di balik itu, aspek terpenting adalah perlindungan penambang bahan galian C tersebut agar tidak melalaikan aspek kesehatan dan keselamatan kerja.

Saat ini pengembangan wisata gunung api (volctourism) belum banyak. Hanya di gunung-gunung tertentu saja yang sudah dieksploitasi. Tapi segmen wisata ini sudah lama berkembang di Bromo, Tangkuban Parahu dan Batur di Bali. Khusus di G. Batur, selain Danau Baturnya yang eksotik, juga karena di sana ada masyarakat Trunyan yang khas. Aspek geologinya juga menarik minat peneliti dari luar negeri, termasuk wisata flora, fauna dan mata air panas (hotspring) yang merupakan komponen tak terpisahkan dari gunung api.

Memang sepatutnyalah kita menghindar dari terjangan lahar dan debu gunung api. Kita harus selamatkan diri. Tapi dalam batas-batas tertentu tak perlulah eksodus ke daerah lain. Apalagi teknologi pemantau aktivitas gunung api kian canggih sehingga sedikit gerakan saja sudah bisa diketahui. Bahkan simulasi letusan, arah debu, arah lahar dan jumlah korban jiwa dan kerugian materi pun sudah bisa diprediksi jauh-jauh hari oleh para ahli. Mari bersahabat dengan gunung, berkawan dengan hutan dan isinya, berteman dengan alam.

Waspadai Merapi, waspadai gunung api, waspadai kerusakan Bumi. Karena masih dalam progres menuju Hari Bumi, saya ucapkan: Selamat Hari Bumi, 22 April 2006, empat hari lagi dari sekarang, 18 April 2006. *
ReadMore »

Dari Maslow, Zohar-Marshall hingga PDAM

Dari Maslow, Zohar-Marshall hingga PDAM
Oleh Gede H. Cahyana
Adakah yang tak perlu makan, minum, pakaian, berkawan, bermasyarakat?
Berkaitan dengan keperluan atau kebutuhan hidup manusia, Abraham Maslow menatanya dalam ujud piramid. Tatanan berlapis-lapis ini didasarkan pada latar belakang sosial, budaya dan ekonomi yang dikenal dengan hirarki Maslow. Kelima hal itu adalah:
1. Fisiologis. Kebutuhan dasar dan utama agar metabolisme dapat berlangsung di dalam tubuh sehingga sel mendapatkan suplai atau catu nutrien yang terdiri atas protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air.
2. Rasa aman. Semua makhluk punya keperluan agar hidupnya tak diganggu oleh yang lain dan telah diberikan alat dan perangkat yang dapat melindungi dirinya dan spesiesnya dari kepunahan. Manusia perlu rasa aman agar dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara optimal.
3. Sosial. Semua makhluk butuh interaksi dengan makhluk lain. Binatang butuh pasangan untuk bersama-sama melindungi dirinya dari sergapan atau gangguan binatang lain dengan cara hidup berkelompok dan punya isyarat tertentu untuk berkomunikasi. Apalagi makhluk yang bernama manusia. Dia membutuhkan lebih dari sekedar itu. Selain rasa aman, manusia perlu pengakuan keberadaannya dari masyarakat, mempunyai rasa memiliki terhadap suatu benda yang didapat dengan perjuangan dan hidup berkelompok dalam suatu struktur organisasi kemasyarakatan seperti RT, RW, Kelurahan, Kota, Provinsi dan Negara serta hubungan antarnegara.
4. Harga diri/status. Di sinilah kelebihan (atau mungkin kekurangan) manusia atas makhluk lain. Manusia punya rasa untuk memberikan nilai yang tinggi pada eksistensinya. Dia ingin dihormati oleh yang lain, bahkan sampai memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Tetapi segi positif dari harga diri manusia adalah dia akan selalu berlomba menjadi yang terbaik dan mendapat pengakuan dari yang lain.
5. Aktualisasi diri. Dianggap sebagai kebutuhan terakhir atau puncak manusia. Ia selalu ingin meningkatkan kemampuannya sehingga terjadi pengembangan Iptek yang menjadi cermin potensinya. Dia akan dapat memajukan hirarki kebutuhan yang lainnya dengan penambahan pada kualitas dirinya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan dan konsumsi masyarakat terhadap suatu produk.
1. Biosistem; kebutuhan manusia yang dipengaruhi oleh jenis kelamin, kebutuhan laki-laki umumnya berbeda dengan perempuan, perbedaan iklim; tropis, sedang, dingin; akan membedakan kebutuhan makan, minum, pakaian dan perumahan.
2. Psikosistem; kebutuhan yang dilandasi oleh adanya dorongan atau motivasi dari dalam diri seseorang yang merupakan aspek kejiwaan. Lingkupnya adalah kebutuhan pendidikan, pengembangan aspek kognitif yaitu pengembangan belahan otak bagian kiri yang merupakan aspek pikir dan kebutuhan aspek spiritual yang dilakukan oleh otak bagian kanan yaitu aspek zikir. Aspek ini berhubungan dengan kognitif/ penalaran, afektif/rasa dan psikomotorik/ gerak tindakan sebagai satu kesatuan.
3. Sosio-kultural; kebutuhan hubungan antar manusia yang berlangsung secara alamiah seperti adat istiadat, kebiasaan, budaya dan perdagangan atau sering disebut sebagai kegiatan perekonomian.
Lain Maslow, dia hidup di masa lalu, lain pula Zohar-Marshall yang hidup pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ini. Bagaimana pendapat mereka atas Piramid Maslow? Mereka ternyata membalik piramid itu. Puncaknya berada di bawah dan harus ditempuh atau dipenuhi dulu sebelum kebutuhan yang lainnya. Ini terobosan berpikir yang tak semua orang membayangkan sebelumnya. Tak semua orang mampu kreatif mengutak-atik sesuatu yang seolah-olah sudah begitu adanya, seakan-akan tak bisa diubah.
Lantas, bagaimana dengan Piramid PDAM?
Saya pun akhirnya tergelitik untuk membalik Piramid PDAM. Hasilnya ternyata mencengangkan. Dalam posisi terbalik, K, Konsumen atau pelanggan yang mulanya di atas pindah ke bawah sekaligus berarti reparasi PDAM dimulai dari pelanggannya. Aneh memang. Kenapa pelanggan yang direparasi? Sebab, pelanggan berperan dominan dalam melestarikan PDAM. Tanpa pelanggan tak mungkinlah PDAM bisa eksis. Siapa yang membeli airnya jika bukan pelanggan?
Pelanggan, dalam hal ini rakyat, justru menjadi “bos” anggota DPR/D. Pelanggan, apalagi kalau bergabung dalam asosiasi pelanggan, akan kuatlah posisinya dalam menekan DPR/D agar peduli pada PDAM sekaligus mempengaruhi eksekutif, yaitu bupati-walikota.
Pelanggan pun bisa menjadi “polisi” yang mengawasi sumber air baku PDAM. Pelanggan dapat mengawasi pabrik dan masyarakat agar tak mengotori air dan melindungi hutan sebagai zone tangkap-resap (tangsap) air hujan.
Pelanggan pun bisa menjadi “jaksa” yang menuntut orang dan pabrik pencemar lingkungan dengan cara men-datangi pabriknya tanpa anarkhistis. Begitu pun, pelanggan bisa menjadi “hakim” bagi perusak lingkungan dengan “mengadili” pabrik pencemar lingkungan lewat boikot atas produknya.
Apabila semua hal di atas bisa dilakoni oleh asosiasi pelanggan otomatis dinding piramid A, I, R dan T dapat dicapai sehingga kualitas air menjadi Aman, Isinya sesuai standar kebutuhan, dan Rutin tersedia 24 jam. Lalu T (Tarifnya) sesuai dengan kemampuan pelanggan secara rata-rata karena DPR/D sudah pula “dikuasai” oleh rakyat (pelanggan). Suara rakyat, suara dewan.
Yang terakhir, dampaknya pasti menguntungkan PDAM, yaitu P (Pegawainya) sejahtera, D (Desainnya) bisa dikembangkan menjadi lebih baik karena PDAM punya dana akibat kemajuan yang dicapainya sehingga luas A (Area servisnya) bertambah yang berdampak pula pada pola hidup higienis-saniter. Dengan semua keteraturan itu akhirnya M (Manajemen) otomatis membaik.
Jika demikian, mengapa PDAM tak mencoba membalik Piramid PDAM dan pemerintah pusat dan DPR mendukungnya lewat undang-undang? Kalau PDAM tak mau “membalik” dirinya, suatu saat boleh jadi pelangganlah yang membalik PDAM, baik dalam arti positif maupun negatif.
Bagaimana pendapat saya? Saya setuju saja pada kedua posisi Piramid PDAM itu. Yang normal seperti Maslow boleh-boleh saja; yang dibalik seperti Zohar-Marshall juga bagus-bagus saja. Yang terpenting ialah aksinya agar didapat reaksi positif bagi PDAM dan pemangku (stakeholders) PDAM.

Demikian.***
ReadMore »

Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita, ORASI ILMIAH

Berikut ini adalah Orasi Ilmiah Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita di Universitas Kebangsaan Bandung, November 2005. Isinya penting diketahui masyarakat, baik akademisi maupun LSM, khususnya dalam menyambut HARI BUMI 2006.
-----------------------------------

REFORMASI : MENATA ULANG BASIS EKOSISTEM
oleh
MUBIAR PURWASASMITA, DR.IR.
KETUA DEWAN PAKAR DPKLTS
DOSEN TEKNIK KIMIA ITB


1. APA YANG TERJADI ?

Ekosistem bumi kita tengah mengalami perusakan pada berbagai skala. Pada skala dunia di negara-negara berkembang antara tahun 1990-1995 terjadi penghilangan 65 juta ha hutan akibat overharvesting, konversi tanah untuk pertanian, kebakaran hutan dan lain-lain, sehingga sekitar 2 milyar ha tanah rusak terdegradasi dan mengancam kehidupan 1 milyar penduduk dunia. Antara tahun 1993-2002 bencana pada tingkat dunia mencapai 2654 kejadian dengan menelan kerugian lebih dari 603 milyar dolar Amerika. Bencana ini 40% berupa banjir, 30% badai, 10% kekeringan, 7% tanah longsor, 5% kebakaran, 5% temperature ekstrim dan hanya 3% karena gempa dan letusan gunung berapi. Pada tahun 1998 saja bencana yang terkait dengan iklim menelan biaya sama dengan biaya bencana untuk satu dasawarsa tahun delapanpuluhan.

Pada skala nasional kerusakan hutan di Indonesia mencapai luas setara 6 lapangan sepakbola permenit dengan kerugian Rp 83 milyar perhari atau Rp 30 trilyun pertahun. Padahal menurut UU No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan, minimal 30% dari luas pulau atau daerah aliran sungai (DAS) harus berupa hutan. Indonesia dengan luas daratan 200 juta ha dan jumlah penduduk lebih dari 210 juta jiwa memiliki luas hutan yang sudah berada di bawah 30%, sehingga perlu kebijakan dan upaya penghentian deforestasi secara mendasar dan mendesak. Akibat rusaknya hutan 31% dari 136 DAS besar di Indonesia berada dalam keadaan sangat kritis, 41% kritis, dan 28% agak kritis.


Sementara itu pulau Jawa dengan luas 13,3 juta ha dan jumlah penduduk lebih dari 120 juta jiwa memiliki luas hutan yang sudah jauh dibawah 30% sehingga degradasi yang terjadi bukan saja di daratan namun juga terjadi di pantai dan laut Jawa, yang mengalami perusakan sangat signifikan berupa pelumpuran, pendangkalan, abrasi pantai, hingga turunnya tangkapan ikan para nelayan.

Propinsi Jawa Barat dengan luas 3,7 juta ha dan jumlah penduduk diatas 3,6 juta jiwa memiliki luas hutan yang masih pada kondisi baik tinggal 7-9% saja. Gangguan terjadi karena pencurian kayu 80%, perambahan hutan 10%, kebakaran hutan 7%, dan karena bencana alam 3%. Kebutuhan kayu di Jawa Barat mencapai 2,5 juta m3/tahun, sementara kemampuan produksinya hanya sekitar 300.000 m3/tahun. Akibat nyata dari kerusakan hutan ini sudah sangat dirasakan berupa kemandegan dan turunnya tingkat produktivitas pertanian, mengalami kekurangan air dan kekeringan dimusim kemarau, serta mengalami banjir dan longsor dimusim penghujan. Bencana yang dihadapi Jawa Barat bukan saja berupa bencana alam dan lingkungan tetapi juga berupa bencana sosial dan ekonomi seperti bangkrutnya sebagian besar pabrik tekstil, berlipatgandanya jumlah penduduk miskin, serta ancaman berbagai penyakit baik yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit maupun pathogen lainnya seperti flu burung, demam berdarah, polio, malaria, anthrax, kusta, disamping penyakit kulit, pernapasan atau penyakit pencernaan yang biasa.

Kota Bandung dengan luas lahan 16.729 ha dan jumlah penduduk 2,5 juta jiwa memiliki ruang terbuka hijau tinggal 1,5% yang seharusnya memiliki luas hutan kota paling tidak 10% (menurut PP No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota). Curah hujan di tahun 1896 masih 3000 mm/tahun, saat ini hanya sekitar 2250 mm/tahun. Koefisien run-off di kota Bandung sudah mencapai 90% pada tahun 2004, padahal tahun 1960 masih sekitar 40%. Temperatur maksimum kota Bandung saat ini mencapai 34oC, padahal sebelumnya tidak pernah lebih dari 27oC. Kondisi hujannya semakin asam (pH 3,5) dan jumlah hari sehatnya tinggal 55 hari karena udara kota Bandung telah semakin tercemar. Kadar Pb dalam udara kota Bandung sudah diatas ambang batas sehingga bukan sekedar membahayakan kesehatan namun juga bisa berdampak buruk pada tingkat kecerdasan penduduknya dikemudian hari. Sungai di kota Bandung berjumlah 46 buah dengan panjang 268 km serta 77 buah mata air saat ini berada dalam keadaan sekarat. Kota Bandung tengah menghadapi masalah kekeringan kota. Muka air tanah sudah sangat menurun, dalam sepuluh tahun terakhir ini muka airtanah dangkalnya telah menurun hingga 10 meter dan airtanah dalamnya mencapai 80 meter, akibatnya terjadi landsubsidence sedalam 2 meter pada lahan seluas 5 x 3 km di daerah Dayeuh Kolot.

Kondisi ini diperparah dengan kerusakan di Kawasan Bandung Utara (KBU) yang telah mencapai 70%. Kawasan ini merupakan kawasan lindung dan daerah tangkapan air hujan bagi cekungan Bandung dengan potensi 0,25 x 1,2 milyar m3/tahun, merupakan 60% dari sumber pasokan air tanah Kota Bandung serta merupakan infrastruktur alam untuk memelihara kestabilan iklim mikro Kota Bandung.

Secara teoritis apabila fungsi kawasan lindung di hulu sub DAS sungai-sungai kecil Kota Bandung dapat dipulihkan, sebenarnya Kota Bandung tidak perlu mengalami kekeringan dan dapat memenuhi kebutuhan air warganya sepanjang tahun. Namun dengan kondisi kawasan lindung yang rusak , bila hujan tidak ada yang tersimpan atau meresap ke dalam tanah karena langsung melimpas. Penelitian menunjukkan bahwa potensi air yang bisa dimanfaatkan di musim kemarau tinggal 10% saja atau 28.750.000 m3/tahun, itupun kualitasnya sangat jelek karena tercemar oleh limbah, padahal kebutuhannya sudah mencapai 182.500.000 m3/tahun. Jadi sudah sangat defisit. Bayangkan menurut prediksi National Geographic, pada tahun 2015 kota Bandung berpenduduk 5,3 juta jiwa dengan kebutuhan air bersihnya 386.900.000 m3/tahun dengan basis kebutuhan air 200 liter/ orang/hari. Kalau kota Bandung bertambah penduduk 1 orang, berarti harus menyediakan air 200 liter/ orang/ hari.


2. MENGAPA BISA TERJADI ?

Nampak sekali dari kenyataan di atas kerusakan lingkungan di manapun sudah akan memberikan dampak secara multiskala, mulai dari skala mikro hingga skala global. Peran metabolisme planet bumi hasil proses fotosintesa di Indonesia pada iklim global sangat menentukan. Indonesia merupakan salahsatu dari paru-paru dunia selain Brasil di Amerika Selatan dan Konggo di Afrika Tengah yang mampu menyerap karbon dioksida hingga 2,5 kg per meter persegi pertahun. Gas CO2 ini kemudian dikonversikan menjadi gas oksigen yang dihirup oleh mahluk hidup di dunia. Lebih dari Brasil dan Konggo Indonesia memiliki kondisi laut yang luas dan dangkal serta matahari berlimpah sehingga memiliki konveksi air laut yang lebih aktif dan merupakan wilayah pembentuk awan paling aktif menjadi salah satu generator utama iklim global. Seharusnya kenyataan ini merupakan posisi tawar Indonesia yang tiada taranya dalam proses globalisasi. Sayang karena lingkungan lokalnya tidak terjaga dan iklim mikronya juga rusak sehingga Indonesia pun menjadi sangat rentan terhadap pengaruh dari perobahan iklim global.

Berada diantara dua benua dan dua samudra iklim di Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh kejadian alam yang terjadi kedua benua dan kedua lautan tersebut. Fenomena terbentuknya kutub panas baik di lautan Pasifik maupun lautan Hindia menyebabkan iklim musim di Indonesia yang diakibatkan oleh pemanasan benua Asia atau Australia juga sangat dipengaruhi oleh perbedaan temperatur di bagian barat dan timur lautan Pasifik serta temperatur di bagian barat dan timur Lautan Hindia. Pengaruh El Nino dan La Nina (El Nino Southern Oscilation - ENSO) akan sangat terasa di bagian timur Indonesia dan bagian barat Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh pergeseran kutub panas di lautan Hindia (Indian Ocean Dipole Mode Event-IODM). Perobahan iklim dunia menyebabkan periode ulang ENSO yang biasanya terjadi selang 5-7 tahun kini cenderung sering muncul dengan selang 4 tahun, sementara periode ulang IODM yang semula terjadi selang 15 bulan pada waktu tertentu muncul pada selang 3-4 tahun juga.

Dengan demikian multiskala iklim di Indonesia harus dipahami dengan baik. Iklim Indonesia selain dipengaruhi secara global juga dipengaruhi melalui perobahan regional iklim musim dengan ENSO dan IODM. Untuk mengurangi pengaruh iklim global dan regional tersebut bahkan untuk membangun kembali iklim global dan regional, Indonesia harus mampu membangun kembali iklim mikromya yang handal, dengan cara memanfaatkan dengan sebaik-baiknya kekhasan alam masing-masing pulau dan lembah-lembahnya, menyetop penebangan hutan, dan membangun kembali kawasan lindung di masing-masing wilayah.

Eko-hidrologi daerah aliran sungai merupakan sebuah sistem komplek yang tidak boleh terputus. Siklus air ini merupakan serangkaian gudang air dan pengalirannya yang mencakup gudang air di atmosfir pada awan yang menggantung di puncak gunung atau bukit, gudang air di hutan, gudang air permukaan di sungai dan danau, gudang air tanah dangkal, gudang air tanah dalam dan gudang air di laut. Pada saat ini keberadaan gudang-gudang air dan pengalirannya tidak terjaga, sehingga rusak bahkan tercemar. Dengan hilangnya luas dan kualitas hutan siklus air ini terpotong justru pada tahap yang paling menentukan kesinambungannya. Hutan di gunung pada dasarnya adalah tangki air alami pada tempat yang paling tinggi. Hutan di gunung adalah bendungan air alami yang paling baik. Penelitian Dr.Eneas Salati dari Brasil menunjukkan total air hujan yang didaur ulang oleh hutan adalah sebesar 74,1% yaitu air yang kembali ke atmosfir oleh evaporasi daun 25,6% dan oleh transpirasi 48,5%, sementara limpasan dan air tanah sebesar 25,9%. Ini menunjukkan bagaimana hutan dapat menjadi pengendali kelembaban, penjaga iklim mikro, dan pembangkit hujan secara berkesinambungan. Sejumlah fungsi hutan di atas sangat ditentukan oleh keberadaan jumlah dan keberagaman tegakan pohonnya. Fungsi pepohonan sebagai makhluk hidup yang tidak bisa berjalan tentunya akan sangat menjaga keberadaan sumber kehidupannya. Di atas permukaan tanah pohon yang cukup besar akan menghasilkan oksigen sekitar 2 kg/pohon/hari, membuat udara dan teduh karena pohon menyerap panas 8x lebih banyak dari pada tanpa pohon, menjaga kelembaban karena menguapkan kembali ? air hujan ke atmosfir, menyerap debu, mengundang berbagai kehidupan lainnya, dan membuat keindahan. Sementara di bagian bawah tanah pepohonan membantu mrenyerapkan air ke dalam tanah, mengikat butir-butir tanah, dan mengikat air di pori tanah dengan gaya kapilaritasnya dan tegangan permukaan. Kekuatan air yang melekat di permukaan butir tanah ini akan mampu menahan air lainnya menjadi sebuah bendungan alami yang limpasan airnya justru berada dibagian tanah yang lebih dalam membuat aliran di dalam tanah.

Sebagai sebuah negara kepulauan Indonesia sangat kaya dengan potensi airnya. Namun karena tidak memiliki kemampuan manajeman air yang tepat, utuh dan menyeluruh justru Indonesia saat ini merupakan negara pengimpor air paling besar. Dalam bentuk air maya Indonesia mengimpor sebesar 20,2 Giga m3 menurut neraca perdagangan air maya antar negara tahun 1995-1999. Air maya adalah sejumlah air yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk pertanian atau barang konsumsi. Untuk menghasilkan 1kg padi misalnya diperlukan 2700 liter air, 1 kg daging memerlukan 16.000 liter air, 1 kg kentang 160 liter air dan seterusnya. Dengan demikian kekuatan ekonomi dalam produk seperti itu sebenarnya berada pada kekuatan manajemen air, sementara pada saat yang bersamaan dengan jumlah penduduk yang sangat besar Indonesia merupakan pasar potensial bagi produk tersebut. Maka dengan kehancuran sistem manejemen airnya pasar Indonesia yang sangat besar itu justru akan dikuasai dan menjadi milik negara lain. Propinsi Jawa Barat dengan kekhasan alamnya karena letak dan topografinya memiliki potensi sumber air yang termasuk besar di dunia yaitu sebesar 81 milyar m3/tahun, namun karena kerusakan infrastruktur alamnya, pada musim kemarau ketersediaan airnya tinggal 8 milyar m3/tahun padahal kebutuhan totalnya sudah mencapai 17 milyar m3/tahun, sehingga setiap musim kemarau Jawa barat akan mengalami masalah kekurangan air. Apabila infrastruktur alamnya dalam keadaan baik karena pemulihan kondisi hutannya, maka ketersediaan air di Jawa Barat bisa dipelihara sebesar 25% dari potensi totalnya sepanjang tahun yaitu 20 milyar m3/tahun, yang berarti lebih dari cukup untuk memenuhi total kebutuhannya, yang memungkinkan petani di Jawa Barat dapat menggarap lahan pertaniannya sepanjang tahun menjadi jaminan alam peningkatan kesejahteraannya yang nyata.

3. APA YANG HARUS DILAKUKAN ?

Penataan kembali ekosistem harus dimulai dengan pemulihan infrastruktur alam berupa hutan, sungai, danau, pesisir dan sejenisnya. Infrastruktur buatan hendaknya dibangun justru untuk menguatkan dan menjaga kesinambungan manfaat infrastruktur alam bukan untuk menggantikannya, karena investasi dan biaya operasi infrastruktur alam adalah yang paling murah. Gunakan phyto-technology atau teknologi ramah lingkungan lainnya untuk maksud tersebut.
Secara legal upaya di atas harus dimulai dengan penetapan tata ruang kawasan lindung dan peraturan yang mampu membudayakan perilaku yang seharusnya terjadi di kawasan tersebut. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa, guna kepentingan keberkelanjutan. Di dalamnya bisa mencakup kawasan hutan lindung yaitu kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah; kawasan resapan air yaitu kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan, sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air; sempadan sungai yaitu kawasan sepanjang kanan kiri sungai, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai; kawasan sekitar waduk dan situ yaitu kawasan di sekeliling waduk dan situ yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsinya; dan kawasan sekitar mata air yaitu kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi mata air.

Secara regional Jawa Barat sudah menetapkan kawasan lindungnya sebesar 45% luas lahannya sebagai konsekwensi dari kekhasan alamnya berdasarkan kriteria objektif ketinggian dan kemiringan lahan, intensitas curah hujan, dan jenis tanah (Perda No.2 tahun 2003 tentang RTRW Propinsi Jawa Barat). Pada penerapannya di kabupaten dan kota sebenarnya harus dapat ditetapkan lebih luas dari kawasan lindung regional di atas, karena kebijakan setempat dapat menambahkan berbagai jenis kawasan lindung lokal berdasar kepentingan dan kearifan budaya setempat yang akan lebih menjamin kesinambungannya. Namun pada prakteknya saat ini justru kabupaten dan kota seolah tengah berlomba memacu pendapatan asli daerahnya dengan ekspansi kawasan budidayanya mengintervensi kawasan lindung tanpa memperhatikan kepentingan jangka panjang dan kaidah-kaidah kesinambungan. Tentunya hal ini akan sangat membahayakan semua pihak termasuk para investornya sekalipun, karena ketidakcermatan pertimbangan ekosistem dapat mengakibatkan bencana alam, bencana ekonomi dan bencana sosial yang seringkali bersifat irrevesibel.

Secara khusus Kota Bandung harus melakukan penataan ekosistemnya berdasarkan batas-batas alamnya sebagai bagian dari sebuah cekungan alami cekungan Bandung, yang juga merupakan hulu dari sebuah daerah aliran sungai yang sangat penting yaitu sungai Citarum. Secara regional Cekungan Bandung harus memiliki kawasan lindung seluas 54% termasuk di dalamnya adalah kota Bandung, sehingga pengkajian luasan hutan kota di kota Bandung menjadi sangat menentukan. Potensi luas taman di kota Bandung saat ini mencapai 115,25 ha, bila ditambah dengan potensi ruang terbuka hijau lainnya seperti jalur hijau, pemakaman, jalur tegangan tinggi, jalur kereta api, kawasan konservasi termasuk Punclut, pekarangan rumah, perkantoran dan industri seluruhnya bisa mencapai luas 8.336,48 ha yang berarti hampir separoh dari luas kota Bandung 16.729 ha. Konsep ruang kota Bandung pasca reformasi mestinya merupakan sebuah kota hutan yang sangat ditentukan oleh jumlah dan jenis tegakan pohonnya, dan bukan lagi kota taman sekedar untuk keindahan.
Pola kegiatan usaha di KBU sebagai kawasan lindung tidak dapat disamakan dengan kawasan yang sepenuhnya dialokasikan sebagai kawasan budi daya. Ekowisata yang harus dikembangkan adalah bukan yang bersifat large-scale and capital-intensive industrial tourism, melainkan suatu community, cultural, natural and landscape based turism yang melibatkan langsung masyarakat setempat sebagai salah satu pemain utamanya, bukan sebagai buruh pinggiran, satpam atau tukang kebun. Pengembangan ekonomi KBU hendaknya berbasis karakteristik fungsinya sebagai kawasan lindung (wanawisata, tahura, agrowisata, camping ground), kearifan budaya tatar sunda, dan keunikan lokal: G. Tangkuban Perahu, mata air panas, air terjun, patahan lembang, Cikapundung Hulu, Bosscha, gua Jepang, gua Belanda; dipadu dengan Homestay/ Bed and Breakfast yang memanfaatkan rumah-rumah penduduk yang layak untuk itu, tentu dengan dukungan pemda dan investor.

Ekowisata harus dikelola dengan kaidah-kaidah berkelanjutan, sehingga menciptakan peluang ekonomi bagi masyarakat lokal dan memberikan perlindungan bagi kawasan konservasi. Untuk menjamin keberlanjutan usaha ekowisata skala kecil dan menengah diperlukan dukungan aspek pengelolaan berupa kelembagaan, organisasi, tatacara, legaldan perlindungan; fungsi pengelolaan berupa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan; serta unsur pengelolaan berupa sumber daya manusia, aliran dana, aliran informasi, dan kajian pasar

4. LANDASAN TEORI

Terdapat 3 unsur penjamin kesinambungan yaitu tatanan ekosistem, evolusi nilai dan evolusi kelembagaan. Tatanan ekosistem akan melahirkan kebijakan infrastruktur baik yang alami maupun yang buatan untuk menjadi rujukan aplikasi dalam bentuk tatacara alat dan prosedur. Evolusi kelembagaan akan menata kembali aktivitas pemberdayaan dalam sektor-sektor kegiatan yang utuh. Sementara evolusi nilai akan memberikan rujukan pembudayaan membangun motivasi dan inisiatif untuk upaya pengembangan.

Selain itu harus dipertimbangkan dipenuhinya 3 paradigma kesinambungan yaitu paradigma keterkaitan ekosistem (proses globalisasi), keterkaitan multiskala (keanekaragaman), dan keterkaitan kesejahteraan. Keterkaitan ekosistem menggeser pendekatan sistem terbuka menjadi sistem tertutup atau semi tertutup untuk meminimumkan penggunaan sumberdaya dan buangan yang tak bermanfaat. Dengan pergeseran tersebut akan terjadi pergeseran pula tolok ukur dari upaya peningkatan nilai tambah yang sebesar-besarnya (energetik) menjadi pertukaran nilai manfaat yang berkelanjutan (exergetik). Sehingga yang menjadi ukuran di lapangan bukan lagi penguasaan aktivitas hulu sampai hilir melaiankan membangun siklus-siklus keterkaitan pada semua tahapan proses. Globalisasi adalah kenyataan keterkaitan ekosistem ini tetapi hanya dianggap terjadi pada skala besar saja. Sebetulnya proses ini terjadi secara multiskala bukan hanya pada skala global melainkan juga pada skala nasional maupun lokal. Paradigma keterkaitan multiskala menciptakan keanekaragaman sebagai upaya alami untuk menyeimbangan keterbatasan sumberdaya alam terhadap kebutuhan yang senantiasa meningkat. Gerak multiskala tidak terpusat hanya pada satu poros putaran saja melainkan masing-masing skala memiliki mekanisme putarannya sendiri, sehingga paradigma ini akan mengubah pendekatan secara sentralistik menjadi pendekatan terdistribusi dengan menciptakan banyak kemandirian, banyak jenis keberagaman, sekalipun tetap berada pada satu keterkaitan ekosistem. Dalam bidang ekonomi penerapan paradigma ini menetapkan keberadaan skala perekonomian global, nasional, dan lokal yang masing?masing memiliki mekanisme pasar, finasial dan distribusinya yang spesifik. Skala global saat ini berbasis investasi multinasional dan pasar bebas, sementara ekonomi skala kecil mestinya berbasis pemeliharaan daya beli dan pasar sendiri. Bencana ekonomi akan terjadi bila penetapan kebijakan ekonomi melanggar paradigma dasar alam ini.

Paradigma keterkaitan kesejahteraan terjadi karena manusia berbagi kesempatan kerja, tidak sekedar sekedar berbagi kekayaan. Kesempatan kerja akan terbuka sangat luas dengan ekonomi jasa yang dilandasi oleh mutu kemampuan dan kemauan sumberdaya manusia yang secara pendidikannya. Ekonomi Jasa akan mencakup 70% dari kegiatan perekonomian, akan merupakan kunci keberhasilan ekopnomi, serta akan mendorong sebagian masyarakat melayani kepentingan masyarakat lainnya (privatisasi layanan public pada masing-masing skala perekonomiannya).

Implementasi struktur dan paradigma kesinambungan di atas perlu ditunjang oleh upaya pelembagaan pemberdayaan dan pembuadayaannya, yang akan mencakup lembaga keuangan, lembaga pasar, dan lembaga gudang serta penyampaiannya untuk upaya pemberdayaan ekonomi; serta keberadaan lembaga keyakinan , lembaga silaturahim, dan lembaga pendidikan untuk upaya pembudayaannya. Lembaga-lembaga diatas akan memiliki kesepadanan fungsi dan keterkaitan diantara upaya pemberdayaan ekonomi dan penegakkan nilai budayanya, saeperti dalam pengertian bank adalah lembaga keyakinan ekonomi sementara lembaga keyakinan pembudayaan haruys merupakan banknya aspirasi, pasar adalah silaturahimnya ekonomi dan lembaga silaturakhim harus merupakan pasarnya aspirasi, demikian pula gudang dan penyampaiannya adalah lembaga pembelajaran ekonomi dan lembaga pendidikan seharusnya merupakan storage and delivery nya nilai-nilai dan aspirasi.

5. PENUTUP

Penataan kembali ekosistem nampaknya tidak dapat dilaksanakan hanya dengan memperhatikan kriteria kekhasan alamnya saja namun juga harus dengan secara mendasar menyertakan pertimbangan kearifan budaya setempat. Keraifan budaya sunda misalnya telah mampu mengungkap esensi keterkaitan ekosistemnya dengan istilah Siliasih yaitu harus saling mengasihi karena bersama-sama berada hanya dalam satu sistem alam, esensi keterkaitan multiskala dengan istilah Siliasah yaitu memberi keleluasaan hidup dan berpendapat untuk mampu menciptakan keberagaman, serta esensi keterkaitan kesejahteraan dengan istilah Siliasuh untuk saling berbagi kesempatan, sehingga mampu meraih Siliwangi yaitu sasaran sinergitas.

Secara praktis di lapangan kearifan budaya sunda inipun memberikan rujukan yang sangat seksama seperti diungkapkan dalam pesan Saursepuh yang mengungkap perlunya pertimbangan keseksamaan penanganan daerah aliran sungai dengan kearifan nilainya :
? Gunung - Kaian
? Gawir - Awian
? Cinyusu - Rumateun
? Sampalan - Kebonan
? Pasir - Talunan
? Dataran - Sawahan
? Lebak - Caian
? Legok - Balongan
? Situ - Pulasaraeun
? Lembur - Uruseun
? Walungan - Rawateun
? Basisir - Jagaeun.

Akhirul kalam cermati pula pesan Al-Quran dalam surat Qaaf (50) ayat 7-11 berikut:
Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali mengingat Allah.

Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba Kami, Dan Kami hidupkan dengan air tanah yang mati (Kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.

Allah menurunkan air dari langit, lalu mengalir di lembah-lembah menurut ukurannya,… (Surat Ar Ra`Du (13) 17).

Dan Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran, lalu Kami menempatkannya di Bumi. Dan sesungguhnya Kami berkuasa untuk menghilangkannya.
(Surat Al Mu`Minuun (23) 18).

BIODATA PENULIS

Mubiar Purwasasmita, Lahir di Sumedang 27 Desember 1951, Anak ke-7 dari 10, Keluarga Hadjar Purwasasmita (Alm) guru dan pendiri Sekolah Guru B dan Sekolah Guru A di Sumedang, dan Ibu Rd.Robiah Soemawisastra (Alm) guru Sekolah Menengah Pertama di Sumedang. Menikah tahun 1979 dengan Mintarsih Binti H.Iyon sarjana ekonomi Unpad 1981. Pendidikan dasar dan menengah diikuti di kota Sumedang. Lulus Sarjana Teknik Kimia ITB Tahun 1975, Lulus Doktor Teknologi Pemrosesan di Institut Nationale Polytechnique de Lorraine di Nancy-Perancis tahun 1985. Lulus sarjana langsung bekerja di Pabrik Keramik PT KIA sebagai Insinyur Proses dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Produksi. Tahun 1978 kembali ke Kampus ITB menjadi dosen teknik kimia hingga saat ini, pernah menjadi Pembantu Rektor ITB Bidang Perencanaan, Pengembangan, dan Pengawasan (1993-1997), Ketua Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM-ITB) (1997-2000). Sejak tahun 2000 aktif sebagai Ketua Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, serta Ketua Lembaga Kajian Strategis Paguyuban Pasundan.

Sebagai Dosen, Peneliti dan Pengabdi kepada masyarakat telah melakukan banyak hal nyata dan bermanfaat, antara lain : Mengembangkan Bahan Tahan Api Asal Lokal untuk membuat Reaktor Gasifikasi (1975-1978), Mengembangkan Sistem Pengolah Sampah Terpadu dengan berbagai alat yang dikembangkan sendiri, serta memecahkan permasalahannya pada berbagai bidang spesifik (1987-1992), Studi Penyediaan Air Baku yang mencakup masalah pengambilan dan penyimpanannya untuk Skala Industri (1980-1985), Mengembangkan Reaktor Kimia Baru berupa Reaktor Unggun Tetap dengan Aliran Gas dan Cairan yang sangat cepat dengan Katalis Padat yang sangat kecil untuk cairan organik maupun air (Thesis Doktor) (1980-1985), Merancang Alat Ekstraksi berbagai Bahan Alam Hayati seperti minyak nabati, atsiri, insektisida alam dll. (1988-1990), Mengembangkan Konsep Multiskala menyangkut keberadaan Usaha Desa, Nasional, dan Global (1996-2000), Mengembangkan Teknologi Bersih (Ecotechnology) dan penerapannya pada Tambak Udang Superintensif, Olah Lahan Pertanian Secara Terpadu, dll. (1997-2000), Mengembangkan Sistem Pabrik Skala Kecil dengan Penerapan Terdistribusi berbasis pengembangan Masyarakatnya, antara lain untuk Pabrik Gula mini, Pabrik Air Minum dalam kemasan, Fasilitas Penunjang Kampung Nelayan, dst. (1999-2000), Menginisiasi Metoda Dialog Partisipatif Masyarakat untuk membangun Strategi Pembangunan Kota, Kawasan Lindung Regional, Budaya Perusahaan, dll. (1997-2002), Ikut serta memecahkan berbagai masalah lingkungan alam yang kritis, tentang Infrastruktur Alam seperti Hutan, Sungai, Danau, Pesisir, Pulau Kecil, Udara, Iklim Mikro, dst. (2000-2003), Kajian Fenomenologi Nilai untuk membangun Kepekaan Aspiratif guna meningkatkan Potensi Manfaat Iptek (1983-2003), Penghutanan Kembali Lahan Kritis berbasis Masyarakat Setempat (2003-2004), Mengembangkan alternatif energi rakyat terbarukan, dan Olah lahan pertanian secara seksama berbasis bioreactor (2005-2006).

BANDUNG, 21 NOPEMBER 2005
ReadMore »